Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epilogue

Maaf menunggu lama!
Silahkan membaca.
.
.
.

Kenneth's POV

Entah sudah berapa lamanaku menghentakkan kakiku secara tidak sabaran di bangku besi ini.

Entah sudah berapa banyak kuku yang ku gigit hingga botak tak berbentuk lagi.

Aku gugup.

Sangat gugup.

Meski ini bukan pertama kalinya untukku, tapi aku tetap tidak bisa menghilangkan rasa gugupku.

Kalaupun bisa, aku ingin menggantikan posisi kesakitan wanita yang paling aku cintai di dalam sana. Kalaupun bisa, aku ingin mengambil seluruh rasa sakit yang ia rasakan disana. Kalaupun bisa aku ingin mengurangi kesakitannya sedikit. Sedikit saja.

Aku mendengar suara langkah kaki yang bergegas menghampiri tempatku. Tapi aku tidak peduli. Toh dari tadi memang ada banyak orang berlalu lalang, dan fokusku hanya pada satu orang yang berada di balik pintu di hadapanku, mempertaruhkan antara hidup dan matinya.

Sebuah tepukan keras, atau lebih tepatnya tinju, melayang ke bahuku.

Aku mengadah dan melihat wajah seorang laki-laki yang aku hormati, terlihat sama panik dan khawatirnya denganku.

"Sampai kapan kamu mau berhenti nyakitin Alleira, hm?!" Serunya.

"Dad..." lirihku sambil menatap sayu mata ayah mertuaku yang tajam. "Dad, maaf... aku..."

"Al, sudah. Lebih baik kita duduk dan sama-sama berdoa." Ucap Ibu mertuaku bijak.

"Kalau sampai terjadi apa-apa didalam, Daddy tidak akan melepaskan kamu, Ken!" Ancam Ayah mertuaku sambil mengambil tempat di sampingku dengan cela satu bangku yang di ambil oleh ibu mertuaku untuk menengahi kami. Alexis yang ikut juga duduk di samping ayah mertuaku.

Aku kembali pada kegiatan awalku menghentakkan kaki sembari menggigit kukuku hingga suara derap langkah lainnya mengambil perhatianku.

"Gimana Alleira?" Seru suara wanita yang telah melahirkanku.

"Dia tidak apa-apa, kan?" Tanya Laki-laki yang mengambil andil besar dalam menciptakanku.

Aku bisa mendengar ayah mertuaku mendengus dan tanpa perlu aku mengangkat kepala, Aku tahu kalau seluruh orang disini sedang menatapku.

"Bagaimana bisa terjadi, Ken?" Tanya Mommyku sambil menepuk bahuku lembut.

"Aku tidak tahu, Mom." Jawabku kecut.

"Lalu dimana Emi-"

"Keira membawa mereka menginap sejak dua hari yang lalu." Potongku seakan mengerti arah pertanyaan Daddy.

"Lalu Keira sudah tahu keadaan Alle?" Tanya daddy lagi.

Aku mengangguk. "Mungkin sebentar lagi mereka akan segera sampai." Jawabku pelan.

Baru selesai kujawab, sebuah lengan kecil memeluk pinggangku, wajah cantiknya terlihat cemas dengan mata yang berair.

"Will Mama be Ok, Papa?" Tanyanya.

Aku tersenyum kecil dan mengangguk. "Of course she will."

Gadis kecilku memelukku erat. Aku kemudian mengadah melihat Keira yang tersenyum kecil kepadaku sambil menggendong bocah laki-laki berumur 2 tahun yang sedang tertidur di gendongannya. Di belakangnya ada Nicholas yang juga sedang menggengong bocah laki-laki berumur 4 tahun yang sedang menangis, diikuti oleh ekor-ekor lainnya di belakang dengan wajah mengantuk dan sedikit khawatir.

Wajar saja, mengingat waktu menunjukan pukul 2 pagi saat aku mengabarkan Alleira sedang kubawa kerumah sakit.

"Come here, Buddy!" Seruku saat bocah laki-laki yang menangis di gendongan Nicholas menatapku. Aku tersenyum samar saat bocah laki-laki itu menghampiriku. "Kenapa kamu menangis, hm? Anak laki-laki pantang menangis."

"Ethan, kemari." Ucap adik bungsuku yang tidak kusadari keberadaannya, tengah berjongkok sambil tersenyum ingin memeluk tubuh kecil Ethan.

Bocah laki-laki di hadapanku kemudian berbalik menghampiri Kelly yang dengan sigap memeluknya dan kembali terisak.

"Sudah berapa lama Alle didalam?" Tanya Nicholas.

"Hampir dua jam." Jawabku, sebisa mungkin mengontrol suaraku agar tidak menambah kepanikan Emily yang masih memelukku.

"Dokter belum keluar sama sekali? Bukankah ini terlalu lama?" Tanya Mommy malah menambah kepanikanku.

"Kamu mau gantian?" Tanya Nicholas pada Keira.

Keira menggeleng, "Biarkan dia tidur dulu." Jawabnya.

"Mr.McKenzie?"

"Ya?" Jawabku dan Daddy bersamaan bergitu suster yang baru saja keluar dari kamar di hadapan kami memanggil.

Daddy berdesis saat sadar kalau bukan dirinya yang dipanggil.

Aku berdiri sambil menggandeng Emily untuk menghampiri suster itu.

"Bagaimana istri saya?" Tanyaku setengah mendesak.

Suster tersebut mengembangkan senyumnya setelah memasang wajah datar, "Selamat, Mrs.McKenzie melahirkan anak perempuan."

Hembusan nafas lega terdengar dibelakangku. Aku juga tidak tahu sejak kapan aku menahan nafasku tadi.

"Mrs.McKenzie dan putri anda akan segera dipindahkan ke kamar rawat. Tidak ada hal serius terjadi pada Mrs.McKenzie dan juga putri anda. Kami memerlukan waktu sedikit lama karena posisi putri anda yang terlilit tali pusar sebelum di keluarkan." Jelas sang suster membuatku sedikit susah nafas saat tahu keadaan putriku sebelum berhasil dilahirkan. "Saya permisi dulu."

Aku langsung berbalik dengan senyum lebar, "SCARLETT SUDAH LAHIR!!!!" Seruku gembira. Aku menggendong Emily dan memutarnya diudara. "Kamu sudah punya teman bermain boneka dirumah sekarang."

Aku menatap ayah mertuaku yang juga sudah menguarkan ekspresi lega setelah tegang selama menunggu tadi.

Waktu perkiraan kelahiran Alleira sebenarnya masih 2 minggu lagi. Maka jelas seluruh anggota keluargaku panik saat aku menelepon mereka dan mengatakan kalau Alleira akan segera melahirkan karena ketubannya pecah.

100% salahku. Aku mengakuinya.

Kalau saja aku bisa sedikit mengontrol nafsuku, aku yakin Scarlett akan lahir tepat waktu. Tapi aku juga menyalahkan situasi dan kondisi tentu saja.

Kalau aku tidak baru pulang dinas luar kota dan mendapati rumah hanya berisi Alleira, aku pasti tidak akan menerkam Alleira gila-gilaan hingga menyebabkan ketuban Alleira pecah terlalu cepat.

Begitu aku sampai, Operasi Caesar langsung diajukan oleh dokter. Maka itu aku bertambah panik.

Ini semua memang salahku.

Salah nafsu sialanku.

Tidak berapa lama, Emily sudah tertidur di gendonganku saat aku dan keluargaku lainnya masuk ke kamar perawatan Alleira.

Senyum manisnya yang tidak pernah hilang menyambut kedatangan kami. Wajahnya pucat namun aku bisa merasakan kelegaan di wajahnya.

Aku langsung menidurkan Emily di sofa sebelum beranjak menghampiri Alleira dan keranjang bayi Scarlett.

"Terima kasih." Ucapku tulus. "Aku janji tidak akan membiarkan kamu menderita seperti ini lagi. Ini yang terakhir, Al."

Satu geplakan kuat menghantam kepalaku. Geplakan itu berasal dari ayah mertuaku yang sudah memasang tampang sangarnya.

"Daddy masih ingat janji kamu 2 tahun dan 4 tahun sebelum ini, Ken!" Serunya tidak terima dengan janjiku.

Alleira hanya terkekeh mendengar debatku dan Ayah mertuaku.

Aku hanya memamerkan deretan gigiku, "Kali ini beneran kok, Dad. Sumpah deh. Terakhir."

"Iyalah! Awas aja kalau tahun depan Alle kabarin kalau dia hamil lagi. Daddy gorok leher kamu. Memang dikira Alle pabrik Anak apa? Setiap dua tahun sekali keluar satu!" Serunya keras, suaranya membangunkan Emily dari tidurnya serta Scarlett.

Ibu mertuaku serta keluargaku yang lain segera menegur Ayah Mertuaku yang tidak bisa mengontrol suaranya.

Emily yang sudah terlanjur bangun, berjalan menghampiri kasur rawat Alleira dengan wajah kantuknya.

"Mama tidak apa-apa?" Tanyanya. Matanya kemudian membulat saat melihat bayi kecil yang merupakan Adiknya sedang ditenangkan dalam gendongan Alleira. "Apa itu adikku?" Tanyanya langsung bersemangat.

"Iya, Sayang." Jawab Alleira. Tangannya menggapai pipi Emily dan mengusapnya lembut. "Kemana adik-adikmu yang lain?" Tanya Alleira yang kemudian menyadari ketiadaan bocah-bocah berisik tidak bisa diam.

"Ini sudah menjelang pagi, Al. Keira dan Nicholas membawa anak-anak pulang untuk tidur." Jelasku.

"Emily kenapa tidak ikut?" Tanya Alleria menatap lembut Emily.

"Emily mau temanin mama." Jawabnya sambil tersenyum. "Emily juga mau temanin Scarlett." Sambungnya.

"Scarlett?" Gumam Alleira bingung. Matanya lalu menatapku tajam meminta penjelasan.

Aku nyengir.

Alleira mengerucutkan bibirnya, "lagi-lagi kamu seenaknya kasih nama ke anak-anak!" Protesnya. "Setelah Ethan, Lucas, sekarang Scarlett."

Aku terkekeh saat tatapan tajam dari ayah mertuaku terarah kepadaku. Selain kelahiran Emily, aku memang tidak lagi mengkompromikan nama untuk anak-anakku lainnya. Ya itu karena biasanya Alleira akan menerima saja nama pemberianku.

"Maaf, Sayang." Ucapku tanpa rasa bersalah. "Kamu bisa namain anak kita yang ke lima nanti deh, janji."

Kembali satu geplakkan mengenai kepalaku.

"Gak ada lagi yang ke lima. Ini terakhir! Memang kamu tidak puas dengan 4 anak, hah?! Mau bikin kesebelasan??" Seru Ayah mertuaku tidak terima.

Ya, sejak menikah lebih dari 7 tahun dengan Alleira, aku memang sudah memiliki 4 anak sekarang.

Emily Alexandria Mckenzie, Putri Sulungku yang menginjak umur 6 tahun, Ethan Nathanael McKenzie, putra sulungku yang berumur 4 tahun, Bocah laki-laki yang tertidur di gendongan Keira sejak datang tadi, Lucas Alexander McKenzie, 2 tahun. Serta putri bungsuku yang baru lahir. Scarlett.

Nafsu? Nah... kami tidak menolak kalau Tuhan sudah menitipkan anak pada kami.

"Baiklah, apa nama yang kamu pikirkan untuk putri bungsu kita?" Tanyaku mengalah. Padahal aku sangat menyukai nama Scarlett.

"Aku suka Scarlett." Ucap Emily seakan menyuarakan pemikiranku.

Aku terkekeh dan mengacak rambutnya. Gadisku yang satu ini memang sepemikiran dan sehati denganku.

Alleira nampak berpikir, ia menatap lekat wajah Putri bungsu kami lekat sebelum ia tersenyum, "Scarlett Jeslyn McKenzie."

"Emily suka." Jawab Emily mewakiliku lagi.

Aku kembali terkekeh dan mengangguk. "Itu saja namanya. Nama yang cantik, secantik orangnya."

Aku kemudian berjalan mendekat dan mencium kening Alleira lembut, aku membisikka  kata-kata yang membuat Alleira menangis dan tersenyum secara bersamaan. Menyebarkan kehangatan yang tidak bisa ku deskripsikan.

"Mama kenapa menangis?" Tanya Emily terkejut.

Ibu mertuaku kemudian menarik lengan Emily dan memeluknya dari belakang, "Mama menangis bahagia, Sayang." Aku bisa mendengar ucapan ibu mertuaku di belakang sana.

Sementara aku tidak bisa melepaskan tatapanku pada wajah wanita yang aku cintai sampai akhir nafasku nanti.

Hanya dia, hanya Alleira, dan harus Alleira.

.
.
.
.
.

"Terima kasih sudah memberiku seluruh kebahagiaan yang bahkan tidak bisa dibeli dengan apapun di muka bumi ini, My Lady. Terima kasih karena sudah bersedia menjadi wanitaku, sekarang dan selamanya. You'll always be My Precious Lady."

***

END

Maaf kalau jelek.

Dan terima kasih kalian sudah setia menunggu sampai cerita ini selesai meski cerita ini jelek, dan diluar ekspektasi. Dan maaf kalau mengecewakan kalian dalam segi apapun.

Terima kasih sekali lagi ^^
Saya undur diri!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro