PART 21
Aroma vanilla yang lembut. Itu aroma yang pertama kali Leandro hirup ketika membuka mata. Lantas, pemandangan seorang gadis cantik yang tertidur dengan berbantalkan lengan Leandro, membuat lelaki itu tanpa sadar menyunggingkan sebuah senyuman. Gadis itu masih terpejam, dan Leandro tidak tega jika harus membangunkannya. Lebih tepatnya, Leandro tidak ingin mengusik Edelweiss karena ia masih ingin menikmati rasa nyaman ini.
Atau barangkali Leandro juga masih mengantuk setelah terjaga hampir di sepanjang malam? Ternyata, menjaga orang sakit cukup melelahkan. Terlebih anak manja seperti Edelweiss. Princess yang terbiasa dimanjakan oleh orang-orang di sekitarnya. Tapi anehnya, Leandro menikmatinya.
Jemari Leandro terulur untuk membelai pipi kemerahan milik Edelweiss. Gadis polos itu jauh terlihat lebih menawan ketika sedang terlelap seperti kali ini. Oh, astaga! Tidak seharusnya Leandro mengagumi keindahan di depannya dengan debaran aneh di hatinya.
Usapan lembut Leandro mengusik Edelweiss. Gadis itu terbangun dan mengerjapkan matanya, kemudian menoleh pada Leandro. Mata biru itu menatap sayu kakaknya. Ah ya, rupanya Leandro memang sudah jatuh cinta pada mata biru yang bersorot indah itu sejak pertama kali mereka saling bersitatap. Tujuh belas tahun yang lalu, ketika Mom meletakkan bayi merah Edelweiss di dalam dekapan lengan mungil Leandro. Leandro yang saat itu meneteskan air mata bahagia karena bertemu dengan adik perempuannya.
Leandro menghela napas. Ingatan masa lalu itu semakin memaksa Leandro untuk sadar, mencintai adiknya adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
"Kau tidak tidur semalaman?" tanya Edelweiss lesu.
"Aku baru saja terbangun."
"Terima kasih sudah menemaniku. Rasanya aku tidur nyenyak semalam." Edelweiss berusaha bangkit, tetapi Leandro justru menahannya.
"Tidak perlu buru-buru. Kau masih memiliki banyak waktu untuk melanjutkan tidurmu."
"Eh, sudah jam enam pagi. Nanti kau terlambat ke kantor."
"Hari ini aku cuti." Leandro mendekap Edelweiss, enggan melepaskannya.
"Ada yang aneh denganmu. Kenapa mendadak bersikap baik padaku?" Edelweiss memicingkan mata.
"Kau sedang sakit. Aku jelas tidak bisa berkelahi denganmu. Salahkah jika seorang kakak mencoba bersikap baik pada adiknya?"
"Jadi kau bersikap baik hanya saat aku sakit saja? Setelah sembuh, kau akan kembali bersikap dingin padaku?"
"Kita lihat saja nanti. Sekarang lanjutkan tidurnya."
"Hem ...." Edelweiss bergumam. Gadis itu kembali memejamkan mata. Akan tetapi, dering ponsel milik Leandro cukup mengusik ketenangannya.
Leandro meraih ponsel yang tergeletak di sisi ranjang dan menerima telepon dari ayahnya. "Ya, Dad?"
"Aku menelepon Edelweiss tetapi tidak diangkat. Tolong periksa apartemennya, apakah dia baik-baik saja?"
"Tidak perlu cemas, Dad. Dia bersamaku."
"Bersamamu?"
"Maksudku dia baru saja datang ke apartemenku untuk sarapan. Dia memintaku untuk membuatkan nasi goreng favoritnya. Sepertinya ponselnya tertinggal, jadi dia tidak mengangkat teleponnya." Leandro menyodorkan ponselnya pada adiknya.
"Hai, Dad!" sapa Edelweiss.
Terdengar helaan napas lega di seberang sana. "Astaga, Princess. Kau membuat kami khawatir saja. Sejak tadi Mom menelepon tetapi tidak ada jawaban."
"Ah ya, maaf. Ponselku tertinggal."
"Kau baru datang ke apartemen kakakmu? Kau tidak menginap di situ kan?"
"Tentu saja tidak. Aku hanya sedang merindukan nasi goreng khas Opa Leon, dan Kak Lee sudah diberitahu resepnya oleh Opa."
"Baguslah kalau begitu. Jaga diri baik-baik, oke?"
"Iya, Dad. Nanti aku telepon lagi. Aku akan membantu Kak Lee menyiapkan nasi gorengnya. Salam sayang untuk Mom."
"Nanti Dad sampaikan. Belajar yang rajin, hati-hati dalam berteman, jangan sampai salah pergaulan. Berikan ponselnya pada kakakmu."
Edelweiss mengembalikan ponselnya pada Leandro.
"Ya, Dad?"
"Adikmu tidak pernah lepas dari pengawasanmu kan?"
"Tentu saja."
"Bagus. Jaga dia baik-baik, jika ada lelaki brengsek yang mencoba mendekatinya, segera beri peringatan padanya. Jangan sampai adikmu terjerumus pada pergaulan yang salah. Dia masih sangat polos dan sebelumnya Dad selalu membatasinya ketika berteman dengan seorang lelaki. Kau paham maksudku kan?"
"Aku mengerti. Dad tidak usah cemas. Waktu itu aku sudah menghajar lelaki brengsek yang diam-diam mengincarnya. Siapa pun yang berusaha merusak kepolosannya, dia akan berhadapan denganku."
"Thanks, Lee. Dad percaya padamu. Oke, lanjutkan masaknya. Adikmu pasti sudah kelaparan."
"Oke. Bye, Dad!"
Leandro menghela napas kasar. Sepertinya Dad mempercayai orang yang salah. Ya, Leandro memang menjaga Edelweiss dari lelaki brengsek di luar sana, tetapi ironisnya justru Leandro sendirilah yang merusak kepolosan adiknya. Beberapa kali menciumnya, dan bahkan hampir merenggut kesuciannya.
"Sekarang kau tahu kenapa aku harus mengembalikanmu ke unit atas? Mendengar kau datang pagi-pagi ke apartemenku saja Dad sudah kalang kabut."
"Dad memang terlalu berlebihan. Kita kakak beradik, mana mungkin melakukan hal yang tidak-tidak."
"Selain kakakmu, aku juga lelaki dewasa. Kau harus ingat itu."
Edelweiss tertawa. "Aku percaya padamu. Kau tidak mungkin mengambil keperawanan adikmu sendiri kan? Aku tahu kau masih cukup waras untuk bisa berpikir jernih. Kau kakak yang baik, tidak perlu ada yang aku takutkan darimu."
"Jangan terlalu polos, Gadis Bodoh!"
"Ngomong-ngomong, aku menyukai panggilan special-mu untukku, Kak."
"Gadis Bodoh?"
"Little Butterfly."
Leandro melebarkan matanya. "Aish ... aku tidak pernah memanggilmu seperti itu."
"Aku mendengarnya. Semalam." Edelweiss tersenyum, rona merah menjalar dengan cepat di kedua pipinya. "Aku menyukai panggilan itu."
"Semalam kau berkali-kali mengigau. Yang kau dengar itu pasti hanya mimpi."
"Hemmm ...." Edelweiss menggeleng. "Tidak. Aku bahkan masih bisa merasakan lembutnya belaian tanganmu. Ah, aku ingin kau memanggilku dengan sebutan itu lagi."
"Kau salah dengar. Sudahlah, aku akan membuatkan nasi goreng untukmu sebagai bukti untuk ditunjukkan pada Dad kalau kita tidak berbohong." Leandro menyibak selimut dan beranjak dari tempat tidur. Ia membuka pintu dan langkahnya terhenti ketika Edelweiss memanggilnya.
"Kak Lee!"
Leandro menoleh ke belakang dan menatap adiknya, "Yes, Little Butterfly!"
Edelweiss tertawa renyah. "Thanks for loving me. Meski kita tidak terlahir dari rahim ibu yang sama, tapi kita memiliki darah yang sama dari Dad, dan itu cukup untuk menjadikan kita sebagai adik kakak yang saling menyayangi satu sama lain."
"Aku lebih suka berkelahi denganmu daripada harus menyayangi satu sama lain. Kau adik yang membosankan dan menyebalkan."
"Masa bodoh! Aku akan tetap menyayangimu!" Edelweiss tertawa lagi.
***
"Cheese!" Edelweiss mengarahkan kamera ponselnya pada Leandro yang sedang meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja makan. "Dad harus tahu bahwa putranya menjaga putrinya yang lain dengan baik."
"Aish ... jangan membuatku terlihat seperti pembantumu." Leandro duduk di hadapan Edelweiss.
Edelweiss mengubah kamera belakang menjadi kamera depan, lengannya terjulur ke depan, memastikan dirinya dan Leandro berada dalam satu frame yang sama. "Cheese!"
Leandro memasang wajah masamnya di depan kamera. "Foto yang buruk sekali."
"Bukan fotonya yang buruk, tapi kau pelit senyum. Tidak masalah, setidaknya ini bisa membuat Dad percaya kalau aku datang ke sini untuk sarapan."
"Nanti malam biasakan tidur sendiri. Jika merasa kesepian, kau bisa mendengarkan musik klasik."
Edelweiss menarik piring ke dekatnya. Nasi goreng berwarna keemasan itu mengepul hangat, menguarkan aroma khas rempah-rempah dan bawang goreng. Terlihat sangat nikmat.
"Satu malam lagi saja, temani aku. Please!"
"Tidak bisa. Aku tidak nyaman ada orang lain di tempat tidurku."
"Tidak nyaman? Huh, omong kosong. Sudah berapa banyak wanita yang tidur seranjang denganmu?"
"Wanita yang mana? Jangan sembarangan bicara."
"Wanita-wanita malam di club, jangan pura-pura lupa."
Leandro tersenyum sinis. "Aku tidak pernah tidur dengan mereka."
"Bohong."
"Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku tidak pernah sembarangan membawa wanita ke ranjang, apalagi wanita malam yang sering bergonta-ganti pasangan. Sorry to say, benihku terlalu mahal untuk disemai di sembarang tempat."
"Begitu?" Edelweiss menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. "Dengan wanita berkelas pun, tapi tetap saja kau melakukannya di luar pernikahan. Kenapa orang-orang bisa dengan mudah melakukan seks bebas? Bukankah itu artinya tidak akan ada lagi sesuatu yang istimewa di malam pertama pernikahan nanti? Honeymoon apa? Itu bukan lagi sesuatu yang manis dan special, mengingat segel yang sudah terbuka dan sudah tahu rasanya."
"Baguslah jika kau memiliki pemikiran seperti itu. Artinya aku tidak perlu takut kau terjerumus ke pergaulan bebas. Tapi, kau yakin bisa menahan diri? Sekarang kau mungkin bisa dengan mudah menentang seks di luar pernikahan. Seringkali seseorang akan kehilangan akal sehat ketika dikuasai hawa nafsu."
"Oh ya?"
"Berhati-hatilah ketika sedang bersama dengan seorang lelaki. Jika kau merasakan jantungmu berdetak cepat, napas yang memburu, lalu sentuhannya membuatmu seperti tersengat arus listrik, lalu tubuhmu memanas dan desiran halus menjalar di seluruh pembuluh darahmu. Segera berlari dan menghindar. Jika tidak, kau akan tergoda untuk mencicipi kenikmatan yang ditawarkan lelaki itu. Kenikmatan sesaat, selebihnya hanya tipu daya yang akan merugikanmu sendiri."
Mulut Edelweiss setengah terbuka memperhatikan penjelasan kakaknya. "Sebegitu kuatkah godaannya?"
"Lihatlah, baru mendengarnya saja kau sudah penasaran. Apalagi jika kau merasakan godaannya secara langsung. Aku yakin kau tidak akan bisa menghindar."
"Jangan terlalu cepat menilaiku, Kak." Edelweiss tersenyum sinis. "Aku type seseorang yang teguh memegang prinsip."
"Sungguh?" Leandro menaikkan kedua alisnya. "Sekarang aku yang penasaran sepandai apa kau bisa menahan godaan."
"Mau mencoba menggodaku?" Edelweiss mengedipkan sebelah mata.
"Aish ... berani sekali perawan ini menantangku. Bocah sepertimu tidak masuk dalam list wanita yang bisa bercinta denganku. Kau sama sekali tidak berpengalaman dan pasti akan sangat membosankan. Aku suka wanita yang liar di atas ranjang." Jemari Leandro terulur untuk membelai pipi adiknya. "Bisa ganti topik, Princess? Pembicaraan ini membuat wajahmu memerah. Ah ya, lagipula kau sama sekali tidak cocok menjadi wanita penggoda."
"Wajahku memerah pasti karena uap panas nasi goreng ini. By the way, ini rasanya hampir sama persis seperti buatan Opa Leon. Aku beri nilai 99 dari 100." Edelweiss menunduk lalu tergesa-gesa menyantap nasi goreng di hadapannya.
Leandro menarik jemarinya dari pipi Edelweiss. Mata hitamnya tidak lepas dari wajah adiknya. Gadis yang sedang tersipu karena membicarakan topik dewasa itu semakin terlihat menawan di mata Leandro. Ah, perasaan aneh itu datang lagi.
***
To be Continued
11 April 2024
Yang mau baca duluan bisa ke KaryaKarsa ya..
Selamat Idul Fitri bagi semua yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro