Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 27

Hai, masih adakah yang nunggu cerita ini update? Masih mau baca kelanjutannya? Novel My Little Butterfly udah terbit ya, dan aku masih pertimbangkan untuk lanjut di sini atau gak. Jadi gini aja deh, kalau cerita ini masih rame banyak yang komen, aku bakal lanjut sampai tamat. Tapi kalau sepi yang komen cuma 1 atau 2 orang, kemungkinan aku gak lanjutin di sini..

Btw novel My Little Butterfly sisa 3 eks ya. Yang berminat bisa WA ke 08568627278 sebelum kehabisan 🥰🥰🥰

***

Leandro memijit keningnya, kepalanya masih terasa pusing efek mabuk semalam. Ia menoleh ke samping, menemukan seorang wanita berambut panjang tertidur pulas dengan posisi membelakanginya. Selimut tebal menutupi tubuh telanjang itu sebatas dada.

"Oh, shit!" umpatnya. Meski semalam Leandro mabuk, tetapi ia masih mengingat jelas peristiwa semalam. Penyatuan tubuh yang begitu hebat. Percintaan panas paling nikmat yang pernah Leandro rasakan. Ya, ia sangat menikmati dan puas karena bisa berfantasi menggauli gadis yang dicintainya.

Peduli apa sekalipun wanita itu adalah orang asing yang tidak dikenalnya, selagi alkohol mampu membuatnya berhalusinasi dan di dalam pandangan matanya, Leandro menatapnya sebagai Edelweiss. Dan bonusnya, Leandro bisa mencicipi bagaimana rasanya menembus batas keperawanan.

Tapi, dengan kesadaran yang sudah sepenuhnya kembali, tentu saja Leandro tidak ingin mengulangi percintaannya dengan wanita itu lagi. Rasanya pasti berbeda, karena ia tidak lagi melihat wanita itu sebagai Edelweiss.

Leandro menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya, kemudian turun dari ranjang dan memungut seluruh pakaiannya yang bertebaran di mana-mana. Ia cepat-cepat memakainya, lalu meraih blouse dan layered skirt warna pink lembut, serta pakaian dalam milik wanita itu. Ia meletakkannya di atas ranjang.

Dahi Leandro berkerut. Seingatnya, semalam wanita itu mengenakan mini dress warna merah dengan parfum yang begitu menyengat. Sangat jauh berbeda dengan pakaian beraroma vanilla yang selalu menjadi favorit Leandro. Apa wanita itu mengganti pakaiannya? Mungkin Alfred yang memberitahu aroma favorit Leandro, sehingga wanita itu pun memakai parfum yang sama demi bisa menggoda Leandro. Entahlah.

"Hei, bangunlah! Ini sudah pagi. Pakai bajumu," ujar Leandro dari sisi ranjang. Ia jelas tidak berminat mendekati wanita itu lagi dan membangunkannya dengan cara menyentuh bahu atau kepalanya.

Leandro melihat wanita itu sedikit bergerak, lalu kembali diam. Seolah tidak peduli dengan ucapan Leandro. Dan sekarang, tangannya malah menarik selimut dan membenamkan kepalanya di bawah sana.

"Berapa yang harus kubayar untuk keperawananmu?" tanya Leandro.

Tak kunjung ada jawaban. Yang ada malah suara isak tangis yang samar-samar terdengar. What? Wanita itu menangis? Menyesal karena Leandro sudah merenggut keperawanannya? Leandro menghela napas. Dia menghampiri wanita itu dan dengan kasar menarik selimut hingga wajah dan sebagian tubuh wanita itu terekspose. Dan Leandro hampir mati berdiri detik itu juga.

Kenapa adiknya bisa berada di sini dengan tubuh telanjangnya? Ah, kali ini Leandro jelas tidak sedang berhalusinasi. Gadis itu memang Edelweiss. What the fuck! Apa sejak semalam Leandro memang tidak berhalusinasi? Dia benar-benar tidur dengan adik tirinya? Dia yang mengambil keperawanan gadis yang seharusnya ia jaga?

"Apa yang kau lakukan di sini, Bodoh!" Leandro berteriak frustrasi.

Lagi-lagi gadis itu tidak menjawab. Ia cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lagi. Jemarinya mencengkeram ujung bantal kuat-kuat. Cairan bening mengalir deras dari matanya.

"Argh!!!" Leandro menyambar vas bunga di atas nakas dan membantingnya. Ia meraih ponsel untuk menelepon Alfred.

"Ada apa meneleponku sepagi ini? Kau menggangguku, Dude!"

"Di mana wanita yang bersamaku semalam?"

"Ah ya, tentang itu. Dia sedang bersamaku sekarang."

"Bagaimana dia bisa bersamamu? Aku sudah membayarnya!" Suara Leandro naik satu oktaf.

"I'm sorry. Dia memang bersamamu semalam, tetapi adikmu mengusirnya. Wanita itu kembali ke club dan aku pun menggantikanmu."

"Bagaimana adikku bisa tahu keberadaan kami?"

"Edelweiss meneleponku dan aku terpaksa—"

"Seharusnya kau tidak memberitahunya, Brengsek!"

"Kau marah padaku? It's okay, jika kau memang benar-benar menginginkan wanita ini, aku akan membayarnya nanti malam untukmu."

"Tidak usah! Kali ini aku tidak akan memaafkanmu!" Leandro memutuskan sambungan telepon.

Leandro duduk di sisi ranjang, kedua tangannya mengepal erat. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Sekadar memeluk gadis itu untuk menenangkan tangisnya pun rasanya Leandro tidak memiliki nyali. Ia yang semalam berpikir sedang berfantasi tentang adiknya, ternyata dia memang sedang benar-benar merenggut mahkota gadis itu.

"Aku pernah menyuruhmu berlari," desis Leandro. "Tapi kenapa kau justru tetap berdiri di sini dan membiarkanku mengambil keperawananmu? Kau tidak berpikir seberapa besar kesalahan itu sampai-sampai kau rela menyerahkan hal paling berharga milikmu pada lelaki brengsek sepertiku?"

"Tidak bisakah kau berhenti menyalahkanku?" Edelweiss berteriak di antara tangisannya. "Aku juga tidak tahu kenapa bisa seperti itu!"

"Kau dalam keadaan sadar! Kau memegang penuh atas kendali dirimu! Kalau saja kau berlari, semua itu tidak akan pernah terjadi!" Leandro menatap Edelweiss tajam.

"Ya! Semuanya salahku!"

"Sekarang berhentilah menangis! Pakai bajumu dan pulang!"

"Pergilah, tinggalkan aku di sini. Aku ingin sendiri."

Leandro menghela napas. Apa ia terlalu keras pada adiknya? Gadis itu tidak sepenuhnya salah, Leandro juga memiliki andil yang sama. Kalau saja ia tidak pernah berfantasi tentang adiknya, mungkin ini tidak akan pernah terjadi. Saat ini Edelweiss adalah pihak yang paling dirugikan, tetapi Leandro justru memakinya dan menyalahkannya.

"Baiklah, aku yang salah." Leandro melembutkan suaranya. Ia mengambil beberapa helai tisu dari atas nakas, lalu menghapus air mata Edelweiss. "Kau boleh mandi sekarang, aku akan menunggumu di lobi."

Leandro melangkah pergi, meski sebenarnya ia tidak tega jika harus meninggalkan adiknya seorang diri. Bagaimana jika semalam ia bermain terlalu kasar dan menyakiti gadis itu?

Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menoleh pada Edelweiss. "Apa ... rasanya masih sakit? Jika kau kesulitan berjalan, aku akan menggendongmu ke kamar mandi."

"Pergilah, aku bisa melakukannya sendiri."

Bukannya pergi, Leandro justru kembali ke ranjang dan membungkus tubuh Edelweiss dengan selimut, kemudian menggendongnya ke kamar mandi. Tidak peduli meski gadis itu memberontak. Dengan hati-hati, Leandro menurunkan gadis itu di dekat box shower.

"Kau yakin tidak membutuhkan bantuanku?"

Edelweiss menggeleng. "Pergilah."

Leandro meraih Edelweiss ke dalam pelukannya. "Maaf, seharusnya aku tidak melakukan ini padamu. Selama ini aku mampu melindungimu dari lelaki-lelaki brengsek di luar sana, tetapi ternyata justru aku tidak mampu melindungimu dari hasratku sebagai seorang lelaki. Pukul aku sepuasmu jika itu bisa menebus kesalahanku padamu."

"Aku hanya ingin minta satu hal darimu."

Leandro menangkup kedua pipi adiknya. "Katakan, aku pasti akan mengabulkannya."

"Jangan pernah sakiti Rebecca lagi. Kembalilah padanya, dia sangat mencintaimu."

Argh!!! Ingin rasanya Leandro berteriak sekuat tenaga dan melampiaskan kemarahannya. Ya, ia marah dengan permintaan adiknya. Bagaimana mungkin ia harus kembali pada Rebecca sedangkan hatinya sudah terlanjur berlabuh di hati wanita lain?

"Itu satu-satunya jalan agar aku bisa memaafkanmu." Edelweiss berkata dengan suara gemetar. Cairan bening mengambang di pelupuk mata. "Aku merasa bersalah padanya. Aku sudah berjanji untuk membuatmu kembali padanya, tetapi semalam aku justru mengkhianatinya. Tolong jangan membuatku merasa menjadi wanita paling jahat di dunia, Kak."

Persetan dengan Rebecca! Aku hanya mencintaimu! Ah, nyatanya Leandro hanya berani meneriakkan kalimat itu di dalam hatinya. Matanya tenggelam di kedalaman mata biru milik adiknya. Sungguh, Leandro merasa bersalah karena sudah menodai gadis itu. Meski di dalam benaknya ada satu pertanyaan yang sangat mengganggunya.

"Oke, jika itu yang kau inginkan. Tapi, ada satu pertanyaan yang harus kau jawab."

"Tidak ada yang perlu ditanyakan lagi."

"Kenapa kau memberikannya padaku? Kau pernah berkata hanya akan memberikannya pada suamimu di malam pertama pernikahan kalian suatu saat nanti."

"Karena aku kehilangan akal sehatku." Gadis itu mengerjap, cairan bening kembali bergulir di pipi. "Kau puas sekarang?"

Leandro tersenyum tipis, kecewa dengan jawaban yang diberikan Edelweiss. Apa yang kau harapkan Lee? Berharap Edelweiss merelakan kesuciannya direnggut olehmu karena dia juga mencintaimu?

"Oke." Leandro mengangguk singkat. "Aku mengerti."

Sekali lagi, ditatapnya tubuh yang terbungkus selimut itu. Beberapa ruam kemerahan terlihat jelas di lehernya yang jenjang, jejak percintaan semalam.

Sepeninggal Leandro, Edelweiss membuka selimut yang membalut tubuhnya. Ia melangkah menuju box shower. Menyalakan kran dan membiarkan air hangat mengguyur seluruh tubuhnya. Matanya terpejam, ia menggigit bibir bawahnya. Sebisa mungkin menahan diri agar tidak menangis kencang.

Apa ini yang dinamakan penyesalan? Sialnya, Edelweiss justru tidak bisa membenci percintaan semalam. Ia terlalu menikmatinya dan tidak bisa melupakannya. Rasa perih masih sedikit terasa di pusat tubuhnya. Tapi, ia begitu menyukai kenikmatan yang ditawarkan Leandro. Sentuhan, kecupan, dan hunjaman yang memberikan sensasi nikmat di setiap sel-sel tubuhnya.

Kesalahan manis yang membuat Edelweiss akan kehilangan momen special ketika malam pernikahannya dengan sang suami suatu saat nanti. Seharusnya ini tidak pernah terjadi. Hawa nafsu memang seringkali membuat seseorang menjadi bodoh, bukan? Mungkin bagi sebagian orang, melepas keperawanan sebelum pernikahan merupakan hal yang lumrah terjadi. Namun, tidak demikian dengan didikan keluarga Edelweiss. Ia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh orang tuanya.

Ah, ia terlalu malu. Bahkan mungkin setelah ini ia tidak memiliki nyali lagi untuk sekadar saling bertatap mata dengan Leandro. Barangkali setelah ini mereka akan menjadi orang asing. Orang asing yang memiliki tempat paling istimewa jauh di kedalaman hatinya. Percintaan panas semalam itu hanya akan menjadi kenangan, dan rasa cinta itu serupa bunga yang layu setelah sang kumbang menghisap madu. Layu, mengering, dan abadi selamanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro