20. His Decision and Her Heart
Satu jam sebelum Alleira sadar.
Mobil Sport berwarna merah yang dikendarai Kenneth sudah berputar lebih dari 5 kali melewati lobby rumah sakit yang selalu sibuk setiap waktu.
Hingga pada putaran ke-6, dan disaat sekuriti sudah mulai mencurigai gerak-gerik mobil merah tersebut, Kenneth memutuskan untuk melajukan mobilnya masuk kedalam parkiran dan menghentikan lajunya tepat setelah mobil itu sudah berada diposisi sempurna.
Tapi itu tidak membuat Kenneth serta merta untuk mematikan mobilnya dan turun dari kendaraan itu.
Tinggalkan aku. Jangan ganggu hidup aku lagi dan aku akan mencoba untuk percaya sama ucapan kamu kalau kamu bisa melakukan itu.
Ucapan Alleira beberapa minggu lalu kembali terngiang di kepalanya.
Kenneth memang sudah melakukan permintaan gadis itu, menyanggupi syarat itu sebelum masalah kembali menerpanya hingga membuat seluruh fokusnya terbagi.
Membuatnya seperti robot pekerja yang tidak memiliki emosi dan rasa lelah.
Dan begitu Keira mengabarkan kalau Alleira masuk ke rumah sakit akibat pingsan dimalam saat Alyssa datang memberi jalan keluar untuk perusahaannya, ia baru bisa merasakan seluruh emosinya bekerja. Rasa lelah dan pegal ditubuhnya terasa. Dan rasa khawatir membuncah. Semua karena Alleira masuk ke rumah sakit.
Kenneth sudah berubah menjadi monster macam apa beberapa minggu ini? Ia sendiri tidak menyadarinya. Tapi memang selama beberapa minggu ini, prioritas utamanya adalah menyelamatkan perusahaan. Menyelamatkan peninggalan Kakeknya yang dipercayakan kepadanya.
Hingga tanpa Kenneth sadari, kalau ia telah membuat seseorang yang ia pedulikan sedih.
Kenneth meraih jaketnya di kursi belakanh dan memakainya, memakai hoodie menutupi kepalanya karena ia memang tidak ingin dikenali. Dan kalau sampai ada orang yang ia kenal ada di kamar rawat Alleira, Kenneth akan kembali.
Karena Kenneth tahu, Ia adalah penyebab Alleira bisa masuk ke rumah sakit.
Kenneth berjalan sambil menunduk menuju ke meja resepsionis, menyebutkan nama Alleira pelan.
Petugas jaga yang melihat Kenneth, merasa curiga dengan gerak-gerik laki-laki itu. Demi keamanan, Suster tersebut terpaksa meminta Kenneth untuk meninggalkan tanda pengenalnya di meja resepsionis.
Kenneth kemudian berjalan menuju ke Lift yang akan membawanya menuju ke lantai 5, tempat dimana Alleira dirawat. Ia masih menunduk. Rahangnya kaku, ia bahkan lupa bagaimana caranya untuk kembali tersenyum ditengah masalah yang terus menimpanya.
Dan terlebih, solusi yang ia ambil mungkin adalah solusi terbaik untuk perusahaan, tapi bukan untuk dirinya.
Ia berjalan mencari nomor kamar Alleira dan berhenti tepat di depan kamar rawat gadis itu. Tidak ada tanda-tanda kalau ada orang yang sedang menunggui Alleira ketika Kenneth membuka pelan pintu kamar yang berbau obat-obatan itu.
Perlahan Kenneth melangkah masuk, dan ia menatap Alleira yang tertidur dengan pulasnya. Setidaknya melihat wajah damai Alleira yang tidak mencerminkan kesakitan, cukup membuat Kenneth menyunggingkan sedikit senyumannya dan bernafas lega.
Begini sudah cukup. Batin Kenneth yang memang hanya ingin memastikan kalau Alleira baik-baik saja.
Ia baru ingin berbalik, namun hatinya memintanya untuk tinggal lebih lama.
Maka akhirnya Kenneth menghampiri brankar Alleira, berdiri 2 langkah dari tempat Alleira tertidur sekarang, dan menatap gadis itu lembut. Sesuatu yang tidak lagi bisa Kenneth lakukan pada gadis itu.
Tangannya ingin meraih jemari tangan Alleira, namun urung. Alhasil, ia hanya menatapi jemari tangan itu dan beralih ke wajah cantiknya.
"Jaga diri kamu, Alleira." Ucapnya pelan. Bahkan suara mesin di sebelahnya masih lebih keras terdengar.
"Aku rasa, meninggalkan kamu dan tidak lagi mengganggu hidup kamu, bukan lagi sebagai syarat agar kamu percaya sama aku. Tapi karena memang itu yang harus aku lakukan." Sambung Kenneth, bibirnya bergetar. Sejujurnya ia gelisah. Amat gelisah karena ia tidak tahu harus bercerita pada siapa lagi. "Kepercayaan kamu juga tidak ada gunanya lagi, Al."
Kenneth berjalan satu langkah kedepan mendekati kasur rawat Alleira, "Mungkin kalau suatu saat ingatan kita kembali, ingatan itu hanya akan menjadi kenangan manis yang tidak bisa lagi kita ulang atau kita lanjutkan." Ucap Kenneth. Suaranya terasa serak.
Kaki Kenneth melangkah lagi hingga tidak ada jarak yang memisahkan dirinya dengan brankar Alleira. "Aku akan menikah dengan Alyssa demi menyelamatkan perusahaan, Al."
Kenneth menunduk hingga wajahnya hanya berjarak beberapa centi dengan wajah Alleira yang masih terlelap. "Aku hanya merasa perlu memberitahu kamu mengenai ini. Maaf kalau aku jadi terkesan plinplan. Satu detik aku bersikeras ingin mengingat kembali ingatan mengenai kita, dan satu detik kemudian aku berubah menjadi robot dingin dan tidak memiliki hati."
Hanya berdekatan dengan Alleira seperti ini, cukup membuatnya tenang. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama ketika ia menyadari kalau ia sudah mengambil sebuah keputusan mutlak untuk perusahaannya, bukan untuk keegoisannya mengejar bayangan ingatan kebahagiaan yang bahkan ia sendiri tidak ingat.
"Entah kenapa aku merasa kalau aku akan terus membuat kamu terluka, Al. Jadi sebelum itu terjadi, aku mau minta maaf dulu sama kamu." Ucapnya sambil mengecup kening Alleira lama. Sangat lama karena Kenneth tidak rela melepas kenyamanan itu hingga mampu membuat Satu tetes air matanya terjatuh.
"K-ken..." samar, suara Alleira terdengar seperti bisikkan.
Kenneth melepas kecupannya dengan berat hati dan berdiri tegap. Ia menatap Alleira yang nampak gusar di tidurnya.
"Kenne...th..."
Alleira mengigau memanggil namanya.
Kenneth kemudian berbalik. Ia takut Alleira akan sadar dan menggoyahkan keputusannya untuk tidak egois.
Dan sebelum itu terjadi, Kenneth segera berlalu sambil kembali mengenakan Hoodie-nya lagi dan mengambil tanpa pengenal yang ia tinggalkan di meja resepsionis tanpa menatap petugas jaga itu.
*
Alleira's POV
"Jadi... Apa yang kamu butuhkan dari kami?" Tanya Daddy sambil menatap om Peter dan Nicholas yang baru datang karena permintaanku untuk bertemu mereka.
Aku masih dirumah sakit, dan baru diijinkan keluar besok pagi. Tapi aku merasa tidak bisa menunggu terlalu lama untuk menjalankan rencanaku menolong perusahaan. Maka aku meminta Daddy untuk mengadakan meeting keluarga dadakan di kamar rawatku.
Aku melirik ketiga orang di hadapanku bergantian sambil tersenyum. Mereka sudah tahu perihal ingatanku yang kembali dan setuju untuk tidak memberitahu Kenneth mengenai itu. Meski harua kuakui, aku sangat kesepian karena tidak ada Kenneth disampingku. Sempat aku berharap Kenneth akan datang menjengukku, tapi ternyata ia tidak pernah datang sama sekali.
"Alle butuh kenalan Daddy, Om, dan Nicholas yang bersedia menanamkan saham di perusahaan Clavinsky Empire." Ucapku percaya diri.
Mereka saling tatap sebelum menatapku dan mengernyit. Tidak ada dari mereka yang berbicara hingga Nicholas yang terlebih dahulu membuka suara.
"Al, aku rasa kamu pasti ingat bagaimana keadaan perusahaan sekarang, kan?" Tanya Nicholas yang kujawab dengan anggukan kecil.
Om Peter menghela nafas, "Tidak akan ada yang mau mengambil resiko untuk mengalami kerugian dengan menanamkan modal disaat perusahaan sedang berada dalam status seperti ini, Alleira." Om Peter mencoba menjelaskan dengan halus.
Aku menatap Daddy, berharap setidaknya Daddy tidak akan mengecewakanku dengan jawabannya.
"Alleira, Sayang... Om Peter dan Nicholas benar. Akan sulit menemukan penanam modal ditengah krisis ini. Terlebih... dibawah bayangan Wall-O-Be seperti pemegang saham yang mundur lainnya." Ucap Daddy membuatku sedih. "Beda hal dengan perusahaan Daddy, Om Peter, dan Nicholas yang lebih besar dari Wall-O-Be. Ancaman itu tidak akan menggetarkan kami. Tapi-"
"Alle akan bujuk mereka, Dad." Selaku, menatap Daddy dengan penuh harap. "Alle akan melakukan apapun untuk menyelamatkan perusahaan. Menyelamatkan Kenneth."
"Alle..." Daddy menyebutkan namaku lirih.
"Please... Alle gak pernah minta apapun dari Daddy selain menjadi sekretaris Kenneth. Alle selalu menurut semua keinginan Daddy termasuk keinginan Daddy agar Alle tidak menikah dulu dengan Kenneth." Ucapku yang aku tahu cukup menohok Daddy, tapi aku tidak bisa berhenti. Sepertinya sisi Alleira yang Kasar itu masih tersisa di diriku. "Sekali ini, Alle mohon sama kalian." Pintaku lagi sambil menatap ketiga orang di hadapanku bergantian.
Daddy terdiam, om Peter juga. Mereka menatapku sedih.
Merasa tidak memiliki harapan, aku menatap Nicholas.
"Nic?" Panggilku pelan.
Nicholas menghela nafas, lalu senyumnya tersungging kecil, "Keira kan membunuh aku kalau aku menolak untuk bantuin kamu, Al."
Ucapan Nicholas bagai sumber mata air ditengah gurun pasir yang kering. Mataku membulat, senyumku mulai mengembang.
"Benar juga, Via akan mencak-mencak kalau gue gak bantuin. Om akan bantu kamu, Al!"
Aku belarih menatap om Peter dan bulatan mataku semakin melebar. "Benar?" Tanyaku tidak percaya.
"D-daddy juga." Ucap Daddy sambil tersenyum.
Di sampingnya, Om peter mencibir, "Takut gak dapet jatah dari Rere tuh." Daddy langsung menatap tajam om Peter.
Apapun alasannya, aku senang kalau mereka bersedia membantuku. Dan aku harus sekuat tenaga membujuk pemegang saham untuk bersedia bekerja sama dengan Clavinsky Empire. Perusahaan yang tidak akan bergoyang meski dibawah bayangan Wall-o-Be.
"Lo gak ngaca?" Tanya Daddy tajam.
Aku merasa sedikit lega sekarang, jadi aku bisa tertawa mendengar sindiran kedua orang tua yang tidak mengenal usia.
"Selamat mal- Maaf, saya akan menunggu di depan."
Aku menoleh ketika laki-laki itu hendak menutup pintu kamar rawatku, "Sean!" Panggilku menghentikan gerakan menutup pintunya.
Sean tidak jadi menutup pintu, ia melihatku. Ketiga orang di hadapanku juga menatap Sean kemudian menatapku bersamaan.
"Alle mau bicara sama Sean, Dad." Aku menatap Daddy. Tidak meminta persetujuan, hanya ingin memberitahu.
Daddy mengangguk mengerti, "Ya sudah. Daddy keluar dulu mengantar Om Peter dan Nicholas ke parkiran. Setelah itu Daddy jemput Mommy yang sedang menyiapkan makan malam untuk kamu." Ucap Daddy sambil mencium keningku.
Om Peter juga mencium keningku sedangkan Nicholas hanya mengacak rambutku sambil tersenyum dan memintaku agar cepat sembuh.
Lalu tinggallah Sean bersamaku di ruang rawatku ini.
"Merasa lebih baik?" Tanya Sean, aku jawab dengan anggukan dan cengiran lebar.
"Terima kasih, Sean. Kamu sudah bawa aku ke rumah sakit hari itu." Ucapku tulus.
Sean berjalan mendekati kasur rawatku dan ia duduk di kursi yang tersedia. "Sebagai pengganti ucapan terima kasih, bagaimana kalau kamu beritahu aku alasan kenapa malam-malam kamu ada di kantor dan lalu pingsan?" Tanyanya menatapku lembut. Ia tersenyum dan hendak menggenggam tanganku, namun refleks aku menarik tanganku menjauh dari genggamannya.
Ia sempat terkejut, namun ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya dengan senyuman.
"Sean, sebelumnya ada yang harus aku bilang terlebih dahulu." Ucapku. Sebenarnya aku ragu, karena aku sendiri tidak tahu harus mengatakan hal yang mana dulu.
"Apa?" Tanyanya.
Aku memang bodoh dalam hal perasaan dulu. Tapi aku jelas menyadari arti tatapan Sean padaku. Aku yang amnesia dulu mungkin cukup bergantung padanya dan memberi harapan lebih.
"A-aku... aku rasa... aku tidak bisa bekerja untukmu, Sean." Ucapku kembali mengejutkannya.
Senyumnya sedikit pudar, namun dengan cepat ia kembali menyunggingkan senyumnya, "Kenapa?" Tanyanya tenang.
Aku menghela nafas sejenak, lalu memberanikan diri menatapnya, "Aku pernah kecelakaan sebelumnya."
"Aku tahu itu. Aku bertemu denganmu pertama kali setelah kecelakaan itu, kan?" Tanya Sean sambil tertawa kecil.
Aku mengangguk, "Dari kecelakaan itu, aku mengalami amnesia." Sambungku. Sean memilih diam dan menyimak. "Amnesia yang cukup... Unik, karena aku hanya melupakan satu orang dan kenangan-kenangan yang diberikan orang itu." Ucapku perlahan. Mengingat seberapa aku dan Kenneth adu mulut kala orang-orang mengatakan kalau pria itu adalah tunangnku.
"Lalu?" Tanyanya meminta kelanjutan ucapanku.
Aku menatapnya dan tersenyum kecil, "Apa kamu percaya kalau orang yang aku lupakan adalah tunangan aku sendiri?" Tanyaku.
"Tunangan? Jadi... kamu sudah bertunangan?" Tanyanya masih mencoba tersenyum, tapi aku tahu kalau matanya menyiratkan kekecewaan. "Tapi kenapa selama ini dia tidak pernah kelihatan? Dia tidak berusaha membuat kamu kembali ingat?"
"Karena kami mengalami hal yang sama, Sean. Kami sama-sama kehilangan memori mengenai kami. Kami menjadi orang asing yang saling membenci." Aku tersenyum kecil, "Tapi jauh di dalam lubuk hati kami, kami saling merindukan kenyamanan yang biasa kami dapatkan setiap kami bersama."
Aku menatap Sean, laki-laki itu menunduk dan memijat pelipisnya.
"Sekarang aku sudah kembali mengingatnya, Sean." Ia masih tidak mendongak, nampaknya ia juga masih dibuk berpikir. "Aku berterima kasih kepadamu yang sudah menolongku disaat aku kesusahan menghadapi pemegang saham kemarin. Aku juga berterima kasih karena selalu ada disaat aku membutuhkan bantuan. Tapi aku tidak bisa bekerja denganmu. Aku harus tetap bekerja disana, membantu perusahaan melewati krisis." Aku meremas tanganku sendiri. Sean tidak kunjung memberi reaksi dan itu cukup membuatku tegang akan reaksinya nanti. "Aku harus tetap berada di samping tunanganku melewati masa sulit ini."
Mendengar ucapan terakhirku, Sean mendongak.
Aku tersenyum kecil dan mengangguk, seakan tahu isi pemikirannya. "Tunangan Kenneth Alexander McKenzie bukan Alyssa Wallaby, Sean. Tetapi aku."
Tubuh Sean menegang, ia kemudian tertawa. Sebuah tawa yang dipaksakan. "Dia bahkan tidak menghargai usahamu, Al. Bahkan dia tidak membantah saat Alyssa memperkenalkan diri sebagai tunangannya. Dan seperti yang kamu katakan, Kenneth amnesia, Al. Dia sudah melupakanmu." Ia berkata dengan sangat lirih, berusaha menyadarkan keputusanku. Tapi aku tidak goyah.
"Aku percaya sama Kenneth. Kenneth berjanji kalau dia tidak akan berpaling." Aku tersenyum dan menatap jemariku yang saling meremas. "Aku akan memperjuangkan cinta kami mulai sekarang. Kenneth hanya sedang tidak tahu apa yang ia perbuat karena amnesianya. Sama sepertiku dulu." Belaku.
Sean berdiri dan menatap asal ke atap kamar rawatku. Ia tersenyum, namun senyumnya bukan senyum tulus yang biasa ia tunjukan.
"Haha..." tawanya terlalu garing, "Aku bahkan ditolak sebelum menyatakan cintaku." Aku hanya terdiam. "Aku tidak percaya kalau pertemuan pertama dan terakhir kita akan sama-sama berakhir di rumah sakit."
"Sean... aku berharap kamu bisa mengerti kenapa aku tidak bisa bekerja untukmu. Aku harap kamu masih mau menjadi temanku, karena jujur saja aku membutuhkan bantuanmu." Ucapku, sadar kalau permintaanku terlalu egois saat ini, maka aku menambahkannya, "Maaf, aku tidak bermaksud egois dan mengabaikan perasaanmu."
Ia menatapku sebentar. Aku bisa menangkap luka dan kesedihan disana. Ia lalu beralih menatap kearah lain dan bergumam kecil, namun masih bisa kudengar. "Aku butuh waktu untuk berpikir."
Tanpa kata-kata lagi, Sean berbalik dan berlalu meninggalkan ruanganku. Bahkan ketika aku memanggil namanya, ia sama sekali tidak menghentikan langkahnya.
Aku hanya bisa menghela nafas pasrah. Merasa bersalah, tapi tidak menyesal. Karena memang aku harus tetap berada di sisi Kenneth, bukan Sean. Karena hatiku hanya untuk Kenneth, bukan untuk dibagi.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro