Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 22

Edelweiss melirik jam dinding yang terpajang di ruang tamu. Pukul 20.10 dan ia mulai kelaparan, padahal sore tadi dia sudah memakan pizza. Seharian berada di rumah memang sangat membosankan. Ia hanya bisa bermain ponsel dan menonton drama korea favoritnya. Beruntung Leandro dengan sabar menemaninya. Jika tidak, Edelweiss pasti merasa sangat kesepian.

"Mau alpukat atau mangga?" tanya Leandro sembari membuka kulkas.

"Dua-duanya boleh." Edelweiss berseru.

"Oke."

Tak lama, Leandro datang membawa sepiring mangga dan alpukat yang sudah dipotong-potong. Ia menyodorkan piring itu pada Edelweiss.

"Malam ini tidurlah sendiri, jangan manja. Dengarkan musik klasik agar cepat tertidur."

"Iya, kau sudah berkali-kali mengatakan itu."

"Katanya ingin hidup mandiri. Tapi kenyataannya apa?"

"Wajar, Kak. Namanya sedang sakit. Tapi kau sudah merawatku, sekarang aku jauh lebih membaik dan tidak akan merepotkanmu lagi. Terima kasih buahnya."

Edelweiss menusuk potongan mangga dengan garpu dan memasukkannya ke mulut. Buah berwarna kekuningan itu terasa sangat manis di lidah. Ya, semanis hari-hari yang ia lewati. Kalau boleh jujur, ia sangat menyukai perlakuan Leandro padanya. Lelaki itu menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang kakak, merawat adiknya yang sedang sakit dengan baik. Rasanya, Edelweiss tidak ingin hari bahagia ini cepat berlalu.

Namun sayangnya senyumnya memudar ketika tiba-tiba Rebecca datang dengan membawa sebuah koper. Mata wanita itu terlihat sembab dan wajahnya mengisyaratkan sebuah kesedihan.

"Aku pergi dari rumah," ujar Rebecca dengan suara serak. "Boleh aku tinggal di sini sampai aku mendapatkan apartemen?"

"Kamar sebelah masih ditempati Edelweiss. Dia masih belum pulih dan tidak bisa pergi dari sini," jawab Leandro. Entah kenapa kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Aku sudah membaik, Kak. Tidak apa-apa, aku bisa tidur sendiri. Nanti aku akan kembali ke unit atas."

"Tidak bisa," bantah Leandro. "Kau tetap tidur di kamarmu, Rebecca bisa tidur di kamarku."

"Tapi, Kak—"

"Jangan membantah." Tatapan Leandro beralih pada Rebecca. "Bisa kita bicara?"

Rebecca mengangguk. Leandro mengambil-alih koper dari tangan Rebecca dan membawanya masuk ke kamar. Wanita berambut panjang itu mengikuti mantan kekasihnya.

Mendadak Edelweiss kehilangan selera makan. Mata birunya mengawasi pintu kamar Leandro yang sudah tertutup rapat. Perasaan macam apa ini, kenapa melihat sepasang mantan kekasih itu masuk ke ruangan yang sama, dada Edelweiss terasa sesak? Benarkah ini yang dinamakan cemburu? Atau sakit hati membayangkan kemungkinan lelaki itu bercinta dengan wanita yang ... liar di atas ranjang?

Edelweiss menggigit bibir bawahnya. Kau tidak boleh memiliki perasaan ini, Edelweiss. Leandro kakakmu, kau tidak boleh melupakan fakta itu.

***

"Aku membatalkan pertunanganku dengan Betrand. Mama dan Papa marah, lalu mengusirku dari rumah."

Leandro mengisap rokok dalam-dalam, kemudian mengembuskan asapnya ke depan. Kepulan asap putih berterbangan di area balkon kamar. Rebecca nampak mengibaskan tangannya, menghalau asap yang terbang ke arah hidungnya.

"Uncle Dean sudah menceritakan semuanya padaku. Edelweiss adikmu. Maaf karena sudah salah paham padamu." Rebecca kembali mengisi keheningan malam dengan kalimatnya. "Seharusnya kau memberitahuku sejak awal."

"Kau terlebih dulu mengkhianatiku," tegas Leandro sembari menatap tajam Rebecca. "Kau pikir aku bisa dengan mudah menerima fakta bahwa kau tidur dengan lelaki lain?"

"Aku mengaku salah. Aku minta maaf dan aku ingin ... kembali padamu."

"Tolong, aku tidak sedang ingin membahasnya sekarang."

"Kau ingin aku pergi dari sini? Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku—"

"Tetaplah di sini. Hanya saja, tolong jangan membicarakan hubungan kita saat ini. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan luka yang kau torehkan." Leandro mencengkeram teralis pembatas balkon. Ia kembali mengisap nikotin untuk sedikit menghilangkan kegalauannya.

"Aku bisa merasakan kalau kita masih saling mencintai." Rebecca berdiri di belakang Leandro dan memeluk pinggang lelaki itu erat-erat, tidak peduli sekalipun asap rokok berterbangan dan terhirup masuk ke dalam paru-parunya. "Aku akan menunggu sampai kau memaafkanku dan menerimaku kembali. Aku mencintaimu, Lee. Sangat mencintaimu."

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu mematung di tempatnya. Leandro pernah berharap Rebecca memohon untuk kembali padanya. Namun, ketika harapannya terkabul, anehnya Leandro sama sekali tidak merasa bahagia.

Bahkan ketika lengan wanita itu mendekap pinggangnya, Leandro justru teringat ketika ia sedang mendekap Edelweiss. Aroma jasmine yang dulu menjadi favoritnya, nyatanya kini tidak mampu menarik perhatiannya lagi. Dia justru merindukan aroma vanilla lembut yang selalu ia hirup dari tubuh adiknya.

Tuhan, tolong cegah Leandro melakukan kesalahan yang terlalu jauh. Jika benar yang ia rasakan adalah sesuatu yang bernama cinta, maka hapuskanlah perasaan itu dari hatinya. Jangan biarkan ia terperosok semakin dalam dan terjebak dalam sebuah hubungan terlarang.

"Masuklah ke kamar dan tidurlah, kau butuh istirahat. Pertengkaranmu dengan kedua orang tuamu pasti sangat menguras emosimu."

"Kau tidak ingin menemaniku?"

"Nanti aku menyusul. Sekarang aku ingin menjernihkan pikiran."

"Oke, aku tunggu." Rebecca melepaskan dekapannya, beralih berdiri di samping Leandro lalu meraih wajah lelaki itu. Rebecca berjinjit dan mengecup bibir Leandro sebelum meninggalkan balkon. "Aku merindukanmu."

Argh! Bahkan kecupan itu melemparkan Leandro pada titik di mana dia mencumbu tubuh Edelweiss. Leandro menjentik rokok dengan ujung jari, ia tersenyum miris. Sudah gilakah dia? Kenapa semua yang dilakukan Rebecca justru mengingatkannya pada semua tentang Edelweiss?

Saat ini bahkan Leandro ragu, akankah ia menerima Rebecca lagi atau tidak. Bahkan mungkin jika Leandro menerimanya kembali, itu bukan murni karena lelaki itu masih mencintai mantan kekasihnya. Leandro hanya ingin menjadikan Rebecca sebagai pelarian, setidaknya agar dia bisa melupakan seseorang yang tidak seharusnya bersemayam di dalam hatinya.

***

Edelweiss bertepuk tangan dua kali, seketika lampu padam dan suasana kamar berubah menjadi gelap. Hanya ada sedikit cahaya rembulan yang menerobos masuk melalui celah tirai jendela yang sengaja tidak ditutup rapat.

Gadis itu menatap langit-langit kamar. Hampir 15 menit ia memutar musik klasik dari ponsel, tapi matanya sama sekali tidak mau terpejam. Jiwanya memang berada di kamar itu, tetapi sepertinya raganya tertinggal di kamar sebelah. Ah ya, sejak tadi tidak ada tanda-tanda Leandro keluar dari kamarnya sejak lelaki itu masuk bersama Rebecca.

Sedang apa mereka di sana? Melepas rindu? Bercinta dengan liar di atas ranjang? Edelweiss menghela napas kasar. Kenapa ia repot-repot memikirkannya, sedangkan Leandro mungkin saat ini sudah melupakannya dan bersenang-senang dengan mantan kekasihnya. Ah ya, bukan mantan lagi, mereka pasti sudah berbaikan dan kembali menjalin hubungan kan? Poor Edelweiss! Menangislah karena cintamu bertepuk sebelah tangan! Cinta terlarang pula!

Musik klasik mengalun semakin merdu. Edelweiss memejamkan mata rapat-rapat. Berusaha melenyapkan semua pikiran tentang lelaki yang dengan lancang menerobos masuk ke hatinya yang terdalam. Mencintainya adalah sebuah dosa, Edelweiss! Maka kau harus berusaha mati-matian untuk membunuh setiap tunas yang tumbuh semakin subur di hatimu!

Edelweiss hampir saja terlelap jika tidak ada gerakan seseorang yang naik ke atas ranjang, lantas ia merasakan dekapan lengan kekar yang begitu hangat. Aroma musk yang sangat familiar di hidung Edelweiss bercampur dengan aroma nikotin terasa menusuk hidung.

"Kak Lee ...."

"Yes, Little Butterfly."

Edelweiss menoleh, mata mereka bertemu di dalam kegelapan. Terkunci dalam sebuah situasi yang membuat jantung mereka berdetak cepat. Little Butterfly. Ah, kalau saja saat itu ruangan dalam keadaan terang, pasti wajah Edelweiss sudah terlihat memerah. Panggilan special itu selalu mampu menciptakan debaran lembut di dadanya.

"Kenapa datang ke sini? Seharusnya kau bersama Rebecca. Bukankah drama kita sudah selesai dan kalian memutuskan untuk kembali menerima satu sama lain?"

"Jangan banyak bertanya." Leandro semakin memperketat pelukannya. Kepalanya menyuruk di ceruk leher Edelweiss. "Biarkan tetap seperti ini."

"Kau bertengkar dengan Rebecca?"

"Diamlah, aku sedang tidak ingin mendengar apa pun."

"Kau takut aku tidak bisa tidur seperti semalam? Pergilah, aku baik-baik saja."

"Jangan memaksaku untuk membungkam mulutmu." Leandro menarik wajah Edelweiss hingga dahi dan hidung mereka saling bersentuhan.

Lalu, waktu seolah berhenti berdetak. Sungguh, Edelweiss sangat membenci situasi ini. Ah, ralat. Membenci sekaligus menyukai detak jantung sialan ini? Dan juga desah napas yang saling bersahutan seolah mereka sedang saling memperebutkan oksigen untuk pasokan paru-paru mereka?

"Aku bilang diam, aku sedang membutuhkan ketenangan," bisik Leandro.

Argh! Sial! Aroma mint yang bercampur dengan nikotin itu selalu saja menciptakan desiran halus di pembuluh darah Edelweiss. Jemari Leandro terulur, mengusap bibir Edelweiss yang setengah terbuka. Sentuhan halus tetapi cukup membuat gadis itu merasakan sengatan halus dan membuatnya tidak berdaya.

Edelweiss menelan salivanya. Wait! Jantung yang berdetak cepat, napas memburu, sentuhan yang menghantarkan gelombang serupa sengatan arus listrik, tubuh memanas dan desiran halus menjalar di seluruh pembuluh darahnya. Deskripsi macam apa itu? Kenapa semuanya persis seperti yang dibahas Leandro pagi tadi? Leandro tidak sedang menggodanya kan? Lelaki itu tidak sedang menawarkan sebuah kenikmatan kan?

"Kak Lee ...."

"Yes, Little Butterfly?"

"Kau ... mengganggu tidurku."

"Sorry." Lelaki itu tersenyum lembut. "Kau takut aku berbuat macam-macam padamu?"

"Tidak, hanya saja—"

"Napasmu memburu, aku bahkan bisa mendengar detak jantungmu. Tenang saja, aku masih cukup waras untuk mengendalikan akal sehatku. Tapi, sedikit meminta ciuman darimu aku rasa tidak masalah."

Edelweiss membuka mulutnya untuk memprotes, tetapi kesempatan itu justru digunakan Leandro untuk mencium gadis itu dan menginvasi di kedalamannya. Menyerang kupu-kupu kecilnya dengan sedikit kenikmatan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya.

Tenang saja, Leandro tahu batasannya. Hanya sedikit ciuman saja. Sungguh!

***

To be Continued
20 April 2024

Di KaryaKarsa udah hampir tamat ya. Yang mau baca duluan bisa ke sana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro