Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode IV

SETELAH Naruto memberitahu perihal apa yang Gaara lakukan, Shikamaru sama sekali tidak berbicara lagi. Dan Naruto paham, pemuda itu pasti cemas pada apa yang akan dilakukan Gaara selanjutnya.

"Kau benar-benar ingin turun di sini?" Akhirnya Shikamaru kembali bersuara ketika Naruto meminta agar dia tidak mengantar gadis itu sampai ke rumahnya.

Naruto mengangguk sembari menyamankan blazernya. Gadis itu sudah berganti pakaian menjadi seragam sekolahnya sendiri. Awalnya Shikamaru memang tidak setuju pada permintaan Naruto yang memintanya untuk berbalik badan karena gadis itu hendak mengganti pakaian. Tapi, Naruto bersikeras untuk melepaskan baju seragam milik Shikamaru dengan alasan bahwa ia tidak bisa pulang dengan kondisi seperti itu. Orang-orang di rumah pasti akan berpikiran negatif jika melihat ia memakai baju seragam pria.

"Memangnya rumahmu sudah dekat? Kau bilang rumahmu ada di Kompleks Samehadaku. Jika dari sini, masih memakan waktu sepuluh menit untuk sampai ke sana."

Naruto menarik secarik kertas. "Tidak apa-apa. Aku masih kuat untuk berjalan. Kumohon, biarkan aku turun di sini. Aku tidak mau ibu dan nenek melihatku diantar oleh seorang pria."

Shikamaru menghela napas kemudian mengangguk paham. "Baiklah jika itu maumu," sahutnya seraya membantu Naruto untuk turun dari mobil.

"Terima kasih. Maaf sudah merepotkanmu."

Membaca kalimat itu Shikamaru hanya menipiskan bibir dan tak sempat menjawab karena si gadis terburu-buru pergi dari sana meski dengan langkahnya yang tertatih.

🌻

Naruto menggigit bibir bawahnya dengan kuat hanya demi menahan rasa ngilu dan sakit pada bagian perut. Kedua kakinya berjalan terseok-seok.

Menelan ludah dengan kasar, Naruto sudah mempersiapkan fisik dan mentalnya untuk menghadapi sang ibu dan sang nenek yang sudah pasti akan menghukumnya karena ia pulang sangat terlambat.

"Nona, Anda baru pulang!?" Satpam yang biasa menjaga rumahnya, bertanya panik. "Kedua nyonya besar sangat menunggu Anda sejak tadi."

Mendengar itu Naruto hanya terdiam kemudian tersenyum getir. Ia sudah menduganya. Dan ketika dia sudah memasuki rumah, hal yang pertama kali menyambutnya adalah suasana yang begitu tenang. Hanya ada beberapa maid yang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Di antara mereka semua yang ada di sana, tak ada satu pun maid yang berani menyapa Naruto atau sekadar bertanya perihal kondisinya. Padahal, Naruto pulang dalam keadaan kacau. Penampilannya sangat berantakan. Baju seragam yang terkotori oleh noda darah serta rok seragam yang sedikit sobek itu seolah sama sekali tidak menarik rasa empati mereka.

Tapi, Naruto tidak mempermasalahkan akan ketidakpedulian mereka. Karena Naruto paham, mereka semua mengabaikannya bukan disebabkan oleh keinginan mereka sendiri, melainkan karena mereka takut pada Kushina dan Mito.

Ya, Naruto paham. Maka dari itu, Naruto sangat salut pada Kurenai yang begitu berani memberikan bantuan-bantuan kecil kepadanya di belakang Kushina dan Mito. Jika kedua nyonya besar itu tahu, entah apa yang akan terjadi pada Kurenai.

Di mana mereka ...?

Pandangan Naruto terus bergulir, memindai setiap ruangan demi mencari sosok sang ibu mau pun sang nenek. Namun, yang ditemukan oleh Naruto hanyalah para maid.

Apa mereka sudah tidur, ya ...?

Naruto menghela napas. Merasa sedikit bersyukur karena dia berpikir bahwa kedua wanita tersebut mungkin sudah terlelap, sehingga malam itu dia bisa langsung mengistirahatkan tubuhnya. Ya, meski hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa esok paginya dia akan tetap menerima hukuman karena sudah pulang terlambat. Tapi, setidaknya malam ini dia bisa tidur dengan tenang.

Namun, sayang sekali, harapan Naruto untuk bisa beristirahat dengan tenang di malam itu harus pupus seketika kala ia membuka pintu kamarnya dan menemukan Kushina tengah berdiri menghadap pada jendela, membelakangi dirinya.

Kaki Naruto mulai bergetar. Dia pikir, ketidakadaannya Kushina di ruang tengah dan ruang tamu adalah pertanda bagus yang membuat dia sempat berharap bisa tidur tenang malam itu. Tapi, ternyata kenyataannya tak sesederhana yang dia harapkan. Karena kini dia menemukan Kushina di dalam kamarnya, tengah berdiri dengan angkuh seolah wanita itu memang sudah sangat menunggu kedatangannya sejak tadi.

"Selamat datang kembali ...."

Suara Kushina memecah keheningan. Dia sedikit menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Naruto dengan netra violetnya yang berkilat tajam. Sedangkan bibir berlapis gincu merah itu mengeluarkan seringai pembunuh.

Tubuh Naruto semakin menegang. Dia hanya mematung di tempat dengan satu tangan yang masih menggenggam kenop pintu, sedangkan satu tangan lagi mencengkeram baju di bagian perutnya hanya untuk menahan rasa sakit.

"Akhirnya kau pulang juga." Kali ini Kushina membalikkan tubuh sepenuhnya, menghadap Naruto dan mulai mendekatinya. "Apakah hari ini tugasmu di sekolah sangat banyak sehingga kau pulang terlambat? Atau kau sempat lupa jalan menuju rumah ini?"

Naruto terdiam. Tak berniat menjawab sedikitpun. Karena dia tahu, Kushina tidak sedang benar-benar bertanya padanya.

"Aku sedang bertanya padamu." Suara Kushina menegas. Dia sedikit merendahkan kepalanya untuk menatap lurus pada Naruto yang mulai menundukkan wajah penuh rasa takut. "Kau tidak tuli 'kan!?"

Naruto meringis nyeri ketika Kushina menjambak rambutnya dengan kuat.

"JAWAB PERTANYAANKU, SIALAN!" Bentak Kushina saat Naruto masih saja terdiam dengan sorot mata yang begitu sayu. "APA YANG MEMBUATMU PULANG TERLAMBAT!?"

Karena mereka masih berdiri di ambang pintu kamar, teriakkan Kushina tentu saja menarik atensi para maid di sekitar. Terutama Kurenai yang baru saja keluar dari dapur.

"Apa yang sedang kalian perhatikan!?" hardik Mito yang juga baru keluar dari kamarnya dan mendapati para pembantunya sedang memperhatikan Kushina serta Naruto di lantai atas. "Itu bukan urusan kalian! Cepat, kembali bekerja!"

Semua maid menurut, terkecuali Kurenai. Wanita itu masih berdiri, menatap cemas pada Naruto yang tengah dijambak sebegitu kuat oleh Kushina.

"Jangan sesekali kau berniat untuk ikut campur dengan urusan anakku atau kau akan tahu akibatnya, Kurenai." Mito berucap penuh penekanan. "Kau tahu sendiri, bukan? Aku tidak pernah bermain-main dengan setiap ancamanku pada siapapun, tak terkecuali dirimu."

Kurenai yang bingung harus melakukan apa hanya bisa terdiam sebelum beranjak dari sana dengan air mata yang membendung.

Nona ... maafkan aku.

Kushina yang sudah tidak bisa menahan diri lebih lama lagi segera menarik masuk Naruto melalui jambakannya itu kemudian mengempaskan tubuh ringkih Naruto dengan kuat.

"Apa yang membuatmu pulang terlambat, huh!?" Kushina mengulang pertanyaannya yang belum sempat terjawab. Dia kembali menjambak rambut bagian belakang gadis itu hingga Naruto harus terpaksa mengdongak. "BUKANKAH KAU TAHU BAHWA AKU TIDAK PERNAH MENGIZINKANMU BERADA DI LUAR SELAIN DARI JAM SEKOLAHMU!?"

Suara Kushina yang selalu tiba-tiba meninggi dan berteriak di hadapannya membuat Naruto sesekali mengernyit karena intonasi tersebut benar-benar menusuk telinga.

Kali ini, Kushina menatap Naruto lebih lama, memperhatikan gadis itu lebih intens sampai pandangannya jatuh pada rok seragam Naruto yang sedikit terkoyak.

"Apa-apaan ini!?" Jambakan pada rambut Naruto terlepas. Kushina mulai menyentuh rok seragam sang anak yang tak layak lagi untuk dipakai.

"Kenapa seragammu bisa seperti ini!?" Netra violet Kushina bergulir, kembali menatap Naruto dengan pandangan yang lebih bengis dari sebelumnya.

Lagi-lagi, sebelum Naruto menjawab, Kushina sudah lebih dulu melancarkan siksaannya. "BOCAH BODOH! DI MANA OTAKMU SAMPAI KAU BERANI MERUSAK BAJU SERAGAM INI!?" teriak Kushina seraya menampar sebelah pipi Naruto dengan sangat kuat. "KAU PIKIR, DENGAN APA AKU BISA MEMBELINYA JIKA BUKAN DENGAN UANG?!" bentaknya lagi dengan tamparan yang lebih keras hingga sebelah pipi Naruto mulai tampak memar.

Tak banyak yang Naruto lakukan. Gadis itu hanya semakin menunduk ketakutan dengan bulir air mata yang mulai membendung. Dia selalu bingung akan sikap kasar Kushina padanya dari dulu hingga sekarang. Setiap kali dia melakukan kesalahan kecil, Kushina selalu menyiksanya tanpa ampun.

Dan yang membuat Naruto semakin sedih adalah kenyataan bahwa rok seragam itu bukan sengaja dirusak oleh dirinya, melainkan karena dia nyaris kehilangan kehormatannya sebagai seorang wanita karena pelecehan yang Gaara lakukan.

Tetapi, Naruto tidak bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada Kushina karena dia yakin sang ibu tidak akan percaya. Apalagi selama dia hidup bersama Kushina, ibunya itu tidak pernah sekali pun memperlakukannya seperti seorang anak. Maka dari itu Naruto lebih memilih memendamnya sendiri. Sebab, sang ibu sudah pasti tidak akan peduli.

Kushina menghela napas. Dia marah karena Naruto pulang terlambat bukan bersebab khawatir, tentu saja. Dia sama sekali tidak peduli jika Naruto akan mati di tengah jalan sekalipun. Yang dia cemaskan adalah kondisi tubuh Naruto yang penuh luka akan diketahui oleh banyak orang. Bisa gawat bila sampai orang-orang mengetahuinya, apalagi jika orang-orang tersebut adalah tetangga kompleksnya sendiri. Kushina tidak mau berurusan dengan polisi hanya karena menyiksa Naruto.

Bukan takut dipenjara, Kushina hanya takut nama baiknya tercoreng. Karena masalah dipenjara atau tidak, Kushina bisa dengan mudah menebus semua hukumannya menggunakan uang. Seperti yang dia lakukan pada pihak sekolah Naruto, dia menggunakan uang sebagai jaminan menguntungkan bagi mereka apabila mereka menuruti keinginannya. Yaitu; mengabaikan segala hal yang terjadi pada Naruto. Terutama jika melihat kondisi Naruto yang tidak fit atau bahkan penuh oleh luka. Kushina meminta tegas pada mereka agar benar-benar mengabaikannya. Maka dari itu, pihak sekolah pun tidak pernah acuh jika Naruto tengah dibully oleh murid-murid lain. Uang yang Kushina berikan telah berhasil membuat mereka benar-benar menutup mata dan telinganya pada apapun yang terjadi terhadap Naruto.

Dan sebenarnya Kushina tidak mau repot-repot menyekolahkan Naruto. Namun, lagi-lagi dia takut pada pemikiran warga kompleks. Dia takut mereka curiga bila dia membiarkan Naruto tetap di rumah tanpa beraktivitas seperti anak normal lainnya. Jadi, alasan Kushina menyekolahkan Naruto tak lain hanyalah sebagai formalitas supaya para tetangganya tidak berpikir aneh-aneh. Meski begitu, Kushina tetap tak membiarkan Naruto bergaul dengan siapapun. Naruto hanya boleh berada di luar rumah sesuai dengan jam sekolahnya saja.

Tubuh Kushina kembali berdiri tegak. Wanita itu berniat untuk segera pergi dari sana dan menikmati waktu bersama Kabuto di tempat yang sudah mereka tentukan, karena sebelumnya mereka memang telah berjanji untuk menghabiskan malam bersama.

Tetapi, sebelum Kushina beranjak, bahkan sebelum dia menggerakkan kakinya, perhatian Kushina segera teralihkan oleh kantung keresek berwarna putih yang nyaris keluar dari tas sekolah Naruto yang tergeletak di dekat kakinya.

Kushina kembali berbunguk demi meraih tas sang anak. Dan hal itu tentu saja membuat Naruto semakin ketakutan. Karena dia yakin Kushina pasti akan menemukan sesuatu di dalam tasnya; sebuah barang yang didapatnya dari rumah sakit bersama Shikamaru tadi.

"Apa-apaan kau!?" Kushina berseru tak terima kala Naruto merebut tasnya dengan cepat.

Naruto segera menyembunyikan tas tersebut di belakang tubuhnya. Sedangkan wajahnya terus menunduk, menghindari kontak mata dengan Kushina yang kembali menatapnya nyalang.

"Aku semakin tidak mengerti dengan tingkah bocah sialan ini." Gigi Kushina bergemeletuk murka. Ia berjongkok, lalu memaksa Naruto agar menatapnya dengan cara mencengkeram rahang si gadis. "Kenapa kau menyembunyikan tasmu dariku!?"

Naruto menggeleng. Satu tangannya berusaha bergerak tuk memberikan jawaban. "A-aku hanya malu jika Ibu melihat nilaiku yang jelek."

Kushina terdiam sejenak kemudian tertawa sinis. "Apa peduliku!? Kau tidak mendapat nilai pun itu bukan urusanku, bodoh!"

Alibi Naruto ternyata tidak berpengaruh untuk Kushina karena wanita itu memang tidak pernah peduli pada dirinya. Hingga akhirnya Naruto pun hanya bisa pasrah ketika Kushina merebut tasnya dengan cara yang lebih kasar.

Sepasang iris violet Kushina membola terkejut kala meraih keresek putih di dalam tas sang anak. Dan seketika itu juga kemurkaan Kushina semakin memuncak. Sedangkan Naruto yang ketakutan hanya bisa menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit agar menjauh dari sang ibu. Atmosfer di sekitar mereka benar-benar terasa semakin menegangkan.

Rahang Kushina mengetat. Dia melirik Naruto yang sudah berada di sudut kamar, di dekat kaki ranjang. "Berengsek!" umpatnya sembari berdiri dan mendekati sebuah nakas untuk meraih cemeti. "Kau sudah mulai berani menentangku ya, bocah sialan ...?" ujarnya seraya melirik Naruto yang tampak gemetar karena gadis itu tahu apa yang akan Kushina lakukan selanjutnya.

"Kenapa tubuhmu bergetar, hm?" Dalam posisi berdirinya, Kushina mencengkeram rahang Naruto agar gadis itu mendongak dan menatapnya. "Kau takut pada cemeti ini?"

Nada suara Kushina memang terdengar sangat tenang. Tapi, Naruto paham, bahwa itu bukanlah akhir dari kemurkaan sang ibu. Melainkan sebuah awal dari penyiksaan yang akan Kushina lakukan padanya.

Tangan Naruto tak ada yang bergerak untuk memberikan jawaban. Karena kedua tangannya masih setia mencengkeram baju bagian depannya sendiri untuk menahan rasa sakit akibat luka sayat yang sang ibu lakukan saat kemarin.

"Kau tidak perlu setakut ini." Sorot mata Kushina semakin terlihat penuh oleh rasa ingin membunuh. "Cemeti ini 'kan sudah menjadi sahabat baikmu sejak dulu. Dan sekarang, kau pasti sangat merindukannya, ya?"

Naruto menggeleng dengan wajah yang sudah pucat pasi.

"Oh ...? Kau tidak merindukannya?" Kushina mendekatkan bibir pada telinga Naruto, kemudian berbisik penuh penekanan dalam setiap katanya, "Kalau begitu, mengapa kau berani menentangku jika kau tidak ingin cemeti ini menyentuh kulitmu?"

Naruto hanya terdiam. Dia bukan tidak paham dengan ucapan sang ibu. Dia hanya tidak bisa menjawabnya. Tak ada jawaban yang harus dia berikan. Sebab, dia tahu, apa yang telah dilakukannya memang salah. Tidak seharusnya dia pergi ke rumah sakit.

Tanpa menunggu apapun lagi, Kushina segera melepas paksa kemeja seragam yang dikenakan sang anak hingga dia bisa melihat luka yang disebabkan oleh sayatan pisaunya saat kemarin ternyata sudah dibalut oleh sebuah perban baru yang tentunya sangat bersih. Dan Kushina tahu betul, itu bukanlah perban yang ada di rumahnya. Itu jelas perban khusus dari rumah sakit.

Amarah Kushina semakin terlihat jelas melalui raut wajahnya yang begitu bengis. Wanita itu meraih keresek putih berisikan obat-obatan yang tadi ditemukannya dalam tas sang anak. "Kenapa kau bisa mendapatkan ini?" tanyanya, menunjukkan benda tersebut di hadapan wajah Naruto. "KENAPA!?" Suara Kushina meninggi seraya mengangkat tinggi-tinggi cemeti yang berada dalam genggaman tangan lain, sebelum akhirnya cemeti tersebut kembali melukiskan sebuah luka baru di tubuh si gadis.

Naruto hanya bisa menjerit tanpa suara ketika rasa sakit menjalari tubuhnya akibat cambukkan yang Kushina berikan. Setitik embun hangat pun mulai tergenang di pelupuk matanya.

"APA AKU PERNAH MENGIZINKANMU UNTUK PERGI KE RUMAH SAKIT DAN MENGOBATI SEMUA LUKA DI TUBUHMU!?"

Cambukkan dari cemeti itu semakin lama semakin beringas. Kushina terus memecut tubuh sang anak tanpa ampun. Ketika cairan merah kental keluar dari setiap luka yang baru saja dibuatnya pun, Kushina sama sekali tidak peduli. Karena sejak dulu, memang beginilah Kushina memperlakukan anak semata wayangnya.

Tidak ada celah untuk berharap bahwa Kushina akan berhenti dari kegilaannya ini sebelum dia sendiri merasa puas. Terlebih, kesalahan Naruto kali ini sangat fatal bagi Kushina. Sebab, gadis itu sudah pergi ke rumah sakit dan mengobati luka di tubuhnya. Padahal, Kushina selalu melarangnya. Dia tidak mau Naruto melakukan perawatan intensif, apalagi bila sampai sembuh. Tidak. Kushina bensr-benar tidak suka. Dia lebih senang melihat Naruto yang terus kesakitan di setiap harinya. Maka dari itu, dalam hari-harinya Kushina selalu meluangkan waktu untuk melukiskan luka baru pada tubuh sang anak agar anak semata wayangnya itu tidak pernah lepas dari rasa sakit dan penderitaan.

"JAWAB!" Suara cemeti yang mencambuk tubuh ringkih Naruto terdengar begitu jelas di dalam kamar yang hening itu. Dan siapa saja yang mendengarnya pasti akan mengernyit ngeri. "APA PERNAH AKU MENGIZINKANMU!?"

Napas Naruto memburu akibat menahan sakit dan perih yang semakin menggerogoti tubuhnya. Dan kini, ia pun hanya bisa terlentang, pasrah pada setiap cambukkan yang sang ibu berikan.

Kedua tangan Naruto bergerak dengan susah payah demi memberikan jawaban pada Kushina, "Tidak pernah."

Alih-alih berhenti, Kushina malah semakin brutal. Bahkan, dia dengan sengaja mencambuk perut sang anak yang sebelumnya sudah terluka karena sayatan. "LALU MENGAPA KAU BERANI-BERANINYA MENGOBATI LUKA INI KE RUMAH SAKIT!?"

Raut wajah Naruto menyiratkan rasa sakit yang begitu luar biasa. Keringat dan air mata sudah bercampur menjadi satu. Setiap kali Kushina menyiksanya, dia memang tidak pernah melalukan perlawanan. Biasanya yang bisa dia lakukan hanyalah melindungi diri menggunakan kedua tangan agar tubuhnya tidak terlalu menerima banyak luka.

Akan tetapi, kali ini, Naruto hanya bisa menggunakan satu tangannya untuk menutupi perutnya supaya tidak terkena cambukkan dari cemeti yang terus-menerus sang ibu lecutkan. Sedangkan satu tangan lagi hanya terkapar lemas di samping badan. Sungguh, dia benar-benar sudah tidak ada tenaga untuk melakukan banyak pergerakkan. Seluruh rasa sakit itu seolah menguras habis tenaganya.

Tiba-tiba saja Kushina menghentikan lecutannya kala teringat akan sesuatu. Ia menatap Naruto yang terkapar tak berdaya di dekat kakinya. "Jangan-jangan, Kurenai yang membawamu ke rumah sakit, ya?" tanyanya sembari menendang lengan sang anak kala Naruto nyaris memejamkan mata. "Jawab aku, sialan! Kurenai 'kan yang membawamu ke rumah sakit!?"

Kushina bisa menduga seperti itu karena sebelumnya memang Kurenai lah yang berniat membawa Naruto melakukan perawatan di rumah sakit. Tetapi, saat itu --seperti biasanya-- Kushina tidak pernah mengizinkan Naruto melakukan perawatan intensif.

Mendengar nama maid berhati malaikat yang selalu menolongnya, tentu saja Naruto tidak bisa hanya berdiam diri. Dia menggeleng tegas, "Bukan! Kurenai-san tidak ada kaitannya dengan ini! Kumohon, jangan hukum dia!"

Kushina menatapnya ragu. "Kau pikir aku bodoh? Memang manusia dungu mana lagi yang mau-maunya membawamu ke rumah sakit jika bukan pembantu sialan itu!?"

Walau terasa rasa sakit, Naruto tetap berusaha menggerakkan kedua tangannya, "Temanku! Temanku yang menolongku!"

Sudut bibir Kushina sedikit terangkat. "Teman? Manusia cacat sepertimu memiliki teman?"

Naruto bergeming dengan kedua manik safir yang kembali diselimuti air mata. Kali ini dia bukan menangis karena rasa sakit di tubuhnya. Tapi, karena rasa sakit pada hatinya. Dia tahu, dia sadar bahwa dirinya memang cacat karena tidak bisa berbicara seperti manusia normal lainnya. Akan tetapi, mendengar sang ibu yang mengatakan hal itu membuat hati Naruto begitu tersayat-sayat. Padahal, ini bukan kali pertama Kushina mengatainya 'manusia cacat'. Tapi, tetap saja hati Naruto selalu terluka setiap kali mendengarnya.

Kushina mendengkus penuh cemooh. "Kenapa dia mau-maunya menolong manusia sepertimu? Apa dia bodoh? Atau idiot?"

Lagi, hati Naruto kembali terluka mendengarnya. Dia tidak paham, mengapa ibunya ini malah menganggap bodoh orang yang menolong dirinya. Apakah dia memang seburuk itu sehingga tidak ada manusia yang pantas untuk memiliki rasa empati padanya? Kenapa? Naruto benar-benar tidak mengerti. Mengapa ibunya itu selalu melihat dia seperti sesuatu yang menjijikkan?

Sepasang safir Naruto tampak terbelalak kala melihat Kushina yang mengeluarkan semua obat dari bungkusnya masing-masing kemudian menaburkannya secara asal di atas lantai. "Tidak!"

Tentu saja Naruto panik. Obat itu hasil dari pertolongan Shikamaru yang sudah susah payah membawanya ke rumah sakit dan Naruto harus mengkonsumsinya agar luka ditubuhnya bisa lekas sembuh.

Dengan tubuh penuh luka cambuk, Naruto bangkit dari posisinya yang semula berbaring. Dia mulai merangkak untuk mendekati obat-obatan tersebut, berniat untuk mengambilnya dan memasukkannya kembali ke dalam bungkus. Namun, sebelum hal itu terjadi, bahkan sebelum lengannya sempat bergerak meraih, Kushina sudah lebih dulu menginjak semuanya. Hingga seluruh obat yang semula berbentuk tablet dan kapsul itu telah berubah bentuk menjadi kepingan-kepingan sangat kecil, bahkan ada yang nyaris menjadi serbuk.

Naruto terdiam. Sedangkan Kushina hanya tersenyum puas.

"Jangan harap aku akan membiarkanmu meminumnya." Kushina melempar asal cemeti yang tadi digunakannya untuk melecut sang anak. Dan benda yang menjadi saksi bisu atas kebengisan Kushina itu terjatuh tepat di samping tubuh Naruto. "Tidak akan ada obat apapun untukmu. Kau akan tetap seperti itu dan mati membusuk karena luka-luka tersebut!"

Air mata Naruto telah terbendung penuh dan nyaris pecah. Tetapi, gadis itu tahan sebisa mungkin. Dia hanya menatap nanar pada Kushina yang hendak beranjak dari sana.

Kushina tersentak kaget ketika merasakan sebuah cengkeraman lemah pada pergelangan kakinya. Ia berbalik, menatap sang pelaku yang masih merangkak di atas lantai sana. "Berengsek! Lepaskan tangan kotormu itu!" sungutnya seraya menendang kuat lengan Naruto hingga gadis itu pun terjatuh dan kembali terbaring tak berdaya. "Apa yang ingin kau lakukan padaku, bodoh!?"

Sejujurnya Naruto tidak ingin melakukan apapun pada sang ibu. Dia hanya sengaja menahan langkah Kushina karena dia ingin bertanya kepada wanita itu.

"Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ibu." Pandangan Naruto semakin buram karena air mata yang semakin membendung dan siap menuruni lekuk pipinya kapan saja. Ia menatap Kushina dengan pandangan yang begitu terluka. "Sebenarnya bagimu aku ini apa?"

Tersirat banyak makna dalam pertanyaan tanpa suara yang Naruto berikan kepada Kushina. Dia bertanya seperti itu karena dia sudah tidak paham lagi dengan sikap Kushina yang selalu memperlakukannya dengan sangat sadis. Padahal, yang Naruto tahu, seorang ibu biasanya akan selalu bersikap lemah lembut kepada anaknya. Juga takkan membiarkan siapapun melukai anaknya. Bukan seperti Kushina yang malah melukai buah hatinya dengan kedua tangannya sendiri. Maka dari itu, Naruto ingin tahu, dianggap sebagai apakah dirinya itu oleh Kushina sehingga Kushina tak pernah ragu dalam menganiayanya dan juga selalu menatapnya penuh rasa jijik.

Kedua tangan Kushina terkepal kuat. Hatinya sama sekali tidak terenyuh oleh pertanyaan yang sang anak berikan. Justru, Kushina malah merasa semakin ingin mengenyahkan Naruto saat itu juga.

"Bagiku kau itu apa ...?" Kushina mengulang pertanyaan sang anak dengan suara rendah yang sarat akan amarah dan dendam. Tatapannya pada Naruto sangat penuh oleh perasaan benci yang begitu mendalam. Apalagi warna rambut Naruto serta netra birunya sangat mengingatkan dia kepada Minato. Sehingga dia begitu muak jika melihat fisik sang anak. "Apa kau tahu benalu? Bagiku, kau adalah itu! Kau benalu terbesar dalam hidupku!"

Setelah mengucapkan itu, Kushina segera beranjak dari sana tanpa sedikitpun menolehkan kembali pandangannya kepada sang anak yang kini telah memejamkan mata diiringi tetesan-tetesan hangat dari muara kristal yang dibendungnya sejak tadi.

Benalu, ya ...?

Pantas saja kau memperlakukanku seperti ini jika bagimu aku adalah benalu.

Lalu, apa Nenek Mito juga menganggapku demikian ...?


-----------------------------
Bersambung ...
-----------------------------

Kira-kira seperti ini kondisi tubuh Naru:

Harusnya sih lebih parah, eh #plak

Source Pic : Pinterest

---------------------------------------

ᮊᮧᮒᮘᮔ᮪ᮓᮥᮀ | Flower City,
24 / Oktober / 2020 ### lama bangeeet jarak updatenya, wkwkwk T_T

With Love,
Hana Dwinov

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro