Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 20

"Sudah sejauh mana?" tanya Dean setelah menyesap Cappucino dari cangkir di hadapannya.

"Apanya?" Leandro menahan napas.

"Jangan berpura-pura bodoh, Lee. Kita bicara di sini sebagai dua orang lelaki dewasa. Apa perlu aku perjelas? Tinggal bersama dengannya, berpura-pura menjadi sepasang kekasih, menginap di villa dalam kamar yang sama, dan ruam merah yang kita tahu itu bukan alergi."

"Aku tidak merusak gadis itu, Uncle. Sungguh. Meskipun kami tinggal bersama, tapi kami masih menjaga batasan sebagai adik dan kakak."

"Lalu bagaimana dengan ruam merah itu? Tidak mungkin Betrand yang melakukannya kan? Kau bilang tidak datang terlambat. Dan kau dengan mudahnya membohongi adikmu bahwa itu alergi. Dia mabuk dan tidak mengingat apa pun. Apa yang kau lakukan padanya semalam?"

Leandro menghela napas kasar, ia tidak bisa mengelak lagi. "Maaf, aku khilaf."

"Lee!"

"Tapi sungguh, aku hanya menciumnya saja. Tidak lebih. Aku masih bisa mengendalikan diri untuk tidak menodainya."

"Tetap saja itu namanya melewati batasan, Lee. Dia adikmu. Bagaimana mungkin kau bisa melakukan itu padanya?"

"Tolong jangan katakan ini pada Mom dan Dad. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh!"

"Kau mencintainya sebagai seorang lelaki dewasa yang mencintai wanitanya? Atau kau hanya dibutakan hawa nafsu karena dia sangat menarik di matamu dan membangkitkan hasrat lelakimu?"

"Maaf, aku tidak bisa menjawabnya. Sungguh, setelah Edelweiss sembuh, aku akan memindahkannya ke unit atas lagi. Dan aku juga akan menjaga jarak dengannya agar hal itu tidak terulang lagi. Aku berjanji, Uncle. Tolong mengertilah. Aku sendiri tidak bisa memahami perasaanku."

"Kau mencintainya," tegas Dean.

"Maaf, aku salah."

"Tidak ada yang salah dengan cinta. Kau boleh mencintainya, tapi satu hal yang harus kau ingat. Hakikat mencintai adalah menjaga kesuciannya, bukan merusaknya." Dean menepuk pundak Leandro perlahan, kemudian beranjak dari kursi dan mengambil iced cappuccino dan sandwich pesanan Edelweiss.

Leandro mematung di tempatnya, mengawasi Dean yang terlebih dulu pergi meninggalkan café. Dahi Leandro berkerut, heran dengan sikap Dean. Awalnya Leandro pikir Dean akan memarahinya habis-habisan, terlebih ketika membuat pengakuan tentang ia yang tidak bisa memahami perasaannya terhdap Edelweiss.

Dean hanya memberikan kesimpulan bahwa Leandro memang mencintai Edelweiss. Lalu, memberikan nasehat singkat agar Leandro menjaga kesucian gadis itu. Hanya itu! Wait! Leandro semakin tidak mengerti. Kenapa Uncle Dean seolah tidak menentang cinta yang salah? Malah mendukungnya?

Atau bagi Uncle Dean, cinta Leandro itu hanya sekadar cinta sesaat yang akan hilang dengan sendirinya jika Leandro menjauh dari Edelweiss? Bagaimanapun juga Uncle Dean yang notabene berasal dari Indonesia pasti masih menjunjung norma dan budaya timur. Mendukung cinta terlarang, itu jelas tidak mungkin.

Leandro menyesap iced mocha latte dari gelasnya. Sikap Uncle Dean benar-benar membuat Leandro semakin galau. Leandro bahkan lebih memilih jika Uncle Dean memukulnya habis-habisan dan mengingatkan Leandro agar jangan sekali-kali mencintai adik tirinya. Bukankah itu lebih masuk akal?

***

"Kak Lee!" Terdengar suara ketukan di pintu kamar Leandro.

Lelaki itu melirik jam digital yang terpasang di dinding. Pukul 00.15 dini hari dan Edelweiss mengetuk pintu kamarnya. Gadis itu belum tidur?

"Boleh aku masuk? Aku tidak bisa tidur. Aku merindukan Mommy." Ada kesedihan di dalam suara gadis. "Kau belum tidur kan?"

Leandro terdiam, tetap berbaring di ranjang. Sepertinya berpura-pura tidur jauh lebih baik daripada membuka pintu dan membiarkan Edelweiss masuk. Ayolah, Leandro sedang menjaga jarak dengan adiknya.

"Aku masuk sekarang, oke?"

Pintu terbuka. Edelweiss berdiri di ambang pintu dengan kruk di sisi kanan dan kirinya. "Jangan masuk! Pergilah, aku sedang tidak ingin diganggu!"

"Bisakah untuk kali ini kau jangan memarahiku? Aku merindukan Mommy." Gadis itu menggigit bibir bawahnya, seperti sedang menahan tangis.

"Kau bisa meneleponnya."

Edelweiss menggeleng. "Aku tidak bisa tidur. Kaki dan seluruh tubuhku terasa nyeri. Biasanya Mom yang selalu menemaniku saat aku sakit. Memelukku dan mengusap kepalaku sampai aku tertidur."

Leandro menghela napas kasar. Princess yang selalu dimanjakan oleh semua orang di sekitarnya! Mendengar suara sendunya dan mata biru yang sudah berkaca-kaca, bagaimana mungkin Leandro bisa membentaknya lagi? Tapi membawa gadis itu masuk ke kamarnya juga rasanya tidak mungkin.

"Kau ingat sewaktu kecil kita pernah liburan di villa Oppa Leon tanpa Mom dan Dad. Saat itu aku sakit, lalu Oppa Leon dan kau menemaniku tidur. Kau memegang tanganku sepanjang malam. Tidak bisakah kau kali ini kau melakukannya lagi? Please!" Edelweiss mengusap setitik cairan bening yang terjatuh di pipinya.

Mana mungkin Leandro tega mengusir kupu-kupu kecilnya? Gadis yang biasanya selalu ceria kali ini kelihatan tidak berdaya. Meski di satu sisi Leandro ingin sekali meminta gadis itu untuk pergi, tetapi di sisi lain hatinya berteriak, 'Dia adikmu, Lee! Tidak bisakah kesampingkan egomu dan tunjukkan tanggung jawabmu sebagai seorang kakak yang akan selalu menjaga adiknya?'

"Tidak boleh?" Setitik cairan bening kembali terjatuh di pipi lembut Edelweiss. "Baiklah, aku akan kembali ke kamarku lagi."

Leandro menghampiri Edelweiss. Ia mengambil kruk dari tangan adiknya dan menyandarkannya di dinding. Tanpa aba-aba, lelaki itu meraih tubuh gadis itu ke dalam gendongannya, kemudian menutup pintu kamar menggunakan sebelah kakinya.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Leandro. Lelaki itu membawa adiknya ke tempat tidur dan membaringkannya di sana. Setelah menutupi tubuh gadis itu dengan selimut, dia berbaring di sampingnya dengan posisi membelakangi gadis itu dengan punggungnya.

"Thanks," ucap Edelweiss. "Aku tahu, sejak dulu kau tidak tega melihatku menangis sendirian."

Hening sesaat. Leandro masih enggan menanggapi setiap kalimat yang keluar dari mulut Edelweiss. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi sialnya rasa kantuknya seolah menghilang seketika. Terlebih ketika gadis itu kembali memperlihatkan kecerewetannya.

"Waktu berlalu begitu cepat ya? Kau ingin tahu apa yang aku rasakan ketika dulu kau memutuskan pindah ke New York? Aku merasakan ada sesuatu yang menghilang dari hidupku. Rasanya seperti kosong dan membosankan karena aku sendirian. Saking membosankannya, aku sengaja mencari masalah dengan kakak kelas hanya agar aku bisa berkelahi dengan mereka." Edelweiss tertawa. "Mom dan Dad dipanggil ke sekolah. Kalau bukan karena Opa yang seorang penyumbang dana terbesar di sekolah, aku pasti sudah dikeluarkan. Emmm ... apa kau tidak merasa kesepian ketika tinggal di New York tanpaku?"

Hening lagi. Beberapa saat kemudian, Edelweiss kembali bersuara. "Sudah kuduga. Aku memang tidak pernah berarti dalam kehidupanmu. Aku yang selalu mengganggumu, selalu menjahilimu, selalu berkelahi denganmu. Bahkan sampai saat ini aku juga merepotkanmu." Suara Edelweiss mulai terdengar serak, dia kembali menahan tangis. "Maaf, aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya ingin mendapatkan perhatian dari kakak laki-lakiku. Tapi kau masih saja tidak mengacuhkanku. Apa aku memang seburuk itu di matamu? Hanya karena kita terlahir dari rahim ibu yang berbeda?"

Leandro mencengkeram ujung bantal erat-erat. Mendengar adiknya terisak, entah kenapa kini justru dadanya yang terasa sesak. Merasa bersalah? Mungkin saja. Atau kalimat Edelweiss mengingatkannya pada masa kecil mereka? Masa di mana Leandro melihat kepergian ibunya dan tidak pernah kembali.

"Mommy, aku merindukanmu." Gadis itu terisak. "Aku tidak bisa tidur. Kakiku sakit sekali, Mom."

Leandro menggertakkan gigi. Ia membalikkan badannya, kemudian meletakkan sebelah lengannya di bawah kepala Edelweiss. Jemarinya terulur untuk menghapus air mata yang membasahi wajah gadis itu.

"Berhenti menangis jika kau ingin aku tetap menemanimu di sini," ucap Leandro datar.

"Jangan pergi. Aku mohon." Edelweiss berusaha menghentikan isak tangisnya.

"It's okay." Leandro membelai kepala adiknya dengan lembut. "Tidurlah, aku menjagamu."

Edelweiss mencengkeram T-shirt Leandro erat-erat, memastikan lelaki itu akan terus berada di sampingnya. Isak tangisnya mulai mereda, merasa nyaman ketika jemari kokoh kakaknya membelai dengan lembut. Seperti yang biasanya dilakukan Mom ketika Edelweiss sakit.

Hanya butuh waktu lima menit bagi Edelweiss untuk tertidur. Cengkeraman di T-shirt Leandro terlepas, dan napasnya menderu teratur.

Leandro menghentikan belaiannya. Ia mengecup puncak kepala Edelweiss dengan hati-hati, sebisa mungkin Leandro tidak ingin membuat Edelweiss terbangun. Netra hitamnya menatap wajah polos itu dengan tajam. Ya, perpaduan kepolosan dan kecantikan yang sempurna. Bulu mata lentik dan alis yang tebal, hidung yang sangat pas dengan proporsi wajah, serta bibir pink alami dan sensual.

Debaran aneh itu datang lagi. Semakin lama, Leandro bahkan yakin jika perasaan aneh itu memanglah cinta. Sesuatu yang tidak seharusnya hadir di antara mereka. Bayi mungil yang pernah berada dalam dekapan lengan kecil Leandro, kini telah beranjak dewasa. Dan sialnya, Leandro tergoda meski gadis itu tidak pernah menggodanya.

"Kak Lee ...." Gadis itu meracau dalam tidurnya, persis seperti ketika dia masih kecil. "Kak Lee ...."

"Yes, Little Butterfly ...."

"Kak Lee, jangan pergi ...."

"Ssst ... aku tidak ke mana-mana." Leandro menarik tubuh Edelweiss agar semakin merapat padanya. Sekali lagi dikecupnya puncak kepala gadis itu, lalu lengan kekarnya mendekap erat tubuh yang semakin lelap di dalam tidurnya.

Aroma vanilla itu begitu menenangkan hati Leandro. Barangkali ini akan menjadi aroma favorit yang akan selalu dirindukan Leandro. Bolehkah Leandro meminta agar malam ini berjalan begitu lambat agar ia bisa lebih lama mendekap Edelweiss? Karena mungkin saja ini pelukan terakhirnya untuk kupu-kupu kecilnya. Ketika mereka terbangun esok hari, mereka harus kembali pada kenyataan, cinta terlarang itu tidak seharusnya hadir di antara mereka.

Pada akhirnya, Leandro harus merelakan kupu-kupu kecilnya mengepakkan sayap cantiknya dan terbang bebas di udara. Lalu ... Leandro hanya bisa mengaguminya dari kejauhan tanpa bisa menjamahnya. Ah, kedengarannya menyakitkan. Tapi, begitulah hidup. Tidak semua yang kau inginkan akan selalu menjadi milikmu.

***

To be Continued
28 Maret 2024

Di KaryaKarsa udah update part terbaru sampai Part 38 ya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro