Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. Endurance.

Kenneth's POV

Seakan segala macam masalah yang menimpaku selama ini masih belum cukup.

Masalah kembali datang disaat seharusnya aku sudah berbahagia bersama istriku tercinta. Memproduksi keturunan dan merangkul istriku dalam tidurnya.

Jangankan untuk merangkul. Menggerakkan kedua kaki dan tanganku saja rasanya sangat sulit akibat gips yang sudah membebat kedua organ tubuhku itu selama dua minggu ini.

Lupakanlah bagian memproduksi keturunan. Bahkan untuk makan saja aku masih harus disuapi.

Itu belum cukup dikatakan hal buruk? Tunggulah saat kalian selesai mendengar apa yang dokter ini sedang sampaikan di depan aku dan seluruh keluargaku saat ini.

"Pasien sudah bisa kembali ke rumah dalam beberapa hari. Tapi tentu Pasien masih harus menjalani rawat jalan dan disarankan agar membawa seorang perawat bersama anda agar anda lebih mudah untuk melakukan aktifitas." Ujar dokter itu sambil meneliti seluruh wajah keluargaku minus Kelly dan Alexis. "Itu juga kalau kalian tidak keberatan." Tambahnya.

Aku menatap Alleira yang duduk bersandar di sebelahku. Ia setengah merangkulku dan tangannya yang satu lagi berada di depan dadaku.

"Saya rasa kami tidak memerlukan perawat, Dok. Saya bisa membantu Kenneth." Ujar Alleira. Aku akan lebih senang kalau mendengar 'aku adalah istri kenneth' sebagai alasannya.

"Baik kalau begitu."

Iblis dalam hatiku menari, membayangkan Alleira akan sepenuhnya merawatku, menyuapiku, bahkan yang lebih menyenangkan lagi...

"Biar Daddy yang memandikan Kenneth."

Seperti kaca yang dilempar batu, pecah hingga tidak berbentuk. Itulah yang terjadi pada bayanganku.

Daddy Alvero kembali dalam mode Defensenya.

Apa salahnya Alleira memandikanku? Alleira sudah menjadi istriku! Bahkan Daddy Alvero sendiri sudah menghadirinya. Apa dia lupa?

Aku berharap Alleira tidak akan menyetujuinya. Kutolehkan wajahku menatap Alleira, memohon.

Alleira menatapku nampak berpikir, lalu mengangguk.

Dia mengangguk karena menangkap permohonanku, kan?

"Ya sudah kalau Daddy mau membantu aku memandikan Kenneth." Ujar Alleira membuatku terbelalak.

Belum sempat ku memprotes, Dokter tersebut sudah kembali berbicara. "Usahakan agar Gipsnya tidak terkena air. Dan kalau sampai terkena air, sebaiknya gipsnya segera diganti."

"Kapan saya bisa lepas gips, dok?" Tanyaku tidak sabaran.

Seluruh keluargaku tentu tahu kenapa aku sangat ingin melepas gips sialan ini. Maka begitu aku bertanya demikian, seluruh keluargaku menunggu jawaban dari dokter tersebut dengan serius.

Waktu pelepasan gips ini sangat kutunggu-tunggu. Mungkin beberapa hari lagi? Aku masih bisa mencoba untuk bertahan.

"Satu bulan. Itupun kalau keretakkan di tulang anda sudah membaik."

Aku melongo.

Ruanganku yang tadinya sunyi, mendadak riuh oleh tawa. Tawa Daddy, daddy Alvero, Nicholas, dan juga Keira.

Mereka menertawakanku.

"HAHAHAHA SATU BULAN! HAHAHAHA." Daddy Alvero meledak dalam tawa.

"Kasian banget lo, Kak." Keira memegang perutnya sambil tertawa.

Nicholas tidak berkomentar, namun hanya tertawa.

Dan Daddy, "Nasib kamu, Ken. Sudah menikahpun masih tetap harus jadi perjaka." Komentarnya ditengah tawa dan langsung mendapat tatapan horror dari Mommy.

Apa perlu dipublikasikan? Daddy tidak tahu malu. Gerutuku. Kalau bukan karena tidak bisa bergerak, aku pasti akan mengubur wajahku sedalam-dalamnya.

Dokter yang menjelaskan keadaanku tadi juga seakan kehilangan suaranya mendengar komentar keluargaku.

"S-saya rasa hanya itu yang perlu saya sampaikan. Saya permisi. Kalau ada hal lain lagi, anda bisa memanggil suster jaga dengan tombol di samping tempat tidur."

Sepertinya dokter itu lebih memilih menyudahi kunjungannya dari pada harus berubah menjadi dokter jiwa.

Bahkan sampai dokter itu pergi, keempat orang itu masih tertawa seakan belum puas membuatku kehilangan muka.

"Tertawa saja sampai kalian puas." Sungutku sambil mengerucutkan bibir.

"Setidaknya Alle aman untuk sebulan kedepan." Ujar Daddy Alvero. Ia yang tertawa paling kencang saat tahu gipsku tidak akan lepas sampai bulan depan.

Aku hanya meringis dan menatap Alleira yang wajahnya sudah memerah. Gadisku malu sepertinya.

Aku bisa melihat lingkaran hitam yang tersamarkan di bawah kelopak matanya. Gadis ini pasti lelah karena dia harus mengurus kantor, menggantikanku, lalu ke rumah sakit menemaniku sampai malam, dan kembali ke kantor keesokan paginya.

Tapi aku tidak mendengar Alleira mengeluh sama sekali.

Aku berjanji pada diriku sendiri untuk mencintai gadis ini dan lebih membahagiakannya lagi. Menjadikan Alleira wanita terbahagia di muka bumi.

"Jahat banget sih, Ver? Lo emang gak mau punya cucu?" Keluh Mommy.

"Tau kamu, Al. Ketawanya puas banget sih. Bukan kasian sama Kenneth, malah kamu ketawain. Aku kan mau cepetan gendong cucu." Tambah Mommy Rere.

Dari sekian banyak orang yang menginjakku, masih ada yang mau membelaku.

"Kok jadi aku doang yang dimarahin? Kan Keira, Nicholas sama Peter juga ketawa!" Sungut Daddy Alvero tidak menerima.

"Kamu yang ketawanya paling bahagia." Jawab Mommy Rere.

Mommy Rere lalu menggeleng dan menatapku, "Mommy akan bantu jagain kamu selama Alle kerja, Ken. Tenang aja. Mommy akan masak makanan sehat yang bagus untuk tulang supaya kamu gak perlu nunggu satu bulan untuk lepas gips kamu."

Mataku berbinar menatap Mommy Rere yang nampak seperti malaikat disaat aku sedang terpuruk.

"Mommy juga akan masak-"

Aku mendelik menatap Mommyku, "Mommy gak perlu masak." Selaku. Yang ada bukannya sembuh, malah masuk ke rumah sakit lagi.

Pernahkan aku mengatakan kalau Mommy adalah juru masak yang buruk? Untung saja aku menikahi Alle yang menuruni kehebatan Mommy Rere dalam hal memasak. Kalau tidak, mungkin nasibku akan seperti Nicholas yang pernah memakan telur gosong buatan Keira.

Mommy melotot menatapku, "kenapa? Kamu bisa tubuh sampai sebesar ini juga karena masakan Mommy!" Seru Mommy tidak terima.

Aku ingin mengoreksi dengan mengatakan kalau aku sering numpang makan di rumah Mommy Rere, namun urung. Diam adalah pilihan terbijak.

"Sudah, sudah." Sela Alleira menengahi. Ia menatapku sebentar, "Aku gak bisa lama-lama nemenin kamu, Ken. Aku harus ngunjungin proyek sehabis ini."

Mataku mendadak sendu, merasa tidak berguna sekarang. Seharusnya Alleira tidak perlu sesibuk ini meluangkan waktu istirahatnya untuk mengunjungiku di rumah sakit.

"Kamu pergi sama siapa? Dianterin Dave, kan? Jangan nyetir sendiri." Pintaku.

"Aku pergi sama Sean." Jawabnya.

Aku mengerucutkan bibir. Meski sudah menikah, tetap saja aku tidak menyukai kedekatan Sean dengan Alle. Mungkin dengan Alle hamil akan sedikit tidak cemburu.

"Sean kebetulan ada perlu di sekitar sana. Jadi dia menawarkan untuk mengantarku. Dave juga kemarin ijin mengantar istrinya check-up hari ini. Jadi dia tidak bekerja." Alle mencoba menjelaskan padaku.

Apa yang bisa aku lakukan? Makan saja masih harus disuapi, kan? Tidak mungkin aku ngotot mengantar Alle. Mungkin memang ini saatnya untuk mulai belajar percaya dan tidak cemburuan lagi.

Alle sudah menikah denganku dan itu artinya Alle memilihku. Seperti apa yang pernah Alle katakan padaku.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Hati-hati." Pintaku mengalah.

*

Beberapa hari kemudian aku sudah diperbolehkan pulang. Bukan pulang ke Penthouse keluargaku melainkan ke Mansion di kawasan Beverly Hills yang sengaja kubeli untuk aku tempati setelah menikah dengan Alle.

Gips yang masih melekat di tangan dan kakiku membuat aku terlihat seperti orang lumpuh yang hanya menggantungkan hidupnya pada kursi roda dan orang-orang disekitarku.

Untung saja keluargaku baik meskipun ajaib.

Meski meninggalkanku berdua di mansion ini bersama Alle sangat ditakuti oleh Daddy Alvero, tapi seharusnya Daddy Alvero tidak perlu khawatir kalau aku akan menerjang anaknya.

Demi kewarasanku yang tidak bisa menyentuh Alle, solusi pisah kamar tidur sudah terpikirkan olehku sebelum pulang kerumah.

Lihatlah, kurang menyedihkan apa lagi? Aku jadi merasa belum menikah karena kondisiku.

Tok tok tok

Pintu kamar terbuka dan wajah Alle menyembul keluar. "Kenneth belum tidur?" Tanyanya.

"Kamu sendiri belum tidur?" Tanyaku. Andai aku bisa bergerak bebas, kami tidak perlu seperti ABG baru mengenal cinta seperti ini. Aku pasti akan menghampiri Alle dan membawanya keranjang.

"Mau mastiin kamu tidur dulu tadi. Kamu perlu sesuatu?" Tanyanya. Ia berjalan masuk dan mendekat kearah tempat tidurku.

Ia mengenakan baju tidur pink satin dengan lengan dan kaki kepanjangan.

Aku menggeleng. "Aku di gips, tapi aku gak lumpuh. Cuman susah jalan sama susah bergerak." Ujarku membuat Alleira terkekeh. "Sini." Pintaku sambil menunjuk sebelah kasurku dengan dagu.

Alleira mengerti dan naik kekasur di sebelahku.  Ia memeluk pinggangku dan bersandar di dadaku dengan nyaman.

"Besok selama seminggu aku akan kerja dari rumah supaya bisa temenin kamu. Kebetulan memang perusahaan lagi lenggang dan Nicholas serta Daddy-Daddy juga cukup membantu aku." Ujar Alleira, "Jadi kamu tidak perlu khawatir."

"Hm." Aku tidak berkomentar. Aku menghirup wangi shampoo dari rambut bergelombang Alleira yang menjadi favoritku.

"Ehm... Aku gak tahu haru ngomong ini atau tidak sama kamu." Ucapnya sambil mengadah dari dadaku dan menatapku, "Mr.Shelton ingin berterima kasih pada kita serta merayakan kerja sama antar perusahaan dengan mengadakan pesta." Aku menunggu dengan sabar. Tanganku yang kaku, ingin mengusap puncak kepalanya namun terhenti di pinggang Alleira. Jadilah aku hanya mengusap perlahan pinggang Alle. "Bukan disini, tapi di Jepang, bertepatan dengan bunga sakura yang baru mekar. Dan pestanya diadakan akhir bulan ini."

Aku mengernyit.

"Sean... juga ikut dan dia menawarkan diri menemaniku karena saat itu kamu pasti belum pulih sepenuhnya." Mataku terbelalak. Kenapa harus Sean lagi?

Alleira terkekeh dan menepuk dadaku seakan menenangkanku. "Kamu lucu kalau lagi cemburu." Ujarnya usil. "Aku gak terima tawaran itu kok. Kalaupun aku harus pergi, aku akan meminta Nicholas atau Daddy untuk menemaniku."

Nama Nicholas sama sekali tidak membuatku tenang.

Apa bedanya pergi dengan Sean, atau pergi dengan Nicholas? Yang satu pejantan bebas, yang satu lagi pejantan dalam kurungan.

"Aku menolak tawarannya, Kenneth." Seru Alleira begitu melihat wajah tidak sukaku. "Aku akan mengirim perwakilan perusahaan untuk datang kesana meskipun aku tidak merasa enak hati. Tapi aku tidak akan ninggalin kamu di LA sendiri." Putusnya.

"Terus kamu kenapa cerita sama aku?" Tanyaku bingung.

Benar kan? Kalau ujung-ujungnya ditolak, ya untuk apa diceritakan? Kecuali bagian tengahnya yang aku lebih memilih tidak tahu dari pada cemburu akhirnya.

"Aku cuman mau kamu tahu aja. Kita kan udah nikah, dan aku gak mau menyimpan rahasia sekecil apapun sama kamu." Ucapnya terdengar manis.

Uhhh ingin sekali aku menciuminya.

Bagian bawahku sesak.

"Yasudah, kamu istirahat aja. Aku kembali ke kamarku."

"Kamar kamu disini." Elakku. Memang benar, kan? Kamar Alle memang disini, bersamaku.

"Maksud aku, kembali ke kamar sementara aku. Kamu sendirikan yang minta aku tidur di kamar terpisah?" Tanyanya. Alisnya terangkat sebelah dan itu sangat amat menggemaskan.

Aku menggeleng dan berusaha sebisa tangan gipsku lakukan untuk memeluk Alleira, "Aku berubah pikiran. Aku mau tidur sambil pelukin kamu." Ucapku. "Kangen sama kamu."

Alleira terkekeh dan semakin erat memelukku. "Aku juga kangen sama kamu." Ucapnya berbisik.

Dan aku mulai menyesali keputusanku membiarkan Alle tidur di sampingku.

Nafsuku menggantung dan aku tidak bisa melampiaskannya sama sekali.

Alhasil, aku terjaga sampai pagi.

*

"Mommy baca-baca dari internet, katanya susu dan telur itu bagus untuk tulang retak. Jadi kamu har... kamu gak apa-apa, ken?"

Aku mengerjap dan membulatkan mataku. "Hah? I-iya, Kenneth cuman ngantuk. Tadi Mommy Rere ngomong apa?"

"Susu sama telur baik untuk tulang retak. Kamu memangnya gak bisa tidur, Ken?"

Semalaman? Tidak. Ini karena nafsu sialanku yang tidak bisa tertahan pada Alleira.

"Bisa, mom." Bohongku.

Alleira masuk kedalam dapur, tempat aku dan Mommy Rere sedang berbincang. Ia memakai baju dan celana santai hendak mengambil minuman untuk memenuhi gelasnya. Matanya bertemu denganku dan ia tersenyum.

Gak apa-apa deh gak bisa tidur, yang penting bisa ngeliat senyum Alle yang kayak matahari pagi.

"Kamu makan yang banyak, Ken." Ujarnya sambil mencubit pipiku. "Mommy kapan ke butik?"

"Butik lagi gak sibuk, jadi Mommy bisa temenin kalian disini. Mommy Via juga katanya mau datang. Kamu fokus kerja aja, Al."

Alle terdiam sebentar sebelum mengangguk. Setelah gelasnya penuh, ia menghampiriku, "Aku balik kerja lagi, ya." Katanya sambil kembali mencubit pipiku yang lainnya.

"A-a-ah..." ringisku. "Badan kurus, kekuatan sekuat gorila." Gumamku ketika Alle sudah menjauh. Bisa bahaya kalau Alle sampai mendengar ejekanku.

Mommy Rere terkekeh, "Alle gak pernah sesemangat itu. Kamu apain, Ken?"

"Aku kelonin semaleman." Jawabku tanpa berpikir. Setelahnya baru aku sadar kalau jawabanku bisa mengundang kesalahpahaman. "M-maksud Aku, aku-"

"Gak usah malu-malu. Kamu kan udah nikah sama Alle." Potong Mommy Rere, "dikelonin doang tapi? Makanya itu kamu gak bisa tidur?"

Aku tersenyum salah tingkah dan mengangguk.

"Sabar aja. Makanya, minum susu sama makan telornya banyakan. Biar cepet lepas gips." Ejek Mommy Rere membuatku tertawa. Ternyata Mommy Rere diam-diam menghanyutkan juga. Beruntunglah aku memiliki mama mertua yang mendukungku.

"Alle memang susah dan gak peka seperti Daddynya. Jadi kamu sabar aja ngadepin Alle ya?"

Tanpa disuruhpun aku akan dengan sabar menghadapi istri tercintaku itu. Yang tidak bisa kusabari adalah kapan lepasnya gips sialan ini.

Tapi apa dokter itu tidak berlebihan? Satu bulan? Aku sudah bisa menggerakan tangan dan kakiku dengan benar. Dan kalau gips ini lepas, aku pasti akan bisa bergerak leluasa.

Meski aku masih memakai kursi roda, tapi aku yakin kalau kakiku tidak serapuh itu untuk berjalan. Oh ayolah! Aku laki-laki tahan banting, jago bela diri, pemegang sabuk hitam. Masa dihantam mobil saja aku sudah lumpuh?

Tanpa berpikir lebih panjang, aku melihat Mommy Rere yang nampak sibuk di tempatnya yang membelakangiku.

Kalau tidak dicoba, aku tidak akan tahu. Batinku yakin. Dengan keyakinan itu, aku menapakkan kakiku di lantai, turun dari kursi roda.

Tarik nafas, keluarin, tarik nafas, napak! Sikutku membantu tubuhku untuk berdiri menapak lantai.

Nyeri memang, tapi kalau tidak dicoba, tidak akan tahu.

"Ya Tuhan, Kenneth, kamu ngapain?!" Pekik Mommy yang mengagetkanku. Mommy tiba-tiba sudah berada di dapurku.

Mommy Rere juga terkejut mendengar teriakan Mommy, ia berbalik dan melihatku kaget.

"Astaga Kenneth!"

Aku langsung ambruk saat Mommy berlari dan memeluk tubuhku. Aku ambruk bukan karena tidak kuat, menahan berat tubuhku, melainkan karena terjangan tiba-tiba Mommy.

Ambruknya aku malah menimpa Mommy Rere yang tadinya hendak memegangku. Jadilah aku seperti Patty yang berada di antara roti burger.

"Apa yang... Kalian ngapain?!" Tanya Alleira di ambang pintu dapur. "Astaga Mommy!!!!" Pekik Alleira terkejut melihat Mommy Rere tertimpa olehku dan Mommy Via.

Kalau sampai Mommy Rere kenapa-kenapa, bisa tamat aku sama Daddy Alvero.

"Bantu Mommy berdiri, Al." Pinta Mommy di atasku. "Aduh pinggang Mommy Encok."

"Al, tolong." Pintaku mencoba berdiri dengan bantuan kedua tangan yang menumpu, tapi ternyata tanganku masih terasa sakit, berbeda dengan kakiku yang kurasa sudah cukup kuat menahan bobotku.

Alle yang baru membantu Mommy bangkit, sekarang berganti membantuku.

Mommy Rere meringis dan menarik nafas dalam begitu aku bangkit dari atasnya. Aku bernafas lega setidaknya Mommy mertuaku baik-baik saja.

Alle membantu Mommy Rere berdiri setelah mendudukkanku di kursi roda.

"Mommy gak apa-apa?" Tanya Alle khawatir.

"Gak, Mommy gak apa-apa." Jawab Mommy Rere. "Udah biasa ditimpa Daddy." Sambungnya.

Aku mengerti, Mommy jelas mengerti. Namun Alleira tidak.

"Kok Daddy jahat sih nimpa Mommy?!" Protes Alleira. "Kan kasihan Mommy susah nafas jadinya."

Gawat. Ini seperti berbicara dengan anak umur 5 tahun.

Mommy Rere tertawa salah tingkah dan menatapku serta Mommy bergantian.

"A-ada yang mau hot chocolate?" Tawar Mommy Rere, berupaya untuk mengalihkan topik. "Alle mau?" Tanyanya.

Alle mengangguk antusias. Semudah itu Alle lupa akan topik tindih menindih.

"Payah." Gumam mommy di belakangku. "Istri kamu itu... polosnya keterlaluan."

Aku terkekeh. Ya sepertinya malam pertama kami nanti, aku harus ekstra sabar menjelaskannya pada Alle. Mungkin aku perlu berubah menjadi guru biologi. Bukan menjelaskan sebuah teori, melainkan langsung melakukan praktek.

Setelah gipsku lepas tentunya.

***

Tbc

Maap gaje ✌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro