Extra Part : Alleira's Biggest Dilema
Alleira's POV
Cukup lama aku memandang cermin di depanku sambil memutar-mutar tubuh, melihatnya dari berbagai sudut sebelum aku menghela nafas kecil.
"Kamu terlihat cantik, Al. Tidak perlu terlalu serius memandang bayanganmu sendiri di cermin. Nanti bayanganmu bisa iri melihat dirimu." Ujar Kenneth yang baru keluar dari kamar mandi. Ia sudah lengkap memakai kemeja dan jas serta dasinya. Terlihat resmi dan formal.
Sementara aku sudah mengenakan gaun yang sangat biasa menurut pengamatanku.
Aku jadi merasa kecil kalau berdiri di sebelah Kenneth.
"Apa Ethan dan Lucas sudah selesai bersiap-siap? Bagaimana dengan Emily dan Scarlett?" Tanya Kenneth masih sibuk mengancing lengan tangannya.
Aku hanya menghela nafas dan kembali mematuh bayanganku di cermin.
"Ken, Gimana kalau aku dan anak-anak gak ikut?" Tanyaku yang langsung menghentikan aktivitasnya mengancing, lalu menoleh cepat kearahku.
"Kamu ngomong apa barusan?" Tanya Kenneth sambil mengernyit. Aku bisa melihat kerutan halus itu dari kaca rias yang sedang kupandangi.
"Aku sama Anak-anak gak ikut. Ya?" Ulangku tanpa berbalik. Tidak berani menatap mata Kenneth yang bahkan dari bayangan kaca saja sudah sangat tajam.
Kenneth berjalan cepat dan melingkarkan kedua lengannya di perutku. Kalau aku biasanya nyaman dengan pelukan itu, kali ini aku tidak menemukan kenyamanan itu selain rasa risih.
"Kita sudah bicarakan ini dari kemarin, Al. Makan malam ini penting untuk perusahaanku. Dan lagi, Mr.Shelton ingin melihatmu, makanya beliau secara Pribadi mengundangmu." Gumam Kenneth sambil mencium tengkuk leherku.
"Ken, tapi..."
"Tidak ada tapi, Al." Sela Kenneh cepat. "Lebih baik kamu segera menyelesaikan kegiatan bercermin kamu, aku menunggumu dibawah sama anak-anak." Satu kecupan singkat diberikan Kenneth di pipiku.
Sebelum ia berjalan, ia sempat memainkan sedikit kulit perutku yang mengendur, tidak bisa tertutup oleh Dress yang bahkan sudah seperti membungkusku ini.
Ya, Aku mulai menggemuk semenjak terus menerus melahirkan buah hati kami.
Meski Kenneth tidak mengeluarkan komentar apapun, tapi sejujurnya aku sedih dan sangat menginginkan tubuhku 8 tahun yang lalu kembali.
Kehamilanku yang kedua dan ketiga masih lebih baik karena berat badanku bisa berangsur turun dalam beberapa bulan setelah melahirkan. Tapi kehamilan terakhirku, berat badanku seakan tidak bergerak meski sudah hampir setahun aku melahirkan Scarlett.
Aku takut kalau badanku tidak lagi menarik, dan Kenneth akan melirik wanita lain yang lebih cantik dan memiliki tubuh indah.
Tentu ketakutanku bukan tak beralasan. Beberapa hari ini aku terus mendapati Kenneth yang pulang lebih larut dari biasanya. Bahkan ia juga tidak terlalu sering meminta bercinta seperti dulu. Dan lagi, caranya memainkan lemak perutku itu sedikit membuatku risih.
Aku tidak bodoh. Aku tahu kebutuhan Kenneth itu tinggi setelah 8 tahun menikah dengannya. Dan tentu saja turunnya aktivitas seksual kami yang biasanya setiap hari menjadi seminggu beberapa kali menjadi bahan pemikiranku.
Apa Kenneth mencari pemuasan lain di luar? Bagaimana kalau jawabannya adalah iya? Apa aku dapat menerimanya? Dan kalau jawabannya tidak? Lalu apa yang Kenneth lakukan selama ini?
"Hei, kamu belum selesai?" Kenneth kembali menyela lamunanku dengan membuka pintu kamar.
"Y-ya. Aku segera turun." Ujarku lesu.
Aku memutuskan untuk memulai program dietku mulai dari sekarang.
Aku tidak akan mau berbagi Kenneth dengan perempuan lain. Tidak sama sekali. Aku harus kembali ke fisik awalku.
Aku kemudian melangkah keluar dan menghampiri ruang tamu dan memandang Kenneth yang sedang menggendong Scarlett serta melihat ketiga anakku lainnya sudah tampan dan cantik.
"Nah, itu mama sudah selesai." Ujar Kenneth seakan meniru suara anak kecil. "Ayo anak-anak. Kalian harus ingat janji kalian untuk tidak boleh nakal. Terutama Lucas dan Ethan. Kalian jangan berlarian di sana dan terus berdiri di samping Papa dan Mama. Emily, Tugasmu adalah Menjaga kedua adik bandelmu ini supaya tidak hilang. Dan Scarlett..." Kenneth mencium pipi gembul Scarlett hingga Scarlett tertawa geli akibat brewok halus Kenneth yang menyapu pipinya, "Stay cute, Honey!"
"Lalu, Mama? Apa tugas Mama?" Tanya Emily begitu aku sudah sampai di dekat mereka.
"Tugas mama hanya tersenyum dan berdiri di samping Papa." Kenneth tersenyum dan menarikku mendekat.
Aku mengambil alih tubuh Scarlett dan ikut tersenyum kecil.
Semoga saja Kenneth tidak bisa melihat kegelisahanku.
Kami kemudian keluar menaiki mobil van yang cukup menampung anak-anakku. Mobil ini memang dibeli Kenneth setelah tahu mengenai kehamilanku yang ke empat dan ngotot mengatakan kalau mobil sedan biasa tidak akan mampu menampung keluarga kecil kami.
Jadi aku hanya pasrah membiarkan Kenneth membeli mobil Van yang hanya kami gunakan kalau sedang ada acara keluarga seperti ini. Selebihnya, Kenneth lebih sering menggunakan mobil Sedan atau mobil Sport koleksinya.
Entah memang karena lebih praktis, atau karena ingin gaya-gayaan.
Lihatlah! Aku jadi sering berpikir yang tidak-tidak terhadap Kenneth.
Ketakutanku ini suatu saat bisa mencelakakanku.
Begitu mobil tiba di tempat acara, aku cukup tertegun melihat seberapa besar dan mewah pesta jamuan makan Mr.Shelton dilaksanakan.
Meski Kenneth dan anak-anakku sudah terlihat siap, Tapi tidak denganku yang merasa kecil ditengah gemerlap kemewahan yang sudah biasa aku hadapi.
Aku merasa minder dengan fisikku yang seperti balon kempes. Lebar kemana-mana. Aku jadi ingin mengikuti Dave yang sedang memanuver mobil keparkiran dan menunggu saja di sana sampai Kenneth selesai.
"Ayo. Kenapa kamu bengong?" Tanya Kenneth dengan sorot matanya yang lembut.
Aku hanya tersenyum tipis dan membiarkan diriku ditarik oleh Kenneth kedalam Ballroom sementara anak-anakku bergandengan tangan di belakangku.
"Kamu kenapa, hm?" Bisik Kenneth.
Aku hanya menggeleng kecil sebagai jawaban.
Aku tahu Kenneth ingin bertanya lagi, andai saja sapaan seseorang tidak mengintrupsi.
Sepertinya rekan bisnis Kenneth kalau dilihat dari perawakannya.
Seperti biasa, Kenneth akan memperkenalkanku pada rekan bisnis yang tidak kukenal.
Dan tidak seperti biasa, aku sangat risih akan hal itu. Bukan kenapa, tapi aku rasa seluruh wanita yang merasa minder dengan kekurangannya juga akan berlaku sama.
Terlebih, aku tidak lagi mendengar pujian-pujian seperti yang sering kudengan setiap dikenalkan pada rekan bisnisnya.
Wah istrimu cantik sekali, atau wah kau beruntung sekali, atau paling tidak pujian kecil seperti kerlingan mata saat berkenalan.
Tidak lagi. Tidak ada sama sekali.
Hal itu semakin membuatku berkecil hati.
Terlebih saat bertemu Mr.Shelton dan hal pertama yang ia katakan adalah, "Alleira, lama tidak bertemu! Kau terlihat semakin berisi sekarang."
Dan percayalah itu bukan kalimat pujian yang aku harapkan.
Aku tahu Kenneth terus memperhatikanku di beberapa kesempatan. Tapi aku tidak membalas perhatian itu sebagaimana mestinya. Aku menyibukkan diriku untuk memberi makan atau kudapan kecil pada anak-anakku yang mulai tidak bisa diam. Kalau Emily tentu lebih penurut, Tapi Ethan dan Lucas itu seperti kuda yang baru dilepas dari kandangnya. Sangat susah diatur.
Sekuat tenaga, aku mengurungkan niatku untuk mencicipi makanan disana. Ini semua untuk kesuksesan dietku. Aku harus berhenti memakan sembarangan dan mungkin besok aku akan mulai berolahraga.
"Kamu mau mencari makan dulu sebelum pulang?" Tanya Kenneth memecah keheningan di dalam mobil.
Aku menoleh dan memiringkan kepalaku tidak mengerti.
"Aku perhatikan, kamu tidak makan tadi. Anak-anak pasti sangat menyita perhatianmu sampai tidak bisa makan, kan? Maaf aku terlalu sibuk menyapa rekan bisnisku jadi tidak bisa membantumu menjaga anak-anak." Sesal Kenneth. Aku bisa melihat sorot penyesalannya dari kegelapan malam.
Aku menggeleng dan tersenyum kecil. "Aku memang tidak lapar." Bohongku. Perutku jelas-jelas sudah berdemo minta diisi makan.
"Benar? Bukan karena kamu sedang marah, kan?" Tanya Kenneth memastikan.
Aku kembali menggeleng.
Kenneth mengangguk dan menghela nafas kecil, "baiklah."
Aku lalu memperhatikan Scarlett yang tertidur di dekapanku. Entah apa yang kucari di wajah Scarlett, tapi yang jelas aku ingin mengalihkan perhatianku dari Kenneth.
"Besok aku harus ke New York selama seminggu."
Gagal. Aku dengan cepat menoleh kearah Kenneth dan mendapati sorot penyesalan lainnya disana.
"Maaf tiba-tiba. Aku ingin memberitahumu tadi, tapi sepertinya kamu sedang sedikit absent minded. Apa kamu sedang mencemaskan sesuatu?" Tanyanya meneliti wajahku.
Bibirku bergetar, bayangan-bayangan yang sempat kutepis kembali lagi. Bayangan tentang Kenneth yang sudah bosan denganku, dan mencari kepuasan lain diluar sana. Tapi aku tidak boleh menangis.
Biasanya Kenenth akan selalu memberitahuku lebih awal kalau ada tugas dinas seperti ini. Tapi sekarang ia malah memberitahuku secara tiba-tiba.
"Hei, Al." Panggil Kenneth lembut. "Kamu kenapa sih?"
Lagi-lagi gagal. Airmataku menetes tanpa bisa aku tahan.
Kenneth terlihat terkejut, dan langsung menyeka airmataku.
"Kamu kenapa nangis, Al? Hei, kamu kenapa? Bilang sama aku, jangan diam aja. Kamu bikin aku khawatir." Seru Kenneth sedikit meninggi.
Aku menggeleng, hanya bisa menggeleng.
Satu kecupan diberikan Kenneth di pipiku, "Sekarang bilang sama aku." Pintanya.
Bukan mereda, tangisku malah semakin deras. Ia menggunakan kebiasaan kecil kami setiap aku tidak mau berkata jujur atau bercerita. Dan itu sama sekali tidak membuat keadaan ataupun hatiku membaik.
Begitu mobil sudah sampai di Mansion, aku langsung turun menggendong Scarlett menuju ke kamar kosong. Aku tidak berduaan dengan Kenneth sekarang.
Kenneth pasti akan marah padaku karena sudah meninggalkannya dengan tiga anak kami yang masih terlelap di bangku belakang. Membiarkan Kenneth membawa mereka ke kamar masing-masing tanpa berkata apapun.
Apalagi aku malah tidur di kamar tamu tanpa membantunya menyiapkan keperluannya untuk ke New York seperti biasa.
Tapi aku benar-benar tidak sanggup menatap mata Kenneth sekarang.
Apa aku salah merasakan ke khawatiran ini?
Ditengah derai air mataku diatas kasur yang masih mengenakan gaun pesta dan riasan wajah, aku mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat serta suara helaan nafas yang terengah.
"Al... hei, ayo kembali ke kamar." Itu suara Kenneth.
Tapi tubuhku terlalu kaku untuk bergerak, bahkan membuka mataku atau sekedar menjawab panggilannya.
"Al. Kalau kamu tidak mau membicarakannya, aku tidak akan maksa kamu, tapi sekarang kamu kembali ke kamar kita. Jangan tidur disini." Suaranya tersengar tajam ditelingaku.
Helaan nafas kembali terdengar dan kali ini di barengi dengan hentakkan kaki tidak sabar. "Aku tahu kamu belum tidur, Al."
"Apa kamu benar-benar mau mengabaikan aku? Al, please stop acting like a child! Bagaimana aku bisa tahu apa yang terjadi sama kamu kalau kamu diemin aku begini? Aku salah apa, Al?" Suaranya kembali meninggi.
Hatiku sakit. Aku menyakiti Kenneth dan juga diriku sendiri. Aku kecewa pada diriku sendiri, tapi aku malah berakhir menyakiti Kenneth juga. Bagaimana kalau asumsiku salah?
Aku baru hendak menjawab dan bergerak, namun ucapan Kenneth kembali membuatku terpaku.
"Terserah kalau kamu mau terus mendiamkan aku, Al. Aku bukan paranormal yang tahu apa yang sedang kamu pikirkan, dan aku juga punya batas kesabaran. Terserah kalau kamu mau tidur disini. Aku gak mau maksa kamu untuk balik ke kamar kita lagi. Mungkin kamu emang lagi butuh ruang dan waktu untuk sendiri dan mikir tentang tingkah kekanak-kanakan kamu!!"
Lalu disambung dengan derap langkah menjauh dan bunyi pintu yang dibanting cukup keras.
Airmataku kembali mengalir saat aku spontan berdiri dan melihat pintu yang tertutup rapat.
8 tahun menikah dengan Kenneth, dan selama 8 tahun juga kami tidak pernah berdebat meski itu hanya hal kecil. Baru kali ini aku melihat kemarahan Kenneth lagi. Dan aku tahu, aku yang salah dalam masalah ini.
*
Keesokan harinya aku tidak menemukan Kenneth dimanapun. Aku tadinya mau meminta maaf setelah semalaman berpikir akan keegoisanku, tapi yang ingin kumintai maaf malah sudah pergi kata asisten rumah tanggaku.
Akhirnya aku mau tidak mau menelan penyesalanku untuk seminggu kedepan. Berharap Kenneth tidak akan semarah itu nantinya. Karena meminta maaf lewat pesan singkat atau telepon itu sangat tidak efisien. Akan lebih baik kalau bisa melihat langsung lawan bicaranya.
Setelah mengantar kedua anak-anakku kesekolah, aku kemudian mengantar kedua anakku menuju ke Apartemen Mommy. Berharap disana aku bisa sedikit lebih tenang.
Aku masih setia menjalankan keinginanku untuk diet dan makan seperlunya. Tapi untuk berolahraga, keinginan itu hilang setelah aku dan Kenneth berdebat.
Aku mengira kalau Kenneth akan paling tidak sedikit melunak dengan memberiku kabar selama ia di New York, tapi hingga hari ke 3, Kenneth sama sekali tidak menghubungiku.
Kerjaanku tiap malam hanya menangis memikirkan kebodohanku. Bahkan ketika Emily bertanya apa yang terjadi pada mataku, aku kembali berbohong dengan mengatakan kalau aku tidak apa-apa.
Aku bahkan tidak berani lagi ke rumah orangtuaku atau mertuaku agar mereka tidak curiga melihat mata sembabku.
Pada hari ke empat, akhirnya aku memutuskan untuk memaksa tubuh berolahraga di rumah. Kebetulan disana ada treatmill yang biasa digunakan Kenneth.
Namun baru menit ke 10, aku sudah merasa kelelahan, dan nafasku juga terputus-putus. Ditambah perutku terasa nyeri sekarang.
Apa mungkin ini ada hubungannya dengan pola makanku yang tidak beraturan? Atau karena aku yang tidak terbiasa berolahraga?
Sepertinya aku harus berhenti sejenak untuk menarik nafas.
Aku mencoba sekuat tenaga berjalan meski mataku terasa berkunang-kunang dan perutku terasa nyeri hingga kakiku seakan tidak bertenaga untuk berjalan lurus.
Begitu aku mencapai pintu kamarku, pandanganku menggelap dan aku tidak mengingat apapun lagi.
*
Wajah Kenneth yang tersenyum adalah bayangan yang menemaniku hingga aku merasa cahaya terang menusuk pelupuk mataku dan menyadarkanku dari mimpi.
Dan ternyata senyum Kenneth hanya mimpi manis yang kurindukan setelah cukup lama tidak melihatnya dan juga mungkin karena rasa bersalahku yang membuatnya marah sampai sekarang.
Mataku ku buka perlahan dan menatap kesekitaran yang terasa asing bagiku. Ini tidak terlihat seperti langit-langit kamarku sama sekali. Lalu aku dimana?
Ah anak-anak!! Aku belum menjemput Emily dan Ethan dari sekolahan!
"Shhhh..." aku meringis saat merasakan nyeri dibagian perutku. Saat aku meringis, barulah aku bisa melihat kalau ada yang sedang menggenggam tangan kananku dan tertidur disana.
Aku dirumah sakit? Aku membatin setelah menyadari infus ditanganku.
Aku lalu mengamati orang yang sedang tertidur di sampingku, menggeleng tidak percaya saat mengenali sosok itu sebagai sosok Kenneth.
Kenneth tidak mungkin ada disini. Diakan masih ada di New York.
Tangan Kenneth menegang kemudian ia mengangkat kepalanya, semakin meyakinkanku kalau asumsiku benar. Kalau Kenneth yang sedang tertidur menungguiku entah sejak kapan.
Tapi kenapa...?
"Hei, kamu sudah bangun?" Tanyanya terdengar serak. Wajahnya terlihat lelah. Bahkan kumis dan janggutnya yang biasa tercukur rapih malah terlihat tidak terurus seakan sudah berhari-hari tidak ia cukur. Tapi dari semua itu, dia masih bisa tersenyum padaku.
Pada aku yang sudah egois.
"Apa kamu merasa lebih enakkan? Ada sakit? Atau kamu masih pusing? Mau aku ambilkan minum?" Tanya Kenneth tanpa jeda
Lagi-lagi aku hanya terdiam. Masih bingung antara mimpi dan kenyataan.
Kenyataannya aku memang ingin Kenneth berada disini. Tapi Kenneth berada disini itu seperti mimpi melihat keadaan kami yang masih bertengkar.
Kenneth di hadapanku lalu menunduk dan aku bisa melihat bahunya bergetar, juga rasa basah yang mengenai tanganku di bawah wajah Kenneth.
Kenneth menangis?
"Kamu bikin aku takut, Al. Kamu bikin aku hampir mati saat dengar kamu pingsan dan masuk rumah sakit. Aku takut kehilangan kamu Al. Tolong jangan hukum aku begini, jangan buat aku begini. Aku minta maaf kalau aku ada salah, tolong jangan begini."
Airmataku mengalir begitu saja mendengar isakan lirih dari Kenneth. Aku yang salah, bahkan aku belum mengatakan maaf, tapi Kenneth sudah lebih dulu mengatakannya disaat ini bukan salahnya sama sekali.
Ia mengadah membuatku dapat melihat jelas wajah dan airmatanya, "Tolong, Al. Tolong jangan buat aku takut lagi. Aku tidak bisa bahkan di mimpi terburuk aku untuk kehilangan kamu."
"Maaf..." aku mulai terisak dengan kencang, "maafin aku Ken... Maaf..."
Kenneth berdiri dan memelukku yang masih terbaring. Wangi tubuhnya sangat membuatku rindu. Terutama kehangatan yang sudah lama tidak kurasakan. Aku merindukan Kenneth. Sangat teramat merindukan Kenneth.
"Maafin aku udah egois. Maafin aku bikin kamu marah. Maafin aku buat kamu khawatir. Maafin aku, maafin aku. Jangan membenci aku, Ken. Maaf..."
"Hei hei hei... aku sama sekali tidak membenci kamu. Aku tidak akan bisa membenci kamu." Kenneth melepas pelukannya dan membelai rambutku. Mata kami sama-sama basah karena airmata, tapi kami tidak berniat menghapusnya sama sekali. "Aku sangat mencintai kamu. Bahkan melebihi hidup aku sendiri."
Aku kembali menangis dan memeluk Kenneth erat.
Aku bisa merasakan ciuman di sela leherku dan bisikan kata cinta yang Kenneth ucapkan.
Kami berpelukan hingga tangisku reda dan aku sedikit lebih tenang.
"Kenapa kamu ada di LA?" tanyaku takut. "Apa keberadaanku mengganggu perjalanan bisnis kamu?"
"Kamu kasih tahu aku bagaimana caranya aku tetap tenang dan tidak langsung memesan pesawat pribadi detik itu juga saat istri tercinta aku masuk rumah sakit." Ucap Kenneth putus asa. "Tidak ada hal yang bisa aku pikirkan selain melempar diri aku kesamping kamu detik itu juga, Al. Nothing is more important than you!"
Airmataku kembali mengalir, namun kali ini dengan cepat ia seka.
"Anak-anak dimana?" Tanyaku.
"Aku titipkan sama Mommy dan Daddy. Mereka rindu sama Mamanya. Aku juga." Kenneth tersenyum. Ia menggenggam tanganku erat dan mengecupnya. "Kenapa kamu bisa sampai pingsan gini, hm? Dokter bilang kamu kelelahan dan kekurangan asupan gizi serta dehidrasi. Apa kamu gak makan teratur selama aku gak ada?"
Aku menggigit bibirku, ragu antara harus jujur atau tidak.
"Al. Apa kamu masih gak mau ngomong alasan kamu mendiami aku selama ini?" Kenneth tidak mendesak, melainkan ia menatapku dengan lembut. Matanya sayu, memohon dengan hangatnya.
"Aku lagi diet." Bisikku kecil.
"Apa?"
"Aku diet." Ulangku lebih kecil. Takut akan kemarahan Kenneth nantinya.
"Aku gak bisa dengar kamu ngomong apa kalau kamu bisik-bisik gitu ngomongnya, sayang." Keluh Kenneth.
Akupun menatap Kenneth takut-takut sebelum kembalo berbicara dengan suara yang lebih bisa di dengar Kenneth, "aku Diet."
Mata Kennet melebar, melotot menatapku. Wajahnya merah dan jelas sekali aku tahu ia pasti marah. Tapi sepertiny ia bisa menahan emosinya dengan menarik nafas dan menghela nafasnya cukup keras.
"Kamu kenapa harus diet-dietan sih, Al? Kamu tuh nyakitin diri kamu sendiri kalau kayak gini." Gerutu Kenneth pelan.
"Aku gendut, Ken. Kamu gak suka-"
"Kata siapa kamu gendut, Al? Dan apa? Aku gak suka? Gak suka apa? Aku cinta sama kamu selama ini bukan karena badan kamu yang ramping atau tidak. Malah kalau mau jujur, kamu yang sekarang jauh lebih baik dan lebih cantik ketimbang saat kamu kurus seperti triplek yang terlihat rapuh dulu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti ini sih? Kamu meragukan cinta aku sama kamu?" Seru Kenneth. Nadanya kembali meninggi, namun aku tahu dia tidak bermaksud memarahiku. Hanya ingin menyadarkanku mungkin.
"Aku cinta sama kamu dan hanya kamu, Al. Sampai mati juga aku akan tetap cinta sama kamu. Jangan meragukan cinta aku, Al. Hati aku sudah sepenuhnya menjadi milik kamu dari kecil. Bahkan saat aku hilang ingatan, aku bisa kembali jatuh cinta sama kamu. Aku gak ada alasan apapun untuk berhenti mencintai kamu. Tidak dengan alasan berat badan kamu bertambah, kulit kamu mengkerut karena menua, rambut kamu memutih. Tidak, Al! Semua itu tidak abadi. Tapi hati aku, Al, hati dan cinta aku itu abadi untuk kamu."
Aku kembali menangis melihat kesungguhan yang terpancar dari mata Kenneth. Begitu juga mendengar ketulusan dari suaranya. Sekarang aku benar-benar merasa jahat telah marah dan melakukan hal egois sampai membuat Kenneth frustasi atas keterdiamanku.
"Aku mencintaimu, dan itu adalah harga mati yang tidak bisa di ubah, Al." Tegas Kenneth lebih lembut. Ia mencium punggung tanganku hingga bisa kuradakan bulu-bulu kasar di atas bibirnya.
"Maafin aku..." cicitku.
"Just promise me you won't do this stupid things ever again. No more diet, Al. Aku tidak mau kamu menyiksa diri kamu sendiri dalam kelaparan. Anak-anak membutuhkan kamu. AKU jauh lebih membutuhkanmu." Tegasnya seraya mengeratkan genggaman di tanganku.
Kalau memang Kenneth menyukai perubahanku, tapi kenapa... "lalu kenapa kamu selalu lembur belakangan ini? Kamu juga tidak sesering dulu bercinta denganku. Bahkan intensitas dinas keluar kotamu jadi lebih banyak. Itu bukan karena kamu tidak suka dan bosan pada perubahanku yang tidak lagi seperti dulu?"
Aku bisa melihat perubahan wajah Kenneth yang terlihat sedikit memerah dan ia berdeham salah tingkah. Apa tebakanku benar? Jadi Kenneth berbohong?
"Itu yang kamu pikirkan sampai kamu mendiamkanku berhari-hari?" Tanyanya, "Really, Al? Kamu benar-benar mau aku jawab pertanyaan bodoh kamu itu?" Ia mengernyit menunggu jawabanku, dan aku hanya mengangguk. "Really?!"
"Aku sedih, Ken. Aku terus berpikir kamu mencari pelampiasan diluar sana. Makanya aku..."
Wajahnya berubah datar hingga aku tidak jadi melanjutkan kata-kataku. Jelas sekali kalau ia tersinggung dengan kalimatku barusan.
"Kamu ngira aku selingkuh? Al, ASTAGA... bahkan kalau aku di todong pistol sekalipun, aku tidak akan menghianati kamu! Aku sakit hati kamu meragukan kesetiaan aku loh, Al!" Keluhnya jadi membuatku merasa bersalah.
"Maaf..." aku merunduk tidak berani lagi menatap matanya.
Kenneth menghela nafas dan terdiam beberapa saat sebelum kembali bersuara. "Kenapa aku tidak sering lagi meminta bercinta... Karena aku takut aku gak bisa mengontrol diriku, Al. Bisa-bisa aku kembali membuat kamu hamil anak ke-5 kalau aktivitas seksual kita seperti yang dulu-dulu." Kenneth berdecak. Ia mengalihkan tatapannya kearah lain saat aku mengangkat kepalaku. Terlihat sekali di wajahnya kalau ia sedang menahan dirinya untuk tidak meledak. "Aku gak mau membuat kamu melalui kesakitan itu lagi."
"Jadi bukan karena aku gendut?" Tanyaku memastikan.
"Al! Kamu malah makin menggoda dengan tubuh berisi kamu! Makanya aku sering-sering dinas supaya bisa mengontrol diri dan nafsu aku!" Ia menoleh seraya memprotes, tapi saat matanya bertemu dengan mataku yang berair, wajahnya memerah seakan menahan malu. "Kamu tahu sendiri aku akan susah berhenti kalau sudah melakukannya sama kamu." Cicitnya pelan namun masih bisa kudengar.
"Kamu lembur juga karena kamu menghindariku?"
Raut wajah Kenneth kembali berubah, ia tertawa kecil tanpa mau menatap wajahku, "Kalau itu... aku akan jawab setelah kamu keluar dari rumah sakit."
Baru aku hendak bertanya, tapi Kenneth kembali menyelaku, "pokoknya, aku tidak pernah berselingkuh, Al. Aku selalu setia sama kamu, jadi jangan pertanyakan kesetiaan aku lagi terhadap kamu. Percaya sama aku." Pintanya.
Entahlah, meski sudah berbaikkan, tapi aku rasa aku masih akan menangis malam ini mendengar kata-kata manis Kenneth. Aku mengangguk dan merentangkan tangan meminta Kenneth masuk kedalam pelukanku.
Kenneth berdiri dan memelukku erat sambil sesekali mencium pipiku.
"Aku tidak keberatan, Ken." Bisikku di samping telinganya.
"Hm?"
"Aku tidak keberatan untuk hamil ke-5 kalinya asal kamu tidak lagi menjauhiku."
Tubuh Kenneth menegang di pelukanku, kemudian ia meringis, "berhenti bicara seperti itu di samping telingaku, Al. Kamu menyiksa Adikku. Aku tidak mungkin menyerangmu disini!"
Oh, Kenneth dan mulut nakalnya.
Aku tertawa tanpa mau melepaskan pelukanku dari Kenneth.
*
Seperti yang sudah Kenneth janjikan. Pertanyaanku atas jadwal lembur Kenneth dijawab begitu aku keluar dari rumah sakit.
Kenneth yang menjemputku tanpa kehadiran anak-anak, membawaku menuju ke suatu tempat yang pastinya bukan rumah kami.
Namun saat aku tanya, Kenneth hanya menjawab dengan senyuman dan kecupan di punggung tanganku sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya.
Rasa penasaranku tidak berlangsung lama karena mobil kami sudah memasuki area yang sangat ku kenal. Sebuah tempat yang kurindukan.
Aku menoleh menatap Kenneth bertanya, tapi lagi-lagi hanya tatapan dan senyum misterius yang membalasku.
Hingga mobil berhenti sempurna dan Kenneth menggandeng tanganku dengan sangat erat, menuntunku menuju kemanapun yang ia tuju, aku semakin terpukau atas apa yang mungkin ia rencanakan selama ini.
"It's where we have our first date, Al. Kamu ingat?" Tanya Kenneth begitu kami sudah memasuki gerbang besar bertuliskan Universal Studio Hollywood.
Ya, Kenneth membawaku ke tempat penuh kenangan ini. Dimana hanya ada kami sekarang ini.
"It's all Yours."
Aku menoleh dan menatap Kenneth tidak mengerti. Ia kemudian tertawa dan berhenti melangkah sambil menatap mataku lurus.
"No, Al. Aku tidak membelinya. Aku memang mengusahakan itu, tapi mereka tidak mau melepaskan Kepemilikan mereka disini. Jadi aku mendapat best deal untukmu."
"Maksudmu?" Aku mengernyit bingung.
"Setelah melalui revisi panjang dan rapat yang tidak kunjung menemukan hasil, akhirnya, i proudly Announce 70% saham Universal Studio Hollywood berhasil aku dapatkan. Dan itu semua atas namamu. Jadi kamu adalah pemegang saham terbesar disini, dengan kata lain, Ini semua adalah milikmu."
Mataku melebar tidak percaya. "Apa?! Tap-tapi kenapa?"
"Karena kamu telah memberi aku segalanya, Al. Keluarga kecil yang penuh tawa, anak-anak yang begitu cantik dan tampan, pintar dan menggemaskan, cinta yang tidak terkira besarnya, rumah yang hangat untuk aku pulang, dan yang paling penting adalah, kamu, Al." Aku tidak bisa berbicara lagi saat aku melihat seluruh keluargaku keluar dari segala arah, anak-anakku yang berlari menghampiriku sambil tertawa, tentu saja Scarlett berada dalam gendongan erat Emily karena Scarlett belum bisa berjalan. "Yang terpenting adalah kamu yang bersedia menikah denganku selama 8 tahun ini, Al. I can't think of anything else selain memberimu ini. Tempat yang memiliki banyak kenangan tentang kita. We Love you, Mama."
"Happy 8th years Wedding Anniversary!!!" Teriak seluruh keluargaku sambil mengeluarkan konfeti yang memekakkan telinga.
Aku kehilangan kata-kataku sendiri. Aku menangis, namun kali ini adalah tangisan bahagia.
"M-mama juga mencintai kalian." Ucapku serak.
Kenneth lalu berjalan mendekatiku dan memelukku erat, "kamu memberiku segalanya, kamu memberi aku dunia. Maaf kalau aku tidak bisa membalas itu semua dengan benar, malah membuatmu khawatir. Dan maaf aku hanya bisa memberimu ini."
Aku menggeleng dan langsung menarik tengkuk Kenneth mendekat, aku tidak memiliki kata-kata lain lagi untuk mengatakan kalau aku mencintai laki-laki ini. Hanya dengan ciuman, aku berharap Kenneth bisa merasakan cintaku.
"Ommmm! Kenneth sama Alle ciuman tuh." Aku bisa mendengar godaan Keira yang sedang terkekeh.
Aku kemudian merasakan pelukan-pelukan dari tangan kecil yang melingkari kami. Anak-anak kami.
"We Love you, Mama." Seru mereka bersamaan.
"Papa Love you, Mama. Only You, My lady."
See? Terlalu berprasangka buruk akan membahayakanmu. Tapi kalau tidak pernah merasakan kesedihan dan kepedihan, darimana aku bisa mengatakan kalau ini adalah kebahagiaan sempurna yang pernah aku rasakan?
Kamu tidak akan tahu apa itu bahagia kalau belum pernah merasakan kesedihan dan kepedihan sebelumnya.
***
End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro