Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tragic Flower Boy

1809

Kehidupan seperti salah arah.

Dan tidak peduli seberapa keras seorang bangsawan muda berusaha. Menebak seribu kepastian, tidak akan ada yang mau mendengar kesusahan dan semangat mudanya berada dalam kesulitan.

Keluarga Lucien Bernadotte mendapatkan gelar bangsawan feodal yang di dapat dalam satu generasi atau secara bertahap selama beberapa generasi sejak abad ke-11. Singkat cerita soal latar belakangnya, Lucien adalah anak kesayangan dari Lady Alexandrine. Pria ini, dia tidak mengikuti tren yang ada. Yang ada malah menciptakan berita-berita sensasional hanya dengan kegiatan yang dikerjakan.

Menghabiskan waktu mempelajari hal-hal baru, Lucien selalu didandani mengikuti selera pribadi. Berpenampilan bak mode Paris terkini dan beraura elegan. Ketika memutuskan untuk memanjangkan rambut pirangnya hingga nyaris mencapai bahu, separuh pengikut mode langsung melakukan hal yang sama, beberapa bahkan terpaksa memakai rambut palsu.

Publik menyukai hal-hal mengenainya.

Dia mengendarai seekor kuda putih dengan tanda hitam berbentuk wajik di bagian wajah. Seketika penjualan kuda meningkat dan ciri khas kudanya ikutan stres akibat pemuda-pemudi.

Begitu pula dengan keuntungan Louis Francois Baudelaire. Temannya itu sempat dikeluarkan dari sekolah karena selalu menjadi pemberontak. Sebenarnya, hal tersebut dikarenakan ia tidak suka dengan kepala sekolahnya yang terlalu berambisi menjadikan para murid sebagai kuda kompetitif.

Tiba malam hari, ruang baca di puncak menara menjadi tempat pelarian sekaligus lokasi menyepi bersama semua beban pikirannya. Menghabiskan waktu di dalam kungkungan dinding granit. Lintah-lintah penghisap kebahagian ini meredupkan suasana hatinya yang sudah suram. Ia mengartikan kegiatan ini sebagai "kebisingan yang indah".

Ada hari-hari tertentu hasrat menonton seni mengembang, jika ia tidak mendatangi teater, dan penjualan tiket bisa pun anjlok. Dia mengucapkan lelucon, dan seluruh Paris pun tertawa. Rombongan gadis mengidamkannya, para pemuda berlomba-lomba ingin terlihat bersamanya. Nyonya-nyonya rumah menghujaninya dengan undangan-undangan pesta. Jebakan paling populer untuk perjodohan.

"Mom," Lucien menggumamkan panggilan ibunya. "Maaf menyebabkan kesedihan dan membuat Ayah diterpa kabar-kabar kurang menyenangkan. Rasanya baru semalam kita berbicara tentang masa kecilku. Dan kini, harus melihat kehidupan kembali ke asalnya."

Air mata Lucien kosong, sembari melanjutkan menulis secarik surat. "Aku harus bebas, memiliki tubuh dan kehidupanku sendiri. Mommy, aku sangat mencintaimu dari ujung jurang pemisah kehidupan kali ini."

Tak lama menulis nama, tanggal, dan memasukannya ke surat. Lucien menuang segel lilin, setelah itu mengecapkan tanda sampai segel tersebut mengeras. Lucien berdiri di hadapan jendela, ia merasa mengantuk. Kali ini berat di kelopak mata membuatnya hendak menutup pengelihatan.

Seharusnya di tempat tidur hangat, tetapi Lucien membaringkan dirinya di atas karpet.

Tiada saksi mata.

Akhirnya bualan-bualan penuh omong kosong punah dari pendengarannya. Harapan dan kenyataan, itu sama saja. Menciptakan luka, menyelimuti hati dengan tambahan garam.

Sisa terakhir adalah, hawa dingin menusuk kulit sampai tulangnya. Ngilu area dadanya ikut menyertai seluruh peredaran darah. Hingga rasanya degupan jantung berubah tusukan-tusukan, pecah mengikuti napas yang tersengal-sengal.

Ia pikir sudah berakhir menjadi insan yang terjebak dalam sangkar emas. Tinggal di rumah besar penuh pelayan jelita. Busana melambangkan status di ruangan pakaian pribadi. Semua yang diimpikan manusia-manusia di luar sana. Jiwa berkelana bangun perlahan-lahan, mulutnya terasa aneh, dan anggota-anggota tubuh terasa berat. Padahal ia yakin telah menghadap Tuhan.

Menghadap ke samping dan berharap akan melihat siapa? Jelas bantal kosong yang menyambutnya itu. Adapun kamar mewah yang jelas gaya arsitekturnya berbeda dari zamannya. Ornamen-ornamen yang diterapkan juga memperindah, sangat lengkap dan bisa dijadikan contoh Bahkan yang lebih aneh lagi, ada bola yang menyala. Jelas itu bukan tiang lilin.

Dengan kepala yang terasa sedikit berputar,Lucien mengangkat sedikit beban tubuhnya dengan
siku dan melihat ke sekeliling ruangan. Dilihatnya plakat kaca hotel? Lucien terus menggerakkan bola matanya, memperhatikan dua gelas anggur, sebotol anggur merah yang tersedia di atas meja.

"Welcome to Crimson," sambut wanita yang duduk di bangku sebelah kanan.

Hampir tak menyadarinya jika tidak bersuara. Saraf-saraf Lucien terkejut marah. "Siapa kau!" Gestur tubuhnya mengikuti tindakan pertahanan diri.

"Nama saya adalah Asterea," jawab wanita yang tampak berusaha tidak menakutkan. "Anda adalah Lucien Bernadotte, usia 25 tahun. Alur kisah hidup-"

"Bajingan mana yang menyelamatkan hidupku? Bawa dia ke hadapanku!" Lucien menyisir rambut pirang sebahunya ke belakang. Anak-anak rambutnya tidak patuh dan menyebabkan penampilan semrawut.

Asterea menaruh pilu akibat manusia yang ada di hadapannya kebingungan dengan situasi yang dialaminya. Pria tersebut bangun dari tempat tidur, ia bahkan sadar dengan ingatan terakhir dan terlihat membandingkannya bersama keadaan raga.

Berdiri tanpa rasa sakit, keajaiban ini membawa teka-teki. Matanya setengah takjub dan kepiluan yang dibawa dari memori rasa sakit yang terlintas. Sekujur tubuh Lucien merinding, sekali lagi ia memandang Asterea. Kali ini menampakkan puncak kemurkaannya. "APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADA TUBUHKU?" pekikan Lucien memekakkan telinga.

Simpati Asterea mulai hilang. Pria ini bukan tugas yang mudah. "Menurutmu mengapa Anda tidak merasakan sakit pada ragamu?" Geraman Lucien mulai menakutinya. "Tidak ada salahnya aku-ahh."

Raga mereka bertemu, kembang kempis paru-paru Asterea menghadapi gestur yang secara cepat memerangkap.

Kedua tangan berada di atas lengan Asterea, menghalangi wanita tersebut dari namanya kabur. Manik mata Lucien bergerak-gerak memperhatikan seluruh area wajah Asterea. Seolah-olah menggali-gali sumber kebohongan. Namun, yang ia temukan adalah kejujuran. Wanita ini, jujur saja memang menunjukkan kegugupan berada dalam gengamannya. Itu juga pengalaman pertama Lucien menyentuh seorang wanita selain memeluk ibunya. Kelegaan timbul membara, entah dari mana datang bertamu. Barangkali mengetahui bahwa ia sudah tak lagi bernapas, satu-satunya harapan yang sulit dikabulkan telah terlaksana. Akan tetapi hilangnya jati diri mengundang kepanikan. Dalam pikirannya ini semua kelewat gila. Dalam fantasi mana kematian menjadi sumber kebahagian sendiri? Penyesalan apa yang bisa membuka nasib pengalaman baru? Berada dalam satu ruangan ajaib bersama dia?

"Tuan, jantungmu tidak lagi berdetak. Di sini Anda tidak bernapas," umbar Asterea. "Tolong lepas-"

Sama sekali belum selesai Asterea mengatakan kalimat selanjutnya. Lucien mendorong lawan bicara secara kasar. Jika tak ada meja di tengah ruangan itu, mungkin Asterea akan jatuh terpelanting. Sekali lagi decak kagum Lucien kepada wanita itu bertambah akibat bersikap kurang ajar.

"Aku tidak pernah bertemu denganmu. Lebih baik jangan mencari peruntungan dengan mendekatiku!" ancam Lucien memicingkan netra laksana badai ingin menelan bulat-bulat. "Katakan! Atas dasar perintah siapa kau membawaku? Kubilang jawab aku! "

Gestur serta bahasa tubuh berubah mendingin. "Tuan, tampaknya Anda keliru. Anda sudah berada di alam berbeda. Sudah saatnya melepaskan duniawi," ujarnya merendahkan nada bicara. "Crimson bukan tempat sembarangan. Anda mengerti? Keluar, berjalan-jalanlah dan cari tahu mengapa Anda bisa tiba di tempat ini."

"Bahkan jika benar ini jurang kematian, kau adalah iblis tak tahu diri!" Lucien tidak lagi mengingat sopan santun, sejak ia terbangun rasanya hanya ada kemarahan hinggap di hatinya. "Angkat kakimu dari sini!"

Bukannya takut, Asterea menyunggingkan senyum kecil di sudut bibir alami merah merona. "Saya tidak bisa berlama-lama menjelaskan alasan keberadaanmu. Mohon maaf, tolong bantu diri Anda sendiri," kata Asterea, sebuah kernyitan muram kilat melintasi wajah mungilnya. "Dan satu hal lagi. Saya masih manusia, sedangkan kau adalah jiwa tersesat. Ah benar, hampir tertinggal. Waktu Lokasi yang tempat Anda berada tidak berfungsi, sebagaimana alam manusia hidup."

Asterea membalik punggung, melangkah keluar dari situasi yang Lucien namai sebagai kekacauan. Jika jadi dia pun, Lucien tidak mau menyusahkan diri. Kesunyian di tempat asing menghantui keberadaan sosok jiwa pucat. Aura Asterea berwarna musim semi, cahaya penuh kasih sayang mirip mendiang Ibunya muncul dalam sekelebat lintasan memori. Syok berat menenggelamkan Lucien sampai dasar samudra. Firasat tidak menyenangkan membuat perutnya mencelus. Kembali lagi pada satu kesimpulan positif, pertama kali membuka mata, hanya ada kehadiran seseorang yang asing. Lucien merasa lega, sekaligus merana seorang diri. Ditinggal lagi oleh satu-satunya manusia. Tampak manusiawi, jika benar apa yang dikatakan iblis cantik tersebut.

Kali pertama Lucien dilanda kekecewaan yang tak terjelaskan akibat dari keberadaan seorang wanita. Tapi, begitu memandangi sosok wanita bernama Asterea, dia tidak mampu memikirkan apa pun yang ingin dia lakukan, selain melaksanakan apa yang disuruh. "Nona!!"

Sekarang hampa.

Harapan ataupun kenyataan penuh jebakan berduri.

Skema taruhan antar nyawa, memperdaya logikanya habis-habisan.

(Ia telah berbuat dosa dengan meninggalkan orang-orang terkasih di belakang punggung. Kini ia mendapatkan balasan dari keputusannya yang sangat fatal.)

(Sebuah labirin kesepian yang tak berujung.)

###

Potongan cerita yang menyedihkan dari seorang tokoh protagonis. Cukup sekian, kapan-kapan lagi, ya.

Tanggal mengunggah: 22/05/2023

Jumlah kata: 1251 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro