Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36. Finally

Alleira's POV

"Yang ini atau yang ini?" Tanyaku sambil mengangkat gaun bertali spagetti dan gaun backless.

"Tidak keduanya." Jawab Kenneth telak.

Alleira mendesis. Ia lalu memasukkan lagi gaun tersebut dan mengangkat pilihan lainnya. Sabrina dan gaun dengan potongan dada yang sedikit rendah. "Kalau ini?"

"Gak." Tegas Kenneth. Wajahnya mulai masam.

Ia sudah rapi dengan kemeja putih dan jas serta dasi di atas kasur ketika Aku menunjukan satu persatu koleksi gaun yang akan kugunakan. Namun tidak satupun yang disetujui olehnya.

Aku menghela nafas, "Terus aku pakai gaun apa, dong?!"

"Gaun kamu gak ada yang normal!" Sungut Kenneth. "Kalau gak belakangnya kebuka, depannya kebuka, atau atasnya kebuka, atau bawahnya kebuka!"

"Ya kan memang gaun begini semua, Ken. Kalau mau atas bawah depan belakang ketutup, kamu karungin aku aja." Sindirku sambil tertawa.

"Ide bagus." Sahutnya. Aku terbelalak.

"Ken! Ayo, kita gak punya banyak waktu. Acara Mr.Shelton akan dimulai sebentar lagi." Rengekku.

Setelah mendengar ketidak hadiranku, Mr.Shelton langsung mengubah lokasi jamuan makannya menjadi di LA, dimana aku maupun Kenneth bisa menghadiri jamuan itu.

Kenneth sudah bisa sedikit demi sedikit berjalan dengan kedua kakinya meski harus kubantu, sedangkan tangannya masih belum leluasa ia gerakkan.

Kalau kata Kenneth, semua berkat Mommy yang menyediakan makanan berkalsium tinggi setiap harinya.

Kenneth cemberut dan akhirnya menunjuk gaun sabrina yang berada di sebelah Kiri kiriku.

Akhirnya. Aku tersenyum dan meletakkan kembali gaun berpotongan dada rendah ke dalam lemari dan berlari kearah kamar mandi untuk berganti baju.

Tidak memerlukan waktu lama, aku kembali dengan gaun sabrina yang melekat pas di tubuhku.

"Kebuka banget, Al!" Protes Kenneth. Suaranya terdengar serak.

Aku mengernyit dan melihat dimana letak 'terbuka' yang dimaksud Kenneth. Model sabrina memang seharusnya mengekspos bahu, kan? Kenapa dibilang terbuka?

"Sini." Perintahnya.

Aku menurut dan menghampirinya yang masih duduk di tepi ranjang. Tangannya yang masih di Gips, menarikku hingga aku terduduk di pangkuannya dan wajahnya langsung menyeruak di antara leher dan bahuku.

Aku terpekik dan meringis begitu merasakan ia menggigit pundak terbukaku.

"K-k-ken!!!"

Kepala Kenneth menjauh dan ia tersenyum puas.

"Sekarang, kamu harus memakai gaun yang bisa menutupi bekas itu." Kenneth menyeringai.

Aku bangkit dari pangkuannya dan mematut diriku di depan cermin, mendapati corak baru yang tercetak di kulitku. Tepatnya di tempat Kenneth menggigitku tadi.

"Kenneth!!!" Geramku, berbalik menghadapnya yang sudah setengah berbaring dengan kaki masih terjulur ke lantai.

"Cepat, Al. Waktu kita tidak banyak." Ia kembali mengulang ucapanku.

Aku menghela nafas pasrah dan akhirnya kembali menyeret kakiku menuju ke lemari. Mendumel sambil menarik gaun yang kiranya bisa menutupi bekas gigitan Kenneth.

*

Kenneth mengerucutkan bibirnya sepanjang perjalanan hingga sampai ke hotel berbintang yang menjadi tempat jamuan makan malam Mr.Shelton.

Aku memang tidak lagi menanyakan pendapat Kenneth mengenai gaun apa yang harus kupakai karena aku mengira, hanya dengan menutup bekas gigitan Kenneth, itu sudah cukup.

Dan hanya gaun ini selain kemeja kerja, kaus, atau baju tidurku yang dapat menutup bekas gigitan itu.

Meski harus kuakui kalau gaun ini sedikit banyak sangat terbuka dibagian belakang. Aku bahkan tidak ingat pernah membeli gaun ini. Mungkin aku yang amnesia yang pernah membelinya dulu? Entahlah.

"Kita batalin aja makan malam hari ini." Itu bukan permintaan, melainkan perintah.

"Kenneth!"

"Alle!"

Kami sama-sama merengek.

Aku yakin dia pasti tidak suka dengan pilihan gaunku. Siapa suruh menggigit bahuku tadi? Alhasil hanya pakaian ini yang bisa ku kenakan.

"Punggung kamu akan diliatin orang!" Rengek Kenneth.

"Ya udah aku minta maaf. Tapi ini juga karena kamu yang gigit bahu aku dan ninggalin bekas jelek. Hanya gaun ini yang aku punya untuk nutupin gigitan kamu sekarang." Aku mencoba memberi pengertian.

"Sir, kita sudah sampai." Ujar Dave yang mengantar kami.

"I know! Tapi kamu gak perlu memakai Dress ini, Al!" Seru Kenneth. "Aku bahkan belum pernah melihatnya lagi sejak menikah." Ringis Kenneth seperti bisikkan.

"Mam, kita sudah sampai." Dave beralih memberitahuku ketika pemberitahuannya diabaikan oleh Kenneth.

"Baik, terima kasih, Dave." Sahutku. Aku kembali menatap Kenneth dan menghela nafas. Kenneth dan rasa posesifnya yang tinggi. Aku menyentuh rahang Kenneth yang mengeras, membelainya pelan, dan mengecup bibirnya. "Jangan marah lagi, ya? Kita bicarain ini dirumah nanti." Pintaku.

Aku mendengar Kenneth menggeram dan menghela nafasnya kasar. "Kamu bisa membunuh aku, Al." Suaranya serak. "Jangan jauh-jauh dari aku!"

Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Aku memberikan hormat kepada Kenneth, "Aye, aye, captain!" Seruku terkikik.

Kenneth akhirnya menyunggingkan senyumnya dan menggeleng.

*

Aku tengah membaca berkas di hadapanku ketika ketukan dari arah pintu membuat fokusku teralih.

"Masuk." Sahutku dan tidak berapa lama pintu terbuka. Disana ada kak Keira yang berdiri dan mengembangkan senyumnya. Ia berjalan mundur seperti sedang menarik sesuatu dan setelahnya aku melihat kereta bayi masuk kedalam ruangan tempat aku sedang duduk.

Aku langsung menutup berkas itu, meninggalkannya dan menghampiri kereta bayi kak Keira.

"Hai tampan-tampan dan si cantiknya Aunty." Aku melongokkan kepalaku kedalam kereta bayi dan melihat ketiga putra putri kak Keira sedang aktif menggerakkan kaki dan tangannya. Bahkan Alceo dan Austin, tertawa melihatku yang menyapa mereka.

"Hai Aunty Alle. Kapan nih kasih kami sepupu?" Kak Keira menyahut dengan suara yang dibuat-buat di belakangku.

Aku tertawa dibuatnya.

Aku berdiri tegap dan memeluk kak Keira. "Kakak tumben kesini?" Tanyaku.

"Keira, Al. Kamu yang udaj jadi kakak ipar aku, masa masih manggil aku dengan panggilan itu?" Tegurnya.

Aku menggeleng. "Aku udah biasa manggil begitu." Jawabku. "Duduk, Kak. Kakak mau minum apa? Biar aku buatin."

"Air putih aja." Jawab kak Keira sambil mendorong kereta bayinya ke sofa dan ia duduk di salah satu sofa. "Kak Kenneth kemana?" Tanya kak Keira.

"Kenneth gak kerja hari ini. Mau cek tulangnya. Aku gak bisa temenin karena ada meeting dengan client hari ini." Jawabku sambil membuatkan minum untuk kak Keira.

"Sudah hampir sebulan, kan? Gipsnya belum dilepas?"

Aku menggeleng, "entahlah. Kata Kenneth, tulangnya masih belum sepenuhnya sembuh."

Meski begitu, Kenneth sudah seminggu ini kembali ke kantor meski untuk tanda tangan dan hal lainnya, masih harus aku yang lakukan.

"Terus, kalian belum..." kak Keira tidak melanjutkan ucapannya.

"Belum apa?" Aku kembali menghampiri kak Keira dengan membawa dua gelas air putih dan beberapa makanan ringan.

"Ehm... tidur bersama maksudku. Kalian belum tidur bersama?"

"Sudah." Jawabku. Memang sejak hari pertama kepulangan Kenneth, dimana dia memintaku tidur bersamanya, aku selalu tidur disampingnya setiap malam.

Mata Keira membesar, "beneran? Serius? Kapan? Gimana? Sakit gak? Kenneth kuat?"

Aku mengernyit, "Sejak Kenneth pulang dari rumah sakit. Kami hanya tidur, dan aku rasa itu sama sekali tidak menyakitkan. Dan, kenapa tidur saja harus memerlukan kekuatan?" Tanyaku bingung.

Kak Keira memiringkan kepalanya, seperti sedang berpikir, "kalian hanya tidur bersama?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

"Tidak melakukan apapun?" Tanyanya lagi.

"Ehm... sesekali kami pelukan." Jawabku ragu. Wajahku memerah.

Wajah kak Keira semakin menunjukan keterkejutannya, "kalian belum bercinta?!" Serunya cukup kencang.

Aku terbelalak dan menatap kesekitar, yang bodohnya aku lupa kalau kami sedang berada di dalam ruang kerjaku. "Kakak!!" Tegurku.

"No, Seriously? Kalian tidur bersama tapi tidak... oh astaga bagaimana idiot itu bisa menahan diri?"

"Siapa yang kakak Maksud?" Tanyaku. Namun detik berikutnya, aku baru mengerti kalau idiot yang dimaksud kak Keira adalah Kenneth. "Oh... dia biasanya mandi air dingin." Jawabku.

Kak Keira menepuk jidatnya dan menggeleng. Bersamaan itu, Auryn, anak bungsu kak Keira menangis.

Kak Keira dengan telaten menggendong Auryn dan menyusui gadis kecil itu sampai kembali diam.

Aku memperhatikan Auryn sambil tersenyum.

"You want one of this?" Tanya kak Keira. Aku mengerjap.

"Kakak mau kasih aku satu?" Tanyaku.

"Of course not, you idiot!" Seru kak Keira, "make one with Kenneth."

"Bagaimana caranya?" Tanyaku.

"Bercinta." Kak Keira mengerlingkan matanya kepadaku.

"Bagaimana caranya bercinta?" Tanyaku lagi.

Kak Keira tergelak, "well... tanya Kenneth. Dia akan menjawab pertanyaanmu."

"Kakak gak tahu jawabannya?"

"Of course i know! I've done it hundred thousand times!" Jawabnya.

Aku nampak berpikir sebentar lalu mengeluarkan ponselku. Menekan angka satu di panggilan tercepatku dan menunggu beberapa saat.

"Kamu nelepon siapa?"

Belum aku menjawab pertanyaan kak Keira, panggilanku sudah dijawab diseberang sana.

"Ken, bagaimana caranya bercinta?" Tanyaku tanpa basa basi.

Kak Keira tersedak meski ia tidak sedang minum. Dan aku bisa mendengar suara berisik dari seberang telepon.

"Auh..." ringis Kenneth.

"Kamu gak apa-apa?"

"Kamu... pertanyaan dari mana itu?" Tanya Kenneth disertai ringisan.

"Kak Keira suruh aku nanya kamu." Jawabku. "Kamu beneran gak kenapa-kenapa?"

"Gak, cuman kopi panas aku jatuh ngebasahin celanaku." Ujarnya meringis. "Keira disana? Kenapa kalian bisa membahas topik ini?"

"Ehm... itu..."

"Kamu beneran mau tahu jawabannya?" Suara Kenneth sudah berubah. Mendengar suaranya, aku jadi lupa caranya menjawab. "Aku akan jawab nanti dirumah. Kamu hati-hati dijalan nanti, ya!"

"Eh?" Aku berseru bingung. Panggilan dimatikan tiba-tiba.

"Apa katanya?" Desak kak Keira.

"Dia akan jawab dirumah." Gumamku.

Ponsel kak Keira bergetar tidak lama kemudian menandakan pesan masuk, dan kak Keira tersenyum membacanya. "Ya... Aku yakin jawaban kak Kenneth akan memuaskan." Ujarnya.

Dan aku makin tidak mengerti.

*
Keira's Text

From : K
What did you say to my wife? Well, i have to thank you for making her curious. Does having a niece or nephew in a near future sounds good? 😉

*

Alleira's POV

Aku pulang sedikit lebih terlambat karena rapat dengan client hari ini berlangsung lebih lama dari perkiraanku.

Setelah mobil yang dikemudikan Dave berhenti di depan mansion mewah yang menjadi rumahku selama hampir satu bulan sejak menikah dan Kenneth kembali dari rumah sakit, aku langsung turun setelah berterima kasih pada Dave.

Dave sengaja diminta Kenneth untuk menjemputku setelah mengantar Kenneth pulang dari rumah sakit. Padahal aku mengendarai mobilku saat berangkat kerja tadi, dan terpaksa aku harus meninggalkan mobilku di parkiran kantor.

Aku masuk kedalam mansion dan sedikit terkejut mencium aroma floral yang tidak biasanya ada didalam rumahku.

"Kamu udah pulang?"

Aku menoleh kesumber suara. Kenneth tersenyum di ambang perbatasan antara Ruang tamu dan ruang keluarga.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Apa kata dokter?"

"Kita bicarain itu nanti. Kamu udah makan?" Tanyanya mengalihkan topik.

"Kamu lapar? Maaf aku telat banget pulangnya. Aku masakin makan malam dul-"

"Gak perlu. Aku udah siapin makan malam buat kamu." Sela Kenneth saat aku sudah hendak mengikat rambutku dan berjalan melewatinya menuju dapur.

Aku mengernyit dan melihat kedua tangan dan kaki Kenneth yang masih di gips. Tapi gips itu nampak baru. Sepertinya baru ditukar tadi karena aku ingat meninggalkan coretan di gips yang berada di tangannya.

"Kamu? Gimana kamu siapinnya?" Tanyaku bingung.

Kenneth tersenyum dan mendelikkan bahunya. "Kamu ganti baju lalu... ah tidak usah. Kita makan langsung saja dulu. Aku sudah lapar." Ujar Kenneth. Ia berjalan tertatih mendorongku menuju ke ruang makan.

Benar saja, aroma floral yang tadi kucium berasal dari buket bunga yang tertata rapi di atas meja, ada lilin dan juga makanan berupa steak yang masih mengepulkan asapnya.

"Kamu yang siapin semua ini?" Tanyaku begitu Kenneth mendudukkanku di salah satu kursi.

"Kamu suka?" Tanyanya sambil nyengir.

"Tangan sama kaki kamu?" Aku beralih melihat gips di tangannya.

"Kita makan dulu. Baru kita omongin lagi nanti." Ajaknya.

Dengan sedikit kesusahan karena tangannya terbebat, Kenneth menyantap makan malamnya sambil mengajakku berbicara mengenai rapat hari ini.

Akupun hanya menjawab apa yang ditanyakan sambil menyantap hidangan yang sudah dipersiapkan Kenneth.

Hingga seluruhnya tandas tidak bersisa, Kenneth lalu menggeser duduknya menghadapku.

"Oke, kita bicarakan mengenai kita." Ujarnya terlihat serius.

"Apa hasil pemeriksaan kamu ada yang aneh? Kamu keliatan aneh banget dari tadi, Ken." Aku menyentuh pipi Kenneth. Khawatir melihat raut seriusnya.

Kenneth mengangguk. "Aneh." Jawabnya menegaskan.

"Aneh kenapa?" Aku menggigit bibir dalamku. Apa gipsnya harus dilepas lebih lama? Apa tulangnya tidak bisa sembuh?

Tidak menjawab pertanyaanku, Kenneth mengarahkan tangannya yang di gips kearahku. "Buka dan kamu lihat sendiri." Pintanya.

"Ken! Nanti aku gak bisa pasangnya lagi." Tolakku.

"Buka aja, Al. Aku gak bisa jelasinnya ke kamu." Pinta Kenneth keras kepala.

"Tapi..."

"Ayolah."

Dengan penuh pertimbangan dan rasa penasaran, aku mengambil kaitan Gips yang mengunci tangan Kenneth, membukanya perlahan hingga terlepas seluruhnya. Aku mengernyit. Tidak ada yang aneh.

"Sekarang yang satunya lagi." Kenneth menurunkan tangannya dan menaikkan tangan sebelahnya.

Aku dengan patuh membuka gipsnya hingga terlepas dan kernyitanku semakin dalam.

"Gak ada yang aneh." Ujarku menatap Kenneth. Ia sudah nyengir lebar. "Apa yang harus aku lihat?"

Masih tidak menjawab pertanyaanku, Kenneth melepas sendiri Gips di kedua kakinya.

Ia menatapku yang masih mengernyit dan mendesah, "Ayolah, Al. Kamu gak selemot itu untuk menangkap kalau gips aku sudah boleh di lepas, kan?"

Aku diam awalnya, namun setelah mencerna ucapan Kenneth, aku tersenyum lebar. "Kamu udah sembuh?!"

Kenneth mengangguk dan tersenyum geli. "Gips aku udah bisa dilepas. Meski aku masih tidak boleh beraktivitas terlalu berat dan masih harus sering-sering kontrol, tapi overall aku sudah sembuh."

Aku terpekik kesenangan dan langsung memeluk Kenneth. "Ini benar-benar berita bagus. Aku harus kasih tahu Mommy dan Daddy!"

"Jangan kasih tahu Daddy Alvero dulu. Besok aja." Pintanya.

"Kenapa?" Aku melepas pelukanku, "Mereka pasti seneng kalau kamu udah boleh lepas Gips."

"Setelah malam ini saja, Al. Daddy pasti tidak akan membiarkan kamu tidur malam ini kalau kamu memberi tahunya sekarang." Mata Kenneth menghindari tatapan mataku sambil bergumam. "Sekarang, Mengenai pertanyaan kamu tadi pagi."

Tubuhku sedikit menegang saat matanya menatap mataku. Tajam, dan entahlah, tidak bisa ku uraikan dengan kata-kata.

"Bagaimana caranya bercinta, hm?" Ulangnya.

Aku bahkan sudah lupa akan pertanyaan itu.

"I'll show you." Wajah Kenneth mendekat hingga bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut.

Hanya kecupan awalnya yang berubah menjadi lebih menuntut ketika lidah Kenneth mulai menyeruak masuk ke dalam bibirku.

Kenneth melepaskan ciumannya ketika aku mendorong dadanya pelan. Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Mataku dan Kenneth masih memaku ketika lantunan lagu yang kuketahui mengalun di seluruh penjuru ruangan ini.

Versace on the Floor mengalun memenuhi keheningan setelah ciuman panas Kenneth.

Kenapa aku bilang panas? Karena setelahnya, aku merasa panas disekujur tubuhku meski pendingin ruangan menyala.

"Our room?" Suaranya serak.

Tanpa menunggu jawabanku, ia menarik tanganku berdiri dari kursiku menuju ke lantai dua, dan kamar kami. Aku masih bisa mendengar lagu yang melantun memasuki Reff itu dengan jelas saat pintu kamar kami sudah ditutup.

Tidak mengeluarkan suara apapun, Kenneth kembali menciumiku dengan rakus seakan bibirku adalah sebuah santapan lezat.

Ciumannya membuatku terdorong hingga ke kasur. Meski begitu, Kenneth enggan menghentikan ciumannya hingga kurasakan bibirku bengkak olehnya.

"I've been waiting for ages, Al. I can't wait any longer." Ucapnya setelah melepas ciumannya. Aku bisa melihat bibirnya juga sedikit bengkak. Setelah ia mengatakan kalimat itu, ia langsung menciumku lagi. Bukan dibibir, melainkan di leherku.

"K-ken! Jangan gigit lag- ah..."

"It's Love Bite, Alleira." Bisiknya ditelingaku. Aku bisa merasakan seringainya di telingaku sebelum ia menggigit kecil disana.

"K-ken..."

"Yes, keep calling me, Al. I like your moaning Voice."

Aku terkejut begitu tangan Kenneth membuka kancing kemejaku. Spontan tanganku menghentikannya.

"Ken!"

Matanya berubah. Tidak seteduh biasanya, dan aku bisa merasakan aura gelap di dalam bola matanya.

Tidak menghiraukanku, ia kembali menciumi bibirku dan leherku. Tangannya kembali bergerak hingga kemejaku terlepas sepenuhnya, meninggalkan dalamanku.

"Jangan lihat!" Seruku terkejut. Aku hendak menarik selimut menutupi tubuhku, namun tangan Kenneth menahanku.

Ia tertawa kecil dan mengecup keningku.

"God, Al. Berhenti melucu dan nikmati saja arusnya." Kenneth tertawa dan mengecup keningku.

"Aku malu, Kenneth!"

"Kita udah nikah, Al. This is what marriage couple always do. Ini proses bercinta, Al."

"Aku malu, Ken. Aku gak pernah begini..."

"Kalau kamu pernah begini sebelum ini, malah aku yang akan kaget. Just trust me, Baby. I won't hurt you. Well, maybe just a little bit. Tapi setelahnya gak akan sakit lagi." Kenneth nampak menimang di atasku.

"Apa maksud kamu?" Tanyaku bingung. Dia akan menyakitiku?

Kenneth terkekeh. "You know, Al. Ah... aku tidak bisa menjelaskannya secara teori." Ringisnya. "Just trust me, Al. Kamu bisa peluk aku, cakar aku, dan teriak namaku sesuka kamu. Oke?"

Aku terdiam. Ragu sebenarnya.

"Now..."

Kenneth merunduk, mencium keningku, bibirku dan turun hingga keleherku dan dadaku yang dengan sangat terpaksa kubiarkan terbuka.

Aku malu bukan kepalang. Apa orang menikah bukan hanya sekedar 'tidur bersama'? Kenapa harus melakukan hal memalukan seperti ini?

Aku memejamkan mataku. Enggan melihat apapun yang sedang Kenneth lakukan terhadap tubuhku.

Ini gila. Bercinta gila.

"Ah..." desahanku lolos begitu aku merasakan rasa dingin dan basah di salah satu puncak payudaraku. Sedangkan yang sebelah lagi serasa diremas-remas.

Aku membuka mataku dan melihat Kenneth sudah menguasaki kedua dadaku. Menyusu seperti bayi dan meremas seperti meremas sebuah kertas. Kemana pakaian dalamku?

"K-ken... geli..." lirihku mencoba menjauhkan kepala Kenneth.

Entah kenapa aku merasakan rasa gatal dan lembab di bagian bawahku. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya dan perasaan ini sangat tidak nyaman. Seakan aku menginginkan sesuatu dan itu cukup menggangguku. Membuatku tidak bisa diam ditempatku.

Kenneth melihat kegelisahanku. Ia menyeringai dan berpindah ke dadaku yang sebelahnya.

"Ke....en udah..." lirihku.

Aku melihat Kenneth melepas kedua dadaku. Nafasku naik turun. Mengira Kenneth akan melepaskanku, namun tidak. Kenneth malah melepas kemejanya hingga ia topless dan kembali menerkam dadaku.

Tangannya turun menyusuri dadaku keperutku hingga ke rok bahanku.

Kenneth gak akan ngebuka, kan? Aku malu! Dibawah sana terasa lembab dan menunjukan bagian bawahku pada orang lain meskipun itu Kenneth tidak pernah terlintas sama sekali di kepalaku.

Rokku terangkat hingga entah kemana hingga kurasakan sesuatu menyentuh lapisan celana dalamku dan aku terpekik.

Kenneth kembali menyeringai. Aku bisa merasakannya di dadaku. Aku bisa mendengar geramannya.

"A-ahhh... Kenneth, stop..." desahku.

Kenapa gips Kenneth dibuka? Nampaknya aku sedikit menyesali kesembuhan suamiku ini.

"Really? You want me to stop?" Tanyanya. Ia mengadah dan tersenyum menggodaku. Aku melihat tangannya menghilang dibalik rok bahanku.

Iya. Aku menggeleng.

Apa-apaan ini?

Ia menyeringai dan bangkit lagi. Kali ini ia ingin melepas kaitan rokku. Aku terbelalak dan meronta. Kemudian aku lari ke ujung ruangan sambil menutupi dada telanjangku.

"Kenneth!!!" Seruku.

"Al!" Ia terkekeh. Oh kenapa denganku?

"Kamu mau tahu apa itu bercinta, kan?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Gak mau tahu lagi." Jawabku. Kapok aku kapok.

"Then, kamu gak mau tahu caranya supaya punya anak-anak kece kayak anaknya Keira?" Tanya Kenneth masih menyeringai. "Kamu mau punya anak, kan?"

Aku mengangguk. Aku memang ingin memiliki anak setelah melihat Kak Keira yang bahagia memiliki triplets.

Kenneth berdiri menghampiriku di ujung ruangan. Ia menyentuh kedua tanganku yang menutupi dadaku, menggenggamnya erat, lalu mengecup bibirku.

"Shall we make one? Or two? Or three?" Ucapnya.

Aku menelan ludahku serat. Suara dan wajah kenneth sangat seksi sekarang.

Ia kembali membawaku kekasur dan membaringkanku lagi di atas sana.

Kali ini, -- atas iming-iming anak, aku tidak terlalu memberontak lagi ketika Kennneth melepas rokku beserta dalamannya.

Tiba-tiba kepalaku berpikir sesuatu, apa kak Keira dan Nicholas juga melakukan ini dulu? Mommy dan Daddy? Mommy Via dan Daddy Peter?

Aku tercekat saat merasakan benda dingin menyentuh kemaluanku ditengah lamunanku.

Dan saat aku menatap kebawah, Kenneth sedang memakan kemaluanku.

"Ah... Ken!!!" Protesku setengah mendesah.

Geli. Ini geli. Apa dengan begini, aku bisa hamil?

Tapi apa lidah Kenneth memiliki sel sperma? Seingatku pembuahan bisa terjadi kalau sel sperma bertemu dengan sel telur. Tapi aku lupa letaknya dimana karena aku tidak tertarik dengan pelajaran itu dulu.

Aku memekik pelan saat merasakan sesuatu yang menusuk kewanitaanku. Sakit dan geli bercampur menjadi satu.

Aku mendengar geraman Kenneth dibawah sana.

"Ken... ken... ken... ah..." suaraku semakin meninggi saat benda itu menusuk kewanitaanku berkali-kali semakin cepat. Dan lagi saat benda itu terasa berlipat ganda di dalam dan menusukku semakin dalam.

Kenneth masih memakan kemaluanku, menimbulkan sensasi geli bercambur nikmat.

Dan rasa itu datang. Aku mau pipis.

"Ken... Berhe...nti. aku mau... buang air..." aku terengah.

Bukannya berhenti, Kenneth malah melahap kewanitaanku semakin giat dan tusukan dibawah sana semakin cepat membuat aku bergerak gelisah.

Tahan, Al. Jangan pipisin muka Kenneth. Telanjang aja udah malu, apa lagi ngompol.

Aku membatin sambil menguatkan imanku menahan rasa mendesak itu.

"Keluarin, Al. Jangan ditahan. Keluarin untuk aku, Al." Pintanya tanpa menjauh dari kewanitaanku.

Aku menggeleng dan memejamkan mataku. "Gak!"

"Keluarin."

"Ehnggg.. gak!"

"Al. Let it go."

Tusukan di bawah sana semakin cepat, dan desakan ingin pipis itu semakin tidak tertahankan.

"GAAAAAK!" Pekikku.

Meski aku berteriak, namun tubuhku menyerah. "Keeeen!"

Benar-benar memalukan.

Yang lebih membuatku terkejut adalah Kenneth yang melahap habis air pipisku.

Kenneth pasti akan membenciku setelah ini. Dia pasti akan marah padaku.

"Ken... maaf..." nafasku tersengal. Tapi sejujurnya, tadi itu lebih nikmat dari buang air biasanya. Perasaan lega dan geli yang menjadi satu.

Wajah Kenneth mendongak dan tersenyum puas. Ia mengangkat tangan kanannya dengan 3 jari yang basah keatas, menjilatnya satu persatu dan aku mengernyit melihatnya.

"Lezat, Al. Kamu makanan terlezat."

"Kamu gak marah aku pipisin?" Tanyaku bingung melihat ekspresinya.

Kenneth bangkit dan hendak menciumku, namun aku tolak. Ia baru saja mencium bagian bawahku dan meminum air pipisku, kan?

Kenneth terkekeh. "It's not pee, Al. Itu orgasme."

Aku masih tidak mengerti.

"Do you feel good?" Tanya Kenneth. Aku mengangguk ragu. Malu mengakuinya kalau aku menikmati sentuhan yang diberikan Kenneth. "Now, we proceed to our main course." Kenneth bangkit dan melepas sabuk tali pinggangnya. Aku terbelalak begitu Kenneth hendak menurunkan celananya.

Aku spontan menutup mataku rapat-rapat.

"Buka matamu, Al." Pintanya. Aku menggeleng.

"Alleira." Panggilnya.

Aku membuka sedikit mataku, mengikuti perintahnya. Dan terbelalak melihat benda yang mengacung tinggi itu di bawah pinggul Kenneth.

Kenneth tertawa melihat reaksiku. Namun aku tidak mendengarnya.

Aku tidak tahu kalau kelamin laki-laki berbentuk menakutkan seperti itu. Seperti tombak bambu yang keras, tebal, dan panjang.

Aku meneguk ludahku lagi.

Jadi benda itu yang selama ini menggembung dibalik celana Kenneth? Apa kalau aku siram air dingin seperti kebiasaan Kenneth mandi air dingin, benda itu bisa mengecil?

Kenneth merangkak naik keatasku. Mataku masih terpaku pada bagian bawahnya.

Begitu Kenneth mencium keningku, barulah aku bisa mengalihkan tatapanku dan wajahku memanas begitu melihat wajah Kenneth.

"It will hurt for awhile, Al. But i promise i'll do it slowly." Ucapnya yang sama sekali tidak kumengerti.

Belum aku bertanya, kemaluanku serasa robek saat ada benda yang hendak menyeruak masuk kedalamnya.

"A-a-ah... Ken!" Aku memukul lengan Kenneth berkali-kali.

"Relax, Al. Cakar aku kalau sakit. Aku gak bida berhenti sekarang." Ujarnya.

"Sakit, Ken." Aku menggerakkan tubuhku naik agar menjauh dari benda apapun yang hendak merobek kemaluanku, namun Kenneth menahan tubuhku. "K-ken..."

"Sedikit lagi, Al." Desisnya. "Auh..."

Airmataku sudah mengalir di sudut mata. Sakit sekali rasanya. Lebih sakit dari suntikan pertamaku.

"Tarik nafas, Al." Ucap Kenneth tiba-tiba.

"Hah? AHHHHH.... KENNETH SAKIT!!!"

"Shh... shh... shh..." Kenneth membelai rambutku, menenangkanku yang meronta dibawahnya. Tanganku menancap dibahu telanjangnya. "Easy, Al. It's over, i promise." Bisiknya menenangkanku.

Rasanya seperti kewanitaanku dirobek paksa dan dipenuhi oleh sesuatu yang besar. Sesak.

"Sakit... kamu ngapain sih, Ken?" Tanyaku sambil meringis.

"I make you mine, Al. Now you completely Mine." Ucap Kenneth sambil tersenyum dan mengecup kedua mataku.

"Itu aku sakit." Gumamku.

"I know. Punyaku juga. Wajar aja, karena kni pertama kali. Setelah hari ini, kamu gak akan kesakitan lagi kok." Ucap Kenneth sambil meringis.

"Masih sakit?" Tanya Kenneth. Aku mengangguk kemudian menggeleng.

"Sedikit. Rasanya itu aku sesak banget sekarang."

Kenneth tersenyum. "Kalau begitu, aku udah boleh bergerak, kan?"

"Bergerak?" Aku mengernyit. "Maksud kamu?"

"Gerakin itu aku." Jawab Kenneth.

"Y-yang di dalam... itu kamu?" Tanyaku horror. Mengingat seberapa tebal, panjang dan besar itunya Kenneth. Kini berada didalam kemaluanku?

Kenneth mengangguk dan tertawa kecil, "memang kamu pikir apaan, Al?" Tanyanya. "Aku udah bilang, kan? Aku akan jawab pertanyaan kamu. Ini bercinta, Al. Dan ini gimana kita akan mempunyai anak seperti Keira."

Aku belum sempat mencerna ucapan Kenneth, ia mulai menggerakkan kejantanannya di dalamku perlahan.

Aku mendesah merasakan nyeri yang perlahan demi perlahan menghilang menggantikan rasa geli bercampur nikmat melebihi ketika tangan Kenneth menusukku tadi.

Kenneth merancau tidak jelas diatasku. Keringatnya berjatuhan membasahi tubuhku yang juga sudah berkeringat.

Matanya terpejam tanpa menghentikan tusukan-tusukannya kedalamku. Hingga rasa ingin pipis yang Kenneth bilang orgasme itu kembali datang dan aku memeluk Kenneth erat.

"I-ini nikmat, Al." Ceracau Kenneth.

"K-ken... aku..."

"Aku juga, Al. Sebentar lagi." Sahutnya seakan bisa membaca pikiranku.

Aku meneriakkan namanya ketika desakkan itu datang.

Belum sembuh dari rasa geli dan nikmatku, Aku merasakan sesuatu yang menyembur di dalam kemaluanku. Banyak sekali jumlahnya. Dan bersamaan dengan itu, Kenneth meneriakkan namaku dan rubuh di atas tubuhku.

Nafas kami tersengal, namun saat mata kami beradu, Kami saling tersenyum.

"Kamu gak pipis kan tadi?" Tanyaku.

Kenneth terkekeh, "again, it's not pee, Al. Cairan itu yang akan membuat kamu mengandung nanti."

"Is that Sperm?" Tanyaku. Dan Kenneth mengangguk.

Kami terdiam sambil memeluk satu sama lain. Kemudian Kenneth bangkit tanpa melepas kejantanannya dari kemaluanku.

"Lagi ya, Al." Pintanya.

Aku baru hendak menjawab ketika Kenneth kembali menggerakkan kejantanannya di dalamku.

Dan kami kembali bercinta semalaman hingga pagi menjelang, sampai aku tidak bisa menggerakkan kaki dan tubuhku akibat kelelahan.

***

Tbc

Hot hot hot.

Maaf ya kalau terlalu vulgar. Aku mikir" tadinya untuk bikin scene ini karena gak semua orang suka.

Ini scene hot terakhir ya. Hehehe peace!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro