Part 15
Selamat membaca
*
*
*
Gerimis di pagi hari menambah kesedihan So Eun. Langit gelap tanpa matahari yang bersinar, begitu juga dengan hatinya yang terasa dingin. Baru beberapa hari ia berkumpul kembali dengan keluarganya tapi sekarang ia sudah sendiri lagi.
"So Eun."
Suara rapuh itu mengalun lembut membuat So Eun menoleh. Wanita tua yang disayanginya tengah tersenyum menatapny lekat.
"Semua terjadi begitu cepat. Mereka harusnya berada di sini saat ini juga tapi mereka lebih memilih melihatmu dari atas sana."
So Eun menengadah menatap awan gelap. Jendela kamarnya sedikit berembun karena cuaca dingin di luar sana.
"Apa mereka bahagia?"
"Mereka bahagia jika kau bahagia."
So Eun menatap neneknya sendu. Ini tidak mudah baginya untuk merelakan mereka pergi secepat ini. Tapi apa yang bisa ia lakukan, menangis pun tidak akan membuat mereka kembali.
Ji Eun membisikkan sesuatu di telinga So Eun hingga membuat gadis itu membolakan mata. So Eun menatap neneknya dengan kening mengkerut.
"Itu sangat memalukan, nenek saja yang melakukannya," ucap So Eun.
"Bukankah kita sering melakukannya saat kau libur? Jangan malu, tidak ada yang berani menertawaimu. Berbahagialah sedikit."
So Eun menggeleng, ia menolak keras usulan neneknya. Bisa-bisa ia dikira gila oleh seisi rumah. Ini konyol.
"Aku tahu siapa yang bisa jadi korban sukarela," ujar So Eun tiba-tiba.
"Siapa?"
So Eun tersenyum misterius. Dengan langkah pasti ia keluar dari kamarnya kemudian mengetuk pintu kamar di sebelahnya.
"Masuk!" teriak Kim Bum dari dalam. Dengan wajah murungnya So Eun masuk ke dalam kamar Kim Bum membuat pria itu berdiri.
"Bum-ah," ucapnya dengan lemah lembut.
"Apa terjadi sesuatu?" Kim Bum mulai khawatir dengan So Eun. Kemarin malam gadis itu sudah bisa tertawa lepas tapi sekarang ia sudah murung lagi.
"Apa kau mau membantuku?"
"Tentu. Katakan apa yang bisa kubantu?" ucap Kim Bum cepat tanpa berpikir panjang.
"Janji mau bantu aku?" So Eun mengacungi kelingkingnya sebagai tanda persetujuan mereka. Kim Bum menautkan kelingkingnya tanpa rasa curiga sedikit pun. Yang ada di dalam benaknya adalah asal So Eun bahagia maka apa pun akan dia lakukan.
"Cepat ikut aku."
So Eun menarik Kim Bun untuk masuk ke kamarnya. Di dalam sana Ji Eun sudah menunggu dengan peralatan tempurnya. Perasaan Kim Bum mulai kacau, ada yang tidak beres dengan semua ini.
Kim Bum tidak tau apa yang akan terjadi dengan dirinya bebrapa jam ke depan. Dengan wajah bingung ia menatap So Eun yang tengah tersenyum lebar.
"Duduklah, kita mulai saja."
"Tunggu, apa maksudnya ini?" tanya Kim Bum panik.
"Sudah jangan banyak bertanya duduk saja," ujar Ji Eun.
So Eun mendorong Kim Bum untuk duduk di atas tempat tidurnya. Pria itu tidak bisa berkutik saat kedua perempuan beda usia itu mulai mendandaninya.
Kim Bum benci dengan make-up. Harga dirinya sebagai pria sejati yang tampan luar dalam kini tercoreng oleh blush on, eyeshadow dan kawan-kawannya. Apa yang dua makhluk ini lakukan pada Kim Bum.
"Jangan pakai yang itu. Lipstik pink saja," ujar Ji Eun.
"Tidak merah lebih bagus," sahut So Eun.
Kim Bum mengepalkan kedua tangannya mendengar perdebatan So Eun dan Nyonya Song. Mereka sekarang kompak. Ingin rasanya Kim Bum kabur saat ini juga. Entah sudah berapa lama proses make over ala So Eun dan Ji Eun yang jelas Kim Bum benar-benar jengkel.
"Sudah selesai!" pekik mereka bersamaan.
Kim Bum memejamkan erat kedua matanya, tidak sanggup menatap wajahnya sendiri.
"Kim Bum, buka matamu. Lihatlah di cermin kau terlihat cantik."
Kim Bum menggeleng. Ini memalukan, sebelum make-up itu dihapus dia tidak akan membuka matanya sedikit pun.
"Kalau tidak mau buka mata aku akan mengumpulkan pelayan di sini untuk melihatmu!" ancam So Eun.
"Jangan!" Seketika ia membuka mata.
Kim Bum membulatkan matanya saat melihat wajahnya sendiri pada cermin yang So Eun berikan. Benar-benar mengerikan, bahkan lebih mengerikan dari joker. Dengan kesal Kim Bum menghapus riasan wajahnya dengan tangan. Tidak peduli jika lipstik yang ia pakai menempel ke mana-mana.
Dia bukan anak kecil lagi, kalau dulu saat mereka masih kanak-kanak Kim Bum tidak pernah protes kala didandani oleh So Eun. Tapi tidak untuk sekarang.
Berbeda dengan Kim Bum yang kesal, So Eun dan neneknya tertawa puas melihat hasil karya mereka.
***
Jika ada orang yang bilang kalau seorang pria yang sedang masak itu terlihat sangat tampan maka So Eun sangat setuju. Beberapa saat lalu tanpa sengaja So Eun melihat Kim Bum sibuk di dapur. Entah kenapa Kim Bun terlihat mempesona di matanya saat pria itu memegang teflon.
Kalau boleh So Eun menyarankan pada Kim Bum lebih baik pria itu bekerja dengan teflon dan alat masak lainnya daripada duduk di depan laptop seharian yang membuatnya pusing.
Tanpa So Eun sadar sejak tadi para pelayannya berbaris di belakangnya. Penasaran apa yang diintip So Eun di dapur membuat para pelayan melongokkan kepala mereka.
"Jangan terpesona. Aku tahu aku ini tampan sampai kau mengintipku," celetuk Kim Bum.
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya So Eun. Ia keluar dari tempat persembunyiannya.
Kim Bum berbalik menatap So Eun sekilas. Pria itu tersenyum membuat lesung pipinya timbul. Kim Bum menghidangkan dua mangkuk mie ramen seafood di atas meja. Satu untuk So Eun dan satu lagi untuk dirinya.
"Aku sadar dari awal. Makanya aku buatkan satu untuk nona. Makanlah selagi hangat."
So Eun memicingkan matanya menatap ramen yang terlihat lezat terhidang di depannya. Tapi yang namanya So Eun akan selalu punya cara untuk membuat Kim Bum sengsara atau minimal cemberut.
"Tanganku sakit tidak bisa pegang sumpit. Bagaimana caranya makan?"
Kim Bum menghentikan acara makannya. Ia sudah menduga ini akan terjadi.
"Pakai sendok saja."
"Sama saja tidak bisa karena tanganku yang sakit bukan sumpitnya."
Kim Bum menghembuskan napas kesal, pada akhirnya ia tidak bisa mengabaikan So Eun. Kim Bum pindah tempat duduk ke sisi So Eun. Gadis itu berusaha mengulum senyumnya agar Kim Bum tidak curiga.
"Biar aku yang suapi. Puas?"
Dengan senyum merekah So Eun menerima suapan dari Kim Bum. Ramen rasanya lebih nikmat jika disuapi pikir So Eun. Mulutnya penuh dengan mie pedas itu.
"Aku mau udangnya," ujar So Eun. Kim Bum dengan sabar menyuapi gadis manja itu walau pun dia tahu sedang dikerjai. Entah sadar atau tidak So Eun minum air dalam gelas dengan tangannya tanpa mengeluh sakit.
"Sudah habis. Mau lagi?" tanya Kim Bum kesal.
"Tidak aku sudah kenyang." So Eun menepuk pelan perutnya. Kim Bum berdiri untuk membersihkan mangkuk yang So Eun gunakan.
Getaran ponsel mengalihkan perhatian So Eun dari Kim Bum. Ponsel pria itu bergetar di atas meja makan, sepertinya ada panggilan masuk. Dengan pelan So Eun meraih benda hitam itu dan membaca nama yang tertera pada layar.
"So Hee," gumam So Eun ketika membaca nama si penelepon.
Jadi mereka masih pacaran?
So Eun meletakkan kembali ponsel Kim Bun di atas meja. Tanpa banyak bicara ia pergi begitu saja dari dapur. Mendengar derit kursi yang kasar membuat Kim Bum menoleh. So Eun berlari keluar dari dapur tanpa bicara sepatah kata pun.
"Harusnya dia berterima kasih bukannya pergi setelah kenyang," ujar Kim Bum.
***
Hari libur bukan berarti benar-benar libur untuk Kim Bum banyak hal yang harus dia urus setelah kepergian Tuan Kim. Banyak jadwal meeting yang harus ia handel bersama sekertaris Kim yang untuk sementara waktu mengambil alih perusahaan sebelum rapat pemegang saham dilaksanakan.
Tok... tok... tok...
Pintu ruang kerjanya diketuk. Eomma Kim Bum masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Eomma, ada apa?"
"Nona So Eun pergi keluar, kau sudah tahu?"
"Mwo? Ke mana?" Kim Bum segera membereskan mejanya dari berkas-berkas yang ia kerjakan saat mendengar ucapan eomma-nya.
"Coba kau hubungi Pak Jang mungkin saja dia tahu. Harusnya di saat seperti ini kau lebih fokus pada Nona So Eun bukannya terus bekerja."
Ae Ri keluar dari ruangan Kim Bum. Dengan cepat Kim Bum menghubungi Pak Jang namun sayang ponsel pria itu tidak bisa dihubungi. Disambarnya kunci mobil dan jaket yang ada di kursinya. Dia harus segera menemukan So Eun.
Ponsel Kim Bum bergetar, sebuah pesan masuk dari Pak Jang. Kim Bum lega setidaknya So Eun aman di tempat yang Pak Jang kirimkan.
Sebuah cafe yang tidak terlalu jauh dari kediaman Kim. Dengan pelan Kim Bum mengendarai mobilnya untuk sampai di tempat itu. Cafe sederhana yang pernah mereka singgahi saat masih di sekolah dasar. So Eun sangat menyukai roti cream cheese garlic dari cafe ini.
Mata hitam Kim Bum meneliti setiap pengunjung cafe untuk mencari keberadaan So Eun. Beruntunglah So Eun berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu duduk sendiri dengan kepala menunduk.
"Di luar udara sangat dingin kenapa nona tidak memakai jaket?" Kim Bum duduk di depan So Eun membuat gadis itu memalingkan wajahnya.
"Aku tidak mau melihatmu, pergilah biar aku sendirian," usir So Eun. Bukannya pergi Kim Bum malah memesan kopi pada pelayan.
"Masih suka dengan garlic berad dengan keju?" tanya Kim Bum basa-basi.
So Eun mengacuhkannya membuat Kim Bum serba salah. Baru beberapa menit lalu mereka baik-baik saja tapi sekarang So Eun seperti menjauhinya.
"Apa sebenarnya salahku padamu? Katakan jangan buat aku menduga-duga," ujar Kim Bum. Ia sudah tidak tahan dengan sifat So Eun yang satu ini. Jika ada masalah So Eun akan diam atau bahkan menjauhi Kim Bum. Seperti sekarang ini.
"Aku tidak mau melihatmu. Aku bosan. Pergilah. "
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku yang akan pergi."
"Bagaimana kalau aku tidak mengizinkan?"
So Eun berdiri begitu juga dengan Kim Bum. Tatapan keduanya menajam seakan siap untuk berperang. Kim Bum tidak peduli jika mereka sedang menjadi tontonan banyak orang.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata So Eun pergi meninggalkan Kim Bum. Langkah kakinya terhentak keluar dari cafe. Kim Bum terus mengekori So Eun ke mana pun gadis itu pergi. So Eun berjalan dengan cepat tanpa arah dan tujuan yang jelas. Ia hanya ingin menghindari Kim Bum.
Namun keberuntungan tidak berpihak padanya. Saat So Eun berbelok ke sebuah gang tiba-tiba saja beberapa preman muncul membuat So Eun ketakutan. Kim Bum yang membuntutinya segera menarik So Eun untuk berlindung di belakang tubuh Kim Bum.
"Wah, kita dapat mangsa baru. Hei cantik lihatlah ke mari," goda pria-pria itu. Kim Bum manatap satu per satu dari mereka. Merasa kalah jumlah Kim Bum dan So Eun pun perlahan berjalan mundur.
"Nona So Eun pegangan yang erat," gumam Kim Bum menatap awas pada pria asing itu.
"Hitungan ke tiga kita akan lari."
"Satu...."
"Hahahaha kau pria yang penakut? Serahkan wanita itu maka kau bebas."
"Dua...."
Kim Bum menatap tajam pada mereka berlima. Ini duel yang tidak seimanng.
"Tiga!"
Kim Bum menarik tangan So Eun untuk segera berlari menjauh dari preman itu. Aksi kejar-kejaran tak bisa dihidari. Sesekali So Eun menoleh ke belakang berharap preman itu berhenti mengejar mereka. Kim Buk menarik So Eun ke sebuah gang dan bersembunyi di sebuah bangunan tua.
"Aku tidak bisa napas," bisik So Eun dengan napas naik turun.
"Nona baik-baik saja?" Keadaan Kim Bum pun tidak jauh berbeda dari So Eun .
"Kepalaku hanya sedikit pusing."
Tepat saat So Eun selesai bicara gadis itu pun pingsan. Kim Bum segera menangkap tubuhnya.
"Nona So Eun, sadarlah."
Dengan sisa tenaganya Kim Bum menggendong So Eun keluar dari tempat persembunyian. Ia harus bergerak cepat untuk menolong So Eun dan membawanya ke rumah sakit.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro