ISEKAI; COBAN RONDO
(Perhatian para pembaca
Apa pun di dalam cerpen ini hanyalah bersifat fiksi dan tidak menyudutkan pihak manapun
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca cerpen karya saya
Nana)
***
COBAN RONDO
Penulis: Nana
Kenapa juga harus ke tempat ini? Apa dia tahu, lokasi wisata ini mitosnya sepasang kekasih datang kemari, maka hubungan akan segera kandas, Lucky for me, tetapi tidak untuk favorit si calon menantu.
Destinasi kawasan wisata yang memiliki keindahan alam yang eksotis dan mempesona di kota Malang yang tidak boleh dilewatkan yaitu salah satunya Coban Rondo. Coban Rondo ini merupakan air terjun yang miliki ketinggian 84 meter dan merupakan salah satu tempat wisata yang menyajikan panorama alam dengan air terjunnya yang indah. Tempat wisata air terjun Coban Rondo ini terletak di Kecamatan Pujon yang dekat dengan Kota Batu, Kabupaten Malang. Air terjun Coban Rondo ini memiliki ketinggian kira-kira 1.135 meter diatas permukaan laut, dan sumber mata airnya terletak di kaki lereng Gunung Kawi yang tidak jauh dari kawasan Coban Rondo itu sendiri.
"Kalau saya boleh tahu. Siapa yang memberikan nama secantik itu kepadamu?" Kairav mendekat dengan hati-hati.
Mereka menikmati pemandangan segar sembari mengobrol tentang diri masing-masing.
Padmini. "Nama itu pemberian dari orang tua dari pihak Ayah."
"Jujur?"
"Iya, maknanya cantik lho."
"Bisa kasih tahu saya arti dari namanya?"
Ujung sudut bibir Padmini terangkat naik. "Owh, itu... teratai merah."
Banyak saran dianjurkan untuk mengurangi magnet minat pemuda terhadap nona ini. Namun, apa boleh buat. Gadis elok ini mempunyai daya tarik dari sisi keanggunan yang kokoh, punggung setegap pendirian, serta paras tajam memikat di mana pun ia berada.
"Menawan," puji pemuda di sampingnya.
"Anu... Apa mungkin kita pernah bertemu sebelumnya?" Padmini merasa tidak asing dengan wajah pemuda ini.
Aura dingin, rasanya ibarat gunung di antara mereka. "Kamu ngerasain juga?"
"Ah, maaf saya ngelantur," sangkal Padmini sangsi.
Sedangkan Kairav tertarik dengan pembicaraan yang baru saja Padmini utarakan. Sungguh aneh, gadis tersebut masuk dalam ciri-ciri sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kok gitu? Tanya saja, apapun yang ada dipikiranmu."
"Coba beritahu dengan jujur apa adanya," ungkap Padmini malas basa-basi. "Masalahnya kamu selalu saja baik kepada saya. Notabenenya, kan saya adik kelas. Kok bisa kamu malah memilih saya untuk diajak berlibur berdua?"
"Apa lokasinya tidak sesuai selera cewek zaman sekarang?" Kairav mengedarkan tatapannya pada air terjun yang memiliki limpahan embun yang sangat menyegarkan dengan dikelilingi tebing-tebing hijau. Pepohonan pinus yang berjejer mempesona, juga dapat menyejukkan mata yang berkunjung. Sembari menyaksikan keindahan alam bak surgawi. Ia yakin gadis ini dimanjakan oleh kicauan burung yang merdu. "Menganggu, ya Mini?"
"Bukan—"
"Kalau begitu masalah bukan padaku?" tebak Kairav dan pura-pura tersinggung sedih. "Gara-gara kita sering dijodohkan?"
Nih orang lihai memanipulasi opini lawan bicaranya. "Dari awal sebenarnya niat kamu itu apa? Sampai bela-belain datang ke rumah orang tuaku. Apa karena—"
"Cinta?"
Lidah Padmini kaku, sulit bergerak, serta dingin menyambar telapak tangan. Pengelihatan mereka bersirobok.
Waktu yang berjalan seolah tak ingin beranjak dari sana...
Di antara keduanya hening, walaupun pengunjung lain bising dan memilih mengabaikan pasangan yang satu ini.
Dua jantung berdebur laju. Darah berdesir bagai tersihir. Sekilas rasanya Padmini nyaris hancur menjadi serpihan oleh tatapan sepasang mata tajam di hadapan Kairav. Ah. Bergegas ia memalingkan wajah.
Anggaplah racun mematikan, hampir saja Padmini lumpuh dan luluh.
Sukar bercakap-cakap dengan nyaman bersama sosok yang dikategorikan sebagai pemikat wanita. Ia ragu-ragu, sembari menundukkan wajah berona merah jambu. Persis seperti itu dan kini Kairav mengulurkan jemari ke pipi kirinya.
"Jangan—" Ia menangkis sentuhan Kairav.
Memahami sifat Padmini yang pemalu, Kairav menarik mundur gestur act of service. "Kamu tersipu malu oleh pertanyaanmu sendiri, ya?"
"Tidak," salip Padmini melotot menantang, tetapi itu sama saja artinya dengan terpancing dan memandai wajah rupawan itu. Padmini bisa memperhatikan kelembutan paras dari sosok yang sering gaungkan namanya.
Pemuda di samping Padmini tidak dapat menyembunyikan tawa jahil. Getaran itu dirasakan oleh mereka berdua di tempat ciri khas penuh rumor kutukan berlatar belakang tragedi seorang wanita welas asih. Tidak ada petunjuk khusus yang menjadi bukti tentang cerita di balik penamanaan air terjun tersebut. Cerita yang melatari air terjun itu dikenal sebagai legenda yang berkembang di masyarakat setempat.
"Mini... Oh Tuhan, kenapa harus ada alasan?"
Muak, Padmini muak terhadap aura misteriusnya sejak pertama kali berjumpa.
"Terus apa maumu? Kairav, serius!"
"Apa mauku?" Pemuda yang katanya bernama Kairav ini melontarkan tawa yang sudah dari tadi ditahan.
Kening Padmini mengerut jengkel. "Sudah katakan saja. Jangan mempermainkan perasaan orang lain!"
"Siapa yang mempermainkan kamu coba." Kairav menyisir rambutnya ke belakang. "Kamu sendiri juga malah mengiyakan ajakanku kemari. Jadi jangan menuduh sembarangan lho."
"Sialan, ternyata benar ucapan temanku. Menganggap perempuan sekadar papan permainan, apa itu kebiasaanmu?" lawan Padmini sadar bahwa ia terjebak dalam hubungan tanpa status. Teganya... pemuda ini berbuat demikian.
"Saya mengajakmu kemari untuk sebuah penelitian."
"Maaf Mas, kayaknya tidak waktu untuk satu ini deh. Good bye!" pamit Padmini mengajak kakinya untuk beranjak pergi. Tetapi perkataan selanjutnya dari Kairav menghentikannya dari perangkap yang sudah siapkan.
"Pernah mengalami mimpi soal air terjun ini, kan?" Kairav menuju kepada poin yang tak pernah Padmini tebak. Tidak terlintas bahwa seorang pemuda mengetahui rahasianya dan lancang menanyai langsung.
"Mulutmu... Apa pernah dilatih untuk jenis pertanyaan masuk akal?"
Kairav berkacak pinggang. Begitu menganalisa sifat lawan bicaranya, langsung tertebak Kairav jenis manusia yang tidak gampang sakit hati dan ego. Lalu, gunanya mengajak dirinya apakah itu juga sebuah jebakan penuh muslihat? Alam pikiran Padmini aktif merekayasa skenario jawaban tepat untuk merespon.
Senyum palsu menghiasi bibir merah jambu nan lembutnya. "Sebenarnya mimpi itu kan bunga tidur. Kalau mau dijawab sebagai kaset isi ingatan, itu bisa saja terjadi, kan?" Bagus, Padmini! Mari gunakan cara yang Kairav gunakan tadi.
"Sia-sia orang tuamu mengirimmu ke sekolah tinggi. Keterbukaan ini akan sulit sekali."
"Saya ikut caramu, lho." Padmini melontarkan keengganan, seolah ada peti yang tidak dibuka secara gamblang. "Jadi, mari persingkat. Keterbukaan, ya? Kak, saya rasa kita tidak bisa setuju soal menikah muda, itu saja. Saya paling anti dengan muka dua-mu sejak pertama kali berjumpa, kau itu penuh kepalsuan. Perjumpaan, makan malam keluarga, dan pentingnya menaruh hormat... Itu semua tidak berarti apa pun bagi saya."
Keterusterangan Padmini membawa dampak bagi ekspresi Kairav. Pemuda ini tidak bisa diremehkan, usia 28 tahun saja bisa meraih cum claude. Penghargaan berjejer rapi di rak, nama baik yang agungkan, lulusan terbaik, dan hartawan di daerahnya. Keberuntungan manakah yang Padmini dustakan? Tidak, ia kadang tidak percaya dengan apa yang terima. Termasuk paket cinta bak romeo juliet. Sungguh, niat itu yang hendak Padmini pertanyakan. Keuntungan apa yang diperoleh Kairav bila ia bersedia menjadi mempelai wanita?
"Masa lalu sepertinya akan terjadi lagi padaku. Di tolak oleh pujaan hati, beginikah cara kamu bermain?" tanya balik Kairav.
"Apa kamu pernah mendengar peribahasa, adakah buaya menolak bangkai?" Poin di sini adalah Orang jahat akan berbuat jahat kalau ada kesempatan. "Peluang mana yang terbuka lebar untukmu, Kairav?"
"Saya jahat?" Pedih menyambar mata lawan bicaranya. "Saya berusaha dari kamu dulu. Kemudian barulah keluarga, teman, dan semua rekan kelompok kuliahmu. Kerja keras itu tidak berbuah manis?"
Bagi Kairav akan terlihat bagai kaca terhempas ke batu, tetapi Padmini berkeras hati setelah pengalaman buruk menimpanya. Tidak setelah diperas oleh lelaki tamak...
"Padmini... kalau hatimu bersikeras tidak menerima saya. Maka, ketahuilah bahwa saya akan tetap memaksa dengan cara di luar akal sehatmu."
Wanita itu kehilangan pijakan kokoh, ketenangan jiwa ini kini berubah menjadi tiupan angin puyuh.
"Maaf jika kamu selanjutnya bangun berserta pusing yang menusuk," peringatan yang tersebur dari mulut Kairav membuat Padmini tidak sempat mundur.
Kairav Kusuma memandangnya lurus dengan begitu tajam sehingga Padmini merasa seakan-akan tekadnya terenggut dari dirinya bersama tatapan itu. Kedua netra Padmini terbelalak kejut. "Kairav—" Sentilan di kening yang lembut. Tiba-tiba saja segala sesuatunya berubah. Udara di sekelilingnya menipis dan pandangan menjadi kelabu. Permukaan tanah yang mereka pijak bergelombang naik turun.
Namun, entah bagaimana Kairav berhasil menangkap Padmini saat ia terjatuh. Ketika Kairav bertindak cepat, gesit, dan tanpa memerlukan bantuan wisatawan lokal lain yang sudah menghampiri. Mengoper pertanyaan apa yang terjadi, Keadaan wanita yang telah ia gendong manis di lengannya. Berkat pesona wibawa, tak satupun menaruh kecurigaan pada Kairav. Terlintas dalam benaknya pemikiran yang aneh, mengusik, bahkan saat kegelapan menyelimuti. Inilah alasan mengapa ia datang jauh-jauh ke sini.
"Apa—" Semuanya gelap, hampa, dan dingin. Siapa yang matikan lampu?
"Bangunlah, kau telah pulang."
Suara itu, intonasi maha lembut dan logat tersebut tidak mirip. Tapi suara itu benar-benar dirinya. Mengikuti asal panggilan itu, Padmini membuka matanya perlahan. Pandangan menyelidiki terasa kabur, sinar tipis menembus pupil matanya. Sedikit demi sedikit, dia bangkit. Di mana saya? pikirnya. Ah, pasti jatuh tidak sadarkan diri. Padmini berdiri dari dipan tanpa kehilangan keseimbang. Kemana Kairav? "Ah, pasti dia sekarang sedang bersama pemilik kediaman ini. Segan jadinya kalau bertemu."
Pengalaman dan atmosfer kamar yang sedang Padmini rasakan berdampak pada gesekan perasaan. Sesuatu tentang prediksi...
Tetap saja, bukankah ini kali pertama melihat langsung arsitektur bangunan serba kayu. Pondasinya juga bantuan halus saat di pijak. Arsitek mana yang mengerjakan pembangunan kamar ini? Walaupun merasa asing dan tsayat merepotkan pemilik sebab jatuh dalam keadaan kurang sehat.
Sebuah ruangan, bokongnya menduduki tepi dipan kayu jati, Di tepi dinding, sebuah peti berukiran khas Jawa menarik perhatian Padmini. Kuno tapi elegan dengan cara terbaik. Tampak kegunaan peti ini adalah menyimpan pakaian.
Mengalihkan pandangan, Padmini berjalan tanpa kehilangan keseimbang. Menyibak gorden ambang pintu kerangka berukiran burung surga. Ia jatuh terpukau lagi oleh hawa, ansitekturnya, masih satu ruang selain tempat istirahatnya. Lokasi ini berisikan meja rias, gorden pembatas tembus pandang, disibak lagi hanya perabot untuk santai. Payung mekar menghiasi sisi bibir pintu keluar.
Padmini teralihkan oleh cermin kuningan. Oke, wajah yang cantik... Satu... Dua... dan ia masih memuat informasi baru. Hah? Dia terkejut bukan main, hantu mana ini? Respon tubuh Padmini bergerak bersamaan spontan mundur selangkah. Bolak-balik dekatkan cermin kuningan, meneliti baik-baik kali saja pandangan wajahnya salah lihat.
"TIDAK MUNGKIN! DOKTER MANA YANG OPERASIKAN WAJAHKU SIALAN... FXXK!!" Sensor-sensor demi kebaikan. "Sialan wajahku yang udah sempurna! Gimana ini!"
Apa yang dilihat? Seorang gadis dengan kulit kuning langsat, rambut lurus pajang, hitam halus dan sedikit ikal di ujungnya. Jepit, tusuk rambut menyerupai Padma (bunga teratai) bagi yang masih digelung. Sisanya digerai bebas.
Kedua posisi mata ujungnya naik, iris hitam, alis tipis, dan hidung tidak terlalu mancung, menghiasi wajah perempuan yang dilihatnya di cermin. Padmini mengulurkan kedu lengan, dipandangi jemarinya.
Dia masih terdiam, tidak bisa mengingat semua. Hanya rupa dirinya saja yang tergambar jelas. Tapi, ini? Gadis yang kira-kira berusia 18 tahun dan pakaiannya terlihat ... kuno dengan kebaya berbordir dan jarit yang membuatnya susah berjalan. Pantaslah pundak Padmini terasa sejuk, kabaya ini tidak memiliki lengan baju. Terpampang leher, sampai pundak yang bersih beserta perhiasan tidak praktis bernama ornamen gelang yang dipasang pada lengan atas. Apalagi wewangian khas bambu, hawa dingin separuh asap jati.
"Apa yang! Tunggu, siapa ini! Rupa milik siapa ini?" Terguncang, ia meraba wajah sendiri. Berharap ini hanyalah mimpi. Sampai-sampai Padmini mencubit pipi dan rahangnya yang bagus. "Waduh, piye Iki!"
Tiba-tiba, pendengaran Padmini menangkap derap langkah. Dari pandangan yang terhalangi kain yang tertiup angin. Siluet seorang pemuda dan dayang memasuki ruangan ia berada. Masih dihalangi oleh gorden yang tembus pandang. Pemuda tersebut berdiri gagah perkasa. Padmini terdiam membeku.
"Anjarwati...," panggil pemuda itu.
Anjarwati? Siapa? Saya? batin gadis itu. "Jadi, nama saya Dewi Anjarwati?" gadis Jawa itu bergumam.
"Apa?" Kata-katanya itu ternyata tertangkap oleh gendang telinga di seberang sana. "Kenapa suaramu terasa bingung? Ini saya Baron," pemuda itu memberanikan diri, menyibak gorden. Gawat, tak sempat menghindar ataupun bersembunyi, melarikan diri. Apapun agar ia menghindari pertanda nasib buruk.
"Baron?" Tanpa sadar, ia membisikkan nama itu.
Begitulah takdir memasuki dongeng rakyat bak kapal tenggelam telah menjatuhkan harapan besarnya. Penampilan pemuda ini jauh melebihi ekspetasi Padmini, yang dipikir-pikir mengapa wanita yang akan jadi istrinya begitu mencintai Baron Kusuma. Bahkan tinggi Padmini baru sebatas dagu pemuda tersebut. Pertemuan pertama kali ini begitu canggung, Dayang mengantar Baron Kusuma pun memohon diri untuk pergi, setelah pemuda ini mempersilakannya.
Tidak, jangan. Hanya kedua insan ini saja yang berada di sini. Menatap, memperhatikan raga, dan rupa satu sama lain.
"Saya bukan Dewi, saya padmini dan kau salah orang," beber Padmini berkata jujur. "Di mana Kairav?" Ia belum bisa mengatasi kebingungannya.
"Siapa Kairav? Apa nama pemuda dari desa?" Alis bertaut, tanda dia masih tidak mengerti. "Padmini? Apa kau sedang mau main?"
"Bukan, temanku."
"Temanmu? Oh..." ujar Baron, raut ekspresinya kembali tenang. Diletakannya punggung tangan Baron di kening Padmini. "Hmm... Tampaknya kau bingung setelah tidak sadarkan diri mengenai maksud kedatanganku untuk melamarmu. Keluargaku pun ikut dalam perjalanan ini dan para dayang di kediaman ini menyibukkan diri dengan menyiapkan, menghiasi pendoponya," bahas Baron memaparkan kegiatan di kediaman yang sedang berlangsung. Sementara itu, Pendopo atau pendapa adalah sebuah paviliun yang terletak di bagian depan kompleks. Tempat ini digunakan untuk menerima tamu, pertemuan sosial, atau pertunjukan ritual.
Bola mata Padmini berputar jengkel. "Katakan, siapa kau?" Batasan, jaga batasan antar lawan jenis!
"Saya Raden Baron Kusuma, putra gunung Anjasmoro," kata Baron, walau tampak dari raut wajahnya tersinggung dan lebih penasaran akibat ulah Padmini. "Dewi, apa yang terjadi padamu. Siapa yang telah menyihir sampai kau bisa lupa pada kekasihmu sendiri."
"R-Raden Baron Kusuma!?" pekik Padmini plus syok membakar harga dirinya. "RADEN BARON YANG ITU?"
Keduanya syok bersama-sama. Tidak mimpi buruknya telah datang! Dari sekian kejadian paranomal, dari pendaki hilang di gunung, kapal menangkap penampakan kota gaib, dan lain-lain. Kenapa harus Isekai masuk cerita dongeng?! Oh no, Padmini mengigit bibir bawahnya. Kekuatan kakinya kehilangan tenaga penompang.
"Dewi!" Baron telah mendapat kesimpulan penting. Tampaknya, sebaiknya tebakannya meleset, calon mempelainya kehilangan ingatan di waktu yang berdekatan dengan acara penting mereka! "Saya akan segara membawakan tabib kemari, bertahan Dewi."
"Tidak jangan!" Jangan sampai mereka tahu. "Di sini saja."
Lengan Baron persis di pinggangnya. Batasan tersebut dilanggar sendiri oleh Padmini, sebab tangan kanannya mencegah Baron Kusuma dari berbuat hal rusuh. Peristiwa di luar akal sehat ini memerlukan strategi.
"Dewi, kau yakin kau baik-baik saja? Semua ini sulit sekali kumengerti," tanya Baron memastikan tegas.
Pucat, Padmini memaksakan senyum berbalut merana. "Iya, saya baik-baik saja. Cuma saya tidak mau menjadi rondo (janda)," tangisnya seraya tertatih dipegangin Baron.
"Apa—" Pandangan Baron melebar. Ternyata alasan itu? Tak mau menjanda, kau takut kehilangan diriku? Tapi ingatanmu...
Padmini geram dan melepaskan diri dari rengkuhan Raden Baron Kusuma.
Dengan kekuatan dari dalam sukma dan raga, Padmini melepaskan kadar kesetresan tinggi ke udara, "SIALAN KAU KAIRAV DAN AIR TERJUN JAHANAM!!!" Teriakan yang dilepaskan, ia mengacungkan kedua kepalan tinju ke langit.
Baron Kusuma tidak bisa berkata-kata. Linglung meresapi seluruh perasaan dan alam pikirannya.
Tamatlah riwayat hidupku.
Tamat
Diunggah: Senin, 28/08/2023
Jumlah Kata: 2293
Catatan: Cerpen Romantis mix Gaib Misteri.
Bila suka tinggalkan jejak, terima kasih banyak sudah berkunjung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro