PART 36
Sinar matahari pagi bersorot menyinari pohon kaktus kecil yang tergeletak di atas meja teras. Bunga-bunga kuncup mulai muncul menghiasi batang kaktus yang penuh duri, memberikan kesan cantik dan unik.
Leon duduk di sana dengan sebatang rokok yang terselip di antara kedua jarinya. Ia memberikan isyarat pada Leandro yang berdiri di ambang pintu agar duduk di hadapannya. Wajah Leon memperlihatkan mimik serius, sedikit berbeda dengan biasanya.
"Semalam aku memintamu untuk menjaga adikmu kalau-kalau dia membutuhkan sesuatu," ujar Leon tegas. "Tapi, saat aku pulang dan memeriksa kamarnya, kau berada di sana. Tidur di ranjang yang sama. Kau memeluknya, dan adikmu terlihat jelas nyaman berada di dalam dekapanmu."
"Maaf, Opa. Aku ketiduran saat berusaha berbicara dengannya."
Leon mengisap rokok dalam-dalam, terlihat frustrasi. "Aku pikir kau tahu batasannya. Jika ada orang lain melihatnya, mereka akan berspekulasi buruk tentang kalian. Mungkin kalian sering tidur bersama saat kalian kecil dulu. Tapi sekarang kalian sudah sama-sama dewasa dan tidak sepatutnya melakukan itu lagi."
"Maaf, Opa."
"Atau kalian memang sudah terbiasa melakukan itu di London?"
Leandro terdiam. Wajahnya tertunduk, tangannya memutar-mutar pot kaktus dengan gelisah.
Leon mengusap wajah kasar. "Jadi, apa yang kau bicarakan dengan adikmu? Dia sudah memberitahu siapa lelaki itu? Kau mengenalnya? Teman kuliahnya? Atau temanmu? Bagaimana bisa lepas dari pengawasanmu? Ayahmu sudah memintamu untuk menjaganya. Kalau sudah kejadian seperti ini, siapa yang bertanggung-jawab, Lee? Masa depan adikmu hancur."
"Maaf, ini salahku."
"Maaf, maaf. Kau pikir kata maaf bisa mengubah semua yang sudah terjadi? Cepat katakan siapa lelaki itu!"
Leandro tertunduk semakin dalam. Ia hampir kehilangan suaranya, tetapi ia sudah bertekad untuk mengakui perbuatannya.
"Aku yang melakukannya. Aku ... lelaki itu."
Leon menahan napas, sejenak berpikir bahwa ia salah menangkap maksud dari kalimat Leandro. Ia menghunjamkan ujung rokoknya ke asbak hingga bara apinya padam. Kemudian, napasnya memburu. Mata birunya menatap Leandro tajam.
"Jangan menunduk. Angkat kepalamu dan tatap mataku," desis Leon sembari mengepalkan kedua tangannya.
Perlahan, Leandro mengangkat wajahnya. Ia mencoba memberanikan diri membalas tatapan kakeknya. "Aku mabuk dan menidurinya."
Kepalan tangan Leon meluncur ke wajah Leandro, meninjunya dengan keras hingga tubuh Leandro tersungkur dan terjatuh dari kursi.
"Kau gila atau bodoh?" hardik Leon. Ia menghampiri Leandro dan mencekal kerah kaosnya. "Sampai hati kau menghancurkan adikmu sendiri? Kami memintamu untuk menjaganya! Bukan merusaknya!"
"Maaf, Opa. Aku mengaku salah dan bersiap menanggung konsekuensinya."
"Semudah itu kau mengucapkan kata maaf!" Leon kembali melayangkan tinjunya ke wajah Leandro hingga cucunya terkapar di lantai.
Bersamaan dengan itu, Edelweiss berlari menghampiri Leandro dan memeluknya, berusaha menjadikan dirinya sebagai tameng kalau-kalau Leon ingin memukulnya lagi.
"Aku yang salah, Opa!" teriak Edelweiss panik. "Jangan pukul Kak Lee lagi."
Leon melongo tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Lelaki brengsek ini sudah menghancurkan masa depanku dan kau justru melindunginya."
"Saat itu Kak Lee mabuk dan aku mendatanginya. Bukan Kak Lee yang salah, Opa. Aku yang tidak bisa menjaga diriku sendiri."
"Aku mencintainya, Opa." Kali ini Leandro berucap dengan suara datar.
Guratan-guratan otot nampak terlihat jelas di punggung tangan Leon. Mencintainya? Kegilaan apa lagi itu? Ingin rasanya Leon kembali mendaratkan kepalan tangannya ke wajah Leandro, tetapi Edelweiss enggan beranjak dari posisinya.
"Aku juga mencintai Kak Lee, Opa." Suara Edelweiss gemetar, matanya berkaca-kaca menatap kakeknya.
Leon mengangkat kursi dan membantingnya ke halaman villa. Omong kosong macam apa yang baru saja ia dengar? Bagaimana bisa dua orang kakak beradik bisa saling mencintai? Cinta dalam artian lelaki dewasa terhadap wanitanya. Oke, meski mereka tidak sedarah, tetapi hubungan mereka tetap saja menjadi sebuah pertentangan. Cinta itu tidak seharusnya hadir di antara mereka!
"Argh!" Leon berteriak. "Kalian membuatku gila! Sejak awal aku tidak setuju jika Edelweiss menyusulmu ke London! Sekarang lihat apa yang terjadi? Kalian kehilangan kendali! Cinta macam apa yang kalian bicarakan. Kalian tidak boleh saling jatuh cinta! No way! Dan sekarang bagaimana caraku mengatakan ini pada orang tua kalian? Mereka pasti shock jika tahu putra yang paling dipercaya untuk menjaga putrinya, ternyata justru merusaknya! Menghancurkan masa depannya! Oh, Tuhan! Membayangkannya saja tidak pernah! Entah dari mana kalian mewarisi tingkah buruk seperti itu! Sebrengsek-brengseknya ayah kalian, dia tidak pernah menodai seorang wanita!"
Sekali lagi, Leon melempar kursi lalu pergi menaiki Harley Davidson kesayangannya. Ia tidak bisa terus-terusan di dalam villa, atau kedua cucunya akan menjadi sasaran kemarahannya. Ya, Leon yang biasanya selalu bersikap bijak, kini kehilangan kendali dirinya. Leandro dan Edelweiss, dua cucu yang disayanginya telah mengkhianatinya dengan kegilaan yang mereka ciptakan.
"Kak Lee, sudah kubilang jangan mengatakannya pada Opa." Edelweiss terisak, mengusap darah yang menetes di bibir Leandro.
"Kita tidak bisa menyimpan rahasia ini terlalu lama. Aku tidak mungkin membiarkanmu menanggung kesalahan seorang diri."
"Sekarang bagaimana? Opa pasti akan mengatakannya pada Dad, dan Dad pasti akan sangat marah pada kita."
"Aku yang akan menghadapi kemarahan Dad." Leandro mengusap kedua pipi Edelweiss dengan lembut. "Kau cukup bersembunyi di balik punggungku, biar aku yang menanggung semuanya."
"Aku takut, Kak."
"Trust me, semua pasti akan baik-baik saja."
***
Leandro hanya bisa pasrah ketika malam hari ayahnya datang ke villa dan memanggilnya ke ruang tamu. Di sana Edelweiss sudah terlebih dulu duduk di sofa bersama Opa Leon. Ada kilatan kemarahan di mata Dad ketika Leandro menatap lelaki itu.
"Sejak kau memutuskan untuk tinggal di London, aku tahu kau akan banyak berubah, Lee. Kau akan terbawa pergaulan teman-temanmu di sana." Axelle masih berusaha sabar menghadapi anak-anaknya. "Tapi aku tidak menyangka kau melakukannya sampai sejauh ini."
"Dad, ini bukan salah Kak Lee. Aku yang—"
"Diam!" potong Axelle cepat. "Dad sedang bicara dengan kakakmu."
"Opa sudah menghajarku." Leandro menunjuk wajahnya yang penuh memar dan membiru. "Dad ingin menambahkannya?"
"Beraninya kau merusak masa depan putriku!" Sebuah tamparan keras melayang ke wajah Leandro.
Leandro terhuyung ke samping, memegangi pipinya yang terasa nyeri. Ah ya, rasanya ada yang lebih sakit dari bekas tamparan ayahnya. Kata-kata yang dilontarkan ayahnya, kenapa terdengar Axelle menganggap Leandro bukan lagi putranya? Dan itu terasa menyakitkan.
"Axelle, sudah cukup!" Leon menengahi. "Jangan gunakan kekerasan lagi. Bukankah kita sudah membicarakan solusi untuk mereka?"
Axelle menghela napas kasar, rahangnya gemetar menahan emosi yang menggelegak di dadanya. Tentu saja lelaki itu sangat kecewa. Ia membesarkan seorang putra hanya untuk merenggut kesucian putrinya yang lain? Bukankah itu sangat menyakitkan bagi Axelle? Axelle tidak bisa menoleransi kekhilafan semacam apa pun. Kesalahan Leandro cukup fatal.
Axelle duduk di sofa, memijit keningnya yang terasa nyeri. "Dad, kau bisa menjelaskannya pada mereka. Aku tidak sanggup mengatakannya."
"Oke." Leon mengangguk. Kali ini dia bisa lebih sabar setelah seharian menenangkan diri. "Setelah aku bicara dengan ayah kalian, maka hanya ada satu solusi terbaik untuk masalah ini. Pernikahan. Kalian akan menikah."
Leandro dan Edelweiss saling berpandangan, kemudian sama-sama menatap kakeknya. "Bagaimana bisa, Opa? Kami kakak beradik."
"Ini yang aku sampaikan pada kalian. Sebenarnya, kami pernah sepakat untuk menyimpan rahasia ini selamanya demi kebaikan kita semua. Tapi, kejadian ini membuat kami terpaksa harus membuka rahasia ini. Kalian bisa menikah, karena kalian bukan saudara sekandung dan bukan pula saudara seayah. Kau bukan putra kandung ayahmu, Lee. Maaf, kami harus menyampaikan ini padamu."
"Apa yang kau bicarakan, Opa?" tanya Leandro dengan suara gemetar. "Kau sedang berbicara bahwa selama 21 tahun ini aku hidup dalam sebuah kebohongan? Jika bukan Dad, lalu siapa ayahku?"
"Sesuatu pernah terjadi di antara ibumu dan ... Dean."
"Uncle Dean?" Leandro menyugar rambut frustrasi. "Kenapa kalian baru memberitahuku sekarang?"
"Karena ayahmu ingin kau menganggap dia sebagai ayah kandungmu. Mom dan Dad sangat menyayangimu."
"Kenapa kau hanya diam, Dad!" teriak Leandro. "Tega sekali kalian membiarkan seumur hidupku berada dalam sebuah kebohongan!"
"Rahasia ini tidak seharusnya terungkap karena kami sangat menyayangimu layaknya kami menyayangi anak kandung kami. Tapi kini kau membuat masalah besar yang membuat kami tidak bisa menutupi rahasia ini lagi."
"Kau membuatku kecewa, Dad!" Leandro membanting vas bunga di atas meja, kemudian keluar dari villa.
Seharusnya Leandro bahagia karena fakta ini membuat ia bisa menikahi wanita yang dicintainya. Namun, ternyata semua berubah begitu saja. Bagaimana mungkin Leandro menikahi wanita yang keluarganya pernah menyimpan sebuah kebohongan besar? Bukankah pernikahan itupun akan membuat nama ibunya tercoreng karena publik pun akan tahu bahwa Nyonya Jasmine pernah mengkhianati suaminya dan memiliki anak dari lelaki lain? Bahkan setelah kematiannya, Mama akan tetap selalu tersakiti.
"Kak Lee!" Suara Edelweiss membuat langkah Leandro tertahan.
Lelaki itu urung melewati pintu gerbang, menatap Edelweiss yang berdiri di sampingnya. "Kembali ke kamar. Aku ingin sendiri."
"Kau ... akan menikahiku kan?"
Leandro terdiam sejenak. "No, I can't."
Mata Edelweiss terbelalak lebar. "Baru semalam kau berkata ingin menikahiku seandainya bisa. Kau ingin aku hidup bersamamu dan—"
"Mana mungkin aku bisa hidup bersama dengan keluarga yang sudah membohongiku selama 21 tahun? Ah ya, aku lupa. Mungkin kalian tidak pantas aku sebut sebagai keluarga. Selama ini aku hidup sendiri."
"Lalu ... bagaimana denganku?"
Leandro tidak menjawab. Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, ia berjalan melewati pintu gerbang dan menutupnya, tidak membiarkan Edelweiss berlari mengikutinya. Peduli apa dengan air mata yang mengalir deras di wajah gadis itu? Seharusnya Edelweiss tahu bahwa Leandro sangat kecewa dan jauh lebih terluka.
"Kak Lee ... aku mencintaimu!"
Leandro mengusap cairan bening di sudut matanya. Ia berjalan tanpa tujuan, menembus kegelapan malam. Mengabaikan tangisan dan pengakuan cinta yang samar-samar ia dengar di kejauhan. Semua berubah begitu cepat. Dan itu ... sangat menyakitkan.
***
To be Continued
26 Oktober 2024
Yang mau baca duluan bisa ke KaryaKarsa ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro