PART 28
Novel My Little Butterfly sudah tersedia di Shopee ya.. Cuma ada 3 eks aja..
***
JAKARTA, INDONESIA
Dari jendela kaca mobil, Edelweiss mengawasi rumah megah milik keluarganya. Akhirnya, ia kembali ke rumah yang sangat dirindukannya. Ya, dia memutuskan untuk meninggalkan London dan segala cerita yang pernah terukir di sana.
"Mommy!" Begitu turun dari mobil, Edelweiss menghambur ke pelukan Mommy Anna yang sudah menunggunya di teras rumah.
"Akhirnya, putri kesayangan Mommy kembali! Sudah Mom duga sejak awal, kau tidak akan bisa hidup jauh dari Mom."
"Miss you, Mom!" Gadis itu mengecup kedua pipi ibunya.
"Miss you too, Princess. Mama sudah memasak gulai ayam kesukaanmu. Masuklah duluan, Mom akan memeriksa taman sebentar. Ada tukang kebun baru yang mulai bekerja hari ini."
"Okay, Mom."
"Biar saya bawakan kopernya ke kamarmu, Nona Edelweiss." Seorang maid mengambil-alih koper dari tangan Anna.
"Terima kasih." Edelweiss tersenyum. "Aku makan dulu, Mom. Aku sangat merindukan masakan Mommy."
"Selamat menikmati, Sayang." Anna mengusap kepala Edelweiss, kemudian melangkah menuju taman di depan rumah.
Edelweiss menarik napas panjang, menghirup udara sepuasnya. Lega rasanya bisa melarikan diri dari kenyataan. Tiga minggu sejak kejadian malam itu, ia merasa tersiksa. Di satu sisi ia selalu mencoba menghindari Leandro, tapi di sisi lain ia juga sangat merindukannya. Lebih baik jika berjauhan seperti kali ini, mungkin Edelweiss akan lebih cepat melupakan kakaknya.
Edelweiss tahu benar, belakangan ini Leandro diam-diam sering mengetuk pintu kamarnya. Hanya saja, Edelweiss berpura-pura tidak mendengar dan lebih memilih untuk tidak menemui lelaki itu. Sampai saat ini Edelweiss masih belum bisa memahami kenapa Leandro melakukan hal itu.
Oke, lupakan semua hal membosankan itu. Mata Edelweiss berbinar ketika mendapati gulai ayam dan nasi hangat sudah terhidang di meja. Seorang maid sudah bersiap di sana, mengambilkan nasi ke piring untuk Edelweiss.
"Kami senang kau kembali ke rumah ini, Nona Edelweiss," ucapnya.
Edelweiss duduk di kursi dan bersiap menyantap nasi dan gulai ayam favoritnya. "Aku juga senang bisa kembali dan makan enak di rumah. Di London mana ada makanan seenak ini. Ambil piring satu lagi, kita makan bersama."
"Tidak usah, aku baru saja selesai makan bersama Nyonya. Oh ya, kau sudah tahu belum, Nona? Tuan dan Nyonya sedang merencanakan perjodohanmu dengan putra dari rekan bisnis mereka."
"Perjodohan?" Mata Edelweiss melebar. Ia urung memasukkan nasi ke dalam mulutnya. "Kalian pasti salah dengar. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, mana ada perjodohan-perjodohan semacam itu."
"Tapi lelaki yang akan dijodohkan denganmu sangat tampan. Aku yakin kau akan menyukainya."
Edelweiss mengibaskan tangan di depan wajah. "Usiaku masih 17 tahun, masih ingin bebas dan belum ingin memikirkan pernikahan."
"Apa salahnya, Nona? Dulu aku menikah di usia 15 tahun, dan bisa hidup bahagia sampai saat ini."
"Aku akan menikah dengan lelaki yang aku cintai, bukan dengan lelaki yang dijodohkan Mom dan Dad."
"Jadi sekarang kau sudah menemukan Pangeran yang sejak kecil kau dambakan kehadirannya? Mata wanita tua itu berbinar, menatap Edelweiss penuh harap.
"Emmm ... mungkin suatu saat nanti." Edelweiss memasukkan nasi gulai ayam ke mulutnya. Ia mengunyahnya perlahan, menikmati setiap kelezatan perpaduan antara kaldu dan rempah-rempah. Namun, begitu makanan itu meluncur ke mulutnya, Edelweiss buru-buru meraih gelas berisi air putih dan meminumnya.
"Kenapa, Nona?"
Edelweiss menatap nasi di hadapannya dengan malas. "Sepertinya aku sudah bosan dengan gulai ayam. Bisa tolong buatkan pasta carbonara saja?"
"Oke, Nona. Kau pasti masih kelelahan. Beristirahatlah, nanti aku antar pastanya ke kamar."
"Tambahkan mushroom dan daun parsley yang banyak."
"Eh, biasanya kau tidak suka mushroom dan daun parsley."
"Sekarang aku menyukainya." Edelweiss melangkah cepat meninggalkan dapur. "Nanti katakan pada Mama, aku ingin tidur sebentar."
Sembari berlari menuju kamar, Edelweiss menutup mulutnya. Perutnya terasa mual. Barangkali efek terlalu lama naik pesawat, meski biasanya ia tidak seperti itu. Atau mungkin selera makanannya sudah berubah. Entahlah, dia enggan terlalu banyak berpikir. Gadis itu hanya ingin secepat mungkin berada di kamar mandi dan ... memuntahkan isi perutnya.
"Oh, sial. Bisa-bisanya aku mabuk setelah turun dari pesawat." Edelweiss membasuh wajahnya. Beberapa saat yang lalu ia baik-baik saja, lalu sekarang ia merasa lemas dan mengantuk.
Gadis itu pun mengempaskan dirinya ke atas ranjang yang empuk. Ia memeluk guling erat-erat dan matanya melirik jam di atas nakas. Sepuluh menit lagi. Ia sudah tidak sabar ingin menikmati pasta carbonara dengan mushroom dan taburan daun parsley.
***
"Adikmu sudah sampai di rumah. Tadi aku sudah menyuruh orang untuk menjemputnya di bandara."
Mendengar kabar dari ayahnya, Leandro menghela napas. "Baguslah."
"Apa kalian bertengkar? Kenapa tiba-tiba adikmu ingin pindah ke Jakarta lagi?"
"Tidak usah heran dengannya, Dad. Sudah kuduga sejak awal, gadis manja seperti dia tidak akan bisa hidup sendirian dan jauh dari keluarga."
"Dad juga berpikir seperti itu. Tapi, ini sedikit mengherankan. Apa dia memiliki masalah dengan teman-temannya?"
"Sepertinya tidak. Teman-temannya terlihat sangat baik padanya."
"Syukurlah. Selama ini kau selalu mengawasinya kan?"
"Ya."
"Dia tidak terjerumus ke pergaulan bebas?"
Leandro terdiam sesaat, untuk kemudian menjawab ragu. "Tidak."
"Terima kasih sudah menjaga putriku dengan baik, Lee. Dad bangga padamu, kau sudah menjadi kakak yang baik untuk adik perempuanmu."
Leandro hanya bergumam singkat. Ia merasa bersalah. Bagaimana seandainya Dad tahu bahwa Leandro sudah merenggut kesucian gadis itu? Dad pasti sangat kecewa padanya, dan bahkan menghajarnya tanpa ampun. Bayi mungil yang pernah tumbuh bersamanya, pada akhirnya dia ambil sesuatu yang paling berharga dalam dirinya.
"Jika kau merindukan rumah, pulanglah. Kami akan sangat senang jika bisa berkumpul bersamamu."
"Oke, Dad."
"Dad sedang sibuk sekarang. Nanti kita lanjut ngobrolnya."
"Hemmm .... Bye, Dad!"
Leandro melempar ponselnya ke atas bantal. Ia memijit keningnya, tidak bisa berhenti memikirkan Edelweiss. Gadis itu meninggalkan apartemen tanpa seizinnya. Salah satu teman Leandro yang berlagak sebagai mata-mata mengabarkan bahwa gadis itu pergi ke bandara. Lalu, Leandro memastikan kabar itu pada Hilda. Kata Hilda, Edelweiss memang sudah sejak dua minggu yang lalu merencanakan kepergiannya ke Jakarta. Meninggalkan London tanpa berniat untuk kembali lagi.
Gadis itu sengaja melarikan diri darinya? Sejak kejadian malam itu, Edelweiss memang jelas-jelas selalu menghindarinya. Leandro tahu, selain karena kesalahan besar yang sudah mereka buat, Edelweiss jelas merasa bersalah pada Rebecca.
"Lee ...."
Suara Rebecca membuyarkan lamunan Leandro. Wanita itu berdiri di ambang pintu, mengawasi Leandro dengan tatapan yang lembut.
"Sejak tadi aku memanggilmu, tapi kau tidak mendengarnya," ucap Rebecca.
"Ya? Maaf, aku hanya sedikit mencemaskan adikku."
"Aku sudah memasak pasta carbonara kesukaanmu. Ayo makan, setelah ini aku akan pulang ke apartemenku."
Leandro tidak menolak ajakan Rebecca. Ah ya, belakangan ini Leandro memang tidak banyak membantah wanita itu. Hanya saja, Leandro menekankan bahwa dia tidak bisa bercinta dengan wanita itu sebelum menikah. Leandro ingin belajar menghargai prinsip yang selama ini diajarkan keluarganya, no sex before marriage.
Dua piring pasta carbonara dengan campuran mushroom sudah tersaji di atas meja. Sausnya terlihat creamy, dilengkapi dengan hijaunya daun parsley membuat sajian masakan itu nampak semakin menarik. Setiap kali Rebecca berkunjung ke apartemen Leandro, ia sering menyempatkan diri untuk memasak makanan favorit kekasihnya.
"Adikmu sudah sampai di rumah?" Rebecca membuka percakapan. Ia menuang jus jeruk ke dalam gelas dan meletakkannya di dekat Leandro.
"Sudah. Kata Dad dia baru saja sampai."
"Kenapa dia pergi tanpa izinmu? Apa kalian bertengkar?"
Leandro mengangkat bahu. "Tidak usah heran. Sejak dulu kami memang jarang akur."
"Oh ya, waktu aku membersihkan kamarmu tadi, aku menemukan liontin di laci meja. Itu milikmu?"
"Ya, itu milikku."
Rebecca menarik napas panjang. "Aku membuka liontinnya yang berbentuk separuh hati. Kau ... menyimpan foto Edelweiss di liontin itu?"
Leandro hampir saja tersedak mendengar pertanyaan Rebecca. "Mom membuatkan sepasang liontin itu untuk hadiah ulang tahun adikku, katanya sih sebagai wujud kasih sayangnya pada kami sama besarnya. Tapi sepertinya liontin milik kami tertukar. Adikku memberikan liontin miliknya padaku, dan menyimpan yang seharusnya menjadi milikku."
"Syukurlah." Rebecca menghela napas lega dan tersenyum. "Aku hampir saja berpikir yang tidak-tidak."
"Kau pikir aku menjalin hubungan dengannya? Aku masih cukup waras untuk mengingat di tubuh kami mengalir darah yang sama." Leandro kembali fokus pada pasta carbonara di hadapannya. Membahas hubungan yang tidak seharusnya, membuat pikirannya kacau. Lihatlah, bahkan Rebecca mulai mengendus sesuatu yang salah di antara Leandro dan Edelweiss.
Leandro ingin mencoba melupakan, tetapi semakin mengenyahkan perasaan itu, bayang-bayang wajah gadis itu selalu menari-nari di kepalanya. Terlebih ketika Rebecca sudah pergi dan Leandro tinggal sendirian di kamarnya.
Leandro memeriksa laci nakas, mengambil liontin yang ditinggalkan Edelweiss di sana. Sembari berbaring di ranjang, Leandro membuka liontin berbentuk separuh hati. Di dalamnya, nampak wajah Edelweiss yang sedang tersenyum. Sangat manis. Mata birunya terlihat begitu indah dan memikat. Mata yang akan menenggelamkan siapa pun yang berani mencoba menelusuri kedalamannya.
Ya, dan Leandro sudah benar-benar tenggelam di kedalaman sana. Terjebak dan begitu sulit untuk melarikan diri. Ah, Leandro yang selama ini nekat melanggar batas. Yang ia tidak tahu, ia harus bersiap menanggung semua resiko atas keberaniannya menenggelamkan diri di kedalaman lautan biru.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro