4. Crazy guy!
Kenneth's POV
Apa melupakan sesuatu dan seseorang adalah sebuah tindakan kriminal? Aku hanya melupakan satu orang dan kenangan-kenangannya, bukan berarti aku melupakan keluargaku, pekerjaanku, termasuk dokumen-dokumen penting perusahaan dan tanggung jawabku sebagai CEO Clavinsky Empire dan Wakil Presdir McKenzie Group.
Tapi kenapa aku harus disidang seperti ini?
"Lo beneran gak inget Alleira, Kak?" Tanya Keira untuk entah keberapa kalinya.
"Duh, berisik ya! Gue udah bilang gak inget. Emang siapa sih sampai kalian ngotot kalau gue harus inget?" Aku mulai jengah. Seingatku, aku itu sangat sibuk, dan masuk kerumah sakit meski hanya beberapa hari, itu adalah kesempatanku untuk beristirahat. Mumpung Daddy dan Nicholas, Suami Keira, membantuku untuk mengurus perusahaan yang terbengkalai akibat aku kecelakaan.
Tapi kenapa waktu istirahatku harus terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan seperti ini berjam-jam?
"Dia tunangan lo, Cumi!!!" Gerutu Keira kembali menempeleng kepalaku seperti apa yang Mommy sering lakukan kepadaku semenjak aku sadar.
"Gue gak inget. Lagian, dia bukan tipe gue. Cewek bar-bar gak tahu etika." Jawabku santai meski dalam hati aku masih gondok dengan sikapnya di depan dokter kemarin. Memangnya siapa dia? Pe-de sekali!
"Alleira gak gitu, Kak. Dia itu cewek terlembut yang pernah-"
"Terus cewek itu kemana? Kenapa yang gue lihat malah cewek galak gitu? Mau bilang dia gitu karena kecelakaan juga? Cih basi. Ini sebenarnya ada apa, sih? Mommy lagi berusaha menjodohkan gue sama dia? Atau jangan-jangan ini hanya strategi bisnis? Om Alvero pegang saham terbesar di Clavinsky Empire, kan? Ini cuman akal-akalannya Mommy aja untuk menjodohkan gue, kan?" Tebakku mulai kesal. Jelaslah! Namanya tidak ingat, tapi dipaksa untuk mengingat.
Mau tidak mau, aku setuju dengan apa yang dikatakan gadis itu kemarin. Kalau memang cinta kami sebesar itu, kami tidak akan saling melupakan seperti ini. Apa lagi kami seakan lebih memilih tidak kenal dari pada bersama-sama mencoba mengembalikan ingatan kami yang hilang.
"Susah ya..." gumam Keira pasrah. Ia kemudian menyodorkan sebuah benda yang aku kenal sebagai ponselku.
Aku belum melihat benda itu semenjak kemarin.
Aku lalu meraihnya, menatap Keira tidak mengerti, namun Keira hanya mengkodeku untuk membuka benda ini.
Dengan ogah-ogahan, aku membuka layar utama dan aku terdiam.
Wajah gadis yang sedang giat-giatnya ku kutuk sedang tersenyum dengan sangat manis kearah kamera.
Aku mengernyit sambil menatap Keira, meminta penjelasan akan maksud Keira menunjukanku ini.
"Disitu, ada bukti nyata kalau lo sama Alleira itu kekasih -bukan, maksud gue tunangan lo-. Kalau lo gak percaya sama apa yang kita omongin, foto-foto dan pesan di HP lo bisa menjadi bukti konkret kalau ini bukan akal-akalan kita atau Mommy untuk menjodohkan lo."
Aku ingin mengikuti saran Keira, membuktikan diri kalau aku tidak sedang dibohongi. Tapi apa yang akan aku dapatkan?
Kalau mengingat bagaimana Gadis itu rasanya membenci diriku. Tapi tunggu...
Aku kembali menatap Keira dan mengernyit, "Terus lo ngapain disini?" Tanyaku. Keira melihatku bingung, terutama dengan pertanyaanku. "Yang lupa ingatan kan bukan cuman gue tapi cewek itu. Kenapa cuman gue yang dipaksa untuk inget?"
"Karena lo kan cowok, Kak." Jawab Keira santai. "Cowok yang harusnya perjuangin cewek. Itu udah hukum alam."
Aku mengernyit ngeri menatap Keira setelah ia menjawab seakan menjawab pertanyaan anak SD. Cepat dan mudah tanpa berpikir berkali-kali.
"Lo kayaknya salah deh. Gini... gue jelasin biar lo ngerti ya sama posisi gue." Aku akhirnya meletakkan ponselku tanpa membukanya di nakas dan menghadap Keira yang masih menunggu kelanjutan ucapanku ditempatnya. "Gue katanya kecelakaan, sama dia? Dan gue sama dia sama-sama hilang ingatan, sama-sama lupa akan diri kita masing-masing, lupa akan hubungan kita berdua, dan menurut gue pasti ada alasannya. Dan kemarin, -untuk seingat gue- pertama kalinya gue setuju sama cewek itu, kalau hubungan kita bisa dikatakan gak sedalam itu sampai otak kita memilih untuk membuang memori tentang 'kita'."
"Gue sempet marah setelah mendengar ucapan sombong dia, gak tahu untuk alasan apa. Tapi setelah gue pikir, ucapan dia ada benarnya. Kalau memang otak kita udah memilih untuk membuang memori, dan menurut dokter, bisa aja memori itu mengindikasi ke arah stress atau trauma, menurut gue akan lebih baik kalau memori itu terkubur selamanya. Gue sama dia kayak dikasih kesempatan untuk... hmm... memulai baru lagi gitu istilahnya."
Aku bisa melihat Keira menganga. Biarkan saja, mungkin dia terpana mendengar penjelasanku yang lebih masuk akal ketimbang apa yang dia pikirkan.
"Dan lagi, lo gak tahu apapun. Kemarin, tuh cewek, keliatan banget membenci gue. Bahkan dia bilang 'meskipun gue berlutut, dia gak akan mau jadi pacar gue'. Jadi, lo mau gue ngapain? Sembah-sembah? Gue masih ada harga diri, Kei. Jadi Stop ikut campur, dan biarin aja memori itu ilang." Ucapku panjang lebar.
Keira masih menganga, meskipun aku sudah selesai mengatakan apa yang ingin ku katakan.
Dan ketika Keira tersadar, hal pertama yang ia lakukan adalah kembali menggeplak kepalaku. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
"Kei, Stop!!! Lo mau gue ilang ingatan lagi??!" Protesku sambil mencoba menghalau tangan Keira yang secara brutal memukuli kepalaku.
"Gue mau balikin ingatan lo, Bego!" Serunya masih berusaha memukul kepalaku yang ku lindungi dengan kedua tanganku.
Setelah merasa aman, dan pukulan Keira tidak lagi terasa, aku mendongakkan kepalaku dan melihat Keira yang menatapku tajam.
Jantungku tiba-tiba berdenyut nyeri menatap mata Keira, ada rasa kecewa yang menyesakkan. Apa ini yang Keira rasakan?
"Lo akan nyesel, kak." Gumamnya. Aku mengira kalau Keira akan menangis, tapi tidak. Ia hanya memasang wajah datarnya. "Lo akan menyesal melepas Alleira." Tegasnya lagi lalu ia berbalik meninggalkan ruanganku.
Apa aku salah? Kenapa Keira harus sekecewa itu?
*
Alleira's POV
"Kamu mau apel, sayang?" Tanya Mommy dengan senyum lembutnya.
Tapi aku tahu, dibalik senyum itu, ada sejuta pertanyaan yang siap meluncur.
"Gak, Mom. Thanks." Tolakku. Lagi pula aku tidak menyukai Apel dan teksturnya yang... tidak perlu ku jelaskan.
Aku bisa mendengar helaan nafas Mommy sebelum bunyi dentingan piring dan sebuah benda metal mengikuti.
"Seengaknya kamu masih inget apa yang gak kamu suka." Ucap Mommy, aku hanya memilih diam. Lebih tepatnya menunggu kelanjutan ucapan Mommy yang aku yakin, tidak hanya akan berhenti disini.
"Tapi kenapa kamu gak inget sama orang yang paling kamu suka, Al?"
Tuh kan! Aku hanya memilih diam karena, jawaban itu tidak tersedia di kepalaku saat ini. Semua hal yang aku coba ingat tentang laki-laki sombong kemarin itu terasa buram.
"Oke, sekarang gini." Mommy kemudian duduk di sisi kasurku dan menatapku, "jawab Mommy secara langsung. Apa yang kamu ingat tentang teman masa kecil kamu? Maksud Mommy, Siapa yang menjadi teman masa kecil kamu sejak dulu?"
"Kak Keira." Jawabku langsung.
"Selain Keira?" Desak Mommy.
Aku mengernyit. Selain kak Keira? "Ya hanya kak Keira, Mom." Jawabku.
Mommy tidak kehabisan akal, "Apa kamu ingat kalau Keira kembar?"
Kembar? Jangan bilang kalau laki-laki sombong kemarin itu kembarannya kak Keira?
"Iya, Kenneth kembarannya Keira."
"Aku barusan ngomong?" Tanyaku terkejut. Atau Mommy yang bisa membaca pikiranku?
"Iya, kenceng banget malah ngomongnya. Dan juga, Laki-laki sombong itu memiliki nama. Namanya Kenneth. Dia tunangan kamu."
"Aku gak inget, Mom." Protesku. Kalau memang dia tunanganku, Aku PASTI tidak akan melupakannya. Kenapa hanya dia yang aku lupakan? Pasti laki-laki itu sangat membuatku trauma dulu. Kalau dilihat dari sifat dingin dan sombongnya, aku bisa yakin kalau aku sangat menderita lahir batin saat menjadi tunangannya.
"Siapa bilang kamu menderita?" Tanya Mommy, aku mengernyit.
"Aku ngomong lagi?" Tanyaku dan Mommy mengangguk membenarkan.
"Oke, sekarang gini. Pejamkan mata kamu, dan dengarkan ucapan Mommy." Pinta Mommy.
Awalnya aku ragu, namun aku menuruti. Kini hanya kegelapan yang aku lihat, dan aku merasa tidak terlalu nyaman. Aku takut gelap, dan aku harap Mommy tidak akan membiarkanku terlalu lama melalui ini semua.
"Tarik nafas yang dalam, lalu hembuskan perlahan." Ucap Mommy yang masih aku turuti. "Apa kamu masih ingat saat kamu umur 5 tahun?" Aku membuka mataku dan terbelalak, "Tutup matanya! Jawabnya pakai ngangguk aja. Jangan buka mata sampai Mommy selesai." Seru Mommy sambil berkacak pinggang.
Bagaimana mungkin aku yang sudah berumur 24 tahun, harus kembali mengingat saat aku berumur 5 tahun? Lalu, apa hubungannya dengan laki-laki itu?
"Gali memori kamu, Al." Ucap Mommy. Tangannya meraih tanganku, "Mom tahu kamu takut, tapi lakukan ini sekali untuk Mommy."
Aku menghela nafas dan memfokuskan diriku untuk mengingat memoriku saat aku berumur 5 tahun.
"Apa kamu ingat kamu pernah diculik?" Tanya Mommy.
Aku sedikit menegang dan menggenggam erat tangan Mommy saat berhasil mengorek ingatan itu.
Aku diculik oleh seorang wanita cantik, yang juga memberiku sekotak coklat dulu. Aku diculik di depan mata Mommy dulu. Wanita itu menyekapku di sebuah rumah terpencil di hutan, dan itu sangat gelap. Mungkin itu alasan aku takut akan gelap sampai sekarang.
"Apa kamu ingat, siapa yang menolong kamu?" Suara Mommy memecahkan keheninganku.
"D-Daddy... dan Om Peter." Jawabku pelan. Aku masih memejamkan mata, memori itu bermain dikepalaku seperti kaset usang.
"Apa... kamu ingat ada satu orang lagi yang paling berjasa menolong kamu saat itu? Seorang bocah berumur 7 tahun yang tidak memperdulikan bahaya dan menolong kamu saat ditodong pisau?"
Aku mengernyit. Mencoba menelisik memoriku lebih dalam.
"Eh, maaf... siapa yang ada di depan pintu?"
Sebuah suara yang terdengar asing masuk kedalam memoriku. Samar, dan seperti kaset usang biasanya, terlongkap-longkap.
Aku mengingat teriakan panik om Peter dan Daddy.
Ya, aku bisa melihat kalau ada satu orang lagi yang bersama menolongku, tapi aku tidak mengingat wajahnya. Orang itu bahkan menendang tulang kering wanita yang menahanku, tidak peduli kalau wanita itu sedang menggengham pisau ditangannya, dan bisa saja melukainya. Ia menggenggam tanganku erat dan menarikku berlari menuju ketempat Daddy berada.
Seketika memoriku kembali menghitam, dan aku membuka mataku. Merasa kehilangan secara bersamaan, dan pening dikepalaku.
"Kamu ingat, sayang?" Suara Mommy terdengar saat aku meremas kepalaku yang mendadak pening.
"Kepala Alle sakit." Jawabku pelan. Bahkan nyaris seperti bisikan.
Aku bisa mendengar helaan nafas Mommy sebelum akhirnya ia membelai kepalaku dan mengecupnya, "Maaf, Mommy terlalu memaksa kamu. Kamu istirahat aja dulu."
Ya, sepertinya aku terlalu memaksa otakku untuk bekerja. Tapi... apa bocah yang menolongku dulu, ada hubungannya dengan laki-laki sombong kemarin? Sepertinya mereka seperti dua orang yang berbeda.
*
Aku memilih keluar kamar disaat Mommy meninggalkanku untuk beristirahat tadi.
Perutku lapar, dan aku mau mencari makanan yang layak. Makanan rumah sakit sama sekali tidak membuatku berselera. Bahkan anggota keluargaku tidak ada sama sekali yang berbaik hati membawa makanan dari luar.
Langkah kakiku berhenti di depan pintu yang letaknya hanya bersebelahan dengan kamarku. Aku ingat kalau kamar ini adalah kamar si laki-laki sombong kemarin karena begitu aku keluar dari ruang dokter dan menuju ke kamar, aku melihat laki-laki itu juga berjalan dengan arah yang sama, dan menghilang dibalik pintu ini.
Apa aku ajak dia untuk makan? Bicara mengenai memori kami yang hilang? Siapa tahu aku bisa mengingat sesuatu? Apa dia betah dengan makanan yang disediakan oleh rumah sakit?
Baru saja aku hendak membuka pintu di depanku, aku berhenti dan memaki diriku sendiri.
Bodoh! Kemarin aku baru mengatakan tidak sudi menjadi pacarnya lagi dan ingin membiarkan ingatan mengenai 'kami' hilang. Kenapa aku seperti menjilat ludahku sendiri?
Akhirnya aku urung membuka pintu itu dan berjalan sendirian ke kantin rumah sakit.
Rasanya memang terasa seperti ada yang hilang. Tapi aku tidak tahu apa. Setiap aku berusaha mengingat mengenai kecelakaan itu, dan juga bocah berwajah buram di ingatanku, aku akan langsung sakit kepala. Seakan kalau ingatan itu adalah area terlarang untuk otakku gali.
Tanpa sadar, kakiku sudah berhenti di konter penjual makanan. Suara pelayan di depan mesin kasirlah yang menyadarkanku.
"Anda ingin memesan sesuatu?" Tanyanya ramah.
Satu hal yang aku lupa. Aku tidak memiliki cash denganku saat ini. Bodoh.
"Satu fish and chips, lalu big Cola. Apa tagihannya bisa di kirim ke kamarku nanti?"
Pelayan itu menatapku aneh, namun masih mencoba tersenyum, "Tidak bisa, Nona." Jawabnya.
Kamu pikir ini hotel? Bahkan hatiku saja mengomel.
"Maaf, kalau begitu saya tidak jadi. Saya tidak membawa uang cash." Ujarku malu. Ini benar-benar memalukan.
"Buatkan pesanan nona ini, biar saya yang bayar." Sebuah suara berat mengintrupsiku. Saat aku berbalik, aku melihat laki-laki itu tersenyum padaku.
"Aku akan menggantinya nanti. Terima kasih." Jawabku singkat, lalu kembali menatap pelayan di hadapanku yang dengan sigap memasukan pesananku ke mesin.
"Tidak perlu." Jawab laki-laki itu santai.
Aku mengira kalau laki-laki itu akan memesan juga, namun sampai pesananku selesai dan aku duduk di salah satu meja yang tersedia, laki-laki itu juga mengikutiku dengan tangan kosong, duduk di hadapanku.
"Anda tidak makan?" Tanyaku formal. Sebenarnya tidak nyaman makan dengan kondisi laki-laki ini menatapku intens seperti itu.
"Aku sudah makan." Jawabnya. Matanya masih menatapku.
"Maaf, saya tahu anda sudah berbaik hati membayar makanan saya, saya juga berjanji akan mengembalikan uangnya. Tapi saya risih dengan tatapan anda." Jujurku sambil menatap kembali matanya yang tajam.
Ia tergelak, "Maaf." Lalu pandangannya beralih ke arah lain. "Tapi anda benar-benar tidak pelu mengembalikan uang itu. Sebagai gantinya, bagaimana kalau anda memberitahu nama anda?"
Aku mengernyit. Kalau bukan berterima kasih karena laki-laki di hadapannya sudah membayar makanan ini, mungkin aku sudah menendangnya ke IGD. Terdengar kasar, tapi itu yang ada di pikiranku.
"Alleira." Jawabku singkat. Aku kembali fokus ke makanan di hadapanku.
"Nama yang cantik. Secantik pemiliknya. Perkenalkan, namaku Sean." Aku nyaris tersedak kentang gorengku begitu mendengar gombalannya.
"Ingat baik-baik namaku, karena nama itu yang kelak akan menjadi suami kamu."
Aku melotot, menatap laki-laki itu ngeri.
Apa dia baru keluar dari rumah sakit jiwa??
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro