Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. This is Insane!

"Jangan salah paham! Saya sama sekali tidak memiliki maksud apapun pada Anda selain bisa pulang kerumah dengan tenang dan tidak jadi dicoret dalam daftar ahli waris keluarga oleh ancaman Mommy."

Aku benar-benar kehilangan kata-kataku.

Apa barusan aku terpesona pada laki-laki ini?

Tolong katakan tidak.

"Kalau disuruh milih, saya juga enggan satu mobil dengan gadis tarzan seperti anda!" Serunya lagi.

That's it!!! Itu adalah ajakan perang yang dilayangkan langsung oleh laki-laki menyebalkan ini!

Aku ingin menenggelamkannya kedasar sumur!!

***

Alleira's POV

Kalau membunuh orang bukan tindakan kriminal, mungkin aku sudah melakukannya pada laki-laki tampan namun minta dibunuh di hadapanku ini. Bagaimana tidak? Setelah tadi tiba-tiba dia bersikap lembut, lalu dalam sekejap dia berubah lagi menjadi laki-laki menyebalkan.

Bahkan dia lebih memilih tidur dan mengacuhkan aku selama perjalanan. Untuk apa aku duduk di sebelahnya dan diacuhkan? Lebih baik aku duduk di depan dan mengobrol bersama supir. Kalau seperti ini, aku jadi terlihat seperti asisten pribadinya.

Dan lagi, begitu sampai di Lobby Apartemen keluargaku -aku bisa menebak kalau laki-laki menyebalkan ini juga tinggal di rumah om Peter yang berada di seberang Penthouse Daddy-, dia langsung meninggalkanku begitu saja. Ya, BEGITU SAJA tanpa membukakan pintu mobil atau bicara satu patah katapun padaku.

Memangnya dipikir aku ini siapa? Sekretaris pribadinya? Pembantunya? Bahkan menjadi binatang peliharaannya saja menurutku akan lebih diperlakukan lebih baik.

Aku benar-benar diacuhkan!

Aku jadi berpikir, kalau saat aku bangun dari tidurku setelah kecelakaan kemarin, dan Mommy mengatakan kalau laki-laki ini adalah suamiku, aku jamin kalau sekarang aku akan menuju ke kantor pengacara untuk mengajukan surat cerai.

Kejang-kejang aku kalau berurusan lebih lama dengan orang seperti ini.

"Nona sedang ada masalah? Apa anda baik-baik saja dengan Sir Kenneth?" Aku menoleh kepada supir yang memang kurasakan kalau ia memperhatikan interaksi kami sedari tadi.

"Tidak ada masalah." Jawabku kesal. Lalu aku kembali menoleh kearah supir itu, "Apa dia selalu menyebalkan seperti itu?"

Ia mengernyit tidak paham, "Maksud nona?"

"Ah lupakan. Percuma aku bertanya. Kamu pasti membela bos mu." Seruku sebal. Akhirnya aku memutuskan untuk turun dan mengikuti langkah laki-laki itu tadi.

Jangan salah paham! Itu karena tempat tinggal kami berada di tempat dan lantai yang sama.

Setelah sengaja berlama-lama dan mengira kalau dia sudah lebih dulu menaiki lift, ternyata dugaanku salah saat melihat punggung pria itu masih berdiri tegap menunggu lift.

Oke, relax Alle. Anggap saja dia tidak terlihat. Anggap dia hantu.

Aku kemudian berjalan dan berhenti di sebelah sisi laki-laki itu, Dengan jarak tentunya.

"Sudah selesai berpacaran dengan Dave?" Tanyanya datar.

"Apa?" Aku menoleh, dan dia juga ikut menoleh.

"Supir saya tadi. Dia perhatian sekali pada anda." Masih setia dengan nada datarnya.

Aku mendengus dan menyunggingkan senyum sinisku, "terus lo cemburu?" Tanyaku. "Merasa jadi tunangan gue sekarang, iya?"

Aku merasa menang sekarang. Kalau laki-laki ini cemburu, bukankah dia menjilat ucapannya sendiri yang mengatakan kalau dia tidak sudi memiliki hubungan denganku?

Ia tersenyum, mundur selangkah dan menyilangkan tangannya di depan dada, semakin memperlihatkan lengannya yang berotot. Terlihat kokoh dan sepertinya sangat nyaman untuk di peluk.

Wait! Apa yang aku pikirkan?!

Aku melihat ia menatapku dari atas hingga ke kakiku. Senyumnya masih setia menghiasi wajahnya.

"Saya merasa kalau saya tidak memiliki alasan untuk cemburu terhadap anda dan supir saya. Saya hanya ingin mengatakan kalau supir saya itu sudah memiliki istri dan anak. Hanya sekedar mengingatkan, agar anda tidak menjadi perusak rumah tangga orang. Tapi kalau anda mau, saya tidak melarang. Dan lagi..."

Aku menganga. Menganga se besar-besarnya. Apa katanya tadi?!

"Dari atas hingga bawah, anda memang cantik." Aku tidak mau terbang dulu. Malahan aku menunggu bom apa lagi yang akan dilempar pria ini. "Tapi sikap anda, cara anda bertutur kata, sama sekali bukan tipe perempuan ideal saya. Apalagi cara anda berpakaian yang... oh, apa benturan di kepala anda kemarin membuat anda lupa kalau anda adalah seorang perempuan?"

Kalau tidak ada tulang yang menyangga, aku rasa rahangku sudah menyentuh ketanah.

Apa dia barusan memuji atau menghinaku?

Apa salahnya dengan mengenakan celana jeans kebesaran, kaus oblong dan sneakers? Dan apa dia buta? Apa dia tidak bisa melihat tonjolan di dadaku?

Belum sempat aku melayangkan sumpah serapahku, laki-laki sial itu sudah masuk kedalam lift yang terbuka dan menutupnya, membiarkan aku sendirian.

"Arghhhh! Dasar cowok rese!" Desisku pelan. Aku cukup sadar untuk tidak membuat keributan di Lobby dan mengundang perhatian banyak orang dengan teriakanku.

Alhasil aku menunggu lift selanjutnya yang datang tidak lama setelah lift yang membawa laki-laki menyebalkan itu pergi. Aku akan buat perhitungan! Lihat saja.

Memangnya salah kalau seorang perempuan mengenakan celana jeans? Kami tidak perlu terus menerus memakai dress, kan? Menyusahkan.

Katanya aku bukan perempuan? Lihat saja, apa laki-laki itu bisa meneteskan air liurnya pada orang yang ia bilang tidak mirip perempuan ini. Tunggu saatnya!

Ting!

Dengan hati panas, sepanas bara api, aku berjalan dengan langkah menghentak keluar dari lift.

Bersamaan dengan itu, aku mendengar bunyi pintu yang tertutup dan aku kenal itu sebagai pintu penthouse Om Peter.

Gagal deh ngomelnya. Aku menelan kembali seluruh cacian yang hendak kulayangkan saat melihat kesempatan itu menghilang.

Akhirnya aku malah berbalik arah dan menuju ke Penthouse keluargaku untuk mendinginkan hati dan kepalaku.

Aku menekan angka kombinasi yang melekat di kepalaku, tapi gagal.

Apa passwordnya diubah?

Aku mencoba lagi, dan lagi. Tapi gagal.

Akhirnya aku menekan bel dan Mommy keluar tidak lama kemudian.

"Kamu udah pulang, sayang? Kenapa gak langsung masuk aja?" Tanya Mommy sambil memelukku. "Kenneth mana?" Tanyanya begitu mendapati aku sendirian.

"Gak tau!" Jawabku ketus. Masih kesal dengan laki-laki bernama Kenneth itu. "Gimana aku bisa langsung masuk kalau Mommy ganti password? Aku udah coba berkali-kali, dan gagal." Aduku.

Mommy mengernyit, "Ganti Password? Kita gak pernah mengganti Passwordnya, sayang." Kilah Mommy.

"Aku coba 3x tapi gak bisa, Mom. 1603, kan?" Tanyaku masih dengan nada ngotot.

Kernyitan Mommy tambah banyak, aku baru menyadari kalau Mommy sudah tidak lagi muda saat ada kerutan-kerutan halus diwajah cantiknya. Namun kernyitan itu hilang, berganti dengan tawa kecil yang sepertinya bermaksud menggodaku.

"Mommy kenapa?" Tanyaku bingung.

Tanpa bicara, Mommy menarik tanganku, bukan masuk ke rumah, melainkan keluar. Menuju ke Penthouse om Peter dan berhenti tepat di depan pintu tersebut.

"Coba kamu masukin kode yang tadi." Suruh Mommy, kini giliran aku yang mengernyit.

Jangan bilang kalau...

"Masukin aja sekarang, Al. Jangan banyak protes." Perintah Mommy lagi.

Dengan penuh keraguan, dan tangan bergetar, aku menekan angka kombinasi itu di gagang pintu. Dan begitu melihat kerlip hijau menyala terang, aku terkesiap.

"16 Maret, hari ulang tahun Kenneth dan Keira. Password rumah Om Peter sejak mereka pindah kesini." Mommy berbicara ditengah rasa bingungku. "Ternyata meski kamu lupa sama Kenneth, kamu masih mengingat sedikit tentang dia."

Ini gila. Ini benar-benar gila. Kenapa aku melupakan kode kombinasi rumahku sendiri dan malah mengingat punya laki-laki menyebalkan itu?

Mommy menarikku masuk kedalam penthouse itu tanpa permisi, seakan memang sudah menjadi kebiasaan kami untuk masuk tanpa permisi.

"Viaaaa! Viaaaa!" Mommy meneriakkan nama Tante Via.

Aku ingin bersembunyi di kolong meja rasanya begitu melihat yang keluar adalah Kenneth, bukan Tante Via. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana jeans yang ia kenakan tadi sembari mengalungkan handuk di lehernya. Sepertinya ia baru akan mandi.

Dan oh my god! Ototnya sangat... ohhh kendalikan otakmu, Alle, kendalikan!

Aku mengalihkan pandanganku dari otot tubuh Kenneth, dan menatap kearah Tante Via yang baru keluar, sepertinya dari arah dapur.

"Kenapa, Re?" Tanya Tante Via menghampiri.

"Kamu harus dengar. Alle-"

"Mom, ini bukan hal yang harus di sebarin!" Selaku kesal.

"Harus, Alle, harus! Ini penemuan penting!" Ngotot Mommy yang langsung mengabaikanku dan kembali menatap tante Via. Jadilah Mommy bercerita tentang aku yang lupa angka kombinasi rumahku sendiri, dan bagaimana aku mengira kalau 1603 terkutuk itu adalah angka kombinasinya.

Mata Tante Via terbelalak. Ia lalu menatap kearah Kenneth, dan Kenneth sudah tersenyum, namun senyumnya terasa sangat meremehkanku.

Kalau begini ceritanya, Kenneth akan terus-terusan menang. Dia akan semakin menginjakku.

"Jangan salah paham! Gue juga gak tahu kalau itu tanggal ulang tahun lo!" Seruku menatapnya tajam. Uhhhh jangan tatap kebawah. Tatap mukanya aja, tatap muka! Aku mencoba menetapkan batinku agar tidak sekali-sekali melirik kearah perut kotak-kotaknya.

"Udah! Alle mau pulang kerumah!" Seruku, sebelum aku melempar Kenneth sampai ke lantai 1.

"Loh, Alle? Kok buru-buru banget? Disini dulu aja. Biasa kamu juga sering main disini sampai malem kalau lagi gak kerja."

Aku bergidik ngeri, jangan bilang kalau aku main di kamar Kenneth?

"Biasanya disuruh pulang juga harus sampai Daddy yang narik kamu pulang, Al." Tambah Mommy membuatku semakin berada di bawah, dan Kenneth berada di atas awan. Kenapa seakan-akan aku yang dari dulu mengejar-ngejar pria ini?

Ah... ngomong-ngomong kerja, kenapa aku tidak ingat apa pekerjaanku, ya? Ku kira aku pengangguran sebelum Tante Via membahas tentang kerja.

Mataku tidak sengaja bersibobok dengan Kenneth yang masih menertawaiku, meremehkanku lebih tepatnya.

Aku terdengar murahan sekali dulu.

Kalau sekarang, tanpa disuruhpun, aku akan dengan sukarela pulang kerumah.

"Ah, Ken. Besok kamu udah masuk kantor? Apa Alle boleh istirahat untuk beberapa hari dulu?" Aku menoleh cepat kearah Mommy. Apa? Kenapa harus minta ijin sama Kenneth?

"Untuk apa minta ijin sama aku, Tan?" Tanya Kenneth, sepertinya sepemikiran denganku.

"Ya terus ijin sama siapa? Kan Alle sekretaris pribadi kamu, Ken?" Sahut tante Via santai.

Mataku melotot, bahkan nyaris keluar saat mendengar sahutan Tante Via. Secepat kilat aku menatap Kenneth yang juga sedang melotot menatapku.

"APA?!" Teriak kami bersamaan.

"Loh? Kalian lupa juga sama hal ini?" Tanya Tanye Via masih dengan nada santainya. "Kamu sendiri yang ngotot sama Om Alvero untuk menjadikan Alle sekretaris kamu, Ken." Tambahnya membuatku setidaknya merasa sedikit senang karena ternyata bukan hanya aku yang dulu merendahkan diriku demi laki-laki ini.

"Kamu juga yang ngotot gak mau kerja di perusahaan Daddy atau jadi sekretaris Lexy, Al. Kamu mau terus sama Kenneth." Sambar Mommy yang membuatku kehilangan kata-kata.

Aku? Mau terus sama laki-laki ini? Aku sudah gila. Ini sudah gila! Semuanya gila! Bagaimana mungkin...?

"Kalian lucu sekali. Malah kalian jadi lebih manis kalau hilang ingatan begini. Mengingatkan Tante sama Om Peter dulu. Ogah ogah tapi mau." Tante Via tertawa sedangkan aku menatapnya seakan Tante Via adalah orang teraneh di dunia.

"Bisa gila gue..." aku bisa menangkap gumaman yang berasal dari bibir Kenneth barusan.

Aku langsung menatapnya tajam, "Lo pikir lo aja yang bakalan gila? Gue juga! Dosa apa gue kerja sama lo!" Seruku kesal.

Kenneth berkacak pinggang dan semakin memperlihatkan perut kotak-kotak menggiurkannya itu, setengah mati aku menguatkan imanku untuk tidak ngiler.

"Anda pikir, anda sedang bicara dengan siapa? Saya Bos anda! Saya bisa saja memecat anda kalau anda tidak sop-"

"Bagus, itu yang gue tunggu. Pecat aja. Gaji gue jangan lupa dikirim ke rekening." Seruku lalu berbalik, namun Mommy mencekal lenganku.

"Kemana sopan santun kamu sih?" Tanya Mommy, tatapannya menyeramkan.

Oh iya! "Aku pulang, Tante." Sapaku, mengira kalau Mommy bermaksud memintaku untuk memberi salam pada Tante Via sebelum pulang.

"Bukan itu maksud Mommy." Ucap Mommy terdengar putus asa. "Kalian harus bicara. Benar-benar bicara berdua."

"Ini aku sama dia udah bicara berdua, Mom. Dan aku capek, aku mau istirahat." Keluhku. Namun Mommy menatapku tajam. Dan aku tahu kalau akan ada sesuatu yang buruk terjadi sebentar lagi.

*

Dukkk dukkk dukkk

"MOMMY BUKAAAAAA!!!!!!!" teriakku masih berusaha menggedor pintu di hadapanku.

"Tidak akan sebelum kamu dan Kenneth bicara baik-baik." Sahut Mommy dari balik pintu.

"ALLE LAPER!!!!"

"Oleh karena itu, cepat selesaikan urusan kalian, dan Mommy akan bukakan pintu. Mommy akan bantu Tante Via masak di dapur, jadi kalian ngobrol saja dulu di dalam. Ingat! Mommy tidak mau mendengar kalian teriak-teriak, barang-barang pecah, dan juga keputusan pecat memecat."

"MOMMYYYY!!!! MOMMY TEGA! MOOOOOOMMMM!!!!"

"Berisik!!!" Desis Kenneth yang berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang. MASIH bertelanjang dada.

Benar saja perasaanku tadi saat melihat tatapan tajam Mommy. Mommy dan Tante Via secara tega dan kompak, mendorong Kenneth dan menarikku kedalam satu kamar dan MENGUNCINYA.

Apa mereka tidak takut kalau ada hal-hal aneh terjadi diantara kami?

"Apa anda bisa berperilaku sebagaimana gadis sewajarnya? Tidak perlu teriak, disini tidak ada yang budek!" Omelnya padaku.

Aku mengabaikannya dan masih berusaha menggedor pintu yang tentu saja tidak ada hasilnya.

"Saya mau mandi. Awas kalau anda nyentuh barang saya sembarangan!" Ucapnya penuh penekanan. Ia lalu berjalan kearah kamar mandi. Aku menatap punggungnya yang kokoh itu menghilang dibalik pintu kamar mandi dan akhirnya aku menarik nafasku dalam.

Ini aneh. Aku aneh.

Akhirnya setelah percobaan entah keberapa kali, aku menyerah menggedor pintu itu.

Toh Aku yakin Mereka tidak akan tega mengunciku sampai berhari-hari dan membiarkanku kelaparan.

Aku kemudian berbalik dan baru benar-benar memperhatikan kamar tidur ini. Wangi yang sangat familiar dan membuatku nyaman. Tatanan furnitur yang maskulin dengan paduan warna hitam dan silver.

Aku melangkahkan kakiku ke meja yang sepertinya digunakan untuk bekerja karena ada banyak berkas berserakan di atasnya.

Meski sudah diperingatkan untuk tidak menyentuh barang secara sembarang, tapi aku tetap berjalan menghampiri meja tersebut.

"Berantakan banget." Komentarku pada tumpukan kertas di atas meja.

Kalau aku membereskannya, pasti Kenneth akan mencak-mencak. Jadi lebih baik aku tetap membiarkan kertas itu berantakan sebagaimana adanya.

Saat mau berjalan kearah sofa untuk menonton televisi, ekor mataku menangkap sebuah gambar yang ada di pigura diatas meja kerjanya.

Aku terdiam, cukup lama menatap gambar itu.

Ada wajahku disana. Bukan hanya aku, tapi juga Kenneth. Aku tersenyum sangat lebar sambil merangkul leher Kenneth. Tanganku lainnya menggenggam tusuk sate berisikan sosis yang sudah setengah dimakan. Sedangkan Kenneth, ia juga tertawa. Bahkan aku tidak ingat apa ia pernag tertawa seperti itu belakangan ini atau tidak. Tangannya merangkul pinggangku posesif.

Kami terlihat... bahagia?

Tapi kenapa aku tidak bisa mengingat kenangan itu? Kapan foto ini di ambil? Apa yang sedang kami rayakan? Dan apa yang membuat kami tertawa selebar itu? Apa kami memang selalu tertawa seperti itu?

Rasa sesak memenuhi rongga dadaku, dan rasa sakit menghampiri kepalaku ketika aku mencoba mengingatnya. Tapi nihil. Tidak ada memori apapun yang kuingat mengenai Kenneth.

Kalau kami memang sebahagia itu, apa mungkin kami bisa saling melupakan dan membenci seperti ini?

Aku kemudian melanggar keinginanku untuk tidak menyentuh berkas-berkasnya tadi. Aku mulai melihat berkasnya yang penuh coretan satu persatu. Tulisan acak-acakan ini membawa kesan familiar. Aku bahkan tidak sadar kalau aku tersenyum kecil. Setelah melihat berkas-berkas itu, tanganku beralih pada kalender mejanya. Tidak terlalu banyak coretan, namun ada satu coretan di salah satu tanggal. Minggu lalu.

8th Anniversary!

"Bukannya sudah kubilang jangan menyentuh barangku sembarangan?"

Aku terkejut mendengar suara berat itu. Bahkan aroma maskulin menguar memasuki indra penciumanku.

Aku terpaku ditempat, bahkan saat merasa kalau Kenneth sekarang berada tepat dibelakangku, tidak dapat membuatku berbalik untuk menatapnya. Kenapa aku jadi grogi begini?

"Apa anda sudah merasa benar-benar menjadi tunanganku sekarang, hm?" Tanyanya. Aku bisa merasakan nafasnya di telingaku.

"Gak usah ke ge-er an. Gue cuman merasa meja lo terlalu berantakan dan itu mengusik mata gue." Jawabku datar. Aku lalu kembali meletakkan kalender itu di tempatnya dan berbalik.

Holy.... Kalau tadi laki-laki ini sudah membuatku nyaris ngiler, kali ini aku merasa olerku akan jatuh seperti hujan badai.

Ia hanya mengenakan handuk yang dililit di pinggang, dan air masih menetes dari rambutnya yang basah.

"Aw..." aku merasakan pedas di keningku. Kenneth menyentilnya tanpa kusadari.

"Kamu sadar gak sih kalau kamu itu perempuan? Seorang perempuan memandang lapar ke laki-laki itu bukan hal yang wajar." Ucapnya.

"Gue gak memandang lapar!" Kilahku sambil membuang muka. "Pake baju lo! Gak tahu malu!"

Aku bisa mendengar ia terkekeh pelan sebelum berjalan menjauhiku.

Tidak berapa lama, ia kembali dengan kaus santai dan celana pendek, bukan menghampiriku yang sedang duduk disofa dan berusaha tidak menghiraukannya, melainkan berjalan lurus ke kasurnya.

Dia mau mengabaikanku lagi?

"Kalau kamu mau istirahat selama beberapa hari, istirahat saja. Aku bisa mengatur jadwalku sendiri." Ucapnya. Aku berbalik dan mendapatinya sedang tidur, berusaha mencari posisi nyaman.

Sebenarnya aku tidak mau jujur, tapi aku terpaksa jujur kalau aku sedang memiliki pertanyaan di kepalaku sekarang, dan aku sedikit berharap Kenneth akan menghampiriku tadi.

Jadilah aku menekan gengsi, berdiri dan menghampiri sisi kasur Kenneth. Ia membuka matanya kaget melihatku duduk di sebelahnya.

"Apa? Kamu merasa aku mengatakan itu karena memperhatikanmu? Jangan salah sangka. Meski kamu kelihatan tomboy, tapi aku tahu kamu tetap seorang wanita. Aku pria dan fisikku lebih kuat dari pada kamu. Jadi kamu beristirahat saja untuk beberapa hari sebelum kembali bekerja."

Aku masih diam di posisiku yang duduk menyilang sambil memeluk bantal.

"Kenapa?" Tanya Kenneth. Aku bisa melihat kernyitan di dahinya.

"Gue mau tanya. Gak tahu apa cuman gue yang kepikiran, atau lo juga. Tapi jangan salah paham karena gue sama sekali gak mengharapkan apapun. Gue hanya penasaran." Aku membuka mulutku. Lalu Kenneth membenarkan posisinya hingga miring dan menahan kepalanya dengan tangan, matanya menatapku.

"Apa lo gak pernah bertanya-tanya, kenapa lo sama gue sama-sama gak bisa mengingat satu sama lain? Gue gak sengaja liat foto di meja kerja lo. Kita keliatan... ehm... bahagia. Dan juga, di kalender lo tadi, kalau gak salah nangkep, minggu kemarin kita baru Anniversary yang ke 8. Menurut gue ya, kita gak akan se lama itu bersama tanpa... ya, lo tahu... tanpa rasa ingin memiliki satu sama lain. Tapi kenapa sekarang kita begini?"

Kenneth terdiam, ia menatapku dengan tatapan teduh miliknya. Sangat menenangkan.

"Semua kejadian itu memiliki alasan." Ucapnya. "Dan bukannya kamu pernah bilang sendiri jawabannya? Mungkin aja memang perasaan kita tidak sedalam yang dikira orang."

Kalau memang kemarin aku yang mengatakan itu,tapi entah kenapa kali ini aku tidak setuju dengan pernyataan itu.

Aku dan dia sama-sama terdiam. Hingga Kenneth memutuskan untuk merebahkan lagi tubuhnya dan membelakangiku. "Kalau tidak ada pertanyaan lagi, jangan ganggu aku. Aku mau tidur. Kami bisa tidur di samping aku, atau disofa, terserah. Yang penting jangan teriak-teriak lagi karena ini bukan hutan."

Aku mengerucutkan bibirku. Aku memilih bersandar di sandaran kasur dan memejamkan mataku, mencoba teknik Mommy untuk menggali memoriku yang kembali berujung pada sakit kepala.

Apa itu artinya kenangan ini harus benar-benar terhapus tanpa diingat lagi? Kenapa aku jadi penasaran dengan hubunganku bersamanya dulu?

*

Author's POV

"Gimana kalau Kenneth kalap dan nyerang Alle?" Tanya Via. Ia sedikit khawatir dengan anak lelakinya itu mengingat gen yang diturunkan itu adalah gen sang Ayah. Bisa saja dalam 1 tahun kedepan, Ia akan kembali menimang satu orang cucu dan kehilangan anak lelakinya karena dibantai oleh Alvero? Bisa saja kalau sampai hal itu terjadi.

"Gak akan, Vi. Mereka masih saling membenci, dan mengunci mereka berdua memang merupakan solusi. Aku tidak yakin kalau Kenneth akan menyerang Alle. Kenneth sangat menghargai Alle, dan aku yakin jauh di lubuk hatinya, perasaannya untuk Alle masih hidup disana." Ucap Rere sambil mengeluarkan kunci kamar dari kantung celananya.

"Tapi ini sunyi banget, Re." Via takut kalau apa yang ia pikirkan benar-benae kejadian. Ia belum siap kehilangan putra semata wayangnya.

Rere sebenarnya juga jadi mengkhawatirkan hal yang sama karena keparnoan Via. Tapi ia berusaha berpikir positif.

Maka ia membuka pintu secara perlahan, dan menghela nafas lega saat tidak mendengar suara desahan. Setidaknya aman.

Mereka kemudian masuk, dan matanya langsung memaku ke atas kasur.

Senyum mereka mengembang puas dan tanpa kata, mereka serempak kembali keluar, membiarkan mereka kembali tertidur.

Kenneth dan Alleira tertidur di atas kasur yang sama, meringkuk seperti janin yang saling berhadapan, dan tangannya bertautan, saling menggenggam dengan erat.

***
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro