23. Pull and Push
Kenneth's POV
Ada istilah, jangan mengusik macan yang lagi tidur. Kalau sudah ngamuk, runyamlah sudah urusannya.
Seperti yang terjadi pada Mommy sekarang ini. Mommy masih saja menatapku seakan sedang menimang untuk mengkulitiku atau memutilasiku padahal aku sudah menjelaskan mengenai keputusan untuk menikahi Alyssa yang kutahu merupakan sebuah kesalahan.
Alyssa mengatakan kalau Jacob Wallaby, ayahnya, bersedia menanamkan sahamnya untuk membantu Clavinsky Empire dengan syarat aku harus menikahi Alyssa. Alyssa juga mengakui tuduhan Alleira kalau Jacob juga yang memaksa mundur semua pemegang saham yang mendadak menarik diri dari perusahaan.
Aku tahu ini semua hanya strategi bisnis licik Jacob untuk memenuhi keinginan Putri semata wayangnya yang tidak kalah licik itu.
Tapi aku juga sadar, akan sulit menemukan perusahaan yang berani mengambil resiko menanam saham di perusahaan yang hampir bangkrut ini. Dan disaat hatiku goyah dan jiwaku kosong akibat Alleira yang memintaku menjauh darinya, bisikan iblis Alyssa merasukiku.
Aku tidak bisa berpikir jernih tentang pro dan kontra apa yang akan timbul kalau aku menyetujui Alyssa. Dikepalaku saat itu hanyalah menyelamatkan perusahaan. Karena hal itu akan tercatat dalam sejarah perjalanan bisnisku dan aku tidak mau biografiku tercoreng karena aku tidak bisa mempertahankan perusahaan yang sudah Kakekku bangun itu. Namun aku tidak sadar kalau apa yang telah ku lakulan, dengan berubah menjadi boneka hidup Alyssa dan Jacob, aku telah mencoreng biografiku sendiri.
Jacob memiliki syarat agar ia bersedia menanamkan saham di perusahaanku, Alyssa juga memiliki syarat itu. Alyssa entah dari mana tahu akan masalah yang sedang aku dan Alleira hadapi. Ia memintaku untuk menjauhi Alleira, setidaknya meyakinkan dirinya kalau Aku sudah tidak memiliki perhatian apapun pada Alleira. Dan aku dengan bodohnya menuruti keinginan itu karena aku mengira kalau memang itulah mau Alleira, Yaitu untuk aku menjauhinya.
Tapi apa yang gadis itu lakukan belakangan ini sama sekali tidak mencerminkan ucapannya yang memintaku untuk tidak menganggunya lagi. Bahkan sebaliknya, bayangannya selalu mengganggu fokus kerjaku.
Dan juga ucapannya, kalau dia ingin melindungi perusahaan juga melindungiku, aku rasanya ingin tertawa geli. Gadis sepertinya yang terlihat lemah, mau melindungiku? Bukankah seharusnya sebaliknya?
Lagipula, bagaimana caranya melindungi perusahaan? Apa mungkin meminta tolong laki-laki bernama Sean itu? Memikirkannya saja sudah membuatku kesal. Kalau memang itu pertolongan yang dimaksud Alleira, aku akan sependapat dengan Mommy. Lebih baik perusahaan bangkrut daripada melihat Alleira bekerja sama bersama Sean!
Apa yang merasukiku? Setelah berminggu-minggu hidup tanpa jiwa, akhirnya aku merasa seperti hidup kembali setelah Mommy mengusir Alyssa dari Penthouse kemarin. Terlebih melihat kejutan kecil yang lagi-lagi ada di atas meja kerjaku pagi ini. Hal yang membuatku mengulum senyum sejak melihat kejutan ini untuk pertama kalinya kemarin.
Tapi yang paling membuatku kembali merasa 'hidup' adalah melihat reaksi Alleira yang sangat ekspresif saat aku bersikap datar atas kejutan-kejutannya.
"Keruangan saya sekarang." Ucapku melalui mesin interkom.
Kalau perhitunganku benar, dalam detik ke tiga, pintu itu akan diketuk oleh Alleira begitu aku selesai memanggilnya tadi.
Aku sudah memasang wajah datarku, bersiap menunggu kedatangannya, namun hampir 1 menit, Pintu ruanganku tidak juga diketuk olehnya.
Apa dia tidak ada ditempat? Aku mengernyit.
Aku kembali menekan tombol interkom, "Keruangan saya, Se.ka.rang." ucapku lagi. Kembali bersiap dengan wajah datar, namun lagi-lagi Alleira tidak kunjung mengetuk pintu kerjaku.
Apa dia pergi? Aku membatin. Aku kemudian berjalan meninggalkan kursi kebesaranku dan menghampiri pintu. Melihat melalui celah yang bisa melihat keluar dengan jelas, namun akan buram kalau orang luar melihat kedalam.
Aku mengernyit melihat gadis itu bertopang dagu sambil memainkan tablet di atas mejanya. Tidak terlihat sama sekali gerak gerik gadis itu akan meninggalkan mejanya menghampiriku.
Aku mencoba berpikir positif, siapa tahu saja dia baru kembali dari toilet, kan?
Aku kembali ke kursiku dan kembali memanggilnya untuk ke-3 kalinya. Berharap gadis itu akan segera muncul, namun lagi-lagi gadis itu tidak muncul.
Padahal kemarin, gadis itu sudah bersikap manis. Bahkan saat ia menangis karena kue buatannya jatuh, gadis itu sangat manis hingga sanggup menggetarkan hatiku untuk menghiburnya.
Tapi kenapa sekarang gadis itu mendiamiku? Apa dia masih marah lantaran kemarin aku memintanya minta maaf pada Alyssa? Aku tahu kalau Alleira juga menjadi korban, tapi aku malah membela Alyssa. Aku tidak punya pilihan selain menuruti ucapan Alyssa.
Aku segera berjalan dan membuka pintu kerjaku dengan tidak sabaran. Setelah 3 kali memanggil, dan 3 kali diacuhkan, pemimpin yang mana lagi yang akan menghampiri Sekretarisnya sendiri?
"Anda tidak mendengar saya memanggil lewat interkom?" Tanyaku diambang pintu. Kulihat pegawai yang berada di lantai yang sama menoleh kearah kami.
Alleira mendongak dan tersenyum dengan wajah tidak berdosanya. "Kamu manggil aku, ya? Aku kira kamu manggil siapa dari tadi." Jawabnya sambil nyengir.
Entah kenapa aku bukannya merasa marah malah menjadi gemas melihat cengirannya.
Aku berdeham, menetralkan gelenyar yang merasuki dadaku saat melihat cengirannya barusan. "Keruangan saya sekarang."
"Aku sibuk. Kamu mau ngomong apa? Mumpung kamu udah keluar." Aku berhenti berbalik begitu mendengar penolakannya. Karyawan mana yang lebih sibuk dari bosnya? Yang kulihat dari tadi, dia hanya bermain dengan tabletnya.
Melihatku yang menatapnya tajam, ia menghela nafas dan akhirnya berdiri menghampiriku setelah menyimpan tabletnya di dalam tas tangan.
Aku terlebih dahulu menunggunya masuk baru aku menyusulnya kemudian. Hanya untuk memastikan kalau gadis itu memenuhi panggilanku kali ini dan tidak kembali memainkan tabletnya begitu aku masuk.
"Kalau kamu mau protes lagi tentang kotak makan itu, aku gak akan terima protesan apapun." Ucapnya sebelum aku sempat membuka mulut. "Kamu udah buka isinya?" Tanyanya antusias.
Caranya berbicara, rasanya sangat santai dan aku tidak bermaksud membenarkannya yang tidak bicara formal padaku. Aku malah lebih nyaman dengannya yang seperti ini.
"Belum." Jawabku sambil kembali duduk di kursi kebesaranku. Alleira mendekat dan menyentuh kotak makan itu, hendak membukanya namun tidak jadi.
"Kamu yang buka. Aku mau lihat kamu buka ini." Ucapnya sambil tersenyum lebar.
Aku mengernyit menatapnya bergantian dengan kotak makan di hadapanku. Tujuanku menyuruhnya kesini kan ingin mengerjainya dan melihat wajah kesal gadis ini.
"Tidak mau." Tolakku. Palingan isinya sama seperti kemarin. Buah-buahan, sandwich, sayur-sayuran, dan pudding. Meski harus kuakui, ditengah gejolak hilanh nafsu makanku selama beberapa minggu, kemarin adalah pertama kali aku melahap makanan tanpa bersisa. Alleira mungkin tidak tahu karena aku menyimpan kotak makan kotor itu di dalam kamar pribadiku agar tidak ketahuan.
"Buka!" Alleira sedikit merengek. Matanya menyorotkan kesedihan karena penolakanku. Tapi aku memang sengaja ingin menguji gadis ini. Kalau aku melembut, entah sifat apa lagi yang akan gadis ini keluarkan. Bisa saja ia meminta aku menjauhinya lagi seperti kemarin-kemarin.
Aku menghela nafas dan meraih kotak makan di depanku dan mengernyit menatapnya. Aku masih setia dengan wajah datarku ketika aku memutuskan untuk membuka kotak itu dan terdiam.
Beberapa potong kue berwarna kuning pucat dengan topping blueberry kesukaanku memanjakan mataku hingga membuatku nyaris meneteskan air liur.
Aku merasakan ada yang menggamit lenganku dan ketika aku menoleh, Alleira sudah bergelayut di lenganku, sambil tersenyum manis.
"Kue yang kemarin rusak, jadi aku bawain yang baru. Kemarin kamu di marahin Tante Via sampai larut, jadi pasti kamu belum nyentuh kuenya lagi." Ujar Alleira.
Dengan posisinya yang seperti ini, menggamit lenganku, dan tubuhnya menunduk agar bisa menyamakan posisi denganku yang duduk, aku bisa melihat pemandangan buah dadanya dari balik kemeja yang ia kenakan.
Jauh lebih menggiurkan dibanding kue yang berada di tanganku.
*
Alleira's POV
Apa dia tidak menyukainya? Dia lupa kesukaannya? Kenapa dia terdiam?
Kenapa jadi hening begini? Apa yang harus ku katakan? Apa... apa dia tidak suka aku merangkul lengannya?
Sontak aku melepas rangkulanku di lengannya perlahan dan melangkah mundur. Aku bisa melihat pergerakan bahu Kenneth seperti menarik nafas dalam. Sejujurnya aku kecewa. Aku mengira, Kenneth-ku sudah kembali setelah kemarin ia berlaku manis kemarin.
"Terima kasih." Ucapnya serak.
Aku mengangguk kecil. Reaksinya bukan seperti apa yang kuharapkan, tapi setidaknya begini sudah cukup.
Mataku kemudian menatap pigura yang terletak di meja Kenneth dan tersenyum, foto yang kemarin kuganti ternyata tidak diubah sama sekali. Bahkan aku menyadari ada satu tambahan pigura kosong di dekatnya, seakan ia sedang mengkodeku untuk mengisi foto tersebut.
"Lalu, Apa jadwal saya hari ini?" Tanyanya mengalihkanku dari pigura dimejanya.
"Kamu sementara dibebas tugaskan dari tanggung jawab kamu sebagai wakil Presdir di McKenzie Group oleh Om Peter. Om Peter minta kamu untuk fokus melewati krisis Clavinsky Empire dulu. Nanti siang kamu ada rapat dengan kepala divisi dari semua bagian. Selebihnya kamu hanya perlu memantau proyek yang sedang berlangsung." Ucapku yang sudah mengingat jadwal Kenneth diluar kepala.
Kenneth mengangguk dan meletakkan kembali kotak makan berisi kue itu ke atas meja. Aku mengira ia akan memakan kue itu. Harapanku terlalu besar pada Kenneth yang amnesia.
"Kamu bisa tolong sediakan data perusahaan 3 bulan belakangan ini dan membawanya ke rapat? Aku rasa aku memerlukan itu nanti." Ucapnya tanpa menatapku.
Aku memang masih berdiri di samping tempat duduk Kenneth. Dan aku sama sekali tidak berniat kembali ke tempat asalku, yaitu di depan meja Kenneth.
"Ehm... Aku bisa menyediakannya, tapi aku tidak bisa ikut rapat itu nanti."
Ia menoleh dengan cepat. "Kenapa?"
Nicholas meneleponku tadi pagi dan mengatakan kalau kenalan dari Daddynya setuju untuk bertemu untuk membicarakan perihal saham perusahaan. Dan saat Kenneth memanggilku tadi, aku sedang menyiapkan data yang akan kuberikan pada kenalannya itu sebagai bentuk presentasi lisan mengenai kelebihan perusahaan ini.
Aku tidak tahu harus memberitahu Kenneth masalah ini atau tidak. Karena sejujurnya, aku ingin memberi Kenneth kejutan kalau aku berhasil menemukan pemegang saham untuk menyelamatkan perusahaannya ini.
"Aku ada janji." Jawabku ragu.
"Janji?" Ia mengernyit.
"Ehm... aku akan menyiapkan berkas yang kamu minta sekarang." Tatapannya sangat tajam hingga membuatku sedikit takut. Jadi aku memilih untuk kabur sebelum ia marah karena ia berpikir aku mengabaikan tanggung jawabku untuk mendampinginya.
Sebelum aku sempat memutar tubuhku untun pergi, pergelangan tangannya sudah menghentikan langkahku dan menarikku hingga aku kembali berbalik kearahnya.
"Janji apa?" Tanyanya terdengar marah.
Ayolah! Kalau aku bilang, itu tidak akan menjadi kejutan. Dan kalau aku gagal, Kenneth pasti kecewa.
"Hanya janji." Jawabku tanpa berani menatap matanya. Aku harap ia lupa mengenai kebiasaanku yang tidak bisa menatap matanya kalau sedang menyembunyikan sesuatu.
"Dengan Sean?" Tanyanya.
Aku menoleh dan menatapnya tidak mengerti.
"Janjimu dengan Sean?"
Sean. Aku saja sudah tidak lagi mendengar kabarnya setelah aku mengaku mempunyai tunangan. Bagaimana bisa aku memiliki janji dengannya.
Dan lagi, meski amnesia, Sifat cemburu dan posesifnya sama sekali tidak menghilang. Setidaknya aku lega karena pasti jauh di dalam dirinya, masih mengingat aku.
Sedikit menggodanya bukan dosa, kan? Lagipula dia kan tunanganku.
"Iya, aku memiliki janji dengan Sean." Jawabku.
"Perusahaan sedang krisis!" Tegasnya. Membawa perusahaan sebagai alasan? Lihat saja sampai mana batasan Kenneth.
"Aku tahu." Jawabku.
Ia menggeram. "Aku tidak mengijinkan kamu pergi."
"Kenapa?" Tanyaku memancing.
"Kamu sekretarisku! Sudah kewajiban kamu mendampingiku di rapat itu!" Alasannya masih bisa kuterima. Tapi bukan alasan itu yang ingin aku dengar.
"Saya rasa ada atau tidak kehadiranku tidak akan mempengaruhi jalannya rapat itu." Jawabku sedikit menimang. "Lagipula aku sudah janji dan aku harus menepatinya." Aku menyengir dengan lebar.
Aku melihat nafas Kenneth mulai sedikit memburu. Tatapan matanya tajam menusukku, dan wajahnya memerah. Ayolah! Apa sulit mengaku kalau kamu cemburu? Aku tertawa dalam hati. Kennethku akan cemburu kalau aku memiliki janji dengan laki-laki lain.
"Berhenti bermain tarik ulur, Alleira!" Geramnya lagi.
Aku mengerjap, "Tarik ul-hmpffft..."
Kenneth langsung menarikku dengan cepat hingga aku terjatuh di pangkuannya dan ia langsung mencium bibirku sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku menikmati ciuman itu meski ciuman Kenneth sedikit menggebu dari yang kuingat. Aku refleks mengalungkan tanganku di lehernya.
Ciumannya terhenti saat nafas kami sudah terengah. Aku bisa melihat sisa lipstikku yang berantakan di sekitar bibirnya. Cukup menjelaskan seberapa buas ciuman barusan.
"Berhenti bermain tarik ulur, Alleira." Ucapnya serak. Nada bicaranya sangat dalam dan seksi menurutku. "Berhenti menggodaku, lalu meninggalkanku setelahnya."
"Aku tidak menggodamu." Jawabku terengah.
"Yes, you Did, Alleria!" Serunya. Aku tersenyum kecil. "Kamu bersikap seakan kamu perhatian padaku, kue-kuemu, senyummu, perkataanmu. Dan setelah aku larut dan kembali ingin memperbaiki keadaan, kamu mulai menunjukan punggung dinginmu, mendorongku untuk menjauh lagi. Let's Stop with this joke, can we?"
"I'm not joking right now, Ken." Ucapku sambil tersenyum. "But i really need to go."
"No!" Tegasnya kembali menciumku sebelum aku memprotes lagi.
Oh aku bisa merasakan gundukan keras dibawah pahaku. Apa ini yang disebut 'bergairah'?
"I need to." Ucapku begitu Kenneth berhenti menciumku. Ia menggeram dan menatapku tajam. "Kenapa tidak?" Pancingku. Aku masih belum mendapat jawaban yang kumau.
"For God Sake, Alleira! Apa aku harus mengatakan padamu kalau aku cemburu?!" Geramnya.
And that's the answer i wanted to hear. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum bahagiaku. Dengan Kenneth cemburu, itu artinya kalau Kenneth mencintaiku. Iya kan?
Aku kembali mencium Kenneth dan mengeratkan pelukanku di lehernya. Sepertinya tidak sesulit itu untuk mendapatkan Kenneth-ku lagi.
"Aku juga cemburu kamu berdekatan sama Alyssa." Kataku jujur. Apa selama ini aku pernah cemburu? No! Karena aku percaya pada Kenneth kalau ia bisa menjaga hatinya.
Kenneth kembali menciumku singkat dan menempelkan keningnya di keningku, ia tersenyum lebar. "Aku seneng banget denger kalimat kamu barusan. Gak tahu kenapa."
Aku tertawa kecil mendengarnya. Jelas saja, karena aku tidak pernah mengatakan kalau aku cemburu padanya. Dan sepertinya, ini adalah kali pertama aku mengatakan kalau aku cemburu kepadanya.
"Jadi... Kamu gak jadi pergi sama Sean, kan?" Tanyanya. Tangannya yang berada di punggungku, perlahan bergerak masuk kedalam kemeja kerjaku yang sudah ditarik keluar dari celana bahanku hingga tangannya menyentuh kulit punggung telanjangku sekarang.
"S-sebenarnya..."
"EHEM!"
Aku terkejut dan menoleh kearah pintu, dimana aku suara dehaman yang cukup keras barusan.
Aku terbelalak dan segera menarik diriku dari pangkuan Kenneth yang sama sulit karena Kenneth menahan tubuhku, apalagi tangannya tidak mau ku keluarkan dari balik kemejaku. "Kenneth lepas!" Tegurku sambil berbisik. Ia mengerucutkan bibirnya sebagai bentuk protes. Apa benar kalau dia masih amnesia?
Nicholas berdiri di ambang pintu, meski matanya menatap kearah lain, tapi aku yakin kalau ia sudah melihat apa yang kami lakukan tadi.
Aku berdiri dan merapihkan kemejaku di samping Kenneth yang sudah memasang wajah kesal.
"Ada apa?" Tanya Kenneth tidak ramah sama sekali.
"Maaf, Gue gak tahu kalau kalian lagi... ehem... Sibuk." Ucapnya. Ia menatapku dengan mata jahilnya.
Di sampingku, aku merasa kalau tangan Kenneth menyentuh pinggang terluarku dan mendorongku mendekat kearahnya. Saat aku menatap Kenneth, ia tengah menatap Nicholas dengan tatapan tajam.
"Ada perlu apa?" Tanyanya lagi.
"Gue mau menjemput Alleira. Kamu udah siap, Al?"
"I-Iya. Aku mau nyiapin berkas yang diminta Kenneth dulu seben-" aku menoleh pada Kenneth yang tidak melepaskan tangannya di pinggangku hingga aku tidak bisa bergerak.
Kenneth sudah menatapku tajam. Sepertinya dia sadar kalau aku sudah membohonginya.
"Katamu kamu ada janji dengan Sean?" Tanyanya datar.
Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa nyengir.
Nicholas tertawa.
"Kamu ngerjain aku?" Tanyanya meminta penjelasanku.
"A-aku..." aku mengalihkan pandanganku dari matanya.
"Tatap aku, Al!" Serunya membuatku mau tidak mau menatapnya.
Aku tersenyum kecil dan mengangkat tanganku ke pipinya, lalu mencubit kedua pipi Kenneth gemas. "Habisnya kamu lucu kalau lagi cemburu tapi gak mau ngaku." Ujarku.
Cubitanku di pipinya berhasil membuat tangan Kenneth di pinggangku terlepas. Jadi aku mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri sebelum Kenneth kembali mengunciku di dekatnya.
"Aku akan kembali nanti sore. Berkas-berkas yang kamu butuhin akan aku sediakan sekarang." Seruku sambil berlari kecil kearah pintu. Nicholas tertawa kecil melihatnya. "Kamu jangan lupa makan makananmu, dan terima kasih untuk..." aku melirik kearah Nicholas. Seakan tahu kode lirikanku, ia menutup kuping dan berbalik keluar ruangan Kenneth. Aku tertawa kecil sebelum melanjutkan ucapanku, "... Untuk masih cemburu sama aku. Aku jadi tambah semangat sekarang."
Aku tertawa kecil melihatnya tergagap, seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak ada yang keluar. Aku lalu meninggalkan ruangannya.
"Well, sepertinya kami tidak perlu mencemaskan hubungan kalian lagi?" Ucap Nicholas yang sudah bersandar di depan meja kerjaku. Ia menatapku dengan mata jahilnya.
"Shut up, Nic!" Aku tersipu malu. Wajahku memerah mendengar ucapannya. Nicholas lalu menertawaiku dengan puas.
Aku yakin, sebentar lagi, Kak Keira pasti akan mengolok-olokku.
***
Tbc
Maap Partnya Gaje dan ngebosenin 🙏 ideku terkuras habis. ㅠㅠ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro