PART 29
"Lee, itu benar kau, Sayang?"
Itu kalimat sambutan yang Leandro dengar ketika ia menginjakkan kaki di lantai rumah Dad. Wanita berusia kepala tiga itu tergopoh-gopoh menghampiri Leandro. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi terbalut gaun warna burgundy, wajahnya yang dipoles make up tipis memperlihatkan kecantikan alaminya. Dari wanita inilah Edelweiss mewarisi wajah ayu dengan garis senyum yang begitu menawan.
"Mommy senang kau berkunjung ke sini lagi. Boleh Mom memelukmu, Sayang?"
Leandro hanya bergumam singkat. Lalu, wanita itu pun memeluk tubuh tinggi tegap Leandro. Setiap kali mereka bertemu, Mommy Anna selalu menyambutnya dengan ceria, meski dia tahu bahwa putranya akan bersikap dingin terhadapnya.
"Sayang sekali, kami baru saja mau pergi ke resepsi pernikahan salah satu klien. Kau beristirahat saja dulu, kami tidak akan lama. Mom akan meminta maid untuk menyiapkan makanan favoritmu." Mommy Anna melepas pelukannya, menatap putra sambungnya dengan senyum tulusnya. "Sudah lama Mom tidak membuatkan pakaian untukmu. Nanti kita ambil ukuran baru ya. Mom akan membuatkan pakaian musim dingin untukmu."
Mommy Anna seorang designer yang hebat, Leandro mengakui itu. Sejak Leandro kecil, bahkan sejak masih di dalam perut ibunya, Mommy Anna selalu membuatkan berbagai macam baju untuknya. Dan Leandro selalu menyukainya bahkan membangga-banggakan kehebatan Mommy Anna pada teman-temannya hingga membuat mereka semua iri dan ingin memiliki Mom seperti Mommy Anna.
Leandro kecil selalu menjadi kesayangan Mommy Anna, begitu juga sebaliknya. Lalu, semua berubah dalam sekejap ketika Mama Jasmine meninggal karena kecelakaan. Dan bayi mungil yang ditunggu kehadirannya selama 10 tahun oleh Mom dan Dad, terlahir ke dunia dan mengalihkan semua perhatian orang-orang di sekitarnya.
"Ah ya, Mom pikir kau juga butuh jas baru untuk ke kantor. Mau yang warna apa?"
"Terserah Mom saja."
"Kau cocok memakai semua jenis warna." Mommy Anna menepuk pundak Leandro. "Eh, lihatlah, adikmu baru pulang menonton bioskop bersama teman-teman lamanya."
Leandro menoleh ke belakang, terlihat Edelweiss melewati pintu dengan pakaian kasual serta tas bermotif kelinci miliknya.
"Lihat siapa yang datang, Sayang!" seru Mommy Anna pada Edelweiss.
Edelweiss sama sekali tidak menoleh pada Leandro. Gadis itu hanya mengecup pipi ibunya sembari berkata, "Aku lelah, Mom. Mau tidur. Mommy hati-hati di jalan. Cepatlah, Mom. Dad sudah menunggu di depan."
Mommy Anna mengernyitkan dahi ketika Edelweiss setengah berlari menaiki tangga menuju kamar. "Sayang, kau tidak menyapa kakakmu?"
"It's okay, Mom." Leandro menenangkan. "Pergilah, Dad menunggumu."
"Kalian sedang bertengkar?"
"Sejak kecil kami memang sering bertengkar."
"Tapi ... ah, sudahlah. Nanti kita bicara lagi. Mom pergi dulu, Lee."
Leandro memperhatikan langkah Mommy Anna sampai wanita itu menghilang di balik pintu. Lantas, Leandro berlari secepat mungkin menyusul Edelweiss. Gadis itu baru saja masuk ke kamarnya dan bersiap menutup pintu. Namun, sebelum pintu tertutup rapat, Leandro terlebih dulu menyelinap, dan dengan gerakan kilat mendorong tubuh Edelweiss hingga pintu terbanting dan lelaki itu menghimpit tubuh adiknya di sana.
"Mencoba melarikan diri dariku?" Leandro mencengkeram kedua pergelangan tangan Edelweiss dan menahannya di atas kepala gadis itu.
"Pergilah, Kak. Ada banyak orang di rumah ini."
Bukannya pergi, sebelah tangan Leandro justru mengunci pintu kamar dan memasukkan anak kuncinya ke saku celana jeans yang dikenakannya.
"Kak Lee!" Edelweiss menatap kakaknya tajam.
Leandro membalas tatapan itu dengan sama tajamnya. "Kau pikir caramu kabur dari London itu bagus? Jika merasa memiliki masalah denganku, selesaikan baik-baik, bukan melarikan diri seperti pecundang."
"Aku tidak merasa memiliki masalah denganmu, jadi tidak perlu ada yang diselesaikan."
"Kau menyesal memberikan keperawananmu padaku?"
Mendengar kalimat itu, seketika Edelweiss memalingkan wajahnya. Pertanyaan Leandro mengingatkan Edelweiss pada setiap sentuhan, cumbuan, dan hunjaman yang memberikan sensasi kenikmatan. Detik itu juga, desiran aneh kembali menjalar ke seluruh tubuhnya. Seharusnya Leandro tidak mengingatkannya.
"Aku tidak ingin membahas itu lagi." Edelweiss berusaha melepaskan cengkeraman Leandro, tetapi lelaki itu sudah mengantisipasinya.
Leandro tidak memberikan kesempatan sedikit pun pada gadis itu untuk melarikan diri darinya lagi. "Tatap aku, Bodoh!"
"Aku tidak mengerti kenapa kau menjadi begini?" Edelweiss melempar tatapan bengis pada Leandro. "Kenapa masih saja menggangguku? Berhenti mengikutiku, bukankah kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan? Ruam merah yang kau bilang alergi alkohol, itu sama persis dengan ruam merah yang aku dapat ketika kau meniduriku. Sejak kapan kau mengincar keperawananku?"
"Bukan itu pertanyaan yang seharusnya kau ajukan!" geram Leandro. "Seharusnya kau bertanya kenapa selama ini aku selalu mengawasimu, dan kenapa aku melarangmu dekat dengan lelaki lain?"
"Apa itu penting?"
"Sangat penting."
"Baiklah, jika aku bertanya tentang itu, jawaban apa yang akan kau berikan?"
Sesaat sebelum menjawab, Leandro menarik napas panjang, "Karena aku mencintaimu."
Hening. Waktu seolah berhenti berputar. Leandro hampir tidak mempercayai ucapannya sendiri. Ia baru saja mengungkapkan perasaan pada adik tirinya? Apa yang ia harapkan dari kejujuran itu? Apa pun itu, cinta yang tidak semestinya hadir di antara mereka, tetaplah sebuah kesalahan.
Leandro tersenyum miris. "Anggaplah aku sudah gila, atau memang aku sudah tergila-gila padamu. Yang kusebut cinta bukan semata-mata karena menginginkan keperawananmu. Kau tahu, aku berusaha mati-matian untuk tidak menyentuhmu. Dan ketika kupikir aku sedang berhalusinasi malam itu, kau justru menyerahkan diri padaku. Saat itu kau memilih untuk tidak berlari, mungkinkah karena kau juga ... mencintaiku?"
"Sama sekali tidak. Aku hanya tidak bisa mengendalikan diri."
"Bohong!" Leandro melepaskan cengkeramannya. Lengan kekarnya menarik dan merengkuh tubuh Edelweiss hingga gadis itu membentur tubuhnya. Ia merunduk dan berbisik dengan lembut. "Katakan kau mencintaiku meski mustahil bagi kita untuk bersatu."
"Aku tidak mencintaimu."
"Jika kau terus berbohong, aku terpaksa mencari jawaban dengan cara lain." Jemari Leandro membelai pipi Edelweiss, kemudian menyerangnya dengan ciuman.
Entah kenapa Leandro mengulangi kesalahan yang sama untuk kesekian kali. Meski kali ini dia hanya ingin tahu respon Edelweiss, tetap saja itu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pembenaran. Dan Leandro harap kali ini Edelweiss mendorongnya, menamparnya, atau menendangnya karena sudah lancang memagut bibirnya. Tapi, apa yang dilakukan gadis itu sekarang? Membalas ciumannya!
Bukankah itu jawaban atas pertanyaan Leandro? Jika bukan karena mencintai Leandro, Edelweiss tidak mungkin membalas ciuman lelaki itu. Anggaplah itu sebagai respon alam bawah sadar yang mengakui bahwa mereka saling mencintai.
Oke, Leandro sudah mendapatkan jawaban dan seharusnya ia mengakhiri kegilaan ini. Tapi, bukannya menjauh dari adiknya, lelaki itu justru semakin bersemangat mencecap manisnya bibir itu, seolah ia tidak rela jika harus kehilangan rasa nikmat yang sudah terlanjur mereka reguk. Ya, tidak ada di antara mereka yang menginginkan kenikmatan itu berakhir.
Ketika hawa nafsu sudah mengambil alih akal sehat, maka api gairah pun dengan cepat memercik dan menjalar di antara dua orang insan yang saling merindukan. Leandro tidak perlu berdalih bahwa ciuman ini hanya sebuah skenario, tapi ia menciumnya karena dia memang menginginkan gadis itu.
Dan Edelweiss hanya bisa pasrah, dan lagi-lagi ia mulai menyerah oleh gairah yang bergejolak di dalam dirinya. Sekalipun beberapa saat lalu ia ingin menampar kakaknya, tetapi sialnya tubuhnya justru tidak sejalan dengan otaknya. Ia membalas ciuman Leandro. Saling mencecap, saling memagut, saling bertukar kenikmatan sampai tidak sadar jika mereka sudah mulai kembali mendobrak pembatas yang seharusnya membentengi diri mereka.
Leandro membuka T-shirt Edelweiss, lantas menarik tubuh gadis itu hingga berguling di atas ranjang. Ia mencumbu gadis itu dengan gairah penuh, menyusuri setiap inchi permukaan kulit yang begitu halus dengan sentuhan-sentuhan liarnya. Sentuhan yang membuat Edelweiss mencengkeram sprei sembari mendesah lirih.
"Kau sangat indah, Little Butterfly," bisik Leandro dengan suara parau. Jemarinya menyusup ke balik panty yang dikenakan gadis itu. Menyentuh dan membelai sesuatu yang panas dan basah oleh gairah, pertanda bahwa gadis itu siap untuk menyambut lelakinya.
Begitulah, kesalahan yang kembali terulang lagi. Leandro yang sudah melepas seluruh pakaiannya, mengungkung tubuh polos Edelweiss. Ia mengecup leher gadis itu, sedikit memberikan gigitan kecil di sana hingga tubuh itu menggelinjang tidak sabar menginginkan sesuatu yang lebih.
"I love you, Little Butterfly." Leandro meletakkan pusat tubuhnya di bawah sana, menggodanya dengan sedikit sentuhan, menyesuaikan celah sempit yang membuatkan sedikit kesulitan untuk memasukinya.
Edelweiss menjerit tertahan ketika sesuatu yang berotot di bawah sana menghunjam ke inti tubuhnya. Ia mencengkeram punggung Leandro, menahan diri agar tidak berteriak terlalu keras ketika lelaki itu menggerakkan pinggulnya. Lelaki itu dengan begitu lihai menyerang Edelweiss dengan rentetan kenikmatan yang tiada henti. Berkali-kali menyeret gadis itu ke puncak dan mencapai klimaks.
Desah napas yang memburu dan saling bersahutan itu berpadu dengan erangan. Tubuh keduanya bermandikan keringat meski sejak tadi AC menyala dan membuat ruangan sejuk. Leandro bergerak semakin cepat, hingga di satu waktu ia menarik dirinya dari kedalaman sana. Mendekap tubuh Edelweiss erat-erat, menikmati euforia ketika ia meledakkan dirinya.
***
To be Continued
Aku lanjut next part setelah banyak yang komen di part ini ya 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro