Hanchy Hotel Hidden Letter
Columbus, Ohio.
Tumpuan langkahnya terhenti di depan Hotel masih berdiri kokoh di tepi jalan. Serba canggih ternyata tak menyurutkan keinginan orang lain untuk membeli properti yang ada di hadapannya. Akan jadi lain ceritanya bila ia tidak mendapatkan Hotel Hanchy yang dulu pernah beroperasi. "Jadi, dia menyerahkan hotel bangkrut dan membagikan harta yang sudah bobrok masuk ke surat pembagian harta?" Wanita yang sudah berstatus menjadi janda ini berusaha membayangkan apa yang harus dilakukannya terhadap hasil negosiasi dengan pria brengsek yang tak pernah satu kamar dengannya setelah menikah. "Oh my-my apa harus kukatakan kepada para stafku—Dua orang sana?"
Dua manusia yang ditunjuk terbatuk-batuk tak karuan. Tepatnya menghindari amukan Nyonya MacRorys. Jack Hammer dan Daisy Portman segera mengerjakan tugas menurunkan barang bawaan mereka terlebih dahulu.
Seorang pria teman dekat Nyonya MacRorys menyosong dan berhenti tak jauh di belakang punggung mantan Nyonya Hanchy. "Nyonya MacRorys, kau harus tenang dan tidak boleh terlampau emosian," saran dari temannya. "Seperti yang sudah dijabarkan oleh pengacaramu, properti di Skotlandia telah disita oleh keluarga MacRorys. Hanya ini saja yang tersisa."
"Telpon Ayah bangsat itu sekarang! Axel—"
Besar kekuatannya Axel Werner berani menghadapi tantrum wanita ini. "Verona, Ayahmu tidak akan menerimanya." respon Mr. Werner santai sembari membetulkan manset jasnya. Kembali kepada Verona yang tengah merajuk dan wanita itu pintar menempatkan Axel dalam kesabaran yang tipis di bagi dua.
"Aku akan merobek-robek mereka sampai habis tak tersisa!" protesnya berapi-api.
"Aku meragukannya." Tak pelak lagi, setelah bentuk wajah, maka gaya rambut adalah yang selalu diperhatikan orang sewaktu pandangan berserobok. Pahatan wajah bundar memalingkan wajahnya ke Axel. Rambut panjangnya berkibar-kibar bergelombang hitam ditiup angin bulan November. Axel seketika membeku, waktu turut menghayati rupa Verona MacRorys dalam kurun waktu tiga detik. "Tidak ada jalan mundur sekarang."
"Ini semua!" Verona melayangkan telunjuk penuh emosi ke arah Hotel bobrok. "Penghinaan!"
"Ini namanya permulaan dan kendalikan emosionalmu, Nyonya."
Netra Verona berkedip-kedip menatap lawan bicaranya memiliki watak dominan lancang. "Sialan, lalu apa yang terjadi padaku bila harus tinggal di hotel serba kuno ini?!"
"Kau akan tinggal di sini, aku tidak akan merekomendasikan lokasi lain," kata Axel dan di dalam bait terakhir seolah ada alasan di balik semua hal konyol sekarang. "Kau tahu mantan suamimu yang merencakan ini semua. Bukan diriku."
"Seolah kau berkata pernikahanku adalah biang keroknya, benarkan?" Verona ragu ada yang dapat membuat pria itu merasa bersalah dan dengan muak merasa nyaris ingin mengentakkan kaki, pergi sambil marah-marah. "Mr. Werner apakah kau pikir aku adalah wanita manja?"
Verona jengkel karena sikap emosionalnya tak pernah terlontar di depan publik kini muncul ingin mencekik Axel. Belum pernah ia merasa begitu sadar diri. Ia tahu penampilannya dalam urusan pekerjaannya ia terbiasa tampil elegan dan mewah sepanjang waktu menuntut Verona mengagungkan nama yang ia bawa. Mengapa di saat tangga terbawah yang kini harus dijalaninya, Verona malah bersama Axel Werner? Kenapa pria itu malah menyaksikan dirinya merana dan menderita sembari diultimatum mengurusi bangunan pembawa kesialan?
"Nyonya, kau bukanlah wanita manja. Kau tidak seharusnya menilaiku dengan pandangan main hakim sendiri. Aku di sini membantumu dengan urusan yang kupikir kurang dimengerti oleh wanita kelas atas seperti dirimu," ungkap Axel tanpa bermaksud merendahkan status yang kini disandang Verona. "Maukah kau melihat-lihat dahulu ke dalam? Barangkali ada yang membuatmu tertarik."
"Adakah yang menarik dari penampilan bangunan Hanchy?" Kemuraman Verona tidak bisa disembunyikan. Bagaimana harus berpura-pura senyum di saat kau tidak ingin tersenyum?
"Aku ada kejutan untukmu di dalam sana. Setidaknya aku akan membuat malam ini bukan neraka untukmu," ajak Axel masih bersikap sabar. "Apa kau mau ikut?"
"Nyonya beranikan dirimu. Saya dan nona Portman dikirimi foto renovasi dari Hotel Hanchy. Arsitekturnya jelas indah memesona walau dimakan umur," sanjung Jack Hammer menambahkan. "Benarkan Daisy?"
Sebagai jawaban, Daisy mengangguk setuju.
Verona tersenyum lirih disajikan keadaan kedua stafnya membawa barang serba berat. Sedangkan, jalan raya di belakang Jack dan Daisy Portman dipenuhi deru kendaraan yang melintas di pertigaan lampu lalu lintas. Periode matahari terbenam, masuk ke dalam cakrawala, bersamaan angin dingin ini ia malah membawa tiga nyawa manusia. Jadi, tidak mungkin menuruti harga diri yang sudah tercoreng. "Semakin gelap. Perut Daisy pasti lapar dan Jack juga ingin mengistirahatkan tumitnya. Ya sudah, kau duluan."
"Perhatikan langkah-langkahmu begitu masuk. Banyak hal yang perlu diperbaiki dan pastinya tidak aman, paham?" tekan Axel mendahuinya memasuki Hotel Hanchy.
Axel cekatan membuka pintu ganda yang sebelum terkunci. Kini terbuka memperlihatkan kubah dan pesona utama.
Hari ini seperti mimpi saja. Dada Verona diliputi rasa kalut. Ia wanita yang menyukai kerapian, kerbersihan, dan arsitektur model modern. Tetapi malah disuguhi properti bobrok. Melewati tiga anak tangga, Verona berhati-hati melangkah. Terasa sekali gemerisik pasir di bawah high heels, lantainya jelas penuh pasir, debu, dan kayu-kayu yang sengaja ditepikan di sudut-sudut pilar marmer alam putih yang sudah kusam. Ada sesuatu yang menarik, di tengah-tengah tangga
Lukisan di dinding itu tampak sederhana. Seorang wanita berbalut gaun merah. Kulitnya pucat. Garis-garis wajah menawan seperti umumnya golongan aristokrat. Lukisan ini benar-benar detil, pikirnya. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika sebuah tangan menyentuh lengan kirinya.
"Bagaimana menurutmu?"
Verona mengarahkan pandangannya ke lukisan lagi. "Cantik, tetapi matanya mngisyaratkan kesepian yang tak berujung."
Netra Axel terbelalak, tetapi ia bisa mengeri mengapa komentar Verona mengerti jiwa yang ada dilukisan tersebut.Axel pun menaikkan sebelah alisnya. "Nyonya MacRorys, Anda orang pertama yang menilainya demikian."Axel melepaskan lengan kiri Verona dan beralih ke ruang tamu hotel yang sudah dibersihkannya tempo hari. "Jack Hammer, kemari. Bawa perlengkapan untuk Nyonya ke sini."
"Baik, saya datang," sahut Jack bergegas cepat menuju arah Axel.
Verona memunggungi stafnya yang sudah berjalan ke arah Axel untuk area bermalam. Sembunyi dari mereka, ia menyingkirkan kerinduan soal kamar, studio tembikar dekat kediaman MacRorys dalam-dalam. Ia menghampiri bagian resepsionis yang sudah usang. Masih sangat tampak sekali aura-aura masa keemasan yang pernah terjadi di dalam bangunan kokoh. Pijakannya terasa megah. Harus diakui secara diam-diam saja, bangunan bobrok ini masih mengesankan. Verona mendongak ke arah kubah di atasnya, mural-muralnya menggambarkan berbagai peristiwa dari buku mitologi Yunani. Tapi mural-mural itu sekarang memudar ditutupi debu. Kurang jelas seperti apa bila disenteri dengan ponsel pintarnya.
"Nyonya, jangan jauh-jauh. Mr. Werner tidak menyarankan berjalan-jalan terlampau jauh," larang Daisy mengkhawatirkan.
Sejauh ini, segala sesuatu yang Verona saksikan dari nuansa kemegahan yang memudar. Usaha Axel Werner terkesan mencari perhatian. Verona akan tetap membencinya sebab meyakinkannya untuk hidup tanpa suami alias tanpa kekayaan. Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa juga ia menyetujui ide teman curhat ini, ya? Padahal teman pria ini cuma mesra di luar sebagai latar belakang perceraian. Axel Werner sendiri yang menyarankan ide yang berakhir sengsara. Tentu saja ada alasan lain. Verona tidak tahan dengan Max yang rajin merendahkannya di klub khusus pria di Vegas.
Daisy berlahan-lahan menepuk bahu kirinya. Menyadarkan kenyataan bahwa Verona telah memberanikan diri demi kebebasan yang tak pernah ia impikan. "Nyonya semua akan baik-baik saja. Mr. Werner berusaha menemukan lokasi lain untuk menginap, tapi ada kendala—"
"Kendala apa?" Verona mencengkeram pergelangan tangan kanan Daisy yang sempat menepuk bahu kirinya. "Daisy katakan."
Walau Daisy penuh keraguan untuk mengatakannya. Daisy lebih memilih kejujuran demi menjelaskan keadaan mereka yang berbalik dari situasi yang seharusnya masih bisa diajak damai. "Max mengancam Mr. Werner. Mereka bersilat lidah cukup panjang di kantornya, kalau Mr. Werner kaya raya, maka ia seharusnya bisa menjagamu. Mantan suamimu ingin melihat apakah dia bisa membahagiakanmu setelah jadi orang yang menghancurkan pernikahannya."
Mungkin Daisy tidak menyadarinya, jendela jiwa Verona berkaca-kaca. "Jadi, apa yang dibalas Axel?"
"Mr. Werner menyanggupi. Dia meminta Hotel Hanchy sebagai pembagian hak kepemilikan harta setelah perceraian. Dia bersungguh-sunguh ingin membangun hotel megah untukmu, Nyonya."
Verona kini tahu apa yang dipertaruhkan Axel Werner.
Pria itu menghiburnya, membuainya dengan kelembutan, seperti halnya nada yang digunakan seseorang pada seekor binatang lusuh yang ketakutan. Persis caranya berbicara padanya di depan bangunan Hanchy tadi. Verona mencengkeram erat-erat suara lembut itu. Itulah satu-satunya hal yang melegakan di saat malam yang berputar-putar. Tubuhnya yang gemetar. Dan menangis, ia tersadar. Walaupun tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan air matanya.
"Nyonya MacRorys?" Suara Axel membelah suara Daisy yang berusaha menenangkannya.
Isakan tangisnya mengundang kedua pria yang tadinya sibuk mengurus barang-barang yang diperlukan untuk menginap di malam ini menjadi buyar. Ketahuan sudah Verona memperlihatkan kerapuhan.
"Daisy mundur," pinta Axel Werner mengambil ahli untuk menghibur Verona. Axel menatap iba, sempat pula jemari Axel ditepis Verona.
Daisy dan Jack memperhatikan mereka dari jarak yang dirasa privasi. Kekalutan Verona dihempas jauh oleh Axel. Ketika Axel mengulurkan tangan dan menyentuhnya, dengan ringan mengelus lengan atas Verona, lalu turun ke pinggang. Verona tidak menjauh, ia membiarkan pria ini menyentuhnya padahal ia tak pernah membiarkannya terjadi saat masih bersama Max. Axel membawa wanita ini masuk ke dalam pelukan bak rumah ternyaman
Setelah peristiwa sedih itu dan Jack, Daisy tidur di tenda terpisah. Axel mau menghibur Verona dengan bercerita mengenai Hotel Hanchy yang berhantu. Pada awalnya sebuah kediaman keluarga Hanchy berada di bangunan utama sekarang ini, sudah ada sejak abad ke-19. Kemudian ditambahkan interior megah pada tahun berikutnya.
Meski masih terlihat indah di era kejatuhannya, Hotel di tengah pembangunan ditengah kota metropolitan ini menyimpan misteri yang sangat mengerikan. Legenda yang terkenal adalah kamar misterius yang selalu terkunci. Pada tahun 1890, anak pertama pemilik kastel dilahirkan cacat dan dikunci di dalam kamarnya seumur hidup.
"Setidaknya itu adalah legenda yang disebar warga kota untuk menakuti orang-orang," kata Axel mengakhiri cerita horornya.
"Axel, kau tidak pernah tinggal di Ohio. Jadi bagaimana bisa kau mendengar legenda hotel Hanchy?" tanyanya, alih-alih membahas soal perceraian dan kemiskinan.
Axel terdiam cukup lama, kemudian menghembuskan napas berat. "Kau yakin kau ingin
memulai pembicaraan sekarang juga? Kau terlihat seolah butuh tidur minimal lima belas jam."
Bersama Axel di sini? Ajakan itu muncul di benak Verona dan ia berusaha sekuat tenaga mengenyahkannya fantasi kotor.
Axel mengulurkan tangan. Pria itu mempunyai tangan yang besar, kuat, dan mahir dalam bidang pertukangan. "Ayolah," ajak Axel. "Aku akan mengantarmu kembali ke tendamu."
Menginap di tenda macam apa yang berteduh di bawah gedung, ini aneh. Verona menggeleng. "Aku baik-baik saja." la takut menyentuh kulit Axel. Bahkan jika tangan Axel tidak sengaja, Verona segan.
"Terima kasih lagi, Mr. Werner. Tetapi ceritakan lagi, soal hotel berhantunya! Aku mau tahu."
Axel menarik uluran tangannya kembali. "Tidak, nanti kau tidak bisa tidur."
"Ceritakan!" desak Verona menuntut Axel karena sudah membuatnya penasaran.
"Ini sudah jam sepuluh. Dan kau duduk beralaskan jas mahalku," gerutu Axel masih bersikap gentleman sejati.
"Pelit sekali! Aku heran mengapa harus berteman denganmu?" Verona merajuk, tatapan matanya tak lagi menghadap Axel. Justru memandangi api di kompor kecil yang sering dipakai untuk berkemah. Pasti Axel Werner sering berkemah di Grand Canyon atau lokasi lainnya. Itu dugaan Verona saja.
"Terkadang bagian pertempuran tersulit datang setelah hal itu usai," nasihat Axel lirih, "Ketika keberanianmu menurun. Pasti tidak ada yang bisa dilakukan selain memikirkan apa yang telah terjadi."
Verona tetap di sana sementara ia tahu seharusnya mengucapkan selamat malam dan menjaga jarak aman antara dirinya dengan Axel Werner. "Aku tahu karena aku memilih bercerai daripada makan hati melihat Max bersama model cantik mirip jalang itu! Tapi terima kasih untuk semuanya."
Suasana kembali hening. Mereka masih bingung mau menamai apa hubungan perselingkuhan ini. Kenyataannya Axel adalah pria berpendirian teguh dan tetap memilih Verona MacRorys sebagai pasangan. Walaupun Verona selalu menyebut kata 'teman'.
"Kemari mendekat, aku menemukan sesuatu yang akan membuatmu tertarik," tujuk Axel memancing rasa penasaran Verona.
"Kotak apa ini?"
"Kutemukan di dalam kotak besi dan kotak ini berada di balik dinding kayu lapuk yang dimakan usia," beber Axel bersemangat. "Dari penampilannya ini bernilai miliaran. Aku temukan lima hari yang lalu."
"Ini kan propertiku. Siapa yang memberimu izin untuk menggali harta karun?" Verona jengkel, tapi paling bersemangat ingin melihat isi peti ini.
"Baiklah jika kau tidak memperbolehkannya, maka aku akan mengembalikan barang ini di tempat asalnya," pancing Axel mendengus jahil.
Verona terpancing umpan dan merebut peti besi tersebut. "Mari kita lihat isinya dulu." Sebelum menit lain berlalu cepat, gembok sudah berbunyi klik dan kotak terbuka. "Bagaimana kau mendapatkan kunci kotaknya?" tanya Verona memandang penuh tanda tanya pada Axel.
Sebagai tanggapan Axel tersenyum dan mata hazel menyorotkan sinar kebahagiaan. "Kunci ini dari nenekku."
"Bagaimana nenekmu bisa punya kunci peti ini? Padahalkan ini hotel keluarga Hanchy." Poin yang disodorkan Verona ada masuk akalnya.
"Akan ku jelaskan setelah kau melihat isi, ya? Maukah kau—"
"Iya!" potong Verona duluan. Anehnya, kunci yang diberikan Axel berfungsi. Jantung Verona berdebar saat mengangkat
tutupnya. la menemukan satu perkamen menguning, kedua tangan Verona berhati-hati dan membuka lipatan surat ini. Dibaca secara seksama bersama Axel.
Isinya kurang lebih hak waris hotel.
(Lady Margaret Theresa Hanchy. Pemilik sah properti Hanchy diserahkan kepada anak satu-satunya putri Rose Theresa Hanchy serta keturunannya yang masih hidup berhak mengelola, menggunakan, dan menjalankan hak bangunannya.)
"Tidak menjelaskan mengapa kunci kotak ini berada di tanganmu, Axel Werner."
"Sudah kubilang akan kujelaskan padamu. Ini termasuk propertimu juga."
Walau curiga, Verona tetap kembali mengeledah isi kotak besi ini. Selain surat yang ditandatangani hanya dengan nama "Hanchy."
Merasa seperti pengintip, Verona melipat lagi perkamen yang sudah menguning dan menyisihkannya.
Sementara itu, Axel sudah mulai mengambil perhiasan dari dalam kotak dan menghamparkannya di
pangkuan Verona.
Dipangkuan wanita ini batu zamrud berdiameter setidaknya tiga senti, beberapa pasang kalung berlian, kalung mutiara putih, bros berlian putih yang terbuat dari zamrud berbentuk tetes air menggantung di bawahnya, dan bermacam-macam model cincin perhiasan.
"Wow, ini lebih banyak dari koleksi perhiasan milikku," kagum Verona sembari membolak-balik gundukan benda kemilau ini. "Aku tidak jago soal keuangan dan bisnis. Tetapi tidakkah menurutmu ini pasti cukup untuk
membangun kembali hotel ini kembali?"
"Masih kurang tetapi kita tidak akan menjual perhiasan untuk hotel ini," ujar Axel, melirik harta karun itu dengan pandangan sangat berpengalaman. "Kita akan menggunakan tabunganku dan warisan dari nenekku yang masih satu darah dengan Hanchy."
Verona mengernyit. "Axel. Kau masih satu darah dengan keturunan Hanchy?!"
"Hmm?" Pria itu sepertinya sudah kehilangan minat terhadap harta tadi, sebaliknya mengelus bahu kiri Verona dengan lembut. "Sebenarnya Rose Theresa Hanchy adalah nenekku. Dia adalah anak sah dari keluarga Hanchy. Tetapi hotel ini tampaknya jadi bangunan sangketa dengan anak kakek buyutku lainnya. Apa yang direbut telah kembali ke pemilik sah. Aku berharap nenekku tidak lagi bersedih hati dan tenang di surga."
"Dari sini kita berdua tahu, Max Hanchy adalah orang idiot," ejeknya meskipun demikian, Verona berterimakasih.
"Benar katamu. Aku adalah pemilik sahnya dan kau adalah orang yang direlakan untuk memiliki hak hotel ini dari Max Hanchy sendiri," terang Axel jujur dan terperanjat memandang Verona sangatlah imut.
"Jadi selama ini kau sengaja mengincar Hotel Hanchy?!"
"Bagiku iya. Tapi kau adalah harga yang lebih mahal daripada hotel milik nenek buyutku," koreksi Axel bahagia merebut Verona dari tangan Max yang tidak pernah menyadari bahwa Verona dan Hotel Hanchy adalah harta paling bernilai di lubuk hati Axel. "Menurutku itu alasan yang kuat dan lukisan yang kau lihat adalah nenek buyutku."
Verona terdiam, sudut bibirnya terangkat naik. "Dia sangat cantik. Jadi, selama ini kau mengejar dua hal ini?"
"Iya, tetapi aku mau membaginya denganmu. Seluruh hidupku juga, dan kalau kau mau akan menjadi pelayan hatimu. Sebagai tembusan yang adil, bagaimana menurutmu?"
Verona tidak jadi bersedih. Ia malah tertawa-tawa sambil bernapas lega. "Aku setuju. Seperti katamu ini adalah kejutan yang menyenangkan."
Tamat
Jumlah Kata: 2514
Tanggal diunggah: 29 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro