Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2

Kim Bum menggayuh sepedanya dengan cepat, tidak peduli dengan keringat yang bercucuran. Yang dipikirkannya saat ini adalah sampai tepat waktu di sekolah So Eun. Dia tidak mau gadis itu menunggu lama.

Sekolah sudah sepi saat Kim Bum sampai. Ia mencoba mencari keberadaan So Eun di sekitar halaman sekolah, namun gadis itu tidak ditemukan.

Tidak ada yang bisa ia tanya di mana kelas So Eun. Keadaan benar-benar sepi, hanya menyisakan penjaga gerbang.
"Apa Nona So Eun sudah pulang?" pikir Kim Bum. Bisa saja So Eun lama menunggu dan ia dijemput temannya.

Tapi perasaan kim Bum belum tenang kalau belum memastikan kalau So Eun tidak berada di gedung besar itu. Kim mulai mencari keberadaan So Eum di setiap kelas. Pria itu berteriak memanggil nama majikannya, namun tidak ada jawaban.

Kim Bum melanjutkan pencarian ke lantai dua, ia harap So Eun berada di salah satu ruangan yang ada. Lagi-lagi nihil. Tidak ada siapa pun di lantai itu. Dengan napas terengah Kim Bum pun memutuskan untuk pulang. Tapi saat ia ingin turun, Kim Bum mendengarkan isak tangis dari sebuah ruangan.

Kim Bum mengusap tenguknya pelan. Ia mulai takut. Keadaan sekolah yang sepi ditambah ada suara tangisan membuat kim Bum merinding. Kim Bum yakin tidak ada orang di lantai dua. Dia sudah mengeceknya dari luar jendela.

"Tidak mungkin ada hantu sore-sore," gumam Kim Bum.

Maksud hati ingin kabur tapi kakinya tetap melangkah mendekati sumber suara. Ada rasa penasaran yang ingin dituntaskan. Kim Bum menelan ludahnya susah payah ketika berdiri di depan ruang kelas yang berada di tengah-tengah. Beruntung letak kelasnya tidak dipojokan. Seperti kebanyakan film-film yang ia tonton.

Kim Bum membuka pintu dengan gemetar, pikirannya melayang membayangkan adegan film horor yang suka dikoleksi  oleh So Eun. Kim Bum bersumpah tidak akan menonton film itu lagi. Film itu hanya membuatnya berhalusinasi.

Kim Bum menyembulkan sdikit kepanya ke dalam kelas. Isak tangis sangat jelas terdengar dari pojok ruangan.

Suara ini... sepertinya aku kenal, batin Kim Bum.

Ia pun melangkah ke dalam dengan pelan-pelan. Kim Bum menatap sekitarnya untuk memastikan setiap sudut kelas tidak ada makhluk astral yang sedang menatapnya. Kim Bum melangkah dengan sangat pelan seperti seorang pencuri.

Pria itu bisa bernapas lega saat melihat seorang gadis tengah menangis dipojok kelas. Tas pink di atas meja semakin membuat Kim Bum yakin jika gadis itu adalah Kim So Eun. Benar saja gadis yang duduk di atas lantai itu adalah So Eun.

"Nona So Eun," panggil Kim Bum dengan lembut. So Eun mendongkak, menatap kim Bum yang kini berdiri di depannya.

So Eun berdiri dari duduknya, ia menatap Kim Bum sebentar sebelum membalikkan badan untuk menghapus air matanya. So Eun tidak mau terlihat cengeng di depan Kim Bum.

"Nona baik-baik saja?"

So Eun mengangguk  tanpa menoleh. Seulas senyum terbit di bibir kim Bum mengetahui jika So Eun baik-baik saja.

"Ayo kita pulang sebelum malam, saya akan bawa tas Nona."

Kim Bum mengambil tas itu dan menyampirkannya di bahu. Kim Bum menatap sekilas pada So Eun, namun gadis itu memalingkan wajahnya.

"Saya tunggu Nona di bawah," ujar Kim Bum.

"Tunggu!"

Kim Bum menghentikan langkahnya untuk menatap So Eun. Melihat gadis itu menunduk membuat Kim Bum jadi penasaran apa yang terjadi pada nona manjanya itu.

"Mianhae, aku menjatuhkan kotak bekalmu," ujarnya dengan kepala menunduk.

Kim Bum berjalan mendekati So Eun, meski keras kepala namun hati gadis itu sangat lembut. Ia bisa menangis jika membuat orang sedih.

"Benarkah? Berarti Nona harus dihukum," ujar Kim Bum.

So Eun menatapnya sejenak sebelum menundukkan kepalanya lagi. Kali ini ia pasrah dengan hukuman yang Kim Bum berikan.

"Tapi, setelah aku berikan hukuman Nona harus janji tidak boleh sedih lagi," ujar Kim Bum membuat So Eun mengangguk. Kim Bum senang So Eun kali ini menurut, ditariknya tangan So Eun untuk segera pergi.

So Eun tidak banyak bicara saat Kim Bum menghentikan sepedanya di depan sebuah mini market. So Eun menunggu di atas sepeda.

"Ini untuk Nona," ujar Kim Bum memberikan satu buah es krim pada So Eun.

"Untukku?" tanya So Eun.

"Hhmm... temani aku makan es krim. Itu hukuman untuk Nona," jawab Kim Bum membuat So Eun tersenyum.

Mereka duduk di kursi luar mini market. Tidak ada yang berbicara mereka asik menjilati es krim yang mulai meleleh. Kim Bum menatap So Eun yang terlihat menikmati es krimnya.  Sampai-sampai ia melupakan es krimnya sendiri.

"Habis!" seru So Eun.

Gadis itu  menatap Kim Bum yang sedang bengong. Pandangan gadis itu tertuju pada es krim yang meleleh di tangan Kim Bum.

"Es krimmu meleleh," tunjuk So Eun membuat Kim Bum tersadar dari lamunannya.

"Sini biar kubawa es krimnya."

Kim Bum membersihkan tangannya dengan saputangan. Setelah selesai, pria itu menatap So Eun yang kini tersenyum lebar sambil mengacungkan stik es krim.

"Nona menghabiskan es krimku?"tanya Kim Bum.

Dengan polosnya So Eun mengangguk.

" Es krimnya meleleh. Kau terlalu lama membersihkan tangan," sahut So Eun.

Kim Bum tahu itu hanya sekadar alasan. Gadis itu tidak bisa dipercaya. Jelas-jelas Kim Bum membersihkan tangan dengan cepat. Sifat menyebalkan So Eun kambuh lagi.

"Apa perlu aku belikan es krim lagi?" tanya So Eun.

Kim Bum berdiri meninggalkan So Eun yang masih duduk manis di tempatnya. Kim Bum menaiki sepedanya seraya menatap So Eun.

"Kita pulang saja, Nyonya Kim pasti cemas menunggu Nona," kata Kim Bum. So Eun menurut, ia pun duduk di boncengan belakang.

Kim Bum mulai menggayuh sepedanya. Semilir angin terasa menenangkan saat sepeda melaju pelan. So Eun sesekali memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus.

Selama perjalanan terasa begitu tenang, So Eun pun tidak mengoceh macam-macam. Sampai lengkingan dari gadis itu membuat Kim Bum menghentikan sepedanya mendadak.

"BERHENTI!"

Kim Bum memejamkan matanya kesal, hampir saja mereka jatuh kalau Kim Bum tidak menjaga keseimbangan. Belum sempat Kim Bum mengeluarkan suara, So Eun sudah turun meninggalkannya.

Kim Bum menyusul So Eun setelah memarkirkan sepedanya ke tepi. Gadis itu berjongkok di sebuah pot berukuran  besar. Majikannya terlihat seperti orang gila yang berbicara dengan tanaman.

Kim Bum hanya diam memerhatikan So Eun dari kejauhan. Gadis mengulurkan tangannya untuk mengambil sesuatu. Ternyata ada makhluk berbulu putih yang sembunyi di balik pot. So Eun menggendong kucing itu dengan penuh perasaa sayang.

"Untuk apa Nona membawa kucing itu?" tanya Kim Bum setelah So Eun berdiri di hadapannya.

"Aku akan merawatnya, dia manis sekali. Dia pasti kelaparan," ujar So Eun.

Kim Bum mendengus kesal, direbutnya kucing itu dari pelukan So Eun.

"Tidak boleh. Tuan dan Nyonya Kim tidak akan setuju kalau Nona merawat kucing ini."

So Eun menatap Kim Bum tajam, gadis itu kembali merebut kucing itu dari tangan Kim Bum.

"Kau tidak boleh bicara seperti itu. Kau bukan appa dan eomma ku," ujar So Eun. Kini ia menyembunyikan si kucing di balik punggungnya.

"Tapi...."

Mata So Eun berkaca-kaca membuat Kim Bum akhirnya luluh. Seberapa keras pun ia menolak So Eun akan tetap dengan keputusannya. Tidak akan berubah sampai kapan pun.

"Baik jika itu mau Nona. Kucing itu boleh ikut ke rumah tapi dengan syarat. Jingan menangis kalau kucing itu tidak boleh tinggal di rumah."

So Eun mengangguk. Ia yakin kucing manis yang digendongnya tidak akan nakal. So Eun akan merawat dan menjaga kucing itu dengan baik.

***
Kim Bum dan So Eun menundukkan kepalanya saat Tuan dan Nyonya Kim menatap tajam pada mereka berdua. Ini semua karena mereka pulang malam tanpa memberi kabar.

"Siapa yang mengizinkan kucing ini tinggal?"

Tuan Kim menatap anaknya dengan penuh amarah. Dia tidak suka ada hewan berkeliaran di rumahnya. Apalagi kucing liar.

Tidak ada yang menjawab, mereka berdua bungkam.

"Kalau tidak ada yang bicara aku akan membuang kucing itu," ancam Tuan Kim membuat So Eun dan Kim Bum mendongkak.

"Tuan Kim boleh saya bicara berdua  dengan Anda?" tanya Kim Bum.

So Eun menyenggol lengan Kim Bum. Sepertinya pria itu ingin mati di tangan ayahnya. Kim Bum pasti sudah gila.

"So Eun kau boleh pergi," ujar Tuan Kim tanpa menatap putrinya.
Dengan ragu So Eun keluar dari ruangan itu, ditatatapnya Kim Bum sebelum menutup pintu.

"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Kim Bum mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak yakin Tuan Kim akan luluh dengan tawarannya tapi tidak ada salahnya mencoba.

"Tolong biarkan Nona So Eun merawat kucing itu," ujar Kim Bum.

Tuan Kim mencondongkan tubuhnya menatap pria muda di depannya dengan senyum remeh. Kim Bum tahu negosiasi ini akan sulit, mengingat Tuan kim sama keras kepala seperti So Eun. Apa pun keinginan pria itu harus dituruti.

"Kau tahu aku tidak suka hewan liar."

"Tapi kucing itu tidak akan menjadi hewan liar kalau sudah dirawat."

Tuan kim mengernyit kemudian tertawa. Hewan liar tetap saja hewan liar. Di mata Tuan Kim hal itu tidak akan pernah berubah.

"Apa yang ingin kau sampaikan?" tanya pria dewasa itu sambil menatap Kim Bum intens. Kim Bum menelan ludahnya dengan susah payah. Tatapan itu membuatnya takut.

"Saya punya penawaran yang baik. Selama satu semester nilai Nona So Eun menurun, jadi saya rasa  kita bisa menggunakan kucing itu sebagai pancingam agar Nona So Eun mau belajar," jelas Kim Bum.

"Kau yakin So Eun akan mau melakukan hal itu? Bagaimana jika nilainya tetap sama?"

"Saya akan menjamin. Percayakan pada saya. Nona So Eun pasti mau melakukannya demi kucing itu," kata Kim Bum penuh percaya diri.

Tuan Kim menyeruput minuman yang mulai mendingin. Seulas senyum terlihat di wajah lelahnya.

"Aku serahkan urusan itu padamu. Yang perlu kau tepati adalah nilai So Eun harus meningkat. Aku tidak peduli lagi dengan hewan itu."

Tuan Kim keluar dari ruanganya. Kim Bum kembali bernapas lega, ia bahkan menahan napas setiap kali bicara pada Tuan Kim.

Setelah berbicara dengan Tuan Kim, Kim Bum segera memberitahu So Eun tentang kesepakatannya.

"Mwo? Kau sudah gila? Bagaimana bisa nilaiku naik hanya dalam 1 bulan saja?"

So Eun melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Kim Bum yang duduk di tepi ranjangnya.

"Itu terserah Nona. Lakukan demi kucing ini." Kim Bum memangku kucing putih itu dengan penuh kelembutan. "Atau dia akan kembali ke jalanan."

Kim Bum menatap So Eun yang sedang kesal. Sepertinya gadis itu tidak akan menolak. Lihat saja ia bungkam setelahnya.

"Baiklah, aku akan belajar. Tapi aku tidak yakin bisa menaikkan nilai dengan cepat," ujar So Eun.

"Saya akan membantu Nona."

Ya, Kim Bum tahu ketika ia sudah berjanji pada Tuan Kim maka dia tidak boleh lepas tangan. Kim Bum akan buktikan pada ayah So Eun jika ia bisa dipercaya. Kepercayaan Tuan Kim tidak akan pernah ia sia-siakan.

Setelah berbicara dengan So Eun Kim Bum kembali ke kamarnya. Saat ia membuka pintu ibunya sudah menunggu di dalam kamar. Kim Bum merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Kenapa kalian  pulang terlambat? " tanya ibunya tegas.

"Itu... aku meminta Nona So Eun menemaniku makan es krim dan--"

"Kau tahu apa yang terjadi saat kalian belum pulang? Tuan dan Nyonya Kim sangat khawatir! Setidaknya kau bisa meminta Nona So Eun memberitahu jika kalian pulang malam," kata wanita itu dengan galak.

"Ulurkan tanganmu!"

Kim Bum melakukan perintah ibunya. Ia tidak pernah membantah selama ini. Kim Bum memejamkan matanya menahan perih di telapak tangan saat rotan menyentuh tangannya.

Kim Bum mendesis merasakan sakit pada tangannya setiap kali kena pukulan.

"Sudah berapa kali eomma katakan padamu, jangan membuat ulah. Kau harusnya pulang tepat waktu. Hanya gara-gara es krim kau membuat Tuan dan nyonya Kim marah."

Kim Bum hanya menunduk menatap tangannya yang memerah. Kim Bum menatap ibunya yang berjalan keluar dari kamarnya. Pria itu duduk di atas tempat tidur, diraihnya salep yang ada di laci untuk mengobati luka tangannya.

Kim Bum sudah terbiasa dengan perlakuan kasar itu. Menangis pun tidak ada gunanya jika yang sakit adalah tangan.

Ceklek...

Pintu kamarnya terbuka. So Eun masuk tanpa izinya. Gadis itu menghampiri Kim Bum setelah menutup pintu. Kim Bum segera menutup tangannya dengan selimut, ia tidak mau So Eun melihatnya terluka.

"Kau baik-baik saja? Aku dengar Bibi Kim memarahimu."

Kim Bum tersenyum seolah tidak ada yang terjadi.

"Ibu hanya khawatir padaku. Itu saja, tidak lebih," jawab Kim Bum.

So Eun duduk di tepi tempat tidur berhadapan dengan Kim Bum. Disibaknya selimut yang menutupi tangan kim Bum.

"Sejak kecil kau selalu menyembunyikan lukamu. Maaf karena diriku kau mendapat hukuman," ujar So Eun dengan kepala menunduk.

"Aku pantas mendapatkannya. Jadi Nona tidak perlu merasa bersalah," sahut Kim Bum.

So Eun merebut salep yang Kim Bum pegang. Ia mengobati luka di tangan Kim Bum. Kim Bum meringis saat lukanya disentuh.

Sambil mengoles salep itu, So Eun juga meniupnya agar rasa sakit itu berkurang.

"Jangam sembunyikan rasa sakitmu lagi dariku. Biar aku yang mengobatinya," ujar So Eun dengan senyum lebar.

Kim Bum merona, merasakan detak jantungnya yang menggila. Hanya melihat senyum itu membuatnya merasa tenang.
*
*
*
TBC






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro