Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 16

Edelweiss mengerjap. Sinar mentari pagi yang menyusup melalui tirai jendela cukup menyilaukan mata. Rupanya, hari sudah pagi. Ah, tidur malam yang sangat nyenyak. Hawa dingin terasa menusuk kulit tetapi selimut bulu yang membungkus tubuhnya cukup membuatnya hangat. Mungkin Edelweiss perlu bertanya pada Rebecca, apa merk selimut di kamar villa ini. Nanti Edelweiss bisa meminta Dad untuk membelikan merk yang sama.

Wait! Tetapi rasanya bukan hanya selimut yang membuat tidurnya sangat nyaman saat ini. Embusan napas hangat di belakang tengkuknya dan ... lengan kekar yang mendekapnya dari belakang? Edelweiss menahan napas, menyentuh lengan kekar yang melingkar di pinggangnya. Mendadak jantungnya berdetak kencang.

Seingatnya, semalam ia tidur seranjang dengan Leandro setelah lelaki itu membuat sebuah pembatas dari sebuah guling. Jika benar Leandro sedang mendekap tubuhnya, lalu di mana guling itu? Mata Edelweiss membelalak lebar ketika melihat guling berwarna itu berada di depannya. Bagaimana mungkin dia bisa melewati batas wilayah yang sudah mereka buat dan saat ini ia berada di wilayah kekuasaan Leandro?

Sebelum Leandro terbangun, Edelweiss harus buru-buru kembali ke tempatnya. Dengan hati-hati, Edelweiss mencoba menyingkirkan lengan kakaknya. Namun, sialnya lelaki itu justru mempererat dekapannya.

"Kau ketahuan melewati batas wilayah yang sudah aku buat, Bocah Nakal!" Leandro menggeram. "Hukuman apa yang pantas kau dapatkan?"

"Mustahil aku tiba-tiba berada di wilayahmu jika tidak ada seseorang yang menariknya."

"Kau menuduh aku yang menarikmu ke sini?"

"Jika kau bukan kau, siapa lagi? Hantu? Jelas-jelas sewaktu aku terbangun kau sedang memelukku!"

"Aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku memelukmu. Perlu kau tahu, aku memiliki kebiasaan memeluk apa pun yang berada di sampingku ketika tertidur. Sudah jelas bukan, kau yang menerobos garis pembatas karena menginginkan kehangatan? Aku tahu di luar udara sangat dingin, tetapi bukan berarti kau bisa seenaknya memintaku untuk memelukmu."

"Kalau begitu singkirkan tanganmu! Aku akan kembali ke wilayahku. Ah, maksudku ini sudah pagi dan saatnya untuk bangun."

"Tidak akan kulepaskan sebelum kita bersepakat hukuman apa yang harus kuberikan padamu."

"Mana bisa begitu? Aku sama sekali tidak merasa bergeser ke sini. Pasti ada yang salah dengan ini."

"Aku tidak ingin mendengar alasan, karena faktanya kau berada di wilayahku."

"Oke, baiklah! Jangan beri hukuman untukku, sebagai gantinya aku kau boleh mengajukan permintaan apa pun padaku."

"Kedengarannya cukup menyenangkan. Oke, deal." Leandro melepaskan pelukannya lalu menendang pantat adiknya sampai gadis itu hampir saja terjungkal dari ranjang.

"Aaaarrrgggh!!!"

"Pergilah, aku sedang tidak ingin berkelahi denganmu."

"Tidak bisakah sekali saja kau bersikap lembut padaku? Awas saja, akan kubalas suatu saat nanti." Edelweiss memegangi pinggangnya yang terasa ngilu, kemudian masuk ke kamar mandi.

***

Edelweiss berdiri di depan jendela, memperhatikan rintik-rintik hujan yang membasahi dedaunan di halaman villa. Matahari yang seharusnya berada di kaki langit enggan menampakkan diri, bersembunyi di balik mendung hitam. Sudah sejak tadi Leandro keluar dari villa bersama Rebecca untuk membeli bahan-bahan untuk memasak. Tapi, sampai detik ini mereka belum juga kembali.

Edelweiss meletakkan telapak tangannya di kaca jendela, terasa dingin. Sedingin hatinya yang merasa tidak karuan karena kakaknya tidak kunjung kembali ke sampingnya. Apa lelaki itu memang menikmati kepergiannya bersama mantan kekasihnya sehingga enggan berpisah kembali? Lalu, seperti ada jarum-jarum kecil yang menusuk hati Edelweiss.

"Mereka masih saling mencintai, kita semua tahu itu," ujar Betrand yang sedang duduk di sofa.

Edelweiss menoleh pada lelaki itu. "Kau cemburu?"

"Kau sendiri?"

Edelweiss mengangkat bahu. "Jika kau cemburu, kenapa tadi malah menyuruh Leandro pergi bersamanya?"

"Sudah kukatakan, seharian di arena kuda cukup membuatku lelah. Aku tidak terbiasa dengan kegiatan seperti itu, tetapi kalian memaksaku untuk belajar berkuda. Kalian pikir seluruh tubuhku tidak sakit setelah berkali-kali jatuh dari kuda?"

"Oh ya? Kupikir hatimu jauh lebih sakit ketika melihat kekasihmu pergi bersama mantan kekasih yang katamu masih saling mencintai."

"Itulah alasanku membutuhkan alkohol saat ini." Betrand tersenyum sembari menuangkan wine ke dalam gelas. "Minumlah bersamaku, Edelweiss. Alkohol ini akan membuat kita sedikit melupakan rasa sakit hati kita."

Edelweiss mengempaskan pantatnya ke sofa, melirik gelas berisi wine yang disodorkan Betrand dengan malas. "Aku tidak pernah minum."

Betrand tertawa renyah. "Sejak tadi mereka belum kembali. Hujan turun dengan deras, hawa sangat dingin. Menurutmu apa yang akan dilakukan sepasang mantan kekasih yang masih saling mencintai dalam situasi seperti ini? Mungkin mobil mereka akan menepi di jalan, lalu mereka mencari kehangatan satu sama lain."

"Aku tidak peduli," ucap Edelweiss cepat. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Sepertinya jarum-jarum kecil di dalam hatinya semakin bersemangat menancap lebih dalam lagi. Oh Tuhan, perasaan macam apa ini?

"Sejak awal aku tahu, Rebecca mengajakmu berlibur bukan karena ingin mengenalmu lebih dekat. Tetapi karena dia merindukan Leandro."

"Jika benar demikian, kenapa kau membiarkan calon istrimu kembali dekat dengan mantannya?"

"Aku tidak bisa mengekangnya. Dengan memberikan kebebasan padanya, akan semakin mudah bagiku untuk mengendalikannya. Kau tahu, hubungan di antara kami sebenarnya tidak lebih dari pernikahan bisnis. Aku memang mencintainya, tetapi dia masih mencintai Leandro. Tidak masalah, akan berubah seiring waktu."

"Kau tidak keberatan meski seandainya saat ini mereka ... kembali bercinta?"

"Apa salahnya? Yang penting rencana pernikahan kami tetap berjalan lancar. Bukan hanya dia yang bisa kembali bercinta dengan mantan kekasihnya, aku juga sudah terbiasa bercinta ... ah, maksudku berhubungan seks dengan wanita lain."

Edelweiss menggigit bibir bawahnya. Lelaki di hadapannya bisa sesantai itu mengucapkan kalimat yang menurutnya vulgar.

"Kau masih perawan?" Betrand menyesap alkohol di dalam gelasnya.

"Eh?" Mata Edelweiss membelalak lebar.

Betrand tertawa lebar. "Tidak perlu kau jawab. Rona merah di kedua pipimu sudah mewakilinya."

"Aku—"

"Sejak pertama kali melihatmu, aku tahu Leandro berbohong ketika dia berkata kalian sudah sering tidur bersama. Sebagai seorang lelaki, mudah bagiku untuk menebak apa kau masih perawan atau tidak. Kau masih sangat polos, Edelweiss."

"Itu tidak benar." Edelweiss menggeleng cepat.

"Berapa Leandro membayarmu untuk berpura-pura menjadi kekasihnya?"

"Aku tidak meminta bayaran. Maksudku, aku—"

"Kau menerima tawarannya karena kau mencintainya."

"Bukan begitu!"

"Kalau begitu saat ini kau pasti sedang terluka karena lelaki yang kau cintai sedang bercumbu dengan wanita lain." Betrand menyodorkan gelas berisi wine dan meletakkannya di tangan Edelweiss. "Percayalah, minum satu gelas tidak akan membuatmu mabuk, tetapi bisa sedikit mengurangi sakit hatimu."

Edelweiss menatap cairan merah pekat di dalam genggaman tangannya. Lelaki brengsek itu sepertinya mulai bisa dengan mudah mempengaruhinya. Leandro pasti akan marah jika tahu Edelweiss minum alkohol. Tapi peduli apa, toh saat ini Leandro justru meninggalkan Edelweiss dan bersenang-senang dengan wanita yang dicintainya. Leandro pikir hanya dia yang bisa berbuat semaunya?

Tanpa pikir panjang, Edelweiss mendekatkan gelas ke bibirnya. Aroma alkohol yang begitu menyengat menyergap indra penciumannya.

"Minumlah, itu bisa sedikit menenangkan perasaanmu." Betrand kembali mempengaruhinya.

Gadis polos seperti Edelweiss memang mudah dipengaruhi, terlebih ketika perasaannya sudah mulai kacau seperti kali ini. Dia yang selama ini selalu patuh pada pesan kedua orang tuanya untuk menjauhi alkohol, perlahan-lahan rasa penasarannya semakin membuncah. Benarkah minuman itu akan membuatnya melupakan rasa sakit hatinya?

Oh, Tuhan! Perasaan apa yang sebenarnya Edelweiss rasakan? Dia tidak sedang cemburu kan? Dia tidak sedang jatuh hati pada kakaknya sendiri, bukan? Sepertinya memang ada yang salah dengan perasaannya. Baiklah, mungkin dia membutuhkan alkohol untuk menenangkan dirinya.

Perlahan-lahan, Edelweiss menyesap minuman berwarna merah pekat itu. Rasa asam dan pahit bercampur menjadi satu, mengalir ke dalam lambungnya dan menciptakan sensasi terbakar pada tenggorokannya. Cairan yang hanya terisi seperempat gelas itu habis hanya dalam hitungan detik.

Betrand tersenyum lebar, kembali menuangkan wine ke dalam gelas Edelweiss. "Kau membutuhkan beberapa gelas untuk mendapatkan ketenangan yang sesungguhnya."

Seharusnya Edelweiss menolak, tetapi rasa penasarannya justru membuatnya patuh pada lelaki brengsek yang mungkin saja sedang menginginkan gadis itu.

***

Leandro turun dari mobil dan berlari cepat meninggalkan Rebecca yang masih termenung di kursinya. Leandro sudah terlalu lama meninggalkan Edelweiss bersama seorang lelaki lain di villa. Bagaimana jika lelaki itu merayu Edelweiss untuk melakukan hal yang tidak-tidak? Sungguh, Leandro tidak mempercayai lelaki manapun, terlebih pergaulan bebas merupakan hal lumrah yang terjadi di negara barat.

Dugaan Leandro benar, begitu memasuki villa ia menemukan botol dan gelas berisi wine di atas meja. Sedangkan Betrand terlihat sedang menggendong Edelweiss ke dalam kamar dan membaringkannya di atas ranjang.

"Apa yang kau lakukan, Brengsek!" Leandro merangsek maju dan menarik kerah kemeja Betrand.

"Hei, santai, Dude! Aku hanya sedang membantunya. Dia mabuk karena terlalu bosan menunggumu."

"Beraninya kau memberinya alkohol! Aku tahu jika aku terlambat datang, kau pasti sudah menidurinya dengan paksa!" Leandro melayangkan pukulan ke wajah Betrand.

"Stop, Dude! Aku tahu semua rahasiamu. Jadi, bukankah sudah sebaiknya kita saling menyimpan rahasia? Atau kau mau Rebecca tahu semua kebohonganmu?"

"Rahasia apa yang kau maksud?"

"Dia adikmu, bukan kekasihmu."

Leandro melepaskan cekalan tangannya pada kemeja Betrand. "Keluar dan anggap gadis ini tidak pernah mengucapkan apa pun!"

Betrand menyeringai lebar. "Oke. Kita saling memegang kartu AS masing-masing, ingat itu."

Begitu Betrand keluar dari kamar, Leandro membanting pintu dan menguncinya. Suara debuman itu mengagetkan Edelweiss, gadis yang hampir kehilangan kesadarannya itu terduduk di ranjang.

"Harusnya kau memukulnya lagi, Kak! Lihatlah, dia menumpahkan wine sampai bajuku basah kuyup." Edelweiss menunjuk bekas cairan merah di kaos putihnya, lantas tanpa pikir panjang ia membukanya dan melemparkannya ke sembarang arah.

"Hei! Kenapa kau membukanya?" Leandro bergegas memalingkan wajah dan membungkus tubuh Edelweiss dengan selimut.

"Singkirkan selimutnya! Aku harus mandi!" Edelweiss melepaskan diri dari selimut itu dan turun dari ranjang. Gadis itu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi, tetapi baru beberapa langkah berjalan, tubuhnya terkulai lemas dan hampir saja terjatuh jika Leandro tidak segera menangkapnya.

Leandro menahan napas ketika jemarinya menyentuh kulit tubuh yang terasa sangat halus itu. Desiran aneh dengan cepat menjalar ke seluruh tubuhnya, tetapi ia tidak mungkin melepaskan Edelweiss dan membiarkan tubuh di dalam dekapannya terjatuh ke lantai. Mau tak mau, Leandro terpaksa menggendong adiknya dan kembali membaringkannya di ranjang.

Edelweiss menarik kerah polo shirt yang dikenakan Leandro dan menatapnya sayu. "Apa semua lelaki memang bisa menebak seseorang yang masih perawan atau tidak?"

"Bicaramu mulai melantur, tidurlah. Kau mabuk."

"Bagaimana Betrand bisa tahu kalau aku masih perawan?"

"Jangan pernah dengarkan lelaki brengsek itu. Dia sedang berusaha memanipulasimu karena dia menginginkanmu."

"Ah ya, pantas saja dia bilang kalau aku cantik dan menarik. Tapi kau tidak pernah mengatakan itu padaku, bahkan katamu kau tidak akan bergairah sekalipun aku telanjang di hadapanmu. Benarkah itu? Bagaimana jika aku mencobanya?"

"Mencoba apanya, tidurlah. Kau sudah mulai tidak waras."

"Mencoba membuka semua bajuku di hadapanmu."

"Kau adikku, Bodoh!" Leandro berusaha melepaskan cengkeraman tangan Edelweiss, tetapi gadis itu justru menarik kerah polo shirt-nya hingga dia kehilangan keseimbangan dan terjerembab tepat di depan wajah cantik itu.

Leandro menumpukan lengannya di sisi kanan dan kiri kepala Edelweiss. Napasnya memburu. Aroma alkohol yang menguar dari tubuh gadis itu perlahan memercikkan api yang mulai membakar tubuhnya. Oh, shit! Gadis itu memancing hasrat di dalam diri Leandro!

"Singkirkan tanganmu." Suara Leandro mulai terdengar parau.

"Tidak akan kulepaskan sebelum kau mengatakan kalau aku cantik dan menarik." Gadis itu tersenyum lebar.

Leandro menghela napas kasar. Bibir berwarna pink alami yang setengah terbuka itu sangat menggoda. Leandro bergegas menundukkan pandangannya, dan sialnya tetapannya justru terjatuh pada dada yang terbungkus bra berwarna hitam, kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Oh, sial! Bisa-bisanya dada yang begitu ranum itu seolah mengundang lelaki manapun untuk menyentuhnya. Bagaimana rasanya jika dia mengecup dan memberikan gigitan kecil di bagian puncaknya?

"Aku sangat menarik, bukan? Ayolah, aku membutuhkan pengakuan!"

"Jangan memaksaku untuk melakukan sebuah kesalahan."

"Apa memuji adik sendiri merupakan sebuah kesalahan? Di mana letak kesalahannya?"

"Kau menguji kesabaranku, Nona!" Leandro menggeram. "Mau aku tunjukkan kesalahan apa yang bisa aku perbuat?"

Sebelum Edelweiss sempat menjawab, Leandro sudah terlebih dulu kehilangan kesabarannya. Lelaki itu menangkup wajah Edelweiss dan mengusap pipinya dengan napas yang memburu.

"Kau ... cantik. Dan itu membuatku ... menginginkanmu ...."

Tanpa aba-aba, Leandro naik ke atas ranjang dan menindih tubuh gadis itu. Lalu, ia melumat bibir ranum yang belakangan ini menjadi candunya. Api gairah semakin berkobar membakar tubuhnya. Bagaimanapun juga, Leandro hanyalah seorang lelaki yang sewaktu-waktu bisa lepas kendali ketika gadis yang selama ini menarik perhatiannya tiba-tiba menyodorkan diri. Dan sepertinya ... kali ini Leandro harus kalah oleh gairah ....

***

To be Continued
26 February 2024

Yang mau baca duluan bisa ke KaryaKarsa ya





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro