Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Hello Again

Alleira's POV

Aku menatap benda pipih yang diberikan Daddy padaku barusan dengan tatapan bertanya. Meski sebenarnya aku tahu benda apa ini, tapi alasan kenapa Daddy memberiku ini yang mau ku ketahui.

"Ponsel kamu yang dulu hilang, sayang. Jadi Daddy membelikannya yang baru. Nomornya masih sama, tapi data-datanya tidak ada. Daddy hanya bisa mengembalikan kontak lama kamu yang tersimpan di dalam nomor. Maaf." Ucap Daddy, nampak mengerti kalau aku ingin tahu alasan ponsel ini diberikan padaku.

"Gak apa-apa, Dad. Terima kasih, ya." Jawabku sambil menerima benda pipih itu. Setidaknya aku akan coba mengembalikan datanya dari laptopku yang pasti ada memori back-up dari ponselku terdahulu. Meski aku tidak yakin kapan terakhir kali aku melakukan back-up itu sendiri.

"Besok kamu mulai kerja, Al?" Tanya Daddy, mengambil tempat duduk di hadapanku. Mommy sedang memasak di dapur, mengacuhkan Daddy. Sebenarnya bukan hanya saat masak di dapur saja, tapi aku menyadari kalau Mommy sedikit mengacuhkan Daddy beberapa hari ini.

Aku mengangguk. "Alle beneran sekretaris Kenneth ya, Dad?" Tanyaku masih tidak percaya.

Daddy mengangguk, "Awalnya Daddy tidak setuju, karena kalau menjadi Sekretaris pribadi, pasti kamu harus ikut pergi kemanapun Kenneth pergi." Ucap Daddy sambil meregangkan tubuhnya.

Aku memicingkan mataku. Sudah sejak di ruangan Dokter dulu aku ingin menanyakan ini pada Daddy, dan sepertinya ini saat yang tepat. "Daddy membenci Kenneth?"

Daddy terbelalak dan terkekeh kecil, "Kenapa kamu bisa tanya seperti itu?" Tanya Daddy. Ia menopang wajahnya dengan tangan dan menatapku lurus, menunggu jawaban dariku.

Aku menggidikkan bahu,"Entahlah. Hanya feeling kalau hubungan kami yang kami tidak ingat itu tidak mendapat restu dari Daddy."

Daddy mengangguk-angguk. Menimang jawabanku dan alisnya terangkat sebelah dan menyunggingkan senyumnya.

"Menurutmu begitu?" Bukan menjawab, Daddy malah bertanya.

Dan lagi-lagi hanya gidikan bahu yang dapat kuberikan sebagai jawaban.

"Daddy bukan membenci Kenneth. Malah Daddy menyayangi Kenneth. Hanya saja, rasa sayang Daddy padamu lebih besar. Rasa ingin menjaga kamu dari hal-hal buruk dan juga karena Daddy belum siap berpisah dari putri Daddy satu-satunya yang membuat Daddy tidak bisa memberikan ijin menikah untuk kamu dan Kenneth." Ucap Daddy sambil sedikit menerawang, "Mungkin Daddy masih merasa belum cukup membayar waktu yang Daddy buang sia-sia saat kamu masih kecil dulu. Makanya Daddy jadi overprotektif begini sama kamu."

"Jadi menurut Daddy, Kenneth itu termasuk hal-hal buruk?" Tanyaku.

Daddy tergelak, "bukan begitu maksud Daddy. Dan lagi, Kenneth... sama sekali tidak buruk."

Aku mengangguk-angguk seakan mengerti padahal aku masih bingung. "Lalu, pendapat Daddy mengenai hubungan aku sama Kenneth gimana?" Tanyaku ragu.

Daddy mengernyit dan menghela nafas perlahan, "kalau kamu? Apa yang kamu pikirkan mengenai hubungan kamu dan Kenneth?" Daddy malah balik bertanya padaku.

"Aku gak tahu, Dad." Jawabku jujur.

"Daddy juga tidak bisa berkomentar apapun, Alle. Daddy tidak mau memaksa kamu, karena kamu yang akan menjalaninya, bukan Daddy. Tapi yang bisa Daddy katakan, Kenneth adalah laki-laki yang baik. Daddy sudah mengenal Kenneth sejak dia bayi sampai sebesar ini."

Baik dari mana? Well, kalau lagi tidur sih mukanya jinak banget. Kalau lagi bangun, minta di jejelin ke sambel nyebelinnya.

Beberapa hari yang lalu saat aku terbangun ketika ketiduran di kamar Kenneth, aku cukup terkejut mendapati posisi kami yang tadinya berjarak, malah jadi menempel bak perangko.

Kenneth yang masih tertidur lelap, memelukku sangat erat. Wajah kami hanya berjarak beberapa centi, sedangkan tubuh kami sudah menempel seperti kembar siam.

Jantungku berdegup dengan kencang ketika sadar, tapi aku bingung, kenapa aku tidak berteriak. Atau lebih tepatnya, aku tidak ingin berteriak. Aku malah ingin menatap wajah jinak Kenneth lebih lama lagi. Dan saat saat Kenneth melepas pelukannya, aku hanya bisa mengutuk kebodohanku yang malah terpesona pada lelaki menyebalkan seperti dirinya.

"Kenneth yang terbaik, yang pernah Mommy kenal. Setelah Daddy kamu tentu saja." Ucapan Mommy membuyarkan lamunanku. Entah sejak kapan Mommy mendengar percakapanku dan Daddy, tapi Mommy keluar dari dapur, menghampiri Daddy dan memeluk Daddy dari belakang, menyandarkan dagunya di bahu Daddy. Daddy bahkan tersenyum dan mencium pipi Mommy lembut.

"Inget lokasi, Please, Mom, Dad." Sindir adikku, Alexis yang baru muncul dari kamarnya. "Kirain makanan udah siap, taunya malah disuguhin adegan romantis begitu. Nafsuku jadi hilang."

Alexis memang baru berusia 19 tahun, tapi siapa sangka kalau diusianya yang muda begitu, dia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya dan sudah bekerja paruh waktu di kantor Daddy? Mungkin kalau Daddy memutuskan untuk pensiun dini, Alexis akan menjadi CEO termuda, bahkan lebih muda dari pada saat Daddy menjabat menjadi CEO dulu.

Ehm... sepertinya aku mengenal ambisi itu?

"Sirik aja kamu tuh. Daddy baru sekali dapet kecupan setelah di diemin Mommy kamu berhari-hari tahu gak?" Gerutu Daddy membuatku tergelak.

"Salah siapa?" Tanya Mommy.

"Salah aku, makanya aku mau memperbaiki semuanya. Supaya kamu gak salah paham lagi." Jawab Daddy cepat.

Aku mengernyit, tidak terlalu mengerti maksud percakapan Mommy dan Daddy sekarang. Tapi aku lega juga melihat kebersamaan Mommy dan Daddy. Aku ingin seperti mereka, tetap mesra meskipun sudah tua, Meskipun masalah menghadang mereka.

*

Aku bangun terlambat. Bahkan aku merasa kalau alarmku tidak berbunyi sama sekali, alhasil aku buru-buru mempersiapkan diri, mandi, dandan seadanya, bahkan aku melupakan sarapan dan mengikat rambut panjangku.

Andai Mommy tidak membangunkanku, aku rasa aku masih akan tidur hingga matahari berada di puncaknya nanti.

"Aku pergi, Mom!" Seruku sambil mengecup pipi Mommy. Aku tidak melihat Daddy dan Alexis lagi di meja makan. Terang saja, ini sudah pukul 8 pagi dan pasti mereka sudah berada di kantor.

Syukur-syukur saja kalau aku bisa menemukan taksi dengan cepat nanti. Jadi setidaknya macan itu tidak akan mengamuk. Ah bodoh... tapi di mana alamat kantornya? Aku tidak ingat!

Ah sudahlah, aku akan mencari di perjalanan nanti, atau mengontak Tante Via. Yang pasti aku harus segera mendapatkan taks-

Langkah buru-buruku spontan terhenti begitu melihat mobil yang pernah membawaku pulang dari rumah sakit, dan menurunkanku di tengah jalan, terparkir rapih di lobby Apartemen. Bukan hanya itu, aku bisa melihat sang empunya juga berdir di pintu mobil, bersandar sambil memainkan tabletnya di tangan.

Apa dia menungguku? Ah... jangan mimpi dipagi buta. Lewat saja lewat.

Aku baru hendak berjalan menuju ke stand tempat menunggu taksi yang berlawanan arah dari mobil Kenneth yang terparkir, namun suara macan meraung miliknya membuatku berhenti dan menoleh.

"Syarat Utama dan paling dasar dari etiket bekerja itu adalah ketepatan waktu. Apa seperti ini seorang sekretaris seharusnya bekerja? Membuat bosnya menunggu?"

Aku geram. Bagaimana tidak? Pagi-pagi, belum sarapan, tergesa-gesa, dan langsung kena semprot.

Maka aku segera berjalan menghampiri Kenneth dan berdiri di depannya, "Saya memang kesiangan, tapi saya tidak meminta anda menunggu saya. Saya bisa pergi sendiri." Sahutku mencoba sebisa mungkin berkata lebih sopan.

"Kalau anda belum siap untuk masuk kerja, seharusnya anda beritahu saya dari kemarin. Saya bisa mengatur jadwal saya sendiri, dan apa yang anda lakukan adalah merugikan waktu saya." Ucap Kenneth membuat kedua tanganku mengepal.

Sabar... sabar...

"Sekali lagi, saya tidak meminta anda menunggu-"

"Masuk! Saya hampir terlambat untuk datang meeting." Potong Kenneth yang langsung membuka pintu untukku. Matanya tidak menatapku sama sekali, melainkan menatap jalanan di depan.

"Saya bisa naik taksi."

"Saya bos kamu. Anda berani melawan perintah bos kamu, hm?"

Mau tidak mau, sudi tidak sudi, rela tidak rela, aku masuk kedalam dengan perasaan gondok. Aku melihat supir yang baru ku tahu bernama Dave itu tersenyum padaku.

Setelah menutup pintu di sampingku, Kenneth segera memutar untuk masuk ke sisi di sebelahku, lalu mobil mulai bergerak membelah jalanan.

Kenneth lebih sibuk dengan tabletnya, sedangkan aku yang memang lupa akan apa tugasku, memilih untuk main permainan di ponsel baruku.

"Kalau anda tidak ada niatan untuk bekerja, anda bisa pulang." Sindirnya. Padahal matanya lurus mengarah ke tablet, dan ponselku juga seharusnya tidak terlihat olehnya meskipun hanya melalui lirikan karena posisiku yang sedikit menyamping.

Namun kemudian aku sadar kalau pantulan dari kaca jendela pasti membantunya melihat apa yang sedang kulakukan.

Dengan helaan nafas tidak rela, aku mengunci ponsel dan memasukkannya ke saku.

Lalu apa yang harus kulakukan? Aku kan tidak tahu harus melakukan apa selagi dia sibuk dengan tabletnya. Bosan!

Jadilah aku memajukan posisi dudukku, dan mencoba mengajak orang lain selain Laki-laki menyebalkan itu berbicara, Dave.

"Pak, nyampenya masih lama ya?" Tanyaku penasaran.

"Sebentar lagi, Nona." Jawabnya sopan.

"Ehm... nyalain radionya dong, Pak. Sunyi banget disini, bikin ngantuk." Pintaku, dan dituruti oleh Dave.

Baru sedetik aku bersorak senang saat alunan musik Pop mengalun, memenuhi keheningan mobil, namun macan disampingku kembali mengaum.

"Matikan! Saya tidak bisa berkonsentrasi." Serunya tegas.

Dengan cepat Dave kembali mematikan saluran radio itu hingga mobil kembali sunyi.

"Gak asik banget sih!" Desisku pelan.

"Kalau anda tidak suka, anda bisa turun disini." Ternyata dia bisa mendengarku.

"Memangnya siapa yang tadi ngotot meminta saya naik kemobil ini? Kenapa sekarang lo malah ngusir gue?"

Oke, aku tahu aku salah bicara ketika Kenneth sudah menutup layar tabletnya dan memutar tubuhnya menghadapku.

"Lalu? Anda menyalahkan saya? Disini bosnya saya atau anda?" Tanyanya penuh penekanan. "Dan harap perbaiki cara bicara anda. Saya tidak mau perusahaan saya di cap jelek dan saya dinilai tidak berkompeten karena sikap dan cara bicara Asisten Pribadi saya yang semaunya sendiri."

Kata-katanya menohokku, rasanya sangat menyesakkan dan aku ingin menangis. Tapi aku mengurungkan keinginan terakhirku itu. Aku tidak boleh terlihat lemah. Itu malah akan membuatnya semakin menginjakku.

Yang terbaik apanya? Apa yang aku lihat sama sekali tidak mencerminkan sebuah kebaikan.

Aku menggigit bibir dalamku, menguatkan hatiku, mengalah bukan berarti kalah. "Maaf." Gumamku pelan.

Aku tidak tahu apa aku bisa memiliki rasa untuk laki-laki ini atau tidak. Dan sepertinya memang benar, perasaan kamu mungkin tidak sedalam yang dikira orang-orang.

*

Begitu sampai di kantor, setumpuk berkas sudah bersarang di atas meja kerjaku yang berada tepat di depan ruang kerja milik Kenneth.

Bagaimana aku tahu? Ya karena aku melihat Kenneth yang masuk kedalam sana dan tidak keluar-keluar lagi hingga pukul setengah 10 untuk ke ruang meeting.

Ku kira aku akan diminta ikut, tapi ternyata Kenneth memintaku mempelajari berkas-berkas dan jadwalnya untuk besok dan seterusnya.

Baguslah. Aku juga butuh bernafas dari tatapan tajamnya itu.

Tapi berkutat terus disini juga membuatku bosan. Berkeliling sebentar tidak akan dosa, kan? Lagipula aku memang tidak ada kerjaan lain selain menyusun jadwal macan itu.

Alhasil aku melangkahkan kakiku menelusuri setiap divisi dari lantai tempat kerjaku hingga ke lantai bawah. Setiap pegawai yang melihatku, menatap dan menyapaku dengan hormat dan seakan takut melakukan sebuah kesalahan.

Apa ini ada hubungannya dengan diriku yang sebelum kecelakaan ini? Diriku yang menyandang status tunangan Kenneth?

Saat ingin memasuki lift untuk menuju ke lantai dibawahnya lagi, tanganku dicekal hingga langkahku berhenti. Spontan aku berbalik akibat cekalan itu.

"Ternyata benar kamu." Laki-laki itu tersenyum senang begitu melihatku.

"Sean?" Apa dia juga bekerja disini?

"Aku senang kamu mengingat namaku. Dan cara kamu menyebut namaku tadi, membuatku merinding." Ujarnya sambil terkekeh. "Kenapa kamu bisa ada disini?" Ia bertanya pertanyaan yang sama denganku.

"Aku bekerja disini." Jawabku, "kamu juga?"

"Wah, akan bagus sekali kalau aku bekerja disini. Aku jadi bisa lebih dekat dengan calon istri masa depanku." Ucapnya membuatku melotot. Pede sekali laki-laki gila ini? "Tidak, aku hanya lihat-lihat perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaanku saat aku menjabat menggantikan Papaku nanti. Mau menemaniku?" Tawarnya yang tidak ku tolak.

Berjalan sendiri juga membosankan. Tidak ada salahnya menerima tawaran Sean. Akhirnya kami berjalan bersisian memasuki lift yang membawa kami ke lantai dibawah kami.

"Aku sempat kecewa." Ujarnya membuatku menoleh. "Aku nungguin telepon kamu, kamu tahu?"

Oh astaga! Aku terbelalak, "eh, Sorry." Ucapku, "Ponselku hilang saat aku kecelakaan, dan Daddy baru membelikanku ponsel baru kemarin. Tapi nomor kamu di telapak tangan aku sudah hilang. Maaf." Bohongku. Sejujurnya aku lupa akan keberadaan Sean dan nomornya.

"Aku gak tahu. Kalau begitu, aku boleh minta nomor kamu sekarang?" Tanyanya. Kami masih sambil berjalan mengelilingi setiap divisi di lantai ini. Semua mata menatap kami penasaran.

"O-oke." Jawabku sambil menyerahkan ponselku padanya. Ia menekan beberapa kali di layar dan deringan ponsel miliknya terdengar.

"Aku sudah menyimpan nomorku di tempatmu. Tunggu teleponku nanti malam, ya, cantik." Ujarnya kembali menggodaku. Aku hanya tertawa renyah.

"Pulang kerja nanti, boleh aku jemput?" Tanyanya terdengar ragu. "Itupun kalau kamu tidak membawa mobil."

Aku memang tidak membawa mobil, tapi aku juga tidak berminat menerima ajakannya untuk pulang bersama. Kalau aku diculik, bagaimana?

Ada gunanya juga pergi bersama Kenneth tadi pagi.

"Maaf, tapi aku harus mendampingi bosku. Sepertinya dia masih ada pekerjaan sampai malam." Bohongku lagi. Jangankan nanti malam. Sehabis meeting ini ada jadwal apa saja aku tidak tahu.

"Sayang sekali kalau begitu." Sesalnya, "Tapi kalau aku ngajak kamu dinner, kamu mau? Besok-besok mungkin. Aku ingin lebih mengenal kamu." Dia masih tidak patah semangat, namun itu membuatku semakin sebal. Seakan ada suatu keinginan untuk tidak berdekatan dengan laki-laki lain dari dalam hatiku. Padahal Sean tampan dan menyenangkan meski sering terdengar cheesy dengan rayuannya.

"Kenapa kamu mau mengenal aku? Aku orangnya... ehm... sangat membosankan." Aku mencari alasan.

Ia tergelak, "gak kenal maka tak sayang, Alleira. Dan lagi, aku hanya ingin lebih mengenal calon istri masa depanku lagi, dan menurut apa yang aku lihat selama 2 kali bertemu dengan kamu, kamu orangnya tidak membosankan sama sekali."

Oke, aku kehilangan akal. Hanya tersisa satu cara...

"Astaga, maaf. Aku baru ingat kalau bosku meminta berkas penting dariku. Aku harus kembali sekarang." Aku pura-pura panik.

"Mau ku temani kembali? Aku bisa menjelaskan pada bosmu kalau-"

"Tidak, tidak perlu. Bosku... ehm... galak. Galaknya melebihi macan betina yang lagi datang bulan. A-aku pergi dulu. Bye, Sean." Masih memasang tampang panik, aku berbalik meninggalkan Sean. Aku bisa mendengar teriakan Sean dibelakangku yang kuabaikan.

"Aku telepon nanti malam!"

Teleponan aja sono sama setan. Batinku.

Begitu sampai lift, aku langsung menekan tombol lantai teratas, tempat dimana ruangan kerjaku berada.

Dan begitu aku sampai di lorong, aku tercengang begitu melihat bosku, berkacak pinggang, berdiri di depan meja kerjaku.

Gunung merapi siap meledak lagi.

"Kemana saja anda, hm? Saya meminta anda mempelajari jadwal saya, bukan berkeliaran! Apa anda berniat untuk kerja atau hanya main-main saja?" Suaranya tinggi dan nyaring. Lagi-lagi membentakku. Hatiku yang lembut tidak bisa menerimanya. Lagi-lagi aku kembali ingin menangis.

Kalau tadi di depan Dave, kali ini didepan karyawan yang berada di lantai ini. Mau taruh dimana mukaku?

"M-maaf." Hanya itu yang bisa kuucapkan.

Ia menghela nafas lelah. Aku juga lelah kalau diperlakukan begini terus menerus. Lebih baik aku menjadi asisten Alexis saja. Mana berani Alexis meneriakiku.

"Berikan nomor ponselmu. Agar aku bisa menghubungi dengan mudah nanti." Ia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya padaku.

Dalam 1 jam, dua laki-laki meminta nomorku dengan cara berbeda. Cara yang manis, dan cara yang menyebalkan. Dengan alasan pekerjaan, akhirnya aku memberikan nomor ponselku. Menekan rentetan nomor di layar dan menelepon nomorku.

Jangan salah sangka! Ini agar aku tahu nomornya dan aku tidak akan mengangkat kalau bukan dalam jam kerja.

Namun aku terkejut karena layar yang awalnya berupa deretan angka, berubah menjadi foto wajahku yang sedang tertawa, ditambah dengan nama kontak yang... aku menatap Kenneth ngeri.

Kenneth juga menatapku tidak mengerti, namun ia meraih ponselnya dan langsung terbelalak menatapku.

"Anda sengaja menyindir saya atas ucapan saya tadi?" Tanyanya menuduhku.

Sementara ponselku berdering nyaring, aku malah lebih ingin memperdebatkan tuduhan ini dengan Kenneth. "Anda pikir saya suka nama saya di kontak anda seperti itu?" Seruku.

Ia mematikan panggilan dan segera mengutak atik ponselnya. Aku tebak kalau ia mengganti nama kontakku disana. Entah kenapa aku malah kecewa.

"Siap-siap, setelah makan siang, anda harus ikut saya ke kantor saya yang lainnya. Saya masih ada Meeting." Ujarnya mengacuhkanku. Ia langsung berbalik dan menghilang di balik pintu.

"Nyebelin banget sih!!!" Desisku kesal. Aku berjalan kearah bangkuku dan menghempaskan bokongku di kursi.

Aku kembali teringat bagaimana namaku tersimpan di ponselnya. Sepertinya juga Kenneth tidak sadar akan kontak itu sampai tadi.

Kalau memang kontak itu tersimpan saat sebelum kami hilang ingatan, bukannya berarti hubungan kami baik-baik saja?

Aku menghela nafas dan meraih ponselku, ingin melihat nomornya.

1 missed call.

Aku membuka notifikasi itu dan kembali terbelalak.

My King 👑 (1)

Bukan hanya itu, aku menyadari kalau nomornya dan nomorku hanya berbeda 1 angka di belakangnya.

Nama kontakku jauh lebih menjijikan dari pada namaku di kontaknya. Meski menggunakan emoji yang sama, tapi ini lebih menjijikan. Apa lagi kalau melihat keadaan kami yang sekarang.

Tapi kenapa jariku tidak mau digerakkan untuk mengganti kontak nama itu? Jariku serasa kaku.

Kenneth saja dengan mudah menggantinya tadi. Kenapa aku tidak bisa?

Kalian ingin tahu nama apa yang Kenneth simpan di kontaknya?

My Boss 👑

Ya, pantas saja Kenneth marah dan merasa tersinggung. Disaat dia bertanya siapa diantara kami yang menjadi Bos, kontak nama itu seakan menjawab sindirannya.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro