PART 19
Tidak perlu ada drama romantis lagi. Tentu saja Edelweiss menyambut keputusan Leandro dengan gembira. Artinya kali ini dia bisa berlibur tanpa harus berpura-pura menjadi pasangan romantis yang menurutnya sangat membosankan. Ah, ralat. Bukan membosankan, melainkan membuat jantungnya ... berdetak kencang?
"Kau yakin ingin memakai roller skate sampai ke danau? Tidak ingin naik mobil bersama kami?" tanya Leandro.
"Tentu saja, ini sangat menyenangkan."
"Kau belum memahami medan di sini. Ada beberapa jalan yang curam dan cukup berbahaya untukmu."
"Tidak perlu mencemaskanku, aku seorang professional." Edelweiss mengeluarkan sepatu roda berwarna putih dari dalam koper. "Oh ya, tentang kau yang menginginkan Rebecca kembali, perlu aku bantu bicara dengannya?"
"Tidak perlu. Aku bisa mengurusnya sendiri."
"Lalu bagaimana dengan Betrand? Aku pikir dia tidak akan semudah itu melepaskan calon istrinya."
"Kau meragukanku? Aku bisa dengan mudah menyingkirkan lelaki itu."
"Tapi orang tua Rebecca tidak merestui hubungan kalian."
"Kau tidak tahu apa-apa, jadi jangan banyak berkomentar. Aku lebih tahu tentang kehidupanku dan kehidupan Rebecca. Kami saling mencintai, bagi kami itu sudah cukup untuk melewati berbagai rintangan dalam hubungan kami." Leandro keluar dari kamar dan meninggalkan Edelweiss sendirian.
Edelweiss tertunduk, mengusap sepatu roda dengan gerakan lembut. Seharusnya ia senang karena kakaknya akan kembali bersama wanita yang dicintainya. Tetapi kenapa sekarang ia justru merasakan dadanya terasa sesak, seolah ia tidak rela jika lelaki itu ... menjadi milik wanita lain.
Gadis itu menghela napas kasar, mencoba menghalau perasaan aneh di dalam hatinya.
***
"Edelweiss memang gadis yang multitalent," puji Rebecca tulus. "Sekarang aku tahu kenapa kau menyukainya. Dia gadis yang periang dan menyenangkan."
Leandro tidak menanggapi ucapan Rebecca. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil, sementara matanya tidak berhenti mengawasi Edelweiss yang sedang mempertontonkan aksinya bermain roller skate. Tubuh yang terbalut celana jeans sepaha dan T-shirt putih itu dengan lihai meliuk-liuk di jalanan beraspal menggunakan roller skate.
Bukan hanya kakinya yang lincah bergerak, tetapi tangan gadis itu juga bergerak dengan gemulai. Ujung sweater transparan yang melapisi kaosnya, berterbangan oleh angin yang berembus cukup kencang. Dan itu memberikan daya tarik tersendiri bagi gadis itu.
Ah, sial. Sampai kapan Leandro akan memuji daya tarik gadis itu? Meski ribuan kali membantahnya, tapi lagi-lagi alam bawah sadarnya memang selalu mengagumi keindahan yang dimiliki adiknya.
"Ini sangat menyenangkan!" Edelweiss melambaikan tangan pada Rebecca. "Kalian yakin tidak mau mencoba?"
"Lihat ke depan, Bodoh! Kau bisa jatuh!" Leandro berteriak kesal.
"Jangan khawatir! Aku seorang professional!" Edelweiss tersenyum lebar. Kembali meliuk-liukkan tubuhnya di jalanan yang memiliki pemandangan hijau di kanan dan kirinya.
Leandro menyugar rambut. Ia sengaja mengalihkan pandangannya pada perbukitan. Ia berjanji, selesai liburan kali ini, ia akan menjaga jarak dengan Edelweiss. Kalau perlu mengembalikan Edelweiss ke apartemennya sendiri. Peduli apa meski gadis itu bergaul dengan Albert atau siapa pun itu, asalkan tidak menjalin kedekatan dengan Leandro.
"Hati-hati, jalanan di depan menurun!" Rebecca berseru mengingatkan.
Edelweiss menoleh ke belakang tanpa menghentikan laju roller skate-nya. "Kau bilang apa? Aku tidak mendengarnya!"
Namun, sebelum Rebecca mengulangi perkataannya, Edelweiss sudah terlebih dulu kehilangan keseimbangan di jalanan yang menurun. Tubuh gadis itu tergelincir ke jalanan dan terguling ke semak-semak yang posisinya lebih rendah dari posisi jalan.
"Aaaahhhhh ...!!!"
Betrand menginjak pedal rem, Leandro refleks melompati pintu mobil dan berlari menghampiri tempat adiknya terjatuh. Tergesa-gesa lelaki itu menuruni semak-semak dan menemukan Edelweiss sudah terkapar di atas rerumputan.
"Sakit sekali," ringis Edelweiss. "Kakiku ... ahhh ... sakiiiiit!"
"Sudah kuperingatkan kau tidak mengenal medan ini dengan baik, tapi kau keras kepala. Sekarang apa yang terjadi?"
"Jangan memarahiku sekarang, Bodoh! Aku sedang kesakitan!"
***
Liburan yang mereka impikan akhirnya gagal total. Edelweiss mengalami patah pergelangan kaki dan dokter sudah memberikan pengobatan di rumah sakit terdekat. Siang harinya, Leandro membawa gadis itu pulang ke apartemen.
Entah takdir yang sedang tidak berpihak pada Leandro, atau memang semesta tidak menginginkan lelaki itu menjauh dari adiknya. Lihatlah kaki Edelweiss yang terpasang gips dan Leandro harus menggendongnya sampai di dalam kamar. Setelah ini, tentu saja Leandro tidak bisa meninggalkan adiknya tanpa pengawasan, setidaknya sampai cedera di kakinya benar-benar pulih.
"Aku tidak memberitahu Mom dan Dad. Jika mereka datang, situasi akan bertambah rumit," ujar Leandro.
"Oke, tidak masalah. Asal kau bersedia melayaniku. Kau tahu, biasanya saat sedang sakit Mom dan Dad sangat memanjakanku."
"Kau pikir aku akan memanjakanmu seperti Mom dan Dad? Jangan harap. Lagipula kau sakit juga karena salahmu sendiri."
"Ayolah, berhenti menyalahkanku. Aku sedang sakit."
"Cepatlah sembuh agar tidak merepotkanku. Ah ya, setelah kau sembuh nanti, kau akan kembali ke unit atas lagi. Aku sudah tidak membutuhkanmu untuk berpura-pura menjadi kekasihku."
"What?" Edelweiss melebarkan mata. "Kau ingin membuangku begitu saja setelah tidak membutuhkanku?"
"Tentu saja. Bukankah kau menginginkan kebebasan?"
"Tidak. Aku berubah pikiran. Aku merasa nyaman tinggal bersamamu. Tinggal sendirian sangat membosankan."
"Lalu kau berharap ingin tinggal bersamaku selamanya, begitu?"
"Bukankah itu lebih baik?"
Leandro tersenyum sinis. "Sayangnya aku lebih nyaman tinggal sendiri. Tinggal seatap bersama gadis pengganggu sepertimu, lama-lama bisa membuatku gila."
"Pokoknya aku tidak mau pindah."
"Aku mengusirmu." Lelaki itu merapikan selimut di tubuh Edelweiss, kemudian pergi begitu saja.
Edelweiss berteriak panik. "Mana bisa begitu! Kau tidak bisa memperlakukanku seenaknya. Tiba-tiba saja memintaku pindah ke sini, dan ketika aku sudah merasa nyaman kau mengusirku! Kau pikir aku seekor kucing yang bisa dipungut begitu saja lalu dibuang ketika sudah tidak dibutuhkan?"
"Aku tidak mendengarmu bicara!" Leandro membanting pintu kamar.
Lelaki itu merebahkan dirinya di sofa. Ia mengusap wajahnya kasar. Apa tadi kata Edelweiss? Sudah nyaman tinggal bersama Leandro? Mana boleh seperti itu? Ada sesuatu yang salah dalam diri Leandro, dan jika terus berdekatan maka ia takut akan terjadi kesalahan yang lebih besar terjadi di antara mereka.
Leandro tidak lagi memandang Edelweiss sebagai bocah berusia 7 tahun. Bahkan hanya dengan menghirup aroma tubuh gadis itu saja sudah mampu membuat Leandro gelisah. Bayangan ketika mencumbu gadis itu selalu saja melintas di benak Leandro. Argh! Bagaimana cara melupakannya? Bagaimana bisa Leandro memiliki pikiran kotor pada adiknya sendiri?
Bel berbunyi mengalihkan perhatian Leandro. Dengan malas ia menghampiri pintu dan membukanya. Seorang lelaki bertubuh tinggi tegap berdiri di hadapannya dengan wajah cemas.
"Uncle Dean," sapa Leandro.
"Tidak sengaja aku berjumpa dengan Rebecca di café. Katanya Edelweiss jatuh dan kakinya cedera?"
"Ya, tapi akan segera membaik. Dia ada di kamar."
"Aku memiliki banyak pertanyaan untukmu. Tapi sekarang aku harus memastikan Edelweiss baik-baik saja."
"Rebecca mengatakan sesuatu tentang aku dan Edelweiss?"
"Kita akan bicara nanti." Dean terburu-buru masuk ke kamar Edelweiss.
Gadis itu menyambut kedatangan Dean dengan riang. "Hai, Uncle Dean! Nice to meet you."
"Bagaimana keadaanmu? Lukanya parah? Mommy dan Daddy-mu akan marah kalau tahu kami gagal menjagamu."
Edelweiss tertawa. "Jangan cemas, Uncle. Beberapa hari lagi aku bisa berjalan dengan normal lagi. Wait! Bagaimana Uncle tahu aku cedera? Kak Lee tidak mungkin memberitahumu. Ah, Uncle juga tahu kalau aku tinggal di sini?"
"Rebecca yang memberitahuku, tadi tidak sengaja aku bertemu dengannya di café. Kau yakin baik-baik saja?" Dean membelai kepala Edelweiss dengan lembut. "Kau tidak seharusnya menuruti ide gila kakakmu untuk berpura-pura menjadi kekasihnya."
"Mana mungkin aku bisa menolak permintaannya, Uncle. Kau tahu dia keras kepala dan tidak bisa dibantah."
"Teruslah mengadu pada Uncle Dean. Aku juga bisa memberitahunya kalau kau diam-diam membawa seorang lelaki ke apartemenmu." Leandro duduk di sofa, memastikan adiknya tidak bicara yang aneh-aneh.
"Sudah kubilang dia hanya temanku! Tapi kau menjadikan itu sebagai ancaman untuk melaporkannya pada Mom dan Dad jika aku tidak menuruti permintaanmu."
"Sudah, sudah. Jangan bertengkar. Yang penting sekarang kau baik-baik saja." Dean memicingkan mata, mengawasi leher Edelweiss dengan saksama. "Ruam merah di lehermu apa karena jatuh juga?"
"Bukan, ini alergi alkohol."
"Alergi alkohol?"
Edelweiss menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia keceplosan. Wajah gadis itu berubah sayu. "Maaf, Uncle. Aku penasaran dengan alkohol dan aku mencobanya sampai mabuk. Saat aku terbangun keesokan harinya, ada banyak ruam merah di tubuh dan leherku. Kata Kak Lee, itu karena alergi alkohol."
Dean menatap Leandro tajam. Lelaki itu mulai curiga dan berpikir yang tidak-tidak.
"Bukan aku yang memberinya wine." Leandro membela diri. "Saat aku keluar villa, dia minum bersama Betrand tanpa sepengetahuanku. Beruntung aku datang tepat waktu."
"Tepat waktu? Artinya kau datang sebelum Betrand melakukan hal buruk pada adikmu?"
Hening sejenak. Leandro menyugar rambutnya, kemudian berucap singkat. "Ya."
Dean menghela napas kasar. "Aku harus bicara denganmu di café bawah."
"Jangan marahi Kak Lee," ucap Edelweiss. "Dia tidak bersalah. Yang dia katakan benar, aku minum wine tanpa seizinnya."
"Aku tidak akan memarahinya, Princess." Dean mengusap pipi Edelweiss dengan lembut.
"Lalu kenapa harus bicara di café? Kenapa tidak di sini saja?"
"Tidak apa-apa. Ini pembicaraan antar lelaki, jadi aku rasa kau tidak perlu mendengarnya. Aku tinggal sebentar, oke?"
"Oke. Jangan lama-lama, nanti aku kesepian."
"Mau dibelikan apa?"
"Ice cappuccino. Sandwich."
"Pesananmu akan segera datang." Tatapan Dean kembali mengarah pada Leandro. "Ayo, Lee."
Leandro berjalan membuntuti Dean. Arghh!!! Habislah kau, Lee! Apa yang akan kau katakan jika Uncle Dean bertanya tentang ruam merah di tubuh Edelweiss? Dean jelas sudah tahu kebenarannya. Lalu ... semua ini akan bertambah rumit.
***
To be Continued
23 Maret 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro