Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 1

Edelweiss mendengus. Suara deringan ponsel sejak tadi sangat mengganggunya. C'mon! Ini hari Minggu dan ia ingin menikmati hari liburnya.

Tangannya menggapai ponsel dari atas nakas, lalu dengan malas menerima panggilan dari ibunya.

"Ya, Mommy?"

"Kau belum bangun?" tanya Anna pada putrinya.

"Sebentar lagi, Mom. Aku masih mengantuk. Bagaimana persiapan fashion show di Paris? Lancar kan, Mom?"

"Doakan yang terbaik untuk Mommy agar semua berjalan lancar."

"Tentu, Mom. Seperti biasa, pasti semua orang akan mengagumi hasil karyamu. Mommy kan designer yang hebat."

"Mommy meneleponmu karena ingin meminta tolong padamu."

"Hem?" Edelweiss bergumam sembari kembali menenggelamkan dirinya di balik selimut.

"Kakakmu akan pulang. Tolong jemput dia di bandara."

"What?" Edelweiss melebarkan matanya. "Setelah 11 tahun tidak pernah pulang ke Indonesia, kenapa tiba-tiba sekarang pulang?"

"Jangan bicara seperti itu, Sayang. Bagaimanapun juga dia kakakmu dan rumah kita adalah rumahnya juga."

"Kakak? Huh!" Edelweiss mendengus. "Aku pikir dia tidak pernah menganggapku sebagai adiknya. Setiap kali kita berkunjung ke New York, dia selalu saja pergi menghindari kita. Bahkan saat dia sudah kuliah di London pun, dia selalu melarang kita untuk mengunjunginya. Kakak macam apa itu?"

"Sayang, cobalah untuk belajar memahami kakakmu."

"Dia saja tidak pernah menghargai Mommy."

"Sudahlah, Sayang. Kau mau membantah seperti apa pun, tidak ada yang bisa mengubah fakta kalau Leandro itu kakakmu. Jemput dia, pesawatnya landing jam 3 sore."

"Menjemput bagaimana, Mom? Aku saja tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang."

"Mommy akan mengirim fotonya."

"Kenapa tidak menyuruh sopir saja, sih?"

"Kalau sopir yang menjemput, sudah pasti Leandro akan menolak dan lebih memilih menginap di hotel. Tolong Mommy kali ini saja, Sayang. Bujuk agar kakakmu mau pulang ke rumah dan berkumpul bersama kita lagi."

Edelweiss menghela napas kasar, tidak ingin membuat ibunya kecewa. "Oke, Mom. Aku pastikan Kak Lee akan pulang ke rumah. Kalau dia berani menolak, aku akan menyeretnya."

"Terima kasih, Sayang."

"Iya, Mom. Mommy baik-baik di sana ya. Salam untuk Daddy. Aku merindukan kalian."

"Kami juga merindukanmu, Sayang."

"Bye, Mom! Muach!"

Sambungan telepon terputus. Gadis berambut panjang itu mencebikkan bibirnya. Oh, astaga! Rasanya ia bahkan hampir lupa kalau ia memiliki seorang kakak tiri. 11 tahun mereka tidak pernah bertemu karena Leandro tinggal di New York bersama nenek. Setiap kali Edelweiss berkunjung, Leandro selalu saja menginap di rumah temannya karena tidak ingin menemui keluarganya. Dan saat kuliah di London, Leandro terang-terangan melarang keluarganya untuk berkunjung ke apartemennya. Menyebalkan, bukan?

Kira-kira seperti apa lelaki itu sekarang? Kalau mendengar cerita Oma, Leandro seorang anak yang rajin belajar. Ayolah, pasti dia seorang kutu buku dengan kacamata yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Yah, selama ini Edelweiss memang tidak mau tahu tentang keberadaan kakak tirinya. Meski sewaktu kecil mereka sering bermain bersama, ah ... ralat. Bukan bermain bersama, karena kenyataannya mereka lebih banyak bertengkar. Lebih tepatnya, Edelweiss sering menjahili Leandro hingga membuat bocah lelaki itu marah.

Ponsel kembali berbunyi, sebuah notifikasi masuk. Mommy Anna mengirim foto Leandro. Mata Edelweiss melebar ketika menatap sesosok lelaki berkaos hitam di layar ponsel. Nampaknya lelaki itu memiliki postur tubuh yang tinggi tegap, dadanya bidang serta bahunya cukup lebar. Lantas, lelaki itu memiliki paras yang cukup menarik dengan hidung mancung, rahang tegas serta mata tajam yang bersorot dingin.

"Lumayan," dengus Anna. "Tapi wajahnya sama sekali tidak mirip Daddy. Mungkin Kak Lee mirip dengan ibu kandungnya. Aish, matanya sangat tajam dan ... sepertinya dia masih sangat menyebalkan seperti dulu. Argh! Kenapa Mommy harus menyuruhku menjemputnya, sih?"

Edelweiss melempar ponselnya lalu menutup wajahnya menggunakan bantal. Berurusan dengan pria dingin seperti Leandro pasti sangat menguras energi. Dan jangan lupa untuk menyiapkan stok kesabaran sebanyak-banyaknya.

***

Leandro menarik koper menuju ke terminal 3. Tubuh tinggi tegapnya terbalut kaos putih dilapisi jaket kulit warna hitam. Di telinganya terpasang headset, sibuk mendengarkan ayahnya yang menelepon dari Paris.

"Aku akan tidur di hotel," ucap Leandro.

"Pulanglah ke rumah, Lee. Seminggu lagi, acara fashion show di sini selesai dan kami pulang. Tunggu kami di rumah."

"Aku lupa jalan pulang menuju rumah." Tentu saja Leandro hanya berbohong.

"Edelweiss sudah menjemputmu. Adikmu pasti sudah menunggu di depan."

"Adik?" Leandro tertawa sinis. "Ah ya, aku lupa kalau aku punya adik. Sebelas tahun tidak bertemu, pasti kami sudah tidak saling mengenal. Percuma menjemputku, aku bahkan tidak tahu mana bocah yang bernama Edelweiss."

"Kau cari saja gadis yang membawa kertas besar bertuliskan namamu. Dia akan mengenalimu, Aku sudah mengirimkan fotomu padanya."

"Dad, aku lebih nyaman tinggal di hotel."

"Ikutlah dengan adikmu jika kau masih menganggapku sebagai ayahmu."

Sambungan telepon terputus. Leandro menghela napas kasar, ia sudah menebaknya. Daddy Axelle pasti akan memaksanya pulang. Tapi, Leandro akan bersikap masa bodoh dan tidak mempedulikan ancaman ayahnya.

Leandro tiba di terminal 3. Mata tajamnya menatap sekeliling, mencoba mencari seorang gadis yang membawa kertas bertuliskan namanya. Tentu saja bukan karena Leandro ingin menghampirinya, melainkan untuk menghindarinya. Ia tidak ingin pulang ke rumah.

Itu dia! Gadis berambut panjang yang mengenakan celana pendek berpadu blouse putih, berdiri di antara kerumunan orang-orang. Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi memperlihatkan kertas yang ditulis dengan huruf besar, 'LEANDRO'. Gadis itu nampak kebingungan memperhatikan para penumpang yang berjalan menuju terminal 3 international bandara.

Semoga saja gadis itu tidak melihatnya! Tapi sial, Leandro justru sudah terlanjur kontak mata dengannya. Leandro buru-buru memakai kacamata hitamnya dan sebisa mungkin menghindari Edelweiss. Lelaki itu melangkah cepat menarik kopernya.

"Hei, kau!"

Shit! Sepertinya Edelweiss mengenalinya. Gadis itu bahkan mengejar Leandro dan menghadang langkahnya.

"Kau Kak Leandro kan?" Edelweiss berulangkali melihat layar ponsel dan wajah Leandro secara bergantian.

"Maaf, aku tidak mengenalmu," sahut Leandro dingin.

"Haaaa ... jangan pikir aku tidak mengenalimu dari sikap dinginmu. Mau coba melarikan diri dan tidak mau pulang ke rumah?"

"Kau salah orang, Nona."

Bukannya menyerah, Edelweiss justru mengulurkan tangan dan mengambil kacamata hitam Leandro. "Tepat sekali! Sebelas tahun tidak bertemu tapi tatapan tajammu tidak pernah berubah."

"Hei, kembalikan milikku!" Leandro berusaha mengambil kacamatanya, tetapi Edelweiss berkelit dan menyembunyikan benda itu di belakang punggungnya.

"Ayolah, Kak Lee. Jangan membuang waktuku. Mommy akan memarahiku kalau aku tidak membawamu pulang ke rumah."

"Apa peduliku?"

"Kau tega uang saku adikmu bulan depan akan dipotong? Ah ya, tentu saja lelaki kejam sepertimu tidak akan peduli pada penderitaan orang lain."

"Satu hal yang harus kau catat, aku tidak merasa punya adik, jadi pergilah dan—"

"Oke, aku akan pergi ...," Edelweiss merampas koper airwheel dari tangan Leandro dan mendudukinya. Ia menekan tombol, dan seketika benda itu meluncur dengan roda-rodanya. " ... tapi denganmu!"

Leandro mendengus. Gadis itu tidak pernah berubah. Masih tetap menyebalkan seperti waktu kecil dulu. Barangkali yang berubah hanya tinggi tubuhnya, selebihnya dia tetap Edelweiss yang senang mengganggu ketenangan Leandro. Mau tak mau, kali ini Leandro harus membuntuti bocah itu.

Oke, Leandro akan pulang. Lagipula Mommy Anna sedang berada di Paris sehingga ia tidak perlu bertemu dengan wanita itu. Ah, sudahlah. Leandro tidak ingin membahasnya.

Sesampai di tempat parkir, Edelweiss memasukkan koper ke dalam bagasi. Beruntung koper itu tidak terlalu besar sehingga gadis itu tidak kesulitan mengangkatnya. Lantas, gadis itu masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi.

"Hei!" Edelweiss membuka kaca jendela dan meneriaki Leandro. "Tunggu apa lagi! Cepat masuk!"

"Kau yang menyetir?" Leandro menyilangkan kedua lengan di depan dada, tidak berniat menyusul adiknya untuk duduk di dalam mobil.

"Tentu saja, aku datang sendirian, tidak bersama sopir."

Leandro tersenyum sinis. "Sayang sekali, aku tidak ingin mempertaruhkan nyawaku sia-sia hanya karena naik mobil yang dikemudikan oleh bocah sepertimu."

"Hei, meski aku belum memiliki SIM, tapi aku sudah mahir mengemudi. Dan berhenti menyebutku bocah, dua hari lagi usiaku genap 17 tahun. Artinya aku sudah beranjak dewasa, ingat itu."

"Di mataku kau tetap bocah yang menyebalkan!" Leandro berjalan di depan mobil, kemudian membuka pintu sebelah kanan. "Keluar!"

"Kenapa mengusirku? Ini mobilku, hadiah dari Daddy karena semester ini aku mendapatkan nilai yang cukup bagus."

"Aku yang menyetir, Bodoh!" Leandro menarik lengan Edelweiss keluar dari mobil hingga gadis itu hampir saja terjerembab ke lantai.

"Apa kau tidak bisa bersikap lembut pada seorang gadis?"

Leandro duduk di kursi dan memegang kemudi. "Dalam tiga detik kau tidak masuk, aku akan meninggalkanmu. Tiga ... dua ...."

Edelweiss buru-buru berlari dan duduk di samping kakaknya. Napasnya terengah-engah, ia menoleh pada Leandro dan menggertakkan gigi. "Aku menyesal menjemputmu!"

"Kau pikir aku dengan senang hati mengikutimu? Aku sudah menolak tapi kau memaksaku!"

Mobil meluncur perlahan meninggalkan gedung parkir. Begitu sampai di jalanan beraspal. Leandro memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli sekalipun Edelweiss berkali-kali berteriak panik. Gadis itu mengumpat dan menyumpahi Leandro.

"Aku belum merayakan sweet seventeen, Bodoh! Aku masih ingin hidup, Kak Lee!"

Leandro hanya menyeringai lebar. Sebelas tahun berlalu. Dan mereka masih menjadi Tom and Jerry yang berkelahi setiap waktu.

***

To be Continued
2 Desember 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro