Part 16
Hujan kembali mengguyur kota setelah beberapa menit lalu berhenti. Udara dingin terasa menusuk ke tulang. Belum lagi angin kencang di luar sana membuat aktivitas terganggu.
"Ramalan cuaca hari ini sangat tepat. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika aku masih berada di luar," ujar Tuan Oh lega. Berbeda dengan pria berkacamata itu, Kim Bum sedang khawatir melihat So Eun belum sadarkan diri. Tidak sedikit pun ia beranjak dari sisi ranjang.
"Kau sudah makan?"
"Aku makan dengan Nona So Eun saja," ujar Kim Bum.
"Eh, sejak kapan Kim Sang Bum menjadi budak cinta?" sindir Tuan Oh.
"Apa yang kau katakan?"
"Sudahlah, aku pergi dulu. Besok pengacara Kang akan datang. Kau harus siap-siap dicakar macan."
Tuan Oh menepuk pundak Kim Bum sebelum pergi. Kim Bum menatap So Eun yang berbaring di atas tempat tidur. Membayangkan reaksi So Eun besok akan sangat mengerikan. Apalagi ditambah hari ini So Eun marah padanya. Tamat sudah riwayatnya.
***
Pagi yang tidak biasa terjadi di kediaman Kim. Semua orang yang berkumpul terlihat tegang. Bahkan sebelum pembacaan wasiat pun hawa mencengkam sudah menyelimuti ruangan itu.
"Bo-bolehkah saya membacakannya sekarang?" tanya Pengacara Kang gugup.
Semuanya mengagguk tanpa kecuali So Eun yang duduk di samping neneknya.
"Tunggu, sebelum membacakannya aku ingin mengatakan sesuatu."
Tuan Oh mengatur napasnya sejenak sebelum mengatakannya.
"Hari terakhir meeting dengan client. Saat itu Nyonya Kim memberikan ponselnya padaku. Nyonya memerintahkanku untuk membalas pesan Nona So Eun. Hari terakhir itu aku masih berada di restaurant dan saat itu juga aku mendapat informasi bahwa terjadi kecelakaan. Awalnya Tuan dan Nyonya Kim masih bisa bertahan tapi saat sampai di rumah sakit mereka tidak bisa diselamatkan."
"Kenapa kalian merahasiakan ini? Bukankah kalian harus memberitahuku saat itu juga?"
"Ini semua demi nona. Aku takut nona akan merasa terpukul. Maafkan aku."
So Eun memalingkan wajahnya. Semua telah terjadi mau bagaimana lagi. Ayah dan ibunya sudah pergi. Mereka tidak akan bisa kembali lagi.
"Untuk sementara waktu sekertatis Oh dan Kim Bum yang mengurus perusahaan. Setelah kau siap maka Kim Bum akan menjadi wakilmu," ujar Song Ji Eun.
"Apa? Nenek jangan bercanda. Aku tidak mau bekerja diperusahaan."
"Kalau begitu menikahlah dengan Kim Bum maka kau akan bebas."
"Apa? Menikah? Aku tidak mau," ujar So Eun memalingkan wajahnya.
"Dalam wasiat kedua orang tua Nona tercantum seperti itu. Anda harus menikahi Kim Bum," kata Pengacara Kang di depan seluruh orang yang ada di rumah termasuk Kim Bum.
"Kim Bum kau tidak setujukan?" So Eun mengguncang tubuh pria yang ada di sampingnya. Bahkan neneknya sendiri tidak bisa bicara apa pun.
"Mungkin ini yang terbaik, Nona So Eun," jawab Kim Bum dengan kepala menunduk.
"Kalian jahat!"
So Eun berlari ke kamar dan mengunci pintunya. Sudah mereka duga kalau reaksinya akan seperti itu. Mereka semua saling menatap satu sama lain tanpa berani bicara sedikit pun.
"Kalian bisa pergi," ujar Nyonya Song. Semua meninggalkan ruangan itu kecuali Kim Bum yang masih berdiri di tempatnya.
"Kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya Nyonya Song.
"Bukankah ini terlalu cepat? Aku yakin dia tidak akan menerimanya. Kenapa harus menikah?" tanya Kim Bum.
"Kau ragu? Ingat seberapa besar kepercayaan anakku padamu. Jangan kecewakan dia."
Nyonya Song menepuk pundak Kim Bum memberikan sedikit kekuatan untuk pria itu. Bagaimana pun juga sekarang adalah ia adalah bagian dari keluarga Kim.
"Kim Bum," panggil Ae Ri.
"Keluarga Kim sudah membantu kita selama ini. Jaga So Eun dan jangan kecewakan dia. Mungkin butuh waktu yang lama, tapi ini adalah keluarga kita sekarang."
Ae Ri mengusap lengan Kim Bum dengan lembut. Mendapat dukungan dari ibunya membuat Kim Bum menghilangkan keraguannya. Dia mencintai So Eun walau pun So Eun tidak mencintainya. Kim Bum akan membuat So Eun hanya melihatnya seorang.
"Aku akan menjaganya, eomma," ujarnya.
Kim Bum keluar dari ruangan itu. Tujuannya saat ini adalah kamar So Eun. Walau ragu namun Kim Bum tetap mengetuk pintu kamar So Eun. Cukup lama ia mengetuk dan pada akhirnya pintu itu dibuka.
So Eun dengan wajah datarnya menyambut Kim Bum. Tidak ada tatapan hangat dari gadis itu.
"Boleh aku masuk?" tanya Kim Bum.
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Ini kamarku. Kalau mau masuk ke kamar mu saja," ujar So Eun. Kim Bum menarik tangan So Eun untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Kenapa kau membawaku ke kamarmy?"
"Kau tidak mengizinkan aku masuk ke kamarmu jadi kau yang harus ke kamarku. Adil, 'kan?"
So Eun melipat kedua tangannya di depan dada. Kim Bum tersenyum tipis kemudian menggiring So Eun untuk duduk di atas ranjangnya. Kim Bum bersimpuh di depan So Eun membuat gadis itu menatapnya heran.
"Kau bisa membenciku sepuasmu tapi jangan pernah halangi aku untuk melindungiku. Aku tahu kita tidak saling mencintai jadi jangan anggap pernikahan itu sebagai beban. Kita bisa mulai berteman dan saling mengenal lebih jauh lagi. Maukah kau menikah denganku?"
Ini bukan lamaran romantis yang sering So Eun impikan. Tapi cukup membuat debaran jantungnya menggila. Kim Bum menengadahkan tangan berharap So Eun mau menyambutnya. Ditolak pun Kim Bum sudah siap.
"Kau tahu menikah tanpa cinta itu tidak akan berakhir bahagia."
"Siapa yang mengatakan hal seperti itu? Orang yang mencintai pun belum tentu bahagia ketika menikah. So Eun jadilah teman seumur hidupku. Tidak akan ada yang berubah percaya padaku."
So Eun mengulas senyum tipis kemudian menyambut uluran tangan Kim Bum. Mereka sama-sama melemparkan senyum lebar.
"Mau main PS? Aku sudah lama tidak main denganmu. Kau pasti tetap payah," ujar Kim Bum.
"Siapa bilang? Aku sudah ahli. Lihat kemampuanku," kata So Eun bangga. Kim Bum menyiapkan alat PS-nya. Ingatannya kembali saat mereka masih di sekolah dasar. Setiap pulang sekolah So Eun akan menculiknya untuk bermain PS di kamarnya. Jika dipikir-pikir sifat So Eun lebih mirip pria.
Tidak perlu sesuatu yang mewah untuk membuat So Eun tersenyum lagi, cukup hal sederhana sudah membuat senyumnya merekah. Dia wanita yang berbeda yang pernah Kim Bum kenal.
***
So Eun membuka matanya setelah selesai memakai maskara. Wajahnya terlihat cantik dengan polesan make up. Rambut bergelombanya terurai dengan indah membuat penampilan So Eun bak bidadari.
So Eun tersenyum sendiri menatap pantulan dirinya di depan cermin. Mengagumi diri sendiri tidak salah kan? Ia penasaran bagaimana reaksi Kim Bum melihat penampilannya nanti. So Eun mulai menghayal jika Kim Bum akan memuji kecantikannya.
"Nono So Eun mari berganti pakaian. Sebentar lagi pemotretan akan dimulai."
So Eun mengangguk senang. Ia pun tidak sabar bertemu dengan Kim Bum untuk melihat reaksi pria itu. Membayangkan Kim Bum yang menatapnya memuja membuat perasaan So Eun melayang.
Betapa beruntungnya pria itu memiliki istri cantik dan imut sepertiku, batin So Eun.
Setelah mengganti pakaian dengan gaun pengantin So Eun pun diantar keluar ke tempat pemotretan. Hari ini adalah jadwal foto pra wedding-nya dengan Kim Bum karena sebulan lagi mereka akan menikah. Semua mata menatap So Eun tanpa berkedip. Kecantikan So Eun menyihir mereka semua.
Merasa ada yang aneh Kim Bum pun berbalik dan menatap So Eun yang sedang menjadi pusat perhatian.
Kim Bum mencoba mengulum senyumnya saat melihat kedatangan So Eun. Bagaimana pun juga ia tidak boleh terpesona dengan sihir So Eun yang ada Kim Bum tidak bisa fokus. Segera Kim Bum mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Ia mencoba mengalihkan perhatian ke arah lain.
Seketika senyum So Eun memudar. Ia kesal melihat reaksi Kim Bum yang diluar dugaan. Bagaimana bisa pria itu bersikap biasa saja melihat wanita cantik ada di depannya. Ingin rasanya So Eun membuka mata Kim Bum lebar-lebar agar bisa melihat calon istrinya adalah wanita tercantik di dunia.
"Baiklah kita mulai."
Dengan langkah terhentak So Eun berdiri di samping kim Bum. Wajan So Eun lurus ke depan tanpa ekspresi. Tidak ada senyum yang diperlihatkan membuat sang fotografer kebingungan.
"Nona bisakan Anda tersenyum sedikit? Kau terlihat seperti zombie."
So Eun menatap tajam sang fotografer membuat pria itu mengusap tengkuknya. Kim Bum merasa tidak enak hati dengan perubahan sikap So Eun pun mengalihkan pamdangan gadis itu padanya.
Dengan lembut Kim Bum mengusap pipi So Eun kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga So Eun.
"Kau terlihat sangat cantik," puji Kim Bum.
So Eun menatap Kim Bum tidak percaya. Ia pun mengulas senyum malu-malu saat mendengar pengakuan Kim Bum. Moment kedekatan itu tidak disia-siakan oleh sang fotografer.
Pemotretan berjalan lancar. So Eun dan Kim Bum kini mereka pergi ke toko perhiasan membeli cincin pernikahan. Kim Bum dan So Eun mencoba berbagai cincin pernikahan yang diberikan pelayan toko.
"Apa aku bisa menuliskan nama di cincin ini?" tanya So Eun.
"Tentu bisa nona."
So Eun semakin senang. Walau pun bukan pernikahan impian namun So Eun tidak ingin setengah-setengah. Kim Bum hanya diam membiarkan So Eun memilih cincin yanh dia sukai.
"Sudah selesai?" tanya Kim Bum. So Eun mengangguk dan menggandeng tangan Kim Bum untuk pergi dari toko itu. Bukan hanya Kim Bum tapi semua orang yang ada di kediaman Kim hanya bisa terheran-heran melihat tingkah ajaib So Eun. Wanita itu yang sejak awal menolak untuk menikah tapi sekarang dialah yang paling semangat untuk mempersiapkan pernikahannya.
Semua konsep So Eun yang merancang mereka semua hanya manggut-manggut mengikuti perintah So Eun.
"Kita akan ke mana lagi?" tanya So Eun saat Kim Bum melajukan mobilnya ke arah yang tidak biasa.
"Kau akan tahu nanti. Aku yakin kau suka."
Kim Bum memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Mulut So Eun tidak berhenti terbuka melihat hamparan bunga kuning di depannya.
"Ini indah sekali," ujar So Eun seketika terhipnotis dengan pemandangan di depannya.
Kim Bum mengikuti langkah So Eun dari belakang. Anggap saja ini kencan kedua mereka yang dulu tertunda.
"Kau senang?" tanya Kim Bum.
So Eun berbalik menghadap Kim Bum. Gadis itu mengangguk antusias. Tidak disangka Kim Bum memiliki sisi romantis juga.
"Dari dulu aku ingin mengunjungi tempat ini bersamamu," ujar Kim Bum.
"Kenapa harus denganku?"
"Karena aku tahu kau suka bunga."
Dan kau adalah wanita spesial untukku, lanjut Kim Bum dalam hati.
"Boleh aku memberimu hadiah sebagai ucapan terima kasih?" tanya So Eun. Kim Bum mengangguk walau pun ia tidak tahu apa yang akan So Eun berikan untuknya.
So Eun mendekati Kim Bum kemudian berjinjit untuk mencium pipi Kim Bum. Seketika tubuh Kim Bum menegang. Seperti ada aliran listrik yang menjalari tubuhnya. Ini bukan ciuman pertama mereka namun tetap saja setiap sentuhan So Eun selalu memiliki rasa yang berbeda.
So Eun tersenyum lebar kemudian berlalu meninggalkan Kim Bum yang masih mematung di tempatnya.
TBC
Maaf slow update, ya, 🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro