Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode I

PERASAAN tak nyaman mulai menyelimuti hati Kushina saat Kabuto menghubunginya agar mereka bertemu di sebuah kafeteria yang berdekatan dengan kantor pria itu.

Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan, Kushina berjalan anggun memasuki kafe dengan netra violet yang bergulir—mencari sesosok pria berkaca mata dengan surai putih yang terikat rapi. "Kabuto," panggilnya dengan suara selembut mungkin. "Maaf membuatmu menunggu lama."

Kabuto terdiam beberapa detik sebelum mempersilakan Kushina untuk duduk. "Apa aku mengganggu waktumu?"

"Tentu tidak." Kushina melempar senyuman manis. "Aku bukan orang sibuk seperti kekasihku," guraunya yang menuai senyuman tipis Kabuto.

Tak ingin berbasa-basi lebih lama, Kabuto segera memberi pertanyaan yang membuat Kushina gelisah. "Apa benar gadis yang kemarin kutemui di rumahmu itu adalah anakmu?"

Di tengah kegelisahannya karena takut Kabuto percaya bahwa Naruto adalah anaknya, Kushina tertawa kering, tawa yang ia harapkan bisa meminimalisir rasa gugupnya. "Sayang, apa kau menganggap apa yang bocah itu tulis kemarin adalah hal serius?" Satu tangan Kushina meraih jemari Kabuto, menggenggamnya penuh keyakinan. "Dia keponakanku. Sudah kubilang, bukan? Aku tidak pernah menikah apalagi memiliki seorang anak. Karena dia telah tinggal lama bersama aku dan ibuku, dia jadi menganggapku sebagai ibu kandungnya. Kau paham?"

Mendengar penjelasan Kushina, Kabuto menghela napas penuh kelegaan. "Syukurlah. Kupikir kau bohong padaku," ujarnya. "Lagi pula, kalau pun kau memang memiliki anak, tidak mungkin 'kan kau memiliki anak cacat seperti keponakanmu itu?" Kabuto memberikan senyuman miring.

"Kau benar, Sayang." Kushina balas tersenyum seraya meraih satu tangan Kabuto, menggenggamnya lembut. "Jadi, sekarang kau tidak perlu mempermasalahkan tentang dia, oke?"

Kabuto mengangguk, "Aku senang mengetahui kebenarannya. Karena ..., hampir saja aku memilih untuk meninggalkanmu. Sejak awal 'kan aku sudah berkata padamu; aku tidak mau menikah dengan wanita yang sudah memiliki anak,"

Deg!

Inilah yang Kushina takutkan saat kemarin. Kabuto pasti akan mengakhiri hubungan mereka jika pria itu percaya bahwa Naruto adalah anaknya.

Bocah sialan! geram Kushina dalam hati mengingat kemarin Naruto tak sengaja menemui Kabuto di ruang tamu kemudian bercakap dengan pria itu melalui kertas dan pena. Saat itu Kabuto bertanya kepadanya tentang siapa dia sebenarnya dan Naruto menjawab dengan jujur seolah lupa amanah Kushina untuk mengaku kepada orang lain bahwa ia adalah keponakannya.

"Tapi, sekarang semuanya sudah jelas, bukan?" Kushina bangkit, berjalan mendekati Kabuto dan berdiri di samping pria itu yang masih terduduk. "Aku tidak mungkin membohongimu," bisiknya yang kemudian disusul dengan kecupan ringan pada sebelah pipi Kabuto.

Elusan lembut Kabuto berikan pada puncak kepala Kushina. "Ya, aku percaya padamu," ucapnya sembari melirik arloji. "Sebentar lagi waktu istirahatku selesai. Apa kau mau memesan minuman kesukaanmu?"

Kushina terdiam sebentar sebelum mengangguk dan meminta Kabuto agar memesankan segelas capuccino untuknya.

🌻

Naruto tak pernah menghiraukan tatapan-tatapan jijik mau pun sinis yang selalu teman-temannya berikan. Bahkan, jika mereka mulai menggosipkan dirinya di depan matanya pun Naruto tak pernah peduli.

"Si bisu datang! Si bisu datang!" Beberapa siswi terdengar memekik girang saat melihat Naruto berjalan memasuki kantin. Naruto paham apa yang membuat sisiwi-siswi tersebut kegirangan, semua itu karena mereka bisa mengolok-olok Naruto seperti biasanya.

"Wah, mau apa si Bisu ke sini? Udara di kantin jadi kotor karena kedatangannya," ucap salah seorang siswi yang berdiri beberapa meter di sebelah Naruto.

"Hey, mau apa kau ke sini? Mencari sisa makanan?" Suara siswi lain ikut menimpali, dan sukses mengundang tawa murid lain yang mendengarnya.

Naruto yang terdiam seolah tak terganggu oleh apa yang mereka lakukan membuat kedua siswi tersebut geram. Hingga salah satu dari mereka kembali bersuara, melempar kalimat yang membuat semua orang lagi-lagi mentertawakan Naruto. "Guys, apa dia sengaja tidak mendengarkanku atau ..., kini kecacatannya bertambah? Sepertinya dia mulai tuli,"

Meski Naruto mencoba tak peduli, tetapi hati kecilnya terkadang menjerit ingin menangis.

Apa manusia yang memiliki kekurangan sepertiku memang harus diperlakukan seperti ini?

Tak ingin terbawa oleh suasana hatinya, Naruto segera menghampiri etalase roti yang ada di sana. Beruntung sang penjaga selalu menyapa setiap murid dengan ramah, tak terkecuali kepada Naruto.

"Jangan hiraukan mereka," Penjaga itu berbisik sembari mengambil roti yang ditunjuk oleh Naruto. "Kau kuat! Aku percaya itu," Tiba-tiba saja ia terdiam saat Naruto memberikan uang recehan untuk membayar roti tersebut. "Ambil saja dan simpan kembali uangmu,"

Naruto tersenyum tipis. Walaupun Naruto tahu bahwa penjaga kantin itu tak mungkin paham dengan apa yang akan dilakukannya tapi Naruto tetap melakukan gerakan kecil menggunakan tangannya.

"Terima kasih!"

Sang penjaga hanya tersenyum hingga tatapannya menyendu ketika Naruto meninggalkan tempat itu dengan langkah tertatih. "Anak yang malang. Dia selalu menjadi korban bully mereka,"

Murid-murid di kantin yang tadi mengolok-olok bukanlah satu-satunya kelompok yang biasa membully dirinya. Hampir sebagian besar murid perempuan di sekolah itu sangat senang mengganggu Naruto.

Seperti sekarang ini, seorang siswi yang memiliki gelar 'barbie' karena kecantikannya tiba-tiba saja menghadang Naruto. Naruto tak perlu terkejut, ia sudah terbiasa dengan semua ini. Karena di sekolahnya, ke mana pun dirinya beranjak, ia takkan pernah aman.

"Tidak biasanya kau membeli makanan di kantin," Siswi itu memandang Naruto penuh tatapan mengintimidasi. "Jangan-jangan kau mencuri, ya?"

Naruto menggeleng. "Aku tidak mencuri! Roti ini diberikan sendiri oleh penjaganya!"

"Hey, hey," Seorang siswi lain yang tak kalah cantik menghampiri Naruto. "Kau pikir, Ino akan paham dengan bahasa isyarat yang kau lakukan?"

Ino si pemilik gelar 'barbie' hanya mendengkus geli. "Mungkin dia pikir aku sama-sama cacat seperti dia,"

Mendengar itu Naruto hanya menundukkan pandangan, tak berniat untuk melawan atau pun membantah segala ucapan yang mereka lontarkan lagi.

Baru saja Naruto hendak melangkah untuk meninggalkan mereka, gadis itu dikejutkan oleh Ino yang tiba-tiba merebut rotinya.

"Bukankah kau biasa memakan sampah?" ujar Ino sembari menatap Naruto yang memandangnya penuh permohonan agar roti tersebut dikembalikan. "Kenapa sekarang kau hendak memakan roti higienis seperti ini?"

Murid lain yang melihat itu hanya menahan tawa, tak sabar menanti apa yang akan Ino lakukan.

"Kau belajar hidup sehat?"

"...."

"Baiklah, ku kembalikan," Saat tangan Naruto hendak menerima roti tersebut, Ino justru menjatuhkannya ke atas lantai. "Ops! Maaf, aku tidak sengaja," ujarnya penuh kepuasan karena lagi-lagi ia dan teman-temannya berhasil mengusik gadis itu.

Belum sempat Naruto berhasil meraih  rotinya, sepasang kaki dengan cepat menginjak roti tersebut.

"Ya ampun! Maaf, aku juga tidak sengaja,"

"Sialan," Ino mengulum senyum melihat perlakuan temannya terhadap Naruto. "Jahat sekali kau, Shion," Nada bicara dan mimik wajah Ino sungguh tak sesuai dengan ucapannya.

"Jahat?" Shion menyahut kemudian merendahkan tubuhnya untuk menatap Naruto yang tengah bersimpuh. "Ino bilang aku jahat. Apa benar?" tanyanya penuh canda.

Naruto hanya diam dengan mata yang mulai memanas. Gadis itu sekuat tenaga menahan air matanya untuk tidak jatuh di hadapan mereka.

Tanpa diketahui siapa pun, beberapa meter di hadapan mereka, ada seorang murid laki-laki yang memperhatikan semuanya. Pria itu berdengkus disertai raut wajah malas. "Dasar lemah," gumamnya seraya berlalu.

"Ah, aku lupa, kau 'kan bisu," Shion menahan tawa, "Mana mungkin kau bisa menjawab pertanyaanku,"

Ino melipat kedua tangannya dengan angkuh, netra birunya tak lepas dari Shion yang seperti belum puas untuk membully gadis tunawicara itu.

"Tapi, aku tidak jahat 'kan? Aku hanya tidak sengaja menginjak rotimu," Shion kembali menegakkan tubuhnya, menatap Naruto penuh cemooh. "Lagi pula, kau memang terbiasa memakan makanan kotor, bukan? Jadi, aku dan Ino tidak perlu mengganti rotimu," ujarnya seraya berlalu.

Cukup lama Naruto terdiam hingga mereka menghilang di balik tikungan koridor. Meskipun begitu, bukan berarti ia telah lepas dari segala kejahatan teman-temannya. Sebagian murid lain masih ada yang mentertawakannya dan berbincang dengan kalimat-kalimat yang menyakiti hati Naruto.

"Tch, aku heran, kenapa orang cacat seperti dia harus sekolah di sini!?"

"Apa ibunya orang kaya?"

"Dari gosip yang kudengar, katanya wanita yang pernah mengantar dia ke sini itu bukan ibunya. Wanita itu adalah bibinya. Sedangkan orang tua aslinya sudah meninggal,"

"Oh, ya ampun ..., kasihan sekali wanita itu, dia pasti kerepotan harus mengurus keponakan yang cacat. Iya, 'kan?"

Tawa mengejek kembali terdengar.

"Benar. Kalau wanita itu ibuku, aku akan menyuruhnya untuk membuang dia. Karena aku sih tidak sudi harus satu rumah dengan manusia cacat. Menyusahkan saja,"

Menghela napas adalah hal yang pertama kali Naruto lakukan sebelum meraih roti tersebut dan berjalan menuju atap sekolah tanpa memedulikan percakapan mereka yang menorehkan luka baru pada hatinya.

Atap sekolah adalah sebuah tempat yang biasa Naruto pakai untuk menghindari iblis-iblis wanita di bawah sana. Setelah memastikan bahwa tidak ada siapapun, Naruto memilih untuk duduk di pojok dekat pagar. Tatapan Naruto begitu sendu ketika melihat roti yang semula terlihat lezat kini tak berbentuk dengan isian yang sedikit keluar.

Aku lapar, tapi roti ini sudah kotor.

Tak ingin menambah penyakit ke dalam tubuhnya, Naruto melempar roti tersebut ke arah yang berlawanan, membuangnya secara asal.

"Ugh," Sebuah gumaman samar dari suara seorang pria membuat Naruto terkejut bukan main. "Sialan, siapa yang melempar sampah kepadaku!?" Suara pria itu terdengar sangat kesal hingga membuat Naruto panik mendengarnya.

Siapa dia? Padahal aku yakin bahwa hanya ada aku di atap ini!

Naruto semakin panik saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dengan cepat Naruto bergerak menuju pintu untuk turun dari sana sebelum pria tersebut menemukannya. Namun ...

"Eits! Mau ke mana kau?" Sebuah tangan menahan hoodie  jaketnya dari arah belakang, membuat Naruto terpaksa menghentikan langkahnya.

Bukan hanya Naruto yang terkejut, tapi pria itu pun sama-sama membelalakkan mata ketika Naruto berbalik, menatapnya.

"Kau!?" Pria itu melepas pegangannya, membiarkan Naruto kembali berdiri tegak. "Sedang apa kau di sini? Apa kau yang melempar roti itu kepadaku?"

Kaki Naruto bergetar, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya saat mengetahui siapa yang sedang berhadapan dengannya. Rambut hitam yang dikucir asal, alis hitam yang menukik tajam, tubuh jangkung dengan bisep otot pas namun cukup membuat Naruto meremang dibuatnya, karena Naruto yakin jika satu tangan pria itu menamparnya entah luka seperti apa yang akan ia dapatkan. Naruto tahu bagaimana bengisnya pria itu. Dia terkenal kejam jika menyiksa seseorang yang membuat masalah dengannya.

Sebisa mungkin Naruto menggerakkan tangannya untuk menjawab. "Aku tidak tahu di sana ada kau. Aku benar-benar minta ma—"

"Aku tidak mengerti," ujar si pria, membuat Naruto berhenti menggerakkan tangannya.

Naruto yang panik bersebab takut akan kemarahan pria itu segera mengeluarkan sebuah buku saku yang biasa ia bawa untuk membantunya berinteraksi dengan orang lain.

Dengan tangan gemetar Naruto menulis beberapa kalimat kemudian memberikan buku tersebut kepada si pria.

"Aku tidak tahu jika di sana ada kau. Aku benar-benar minta maaf. Yang tadi itu sungguh tidak sengaja," Murid pria yang sangat Naruto takuti itu membaca tulisan yang Naruto berikan dengan suara khasnya yang parau. "Jadi, sedang apa kau di sini?" tanyanya, lagi.

Naruto kembali menulis. Merobek bagian kertas yang dipakainya sebelum memberikannya kepada pria itu.

"Aku memang biasa diam di sini jika waktu istirahat."

Setelah menerima jawaban kedua, pria itu menatap Naruto dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kenapa kau selalu memakai jaket? Kau sakit?" Saat pria itu mengangkat satu tangannya, Naruto memejamkan mata karena mengira bahwa si pria akan memukul atau menamparnya. Namun, alih-alih penyiksaan yang terjadi, Naruto justru dikejutkan oleh elusan lembut yang pria itu lakukan ketika menyentuh pipinya. "Wajahmu juga banyak luka lebam. Apa teman-teman di sini melakukan kekerasan padamu?"

Naruto menggeleng tetapi kali ini tidak menulis apapun. Gadis itu menundukkan pandangan, tak berani untuk menatap sang pria lebih lama lagi.

"Kembalilah ke kelasmu," titahnya yang segera Naruto turuti.

Dia tidak memukulku?

Saat Naruto baru membuka pintu di sana, sebuah suara yang berasal dari perutnya membuat wajah gadis itu memanas.

"Hey, itu memalukan," Sang pria berujar sarkas, membuat Naruto semakin malu dibuatnya. "Ikut aku," ajaknya.

"...." Naruto bergeming di tempat. Tatapannya seolah bertanya: Kenapa aku harus ikut padamu?

Alih-alih memberi penjelasan, pria itu justru menarik tangan Naruto agar segera mengikuti langkahnya. Naruto hanya meringis karena cengkeraman pria tersebut tepat mengenai luka di tangannya.

"Makan ini," Sebuah kotak nasi berisikan sushi diberikan kepada Naruto. "Kenapa diam? Kau lapar, bukan?"

"...."

"Cepat makan sebelum waktu istirahatnya selesai," Melihat Naruto yang masih terdiam, si pria berdecak kesal. "Tidak ada racun di dalam makanan ini jika itu yang kau takutkan! Sushi itu dibuatkan oleh ibuku, tapi aku sedang tidak mau memakannya,"

Naruto hanya menjawabnya dengan selembar kertas. "Kenapa kau memberiku makanan? Kenapa kau tidak memukulku karena aku sudah melempar roti padamu?"

"Apa kau pikir aku sepayah itu?"

"...."

"Kau seorang wanita. Apa pantas bagiku untuk melawanmu?"

Keheningan mulai menyelimuti mereka. Naruto terdiam, kepalanya menunduk sedang satu tangannya bergerak untuk menulis sesuatu.

"Siapa namamu?"

Pria itu diam sebentar, menatap Naruto dengan lekat seolah-olah tak percaya bahwa gadis di sampingnya ini tak mengetahui namanya. "Nara Shikamaru," jawabnya kemudian. "Padahal aku cukup populer, kupikir kau sudah tahu namaku," ujarnya penuh percaya diri.

Apa yang diucapkan Shikamaru memang benar, pria itu cukup populer di sekolahnya terutama di kalangan wanita. Mungkin baginya terasa aneh jika ada wanita yang tidak tahu siapa dia.

"Aku tahu kau populer. Aku hanya tidak tahu namamu saja. Orang-orang di sini memanggilmu dengan sebutan yang berbeda-beda, hingga aku tidak tahu siapa namamu sebenarnya."

Sudut bibir Shikamaru sedikit terangkat kala membaca apa yang Naruto tulis. "Namamu Naruto 'kan?"

"Bagaimana kau tahu namaku? Aku 'kan tidak populer."

"Teman-temanku sering membicarakanmu," Shikamaru lagi-lagi menatap sang gadis yang sejak tadi terus menundukkan pandangannya. "Kenapa kau tidak pernah melawan?"

"Apa maksudmu?"

"Ino, Shion dan murid wanita yang lain sering mengganggumu, bukan? Kenapa kau diam saja?"

"Memang apa yang harus kulakukan?"

"Tidak bisa bicara bukan berarti kau tidak bisa menghajar mereka,"

"Maaf, apa kau sedang menghinaku? Kau pikir, manusia sepertiku bisa apa?"

"Bukan begitu. Aku hanya gemas setiap kali melihatmu yang selalu diam ketika teman-teman wanitaku mengganggumu. Setidaknya lawanlah mereka walaupun sedikit,"

Cukup lama Naruto terdiam sebelum gadis itu memutuskan untuk menulis sesuatu yang membuat Shikamaru tertohok telak saat membacanya.

"Aku tidak tahu, apa ucapanmu itu menunjukkan bahwa kau peduli padaku atau hanya sekadar kasihan. Tapi, jika memang kau tahu bahwa aku tidak bisa melawan apa yang temanmu lakukan terhadapku, kenapa bukan kau yang melakukannya?

Kau bilang, kau tak sepayah itu untuk menyakiti seorang wanita. Apakah menurutmu, melihat dan membiarkan orang lain tersiksa di hadapanmu membuatmu terlihat seperti seorang kesatria? Itu bahkan lebih buruk dari pada kau memukulku."

Jemari Shikamaru mencengkeram kertas tersebut dengan kuat, bahkan tangannya sedikit bergetar setelah membaca rentetan kalimat yang Naruto tulis. Apa yang Naruto ungkapkan melalui pena dan kertas itu sungguh menampar kesadaran dalam hatinya.

Naruto yang baru sadar bahwa ia sudah lancang lantas merebut kertas itu kembali. Membuat tulisan baru dengan tangan gemetar.

"Maaf."

Adalah kata terakhir yang Naruto tulis karena gadis itu segera bangkit berdiri, meninggalkan Shikamaru yang bergeming, menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu.

-----------------------------
Bersambung ...
-----------------------------
Author's Note :
Sudah lama aku nggak berkutat dengan diksi-diksi cerita, terutama fanfic. Ini kali pertama aku menulis lagi setelah cerita-cerita lamaku kutarik dari peredaran. Jadi, aku minta maaf kalau bahasanya masih berantakan dan penulisannya masih kurang rapi. You know, otakku masih kaku.

Terima kasih untuk yang bersedia membaca cerita ini. Sampai jumpa di Episode II.
-----------------------------------
ᮊᮧᮒᮘᮔ᮪ᮓᮥᮀ | Flower City,
17 / Maret / 2020

With Love,
Hana Dwinov

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro