PART 4
"Bagaimana hari ini, Sayang? Menyenangkan?" tanya Axelle—ayah Edelweiss. "Maaf karena Dad tidak bisa menemanimu di hari ulang tahunmu. Kita rayakan setelah Dad pulang dari Paris, oke?"
Edelweiss menekan simbol loudspeaker di layar ponsel, lantas meletakkan benda pipih itu di atas meja rias. Gadis itu duduk sembari mengeringkan rambut basahnya dengan hair dryer.
"It's okay, Dad. Hari ini aku bersenang-senang bersama Opa dan Kak Lee. Opa mengajak kami berkuda, diving, lalu makan ikan bakar di pantai. Aku akan menagih hadiah sweet seventeen-ku saat Dad pulang nanti."
"Mau hadiah apa lagi, hem?"
"Untuk saat ini masih rahasia, Dad. Kita akan bernegosiasi langsung denganmu."
Terdengar tawa renyah di seberang sana. "Didengar dari kata-katamu, sepertinya putri kesayanganku akan meminta sesuatu yang berharga. Tas branded? Sneakers? Berlian?"
"Karena ini sweet seventeen, maka permintaannya lebih special lagi."
"Apartemen? Oke, Dad belikan, tapi hanya untuk investasi. Usiamu masih belum cukup untuk tinggal sendirian."
"Aish, bukan itu, Dad. Tunggu nanti saja, oke?" Edelweiss meletakkan hair dryer dan merapikan rambut panjangnya dengan sisir. "Apa Mommy sedang sibuk?"
"Ya, sibuk meeting dengan para model."
"Kecup jauh untuk Mommy. Sudah dulu teleponnya ya. Aku sangat lelah dan mengantuk. Di sini sekarang sudah jam 7 malam."
"Oke, Sayang. Happy birthday, My Princess."
"Thanks, Dad. Muach!"
Edelweiss membuka bathrobe yang dikenakannya dan menggantinya dengan piyama setelan tanktop dan celana pendek berwarna putih. Ia baru bersiap naik ke tempat tidur ketika terdengar ketukan di pintu kamar.
"Ya, masuk saja, Opa."
"Kau sudah tidur?" Leon melongokkan kepala ke dalam kamar.
"Aku baru selesai mandi."
"Oh, oke. Aku hanya ingin menyampaikan pesan dari ibumu. Kau sudah membuka kado dari ibumu yang aku berikan tadi pagi kan?"
"Sudah. Aku mendapat 2 liontin berbentuk hati."
"Ibumu berpesan, berikan liontin yang 1 untuk kakakmu. Itu miliknya."
"Oke, Opa. Akan kuberikan sekarang."
Edelweiss membuka kotak hadiah di atas meja, dan mengeluarkan isinya. Dua buah kalung emas putih dengan liontin berbentuk separuh hati. Jika kedua sisi liontin digabung maka akan membentuk sebuah hati yang utuh. Mommy mendesain couple liontin? Oh, mungkin ini sebagai lambang bahwa rasa sayang Mommy terhadap Leandro sama besar dengan rasa sayang Mommy pada Edelweiss, meski Leandro adalah anak tirinya.
Sembari menguap karena mengantuk, Edelweiss menyambar salah satu kalung dan membawanya ke kamar sebelah. Ia mengetuk pintu kamar Leandro, tetapi tidak ada jawaban.
"Kak Lee, buka! Aku tahu kau belum tidur!" seru Edelweiss. "Aku hitung sampai tiga tidak dibuka juga, aku akan masuk. Satu ... dua ... dua seperempat ... dua setengah .... Kak Lee, buka! Dua tiga perempat ... Tiga! Aku masuk sekarang!"
Edelweiss membuka pintu kamar, tidak ada siapa pun di sana. Samar-samar terdengar gemericik air dari kamar mandi. Oh, pantas saja Leandro tidak menjawab, rupanya lelaki itu sedang mandi. Edelweiss malas jika harus kembali ke kamarnya, lebih baik dia menunggu sampai kakaknya selesai.
Gadis itu melangkah menuju ke ranjang king size di tengah ruangan. Kegiatannya seharian ini membuat tubuhnya sangat lelah dan mengantuk. Ia pun melompat ke atas ranjang, lantas menarik selimut hingga sebatas dada. Terasa nyaman. Kelopak matanya mulai berat. Kalau bukan karena dering ponsel di dekat bantal, Edelweiss pasti sudah terlelap.
Setengah mengantuk, Edelweiss memeriksa ponsel dan melihat nama Rebecca terpampang di layar, melakukan panggilan video. Edelweiss yang sudah tidak bisa menahan kantuknya, tidak bisa berpikir dengan baik. Alih-alih membiarkannya, tanpa sadar dia justru menekan simbol untuk menerima panggilan.
"Ya ...." sapa Vanilla pada seorang gadis yang wajahnya muncul di layar ponsel.
"Kenapa ponsel Leandro ada padamu? Di mana dia?"
Edelweiss memejamkan mata, kelopak matanya sudah tidak tertahankan lagi. "Dia sedang di kamar mandi."
"Kau ... bersamanya?"
"Hehem ... kami baru saja bersenang-senang dan sekarang dia sedang mandi. Sudah ya, nanti telepon lagi. Aku sangat lelah dan mengantuk. Ada yang mau disampaikan pada—"
Tuuut ... tuuut ....
Sambungan terputus. Edelweiss mendengus dan melemparkan ponsel ke bantal sebelah. Hanya dalam hitungan detik, matanya terpejam dan ia pun tertidur. Liontin di genggaman tangannya terlepas di atas selimut.
Entah berapa lama Edelweiss tertidur, ia terbangun ketika merasakan tepukan yang cukup keras di wajahnya. Ketika membuka mata, yang pertama kali ia lihat adalah wajah Leandro.
"Kak Lee, kenapa membangunkanku?" tanya Edelweiss dengan lemas. "Aku masih mengantuk, jangan ganggu aku. Cepat keluar dari sini. Jika tidak, aku akan berteriak pada Opa kalau diam-diam kau menyelinap ke dalam kamarku."
"Hei, sadar!" Leandro kembali menepuk-nepuk pipi Edelweiss dan menarik selimut yang menutupi tubuh gadis itu. "Bukan aku yang menyelinap ke kamarmu, tapi kau yang tidur di ranjangku dengan pakaian seksi seperti ini. Ingin mencoba menggodaku, hem?"
"Bukan kamarku?" Mata Edelweiss melebar, ia bangun dan duduk di tengah ranjang sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. "Oh, astaga! Aku ketiduran."
"Jika ingin mencoba menggodaku, kau salah sasaran, Nona. Seleraku bukan bocah berdada rata sepertimu."
"Apa untungnya aku menggodamu? Aku hanya ingin memberikan liontin dari Mom untukmu. Mom mendesainnya untuk hadiah ulang tahunku. Satu untukku dan satu untukmu." Edelweiss mengambil liontin yang tergeletak di atas ranjang dan menyodorkannya pada Leandro.
"Ambil saja bagianku untukmu," sahut Leandro dingin.
"Jangan menolaknya. Mommy memberikannya sebagai wujud kasih sayangnya padamu. Kenapa kau selalu saja membalas ketulusan Mom dengan sikap dinginmu? Apa pantas seorang anak membenci ibu yang sangat menyayanginya?"
"Dia ibumu. Bukan ibuku. Sebaiknya kau diam dan tidak perlu banyak berkomentar. Kau sama sekali tidak memahami apa yang aku rasakan. Kita berbeda." Leandro keluar menuju balkon kamar.
Edelweiss menghela napas kasar. Ia turun dari ranjang dan dengan gontai menyusul kakaknya. Lelaki itu berdiri menatap kegelapan malam. Di jarinya terselip sebatang rokok yang menyala di bagian ujungnya. Dari lantai dua itu, mereka bisa melihat suasana hutan pinus di sekitar villa.
"Pergilah, aku sedang merokok." Leandro menghisap rokok dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Kepulan asap tipis menyembur dari dalam mulutnya.
Bukannya pergi, Edelweiss justru berdiri di samping Leandro. "Terpapar asap rokok satu kali tidak akan membuatku jatuh sakit."
"Jangan menguji kesabaranku. Aku sedang tidak ingin mengotoriku dengan melemparmu ke bawah sana."
"Aku diam, aku tidak bicara apa pun padamu. Aku hanya sedang ingin melihat kunang-kunang. Kau boleh menganggapku tidak ada di sampingmu."
Hening. Kedua pasang mata itu tertuju pada kerlip kunang-kunang yang berterbangan di hutan pinus. Debur ombak di kejauhan sana berpadu dengan nyanyian serangga malam, semakin membuat kesan damai dan menenangkan. Suasana di sana masih sangat alami.
"Kunang-kunang menjadi saksi kisah cinta Mom dan Dad."
Leandro menoleh, menatap Edelweiss tajam. Tanpa kata, tetapi tatapan itu serupa laser yang bersiap menembak siapa pun yang berada di dekatnya.
Edelweiss yang tanpa sengaja berserobok pandang dengan Leandro, cepat-cepat menambahkan kalimatnya. "Aku sedang bicara sendiri, bukan padamu. Jadi, abaikan saja aku."
Kesunyian kembali hadir di antara mereka. Angin yang berembus perlahan menerbangkan kepulan asap rokok ke wajah Edelweiss. Gadis itu mengibaskan tangan, berusaha menghalau asap agar tidak masuk ke lubang hidungnya. Tapi Leandro tidak peduli, lelaki itu justru semakin semangat menghisap nikotin ke dalam paru-parunya dan mencemari udara bersih di sekitar mereka.
"Mom memberiku nama Edelweiss karena menganggapku sebagai wujud cinta yang abadi antara Mom dan Dad. Mom bahkan hampir kehilangan nyawanya hanya karena ingin membuatku tetap hidup." Edelweiss menghela napas berat. "Perjalanan hidup yang Mom lalui tidaklah mudah. Ada banyak luka dan rasa sakit yang harus ia sembunyikan seorang diri. Salahkah jika sekarang Mom mendapatkan kebahagiaannya? Layakkah Mom menjadi seseorang yang dibenci setelah ia mati-matian membalut luka dan mencoba berdamai dengan kenyataan?"
Setitik cairan bening menetes di pipi Edelweiss. Gadis itu mendekat pada Leandro, lantas menyandarkan kepalanya di pundak kakaknya.
"Pinjam bahumu sebentar," lirih Edelweiss. "Air mata sialan ini selalu saja menetes ketika aku membicarakan Mom."
"Kau berharap kali ini akan menjadi adegan romantis seperti di dalam film?" Leandro membuang puntung rokok ke dalam asbak, kemudian telunjuk jarinya mendorong kepala Edelweiss agar menjauh darinya. "Kembali ke kamarmu. Dan ini untuk terakhir kalinya kau masuk ke kamarku. Setelah ini kau harus mengingat baik-baik kata-kataku, seorang gadis tidak sepatutnya melangkahkan kakinya ke dalam kamar laki-laki."
"Aku sedang bersedih dan kau mengusirku?"
"Get out!"
"Okay. Tapi kau harus menyimpan ini, liontin tanda kasih sayang Mommy pada kita." Edelweiss meletakkan liontin itu di telapak tangan Leandro.
Edelweiss meninggalkan balkon, menyisakan aroma lembut vanilla yang mengganggu indra penciuman Leandro. Lelaki itu menatap liontin emas putih berbentuk separuh hati. Desain yang dibuat Mommy Anna 17 tahun yang lalu.
Leandro tersenyum sinis, ia melempar liontin itu ke rerumputan di halaman villa. Ia kembali mengambil sebatang rokok dari atas meja dan menyulutnya. Mata tajamnya mengawasi kunang-kunang yang berterbangan di kegelapan malam, teringat pada cerita Edelweiss beberapa saat yang lalu. Saksi cinta Mom dan Dad?
Sebelah tangan Leandro mengepal erat. Ada emosi yang meluap-luap di dalam dadanya. Seharusnya dia tidak pernah terlahir ke dalam keluarga ini.
***
To be Continued
17 Desember 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro