Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 11

Edelweiss menutup wajahnya dengan bantal. Sudah hampir satu jam ia mencoba memejamkan mata, tetapi ia tidak kunjung tertidur. Pikirannya sangat kacau seperti benang kusut. Ciuman Leandro ... ah, Edelweiss tidak bisa melupakan itu. Sampai detik ini ia bahkan masih merasa bagaimana lelaki itu memagut bibirnya dengan lembut. Sialnya, Edelweiss justru menikmatinya.

Oh, astaga! Ada yang salah dengan dirinya. Ciuman itu tidak seharusnya terjadi. Bagaimana mungkin seorang kakak memagut bibir adiknya? Ciuman pertama yang harusnya Edelweiss dapatkan dari Prince Charming pujaannya, justru dicuri secara paksa oleh kakaknya. Anehnya, Edelweiss sama sekali tidak mengutuk perbuatan lelaki itu.

Bukannya marah, jantungnya malah berdetak kencang seolah ia sedang berciuman dengan lelaki yang dicintainya. Oh, sial! Edelweiss bahkan masih merasakan desiran aneh yang menjalar di pembuluh darahnya setiap kali ia mengingat hangatnya bibir Leandro memagut bibirnya.

Lupakan ciuman itu, Edelweiss! Lupakan! Itu adalah sebuah kesalahan!

"Hei, Bocah!"

Suara baritone itu membuat Edelweiss berjengit. Ia menyingkirkan bantal dari wajahnya dan menemukan Leandro sedang bersandar di kusen pintu sembari menyilangkan kedua lengan di depan dada. Setelah kejadian itu, Leandro bahkan tidak memperlihatkan rasa canggung dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka.

"Ada beberapa hal yang perlu aku jelaskan," ucap Leandro.

"Tidak bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar orang lain?" dengus Edelweiss.

"Aku tidak butuh izin untuk masuk ke bagian manapun dari apartemen milikku sendiri. Termasuk kamar ini."

"Aish! Sudahlah, tiga menit. Setelah itu pergilah, aku ingin tidur."

"Tentang ciuman itu, jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku sama sekali tidak berniat menciummu." Leandro menarik napas dalam-dalam. "Aku pikir hanya itu satu-satunya cara untuk membuatmu diam dan tidak banyak bicara. Itu sama sekali ciuman atas dasar hasrat seorang lelaki. Jadi, lupakan kejadian itu dan anggap ciuman itu tidak pernah terjadi di antara kita. Apalagi jika kau merasakan debaran di dadamu dan—"

"Aku tidak merasakan apa pun," potong Edelweiss. "Debaran apanya, kau mencuri ciuman pertamaku dan itu sangat menyebalkan. Lagipula ciumanmu sangat buruk, mana mungkin bisa membuat seorang gadis terkesan?"

"Kau bilang apa? Ciumanku sangat buruk? Sudah kukatakan aku tidak berniat menciummu."

"Terlalu banyak alasan."

"Kau tidak tahu wanita-wanita di luar sana ketagihan oleh ciumanku yang memabukkan? Kalau saja kau bukan adikku, aku akan menciummu sampai kau kehabisan napas, sehingga kau mengakui kehebatanku dalam hal berciuman."

"Sekalipun bukan adikmu, aku sama sekali tidak berminat pada lelaki sepertimu."

"Aku bahkan yakin bisa menaklukanmu hanya dengan menjentikkan jari."

"Sombong sekali, huh."

"Tidak ada gadis manapun yang mampu menolak pesonaku."

"Sudah lewat tiga menit, kau bisa keluar sekarang."

"Aku belum selesai bicara." Leandro menghampiri Edelweiss dan duduk di tepi ranjang. "Kau tahu seberapa bahaya dunia malam untuk bocah polos sepertimu?"

"Selagi Albert menjagaku, aku akan baik-baik saja."

"Sudah kuduga, bocah sepertimu memang mudah dikelabui oleh serigala seperti Albert."

"Kau tidak mengenalnya. Mana bisa menilai orang lain hanya dengan melihatnya satu kali saja?"

"Dia mengincar keperawananmu."

Edelweiss menelan salivanya. Leandro mengucapkan kalimat itu secara gambling, membuat wajah adiknya memanas dan rona merah menjalar di kedua pipinya. Edelweiss buru-buru berbaring memunggungi Leandro dan memeluk guling erat-erat, berpura-pura tidur.

"Sudahlah, aku mengantuk. Terserah kau mau bicara apa saja. Memangnya kenapa jika dia mengincarku? Bukankah kau sama brengseknya dengan dia? Apa yang kau lakukan dengan wanita-wanita malam di club? Lebih baik kita mengurus kehidupan masing-masing. Kau ingin melaporkanku pada Dad? Aku juga bisa melakukan hal yang sama."

"Hanya karena tahu rahasiaku, kau ingin mencoba membangkang dan terjerumus ke pergaulan bebas?"

"Aku tahu caranya menjaga diri."

"Tapi kau belum tentu bisa mengendalikan hasrat yang tidak terkendali."

"Sudahlah, Kak. Aku sedang malas berdebat denganmu. Pergilah."

"Hapus semua foto dan video tentangku di ponselmu."

"Tidak mau." Edelweiss buru-buru mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas.

Leandro menggertakkan giginya. "Mau dipaksa dengan cara halus atau kasar?"

"Kau menantangku? Jangan lupa, aku pemegang sabuk hitam karate. Aku tidak takut menghadapimu." Edelweiss mengangkat dagu, memperlihatkan sikap angkuhnya.

Edelweiss berlari ke tengah kamar. Menyembunyikan ponsel di balik punggungnya. Leandro yang merasa diremehkan, merangsek maju berusaha merebut ponsel dari tangan adiknya, tetapi gadis itu dengan gesit menghindar. Berlari cepat dan meloncat ke atas ranjang.

Leandro tidak mau kalah, naik ke atas ranjang dan mencekal sebelah tangan Edelweiss. Gadis itu tidak menyerah, menjauhkan sebelah tangannya yang lain dari jangkauan kakaknya. Namun, tubuh Leandro yang lebih tinggi daripada Edelweiss memudahkannya merebut ponsel itu.

"Kembalikan!" seru Edelweiss sembari memegang pundak Leandro, lalu melompat untuk menggapai ponselnya. Sialnya, ranjang yang empuk itu membuat mereka kehilangan keseimbangan.

Edelweiss jatuh telentang, dan tubuh Leandro menindihnya. Lalu, waktu seakan berhenti berputar. Wajah yang berdekatan membuat mereka terpaku satu sama lain. Kedua mata itu saling mengunci pandangan.

Edelweiss mencengkeram sprei kuat-kuat. Tubuhnya yang terkungkung oleh lengan kekar Leandro tiba-tiba terasa kaku. Embusan napas lelaki itu menerpa wajahnya, menciptakan sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuh Edelweiss. Oh, tidak! Ada yang salah dengan semua ini!

Namun, untungnya Edelweiss masih mengingat tujuannya untuk merebut ponsel dari tangan Leandro. Sebelum lelaki itu kabur, Edelweiss buru-buru melingkarkan kakinya di pinggang Leandro, membuat kuncian yang membuat lelaki itu tidak bisa bergerak. Ia mempelajari salah satu teknik itu dari karate. Ia juga mengunci leher kakaknya dengan kedua lengannya.

"Kembalikan ponselku!"

Leandro menyeringai. "Kau boleh pandai ilmu bela diri. Tapi kau lupa, seekor kelinci tidak akan pernah bisa mengalahkan seekor singa."

"Bagiku kau tidak lebih dari seorang pecundang. Seorang lelaki sejati tidak akan pernah berkelahi dengan wanita menggunakan senjata. Kau ingin mencoba mengancamku dengan pistol?"

"Pistol apa? Aku tidak membawa pistol."

"Kau menyembunyikan pistol di balik celanamu. Darimana kau mendapatkannya? Bukankah itu illegal?"

"Aku tidak memiliki pistol."

"Jangan bohong! Kau sudah ketahuan! Aku merasakan sesuatu yang keras di sana. Perkelahian ini sangat tidak fair!" Edelweiss mempererat kuncian kakinya di pinggang Leandro.

Leandro menggeram dan melemparkan ponsel ke samping Edelweiss. Lalu, dengan sekali hentak, ia berhasil melepaskan diri dari kuncian adiknya. Lelaki itu menyingkir dari atas tubuh gadis itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Leandro keluar dari kamar seraya membanting pintu.

Edelweiss menarik napas dalam-dalam. Oh, di mana oksigen? Ia merasa sesak napas sejak tadi. Bukan karena tubuh kekar Leandro yang menindihnya, tetapi karena sensasi aneh yang tiba-tiba menjalar di seluruh pembuluh darahnya. Sama persis seperti ketika Leandro menciumnya.

Wait! Edelweiss pernah merasakan hal yang sama sebelum ini. Ketika Albert menyentuh wajahnya! Oh, sial! Bahkan sensasi ciuman Leandro lebih membuat dirinya bergejolak ketimbang saat Albert menyentuhnya. Jadi, apa ini? Ia merasakan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di antara kakak dan adik?

Edelweiss cepat-cepat menggeleng. Tidak! Edelweiss akan tetap menganggap Leandro sebagai kakaknya yang masih berusia 11 tahun, dan dia sendiri berusia 7 tahun. Mereka terbiasa berkelahi, bergulat, saling menindih satu sama lain, dan semua itu hal yang wajar. Tidak ada yang aneh dengan semua itu! Lagipula Leandro menganggap ciuman itu tidak pernah terjadi, jadi untuk apa Edelweiss terlalu memikirkannya?

Pintu kembali terbuka. Leandro melongokkan kepalanya ke dalam kamar.

"Besok malam kita pergi ke acara pertunangan Rebecca," ucap Leandro.

"Kenapa kau tidak menyudahi drama ini saja?"

"Jangan cerewet. Kau hanya perlu berjalan di sampingku, apa susahnya?"

"Kau pikir gampang berpura-pura menjadi kekasihmu? Kau bahkan tidak memberikan imbalan apa pun. Padahal tidak ada yang gratis di dunia ini."

"Baiklah, setelah menemaniku ke acara itu, kau boleh meminta apa pun padaku. Asalkan tidak berkaitan dengan Albert. Kau boleh meminta tas branded, sepatu, baju, accessories."

"Apa pun?

"Yes."

"Okay, deal!"

Pintu kembali tertutup rapat. Edelweiss menghela napas. Padahal ia harap tidak akan pernah terlibat lagi ke dalam hubungan rumit kakaknya. Sandiwara ini terlalu beresiko. Kalau Mom dan Dad tahu, pasti mereka akan marah. Apalagi jika mereka tahu kalau Leandro menciumnya! Mungkin Dad akan langsung menghajar Leandro habis-habisan.

Dad yang selama ini menjaga agar anak perempuannya tidak tersentuh oleh lelaki, justru anak lelakinya lah yang mengambil ciuman pertamanya. Ironis, bukan?

Edelweiss menyentuh dadanya. Sekali lagi ia meyakinkan dirinya sendiri, bahwa perasaannya terhadap Leandro masih tetap seperti seorang adik terhadap kakaknya, bukan sebagai seorang gadis terhadap lelaki dewasa yang mencoba merayunya. Tidak ada yang bisa mengubah fakta bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama, yaitu darah Dad.

Tentu saja, Edelweiss dan Leandro sama-sama tidak pernah tahu rahasia yang disimpan ayah mereka rapat-rapat.

***

To be Continued
02 February 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro