Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 35

Leon meletakkan mangkok berisi sisa bubur di atas nakas. Ia baru menyuapkan beberapa sendok ke mulut Edelweiss, tetapi gadis itu mengeluh kenyang dan tidak berniat untuk menghabiskannya. Leon menyodorkan gelas berisi susu cokelat, namun Edelweiss menggeleng.

"Aroma cokelat itu membuatku mual, Opa." Edelweiss menutup hidungnya.

"It's okay, rupanya bayi kecil di dalam perutmu mengubah semua makanan dan minuman favoritmu." Leon tertawa. "Tidak masalah, obat dan vitamin ini bisa menggantikannya."

Edelweiss mencebikkan bibirnya, menatap obat dan vitamin di tangan kakeknya dengan malas. "Jika aku tidak meminumnya, apa bayi ini tidak akan bisa bertahan?"

"Oh ... dia bayi yang sangat kuat seperti ibunya. Dia pasti akan bisa bertahan dalam kondisi apa pun. Tapi, tidakkah kau ingin menunjukkan rasa sayangmu padanya?"

"Tapi aku tidak menyayanginya, Opa. Dia menghancurkan masa depanku." Bulir-bulir bening kembali terjatuh di pipi gadis itu.

"Kau tidak bisa menyalahkannya, Princess." Leon mengusap perut Edelweiss dengan lembut. "Terlepas dari dia yang datang dari sebuah kesalahan, tapi kau harus bahagia karena dia memilihmu untuk menjadi ibunya. Lihatlah, dari jutaan perempuan yang hidup di dunia ini, tetapi dia menginginkanmu untuk menjadi seseorang yang mengandungnya dan melahirkannya. Bukankah artinya dia sangat menyayangimu?"

"Aku takut, Opa."

"Opa mengerti, sangat mengerti. Jika kau terlalu takut untuk melalui semua ini, maka pegang tangan Opa. Opa berjanji akan selalu memberikan support dan mendampingimu dalam situasi apa pun. Tapi, kau juga harus berjanji pada Opa untuk selalu menjaga bayi ini seperti ibumu yang menjagamu bahkan mempertaruhkan segalanya demi kehidupanmu. Oke?"

Sesaat Edelweiss nampak ragu, tetapi akhirnya dia mengangguk dan bergumam singkat. Ia mengambil tablet obat dan vitamin, lalu meminumnya.

"Tetaplah menjadi gadis yang kuat. Opa selalu bangga padamu." Leon mengecup dahi Edelweiss. "Jika sewaktu-waktu kau ingin berbicara dengan Opa, Opa akan selalu siap mendengarkanmu. Sekarang kau bisa beristirahat. Kau harus sehat, agar bayi di dalam perutmu juga tumbuh sehat. C'mon! Setiap malam Opa pasti akan sulit tidur memikirkan betapa menyenangkannya jika suatu saat Opa bisa bermain-main dengan anakmu. Kita bisa naik gunung bersama, camping, diving, berkuda, melempar bola salju, bukankah itu sangat menyenangkan?"

"Hehem ...." Edelweiss mengangguk.

"Karena itu kau harus mengabulkan keinginan Opa. Jika pernah terbersit di dalam benakmu yang menginginkan bayi itu lenyap, maka setidaknya kau harus ingat untuk menjaga bayi itu baik-baik demi Opa. Promise?"

Leon menyodorkan jari kelingkingnya, dan Edelweiss menautkan kelingking kecilnya dengan lelaki itu. Leon tersenyum, merapikan selimut yang membungkus tubuh Edelweiss dan mengecup dahinya sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.

Leon menutup pintu dengan hati-hati, bersamaan dengan ponselnya yang berdering dengan nyaring. Lelaki itu menjauh dari kamar Edelweiss, duduk di meja teras dan menerima panggilan dari menantunya.

"Edelweiss baik-baik saja?"

Leon tersenyum. Meski marah, tetapi kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya adalah bertanya tentang kondisi putrinya. "Ya, aku baru saja menyuapi bubur untuknya. Dia juga sudah minum obat dan vitamin."

"Dia sudah mengatakan siapa lelaki itu?"

"Dia masih diam tentang itu."

"Kenapa kau tidak mencecarnya, Dad?"

"Ini bukan saat yang tepat untuk menekannya dengan pertanyaan itu, Anna. Dia butuh waktu untuk bisa menerima keadaannya saat ini. Itu pasti sangat sulit untuk Edelweiss."

"Teruslah kau manjakan cucumu, Dad! Lelaki itu sudah menghancurkan masa depan putriku dan kau bisa bersikap setenang itu? Seharusnya kau juga memarahi Edelweiss agar dia tahu kesalahannya! Berhenti memperlakukannya seperti seorang Princess!"

"Kita semua tahu Edelweiss bersalah, tetapi bukan berarti kita harus bersikap keras terhadapnya. Semua sudah terlanjur terjadi, Anna. Sekalipun kau memarahinya sampai kehabisan kata-kata, itu tidak akan mengubah keadaan, justru itu akan membuat Edelweiss semakin terpuruk dan hancur. Kita tunggu sampai dia siap untuk menceritakannya, oke?"

"Sampai kapan, Dad? Sampai perutnya membesar dan semua orang tahu bahwa dia hamil?"

"Edelweiss sedang membutuhkan seseorang yang dia percaya, dan aku ingin menjadi seseorang itu. Kita akan mencari jalan keluarnya bersama-sama. Sabar sedikit lagi, oke?"

"Terserah kau saja, Dad. Oh, kepalaku rasanya mau pecah."

"Istirahatlah. Serahkan semuanya padaku. Semua baik-baik saja, percayalah."

***

Leandro membuka pintu gerbang villa. Langkahnya terlihat tergesa-gesa. Satu hal yang ia ingin lakukan pertama kali adalah memeluk kupu-kupu kecilnya. Meski sampai saat ini Leandro tidak bisa berpikir apa jalan keluar atas permasalahannya. Mungkin semua tidak akan terlalu rumit seandainya Edelweiss bukan adik tirinya.

"Lee, syukurlah kau datang." Leon menyambut kedatangan cucu lelakinya, memeluknya dengan erat. "Mungkin kau tahu sesuatu tentang siapa lelaki yang menghamili adikmu? Atau mungkin kau bisa bicara dengannya, aku harap adikmu bisa terbuka dan jujur padamu."

"Aku akan bicara dengannya, Opa."

"Sekarang sudah malam, dia sudah tidur. Tunggu besok pagi saja. Ah ya, aku ingin keluar sebentar. Tolong jaga adikmu kalau-kalau dia terbangun dan membutuhkan sesuatu."

"Oke, Opa."

"Aku harap masalah ini bisa cepat ditemukan jalan keluarnya. Aku tidak tega melihat adikmu, dan juga ibumu. Bicara baik-baik dengan adikmu, jangan terlalu menekannya."

"Aku mengerti."

Leon menepuk pundak Leandro perlahan, kemudian pergi meninggalkan villa. Leandro memastikan motor Harley Davidson yang dikendarai kakeknya sudah menjauh. Lantas, lelaki itu berlari menaiki tangga menuju kamar adiknya. Mana bisa Leandro menunggu sampai besok pagi, ia sudah merindukan adiknya dan ... memang tidak seharusnya ia membiarkan gadis itu melewati semuanya seorang diri. Kalaupun gadis itu harus hancur, maka Leandro ingin hancur bersamanya.

Dengan hati-hati, Leandro membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Sebisa mungkin ia membuat agar langkah kakinya tidak terdengar. Ia duduk di sisi ranjang, menatap wajah sayu dengan bibir pucat milik adiknya. Kelopak mata yang terlelap nampak sedikit bengkak, pertanda terlalu banyak menangis. Ah, sehancur itukah Edelweiss?

Jemari Leandro terulur, membelai pipi gadis itu dengan lembut. Merasa terganggu oleh gerakan itu, mata Edelweiss terbuka. Dahinya mengernyit ketika netranya berserobok pandang dengan Leandro.

"Aku bermimpi?" lirih Edelweiss. Suaranya serak, hampir tidak terdengar.

"Tidak, kau tidak sedang bermimpi. It's me!" Leandro merunduk dan mengecup bibir Edelweiss.

"Kak Lee!" Refleks gadis itu terbangun dan memeluk Leandro erat-erat. "Aku takut ...."

"It's okay, aku bersamamu. Jika ada yang harus disalahkan atas semua ini, maka akulah yang bersalah."

Jemari Edelweiss mencengkeram punggung Leandro. "Aku harus bagaimana sekarang, Kak? Apa kita harus menggugurkan bayi ini?"

Leandro mengusap rambut Edelweiss, kemudian menangkup kedua pipinya. Ditatapnya mata biru yang begitu indah, dan Leandro mencoba tersenyum. "Bagaimana kau bisa memiliki pikiran seperti itu? Kau ingin membunuh anak kita?"

"Tapi dia tidak seharusnya berada di sini!" Edelweiss memukuli perutnya dengan kedua tangan. Air mata mengalir semakin deras. Dia jelas belum menerima kehadiran bayi tidak berdosa itu.

"It's okay!" Leandro dengan sigap mencekal kedua tangan Edelweiss. "Aku mengerti ini sulit untukmu. Tapi bukan berarti kau bisa menyakiti dirimu dan bayi itu. Aku yang salah, dan aku akan mengakui kesalahanku pada Opa dan Dad."

"Kau gila, hah? Kau pikir pengakuanmu akan membuat kita bisa menikah? Kita kakak beradik, jangan lupakan itu! Mom dan Dad pasti tidak akan mengakuiku sebagai anaknya lagi jika mereka tahu yang sebenarnya. Ini kesalahan fatal yang tidak ada jalan keluarnya, Kak."

"Setiap permasalahan pasti memiliki jalan keluar. Aku tidak mungkin membiarkanmu menanggung kesalahan kita sendirian. Kalaupun Mom dan Dad harus marah, maka dia akan melampiaskan kemarahannya padaku."

"Gugurkan bayi ini, itu satu-satunya jalan. Kau bisa carikan obat ataupun dokter yang bisa menangani aborsi."

Leandro kembali meraih Edelweiss ke dalam pelukannya. "Terlalu beresiko untukmu. Aku ... tidak ingin kehilanganmu, My Butterfly!"

Kalimat itu membuat Edelweiss membeku. Kenapa kalimat itu terasa begitu manis dan menyakitkan dalam waktu yang bersamaan? Leandro mempedulikan Edelweiss, ia menyayangi gadis itu bahkan mungkin rasa sayangnya lebih besar dibanding rasa sayangnya terhadap dirinya sendiri.

Hidup di negara barat dengan budaya bebasnya, tentu saja Leandro tahu resiko aborsi. Tindakan itu bisa membahayakan wanita, bahkan dampak yang terburuk adalah kehilangan nyawa. Leandro jelas tidak ingin mengorbankan gadis yang dicintainya, dan tentu saja dia juga tidak ingin membunuh bayi yang merupakan darah dagingnya.

"Pertahankan bayi itu," bisik Leandro. "Kalau semua orang menolaknya, aku akan membawamu pergi. Kita bisa tinggal di London, dan kita akan membesarkan anak kita bersama-sama."

"Tanpa pernikahan?"

Leandro terdiam sesaat. Pertanyaan yang begitu menohok dan hampir membuat lelaki itu kehilangan kata-kata. Hidup bersama tanpa pernikahan? Terdengar mengerikan, bukan?

"Kalau saja aku bisa, tentu aku sangat ingin menikahimu. Aku mencintaimu, tapi kau tahu sendiri bagaimana posisi kita saat ini. Bisakah jangan memikirkan hal yang lain? Saat ini yang terpenting adalah kehidupan bayi ini." Leandro menyentuh perut Edelweiss. "Mungkin ini terdengar egois dan terkesan tidak memedulikanmu, tapi percayalah. Aku akan selalu mengupayakan yang terbaik untukmu. Sekarang tidurlah, jangan takut lagi. Aku bersamamu."

Leandro membaringkan Edelweiss, kemudian ia berbaring di sisinya dan mendekap tubuh ringkih gadis itu. Jemarinya dengan lembut membelai rambut hitamnya. Berkali-kali ia mengecupi puncak kepala Edelweiss, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja selagi mereka bersama. Mereka akan menanggung kesalahan itu bersama-sama. Meski mungkin ... takdir tidak berpihak pada cinta yang tidak seharusnya hadir di antara mereka.

***

To be Continued
20 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro