Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 34

Leon turun dari mobil Rubicon miliknya. Matanya mengawasi para penumpang yang baru saja turun dari kapal penyeberangan. Cukup lama, hingga gadis yang ia tunggu kedatangannya terlihat di antara hiruk pikuk penumpang yang lain.

Gadis itu melangkah dengan lesu, turun ke pantai dan melepas flat shoes yang dikenakannya, membiarkan kaki telanjangnya berpijak pada pasir yang lembut. Terus melangkah dan meninggalkan jejak-jejak kaki miliknya.

"Kau melihatnya, Dad?" tanya Axelle pada ayahnya dari sambungan telepon.

"Ya, dia baru saja tiba di dermaga. Sekarang dia berjalan sendirian di pantai."

"Tolong awasi dia. Saat ini dia pasti sangat bersedih. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ibunya membentaknya bahkan menamparnya. Di saat seharusnya dia mendapatkan dukungan atas masalahnya, ibunya justru tidak bisa menerima keadaannya saat ini."

"Tidak usah cemas. Edelweiss aman selama dia berada dalam jangkauan pandanganku."

"Terima kasih, Dad."

Leon memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Berjalan di antara pepohonan di tepi pantai, mengawasi Edelweiss dari kejauhan. Gadis itu berhenti melangkah, matanya tertuju pada garis pantai di ujung sana. Lembayung senja yang biasanya menghiasi kaki langit, kini mulai tertutup awan gelap. Persis seperti mendung yang sedang menyelimuti hati seorang gadis.

Dari tempatnya berdiri, Leon bisa melihat punggung gadis itu berguncang. Ya, gadis itu menangis lagi. Berusaha melepaskan beban yang membelenggu dirinya. Membiarkan isak tangisnya tersamarkan oleh debur ombak di lautan. Atau mungkin berharap angin akan membawa kesedihannya, meski ia tahu harapan itu hanyalah sia-sia.

Rintik gerimis mulai turun membasahi bumi, tetapi tidak ada tanda-tanda gadis itu akan beranjak dari tempatnya. Sedikit pun tidak peduli meski air yang tercurah dari langit akan membasahi dirinya. Atau mungkin, gadis itu ingin menyembunyikan air matanya.

Dengan hati-hati, Leon mendekati gadis itu dan berdiri di belakangnya. "Butuh bahu untuk bersandar, Princess?"

Edelweiss membalikkan tubuhnya, menatap kakeknya yang sudah berdiri tegak di hadapannya. Gadis itu pun menghambur ke pelukan Leon dan menangis sejadi-jadinya.

"Cucu kesayanganku seorang gadis yang kuat." Leon membelai kepala Edelweiss dengan lembut.

"Ini terlalu berat untukku, Opa."

"Opa mengerti. Jika ini terlalu berat untukmu, Opa akan meminjamkan kedua bahu untuk memikul ini bersama-sama."

"Opa, bagaimana jika bayi ini digugurkan saja?"

Leon melepaskan pelukannya, kemudian membelai wajah Edelweiss dan menghapus air mata yang mengalir di wajah sayunya. Mata biru yang biasanya selalu bersinar indah, kini meredup serupa bintang-bintang yang tertutup awan. Ada kesedihan di dalam sorot matanya.

"Bagaimana kalimat itu bisa terucap dari bibirmu, Princess? Kau tahu dulu seberapa lama ibumu menunggu kehadiranmu? Kau tahu seberapa berat perjuangannya dalam mendapatkanmu? Lalu bagaimana kau tega akan menyingkirkan bayi yang tidak berdosa itu. Meski dia datang akibat dari sebuah kesalahan, tetapi dia adalah anugerah Tuhan."

"Seharusnya saat itu aku tidak hadir dalam kehidupan Mom dan Dad, Opa! Untuk apa aku terlahir jika pada akhirnya aku hanya akan memberikan aib untuk keluarga? Tidak seharusnya aku berada di keluarga yang terhormat seperti kalian. Mommy pasti menyesal telah melahirkanku, Opa."

"Hei, kau bicara apa, Princess? Mana mungkin ibumu menyesal? Apa pun yang terjadi, Opa yakin Mommy-mu akan selalu menyayangimu. Opa saksi hidup bagaimana ibumu rela mempertaruhkan nyawa ketika melahirkanmu. Mommy-mu bahkan rela menukar kehidupannya hanya demi melihat putrinya bisa tumbuh besar dan menjadi gadis kesayangan semua orang? Jadi, jangan pernah mengatakan Mommy menyesal karena sudah melahirkanmu."

"Mommy tidak bisa memaafkan kesalahanku."

"Mommy hanya sedang membutuhkan waktu untuk bisa menerima kenyataan bahwa kau bukan lagi gadis kecil berusia 6 tahun yang selalu membuat kekacauan di rumah. Kau sudah tumbuh dewasa dan tergelincir ke jurang yang salah. Tidak perlu takut, kami akan mengulurkan tangan untuk membuatmu bangkit. Dan sekarang, ayo kita pulang ke villa. Hujan semakin deras, kau baru keluar dari rumah sakit dan hawa dingin ini tidak baik untukmu."

Leon merangkul pinggang cucunya, mengajak gadis itu menjauh dari pantai. Air yang dicurahkan dari langit semakin menderas. Hari semakin gelap. Senja sudah tiba, menyingkirkan siang dan menggantikannya dengan malam. Begitulah kehidupan terus berputar, kau tidak akan selalu berada di posisi yang menyenangkan, ada kalanya kegelapan akan menyelimuti hati seperti mendung hitam yang menyembunyikan purnama agar cahayanya tidak jatuh ke bumi. Hitam, gelap, dan menyedihkan.

***

"Akhirnya, setelah sekian lama, aku bisa minum bersamamu di club lagi, Dude!" Alfred tertawa sembari menuang wine ke dalam gelas.

"Aku butuh ketenangan." Leandro meneguk cairan hitam pekat, menikmati sensasi panas yang seakan membakar tenggorokannya.

"Aku pikir hubunganmu dengan Rebecca baik-baik saja. Tapi kenapa kau kelihatan kacau seperti ini, hem? Atau ini karena adikmu yang kabur secara tiba-tiba? Kau menyusulnya ke Indonesia dan bertengkar lagi di sana?"

"Jangan sok tahu."

Alfred memicingkan mata. "Wait! Sebenarnya selama ini aku melihat tingkahmu yang menurutku sedikit aneh. Aku harap aku salah, tapi ... entah kenapa aku begitu yakin kalau kau jatuh cinta pada adik tirimu."

"Shit! Aku tidak segila itu, Brengsek. Lagipula kau tahu di hatiku hanya ada Rebecca."

"Itu sebelum kedatangan Edelweiss ke London. Yup, kehadiran gadis itu seperti bom waktu yang meledak dan mendobrak hatimu untuk menggantikan posisi Rebecca. Dia gadis yang menarik, kau sudah lama tidak bertemu dengannya, maka bukan hal yang aneh kalau kau memandangnya bukan sebagai adikmu, tetapi sebagai seorang gadis cantik yang memberikan warna baru dalam hidupmu."

"Alfred! Sekali lagi kau membicarakannya, botol ini akan melayang ke kepalamu!"

Alfred tertawa lebar. "Santai, Dude! Mana mungkin aku membicarakannya lagi sedangkan kekasihmu berada di sini." Alfred menunjuk Rebecca yang setengah berlari menghampiri mereka.

"Lee!" Rebecca duduk di samping Leandro, napasnya terengah-engah karena lelah. "Untung saja aku menemukanmu di sini. Kenapa kau mematikan ponselmu?"

"Maaf, aku hanya ingin sedang menenangkan diri."

"Aku bertemu Uncle Dean di apartemenmu, tapi kau tidak ada di sana."

"Tidak biasanya Uncle Dean mencariku."

"Kau benar-benar mematikan ponselmu sejak berangkat ke London sampai detik ini? Jadi kau belum tahu kalau adikmu hamil?"

"What the fuck!" Alfred berseru. "Lelaki brengsek mana yang berani meniduri gadis polos itu! Oh, astaga! Padahal Leandro sudah mengawasinya dengan ketat tapi masih kecolongan juga."

Leandro meletakkan gelasnya di atas meja. Tubuhnya mendadak lemas, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Hamil? Tidak mungkin kupu-kupu kecilnya hamil kan? Kemarin Leandro masih bertengkar dengannya dan gadis itu tidak memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Perutnya masih rata dan aaarrrgghhh ... Leandro bahkan bercinta dengannya. Lagi.

"Kau tidak bisa dihubungimu, karena itu ayahmu meminta Uncle Dean mencarimu untuk bertanya siapa lelaki yang memiliki kemungkinan besar menghamili adikmu. Adikmu tidak mau memberitahu siapa lelaki itu," ujar Rebecca lagi.

"Apa mungkin temannya yang bernama Albert?" tebak Alfred. "Leandro pernah memergoki Edelweiss membawa Albert ke apartemen dan lelaki itu hampir saja menciumnya. Apa mungkin diam-diam Albert berhasil merayu Edelweiss untuk tidur dengannya tanpa sepengetahuanmu, Lee?"

Leandro memijit keningnya, enggan menanggapi ucapan Alfred. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Double shit! Saat ini pasti Edelweiss sedang menangis ketakutan di kamar. Dan Leandro justru sedang bersenang-senang menikmati wine di tempat ini. Ironis, bukan?

Leandro yang seharusnya mempertanggung-jawabkan kebejatannya, kenyataannya justru melarikan diri bahkan berencana untuk tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah megah milik kedua orang tuanya.

Seharusnya saat ini Leandro berada di samping kupu-kupu kecilnya dan menggenggamnya erat-erat seraya berbisik, "Jangan takut, aku bersamamu."

Bersamamu? Omong kosong! Apa yang kau pikirkan Lee? Kau pikir Mom dan Dad akan membiarkan seorang kakak lelaki menikahi adik perempuannya?

"Aaarrrggghhh!!!" Leandro menggebrak meja hingga gelas-gelas dan botol di atas meja hampir saja terguling.

Kalau saja malam itu Edelweiss tidak datang padanya! Kalau saja Edelweiss memilih untuk berlari dari hasrat lelakinya! Kenyataannya bocah itu justru membiarkan Leandro merenggut keperawanannya, dan Leandro menumpahkan benihnya di sana! Benih yang pada akhirnya akan tumbuh menjadi seorang bayi!

Kalau saja waktu bisa diputar ulang, Leandro akan lebih memilih untuk tidak pernah bertemu dengan Edelweiss, kupu-kupu kecil yang mengepakkan sayap indahnya dan berterbangan di sekitarnya. Dan Leandro dengan begitu brengseknya mendobrak dinding pembatas yang seharusnya menjadi sekat yang memisahkan mereka.

"Halo, Uncle Dean!" Rebecca berbicara dengan Uncle Dean di telepon. "Ya, aku menemukan Leandro. Ada lagi yang harus aku sampaikan padanya? Aku tidak mendengar suaramu. Wait, di sini terlalu berisik, aku keluar sebentar."

Sepeninggal Rebecca, Alfred mencondongkan wajahnya pada Leandro dan berbisik, "Kau tahu di antara kita tidak pernah ada rahasia. Sebulan yang lalu, saat adikmu menanyakan keberadaanmu padaku, lalu dia mengusir wanita yang sudah kau sewa. Malam itu ... kau tidur dengan adikmu? Ah, I mean ... making love? Having sex?"

Leandro menghela napas. "Malam itu aku sangat mabuk dan aku pikir sedang berhalusinasi. Aku melihat wanita itu tiba-tiba menyerupai adikku. Sialnya, dia bahkan tidak menolak saat aku merenggut keperawanannya. Sekarang kau boleh menyebutku lelaki brengsek. Ya, lelaki brengsek ini sekarang bahkan tidak tahu bagaimana cara mempertanggung-jawabkan perbuatannya."

"Damn! Kau benar-benar dalam kesulitan besar, Dude!"

"Tolong jangan katakan ini pada Rebecca." Leandro menyugar rambut kasar. "Arrggghhh! Rasanya aku sudah gila, Alfred! Dia masih berumur 17 tahun! Kami memiliki darah yang sama dari Dad! Tidak seharusnya dia mengandung bayiku dan kami tidak mungkin menikah!"

"Tapi terlalu kejam jika kau membiarkan adikmu melewati semua ini sendiri, Dude! Dia pasti sedang ketakutan sekarang. Kembalilah ke Indonesia, cari jalan keluar untuk masalah ini."

Leandro meremas rambutnya dengan kasar. Sedang apa kupu-kupu kecilnya sekarang? Ah, ya! Rupanya Leandro sudah mematahkan sayap-sayap indah itu. Kupu-kupu itu terluka, terbang di ketinggian untuk kemudian terjatuh dan meluncur cepat ke dalam jurang. Terjatuh. Menyakitkan.

***
To be Continued
13 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro