Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Trapped!

Semua mata melongo menatap papan hitam putih di atas meja. Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat dengan mata mereka sendiri.

Sedangkan hanya satu orang yang menatap bingung kesemua mata yang tengah melongo saat itu.

"Kalian kenapa sih?" Tanya Kenneth.

"La-lagi, Ken. Coba ulang lagi." Pinta Via masih tidak percaya.

"Mau diulang berapa kali sih? Ini udah ke-3 kalinya. Dan kenapa Keira bawa aku kesini? Ke kantor om Alvero cuman untuk main catur?" Protes Kenneth. Ia mengira kalau Keira akan membawanya menemui Alleira, tetapi tidak.

"Kamu main curang lagi, ya?" Tanya Alvero tidak percaya.

"Ini kenapa pada ngumpul semua disini?" Suara bariton mengejutkan semua manusia di ruangan itu, dan seketika menoleh.

Laki-laki itu berjalan menghampiri Keira dan mencium keningnya lembut. "Kamu kenapa panggil aku kesini? Anak-anak dimana?" Tanya Nicholas, Suami Keira.

"Aku titipin sama Mommy kamu." Jawab Keira yang langsung menarik tangan Nicholas untuk duduk di depan Kenneth. "Sekarang, lawan Nicholas, Kak."

"Ini sebenarnya ada apa sih?" Tanya Kenneth tidak mengerti.

"Kamu yakin suruh aku ngelawan dia? Hasilnya kan udah jelas banget akan ketahuan?" Tanya Nicholas. Alisnya terangkat seraya menatap bingung Istrinya.

"Lawan dulu aja sih, Nic! Bawel banget kamu." Gerutu Keira kesal.

Akhirnya tanpa protes lanjutan, Nicholas dan Kenneth mengatur papan catur di hadapan mereka dan mulai memainkannya dalam diam.

"Anak lo kesambet kayaknya, Pete." Gumam Alvero yang melihat jalannya pertandingan.

"Apa anak gue ketuker dirumah sakit pas kecelakaan kemarin?" Tanya Peter sambil geleng-geleng kepala.

"Kamu kenapa gak jalan-jalan?" Tanya Keira sambil menyiku Nicholas.

"Gimana mau jalan lagi kalau hasilnya bakalan skak-mat." Sambar Kenneth menjawab pertanyaan Keira.

"SUMPAH?" Seru Keira sambil terbelalak. Ia menatap suaminya, dan suaminya hanya mengangguk kecil. "Wah, gak salah lagi, Kembaran gue ketuker pas kecelakaan. Kembaran gue gak sejago ini main caturnya. Bahkan ngalahin Nicholas yang gak pernah dikalahin om Alvero?!"

"Jadi disini yang bego catur jadi si Alvero?" Tanya Via sambil memamerkan cengirannya.

"Tetep Peter lah! Aturannya aja gak tahu." Alvero membela diri.

Via tidak memperdulikan ucapan Alvero barusan. Ia berjalan menghampiri Kenneth dan memeluknya, "Akhirnya sayang, kamu menang juga lawan om Alvero. Akhirnya cita-cita Mommy besanan sama om Alvero kesampean jugaaa... kalau begini, dari dulu aja kamu amnesia, biar bisa ngalahin om Alvero." Kecupan-kecupan diberikan di kening Kenneth sebagai tanda sayang dari sang Mommy.

"Vi, astaga... anak sendiri kamu sumpahin begitu." Peter berdecak sambil geleng-geleng melihat kelakuan Istrinya.

Nicholas melirik kearah Keira yang duduk di sampingnya, "Kenneth menang ngelawan om Alvero?" Tanyanya ingin memastikan.

Keira mengangguk, "tiga kali. Dan ini belum pernah terjadi sepanjang sejarah Kenneth main catur tanpa di dampingin Alle sebagai pengalih perhatian untuk Kenneth main curang." Ujar Keira bangga.

Suara Keira seakan menjadi alarm bangun tidur bagi Kenneth yang langsung menatap Keira, "Kei, rencana apa sih yang lo maksud? Apa hubungan rencana lo sama catur?"

Keira nyengir dan menggeleng. "Gak ada." Jawabnya membuat mata Kenneth terbelalak sedangkan semua pasang mata yang berada diruangan ini menatap Keira bingung. "Lo balik kantor gih, Kak." Usirnya.

"Lo ngajak gue kesini buat beginian doang? Lo yang bilang lo ada rencana untuk ngebantu gue, Monyet!" Kenneth mulai kesal. Waktunya yang berharga terpakai sia-sia hanya untuk catur.

"Lo ngatain gue monyet, sama aja ngatain diri lo sendiri, pinter! Kalau gue monyet, berarti lo kembarannya monyet. Sama-sama monyet." Ujar Keira masih belum berhenti menggoda Kenneth.

Kenneth sendiri sudah kesal. Ia kira keputusannya untuk mengikuti Keira akan membuahkan sedikit hasil. Tapi ternyata tidak. Akhirnya ia berdiri dan pergi meninggalkan ruangan kerja Alvero tanpa berpamitan karena sudah terlampau kesal. Lebih baik ia memikirkan keberadaan Alleira yang tidak masuk kerja lagi setelah kemarin kabur.

Sepeninggalannya Kenneth, Keira tersenyum jahil dan saat memastikan kalau Kenneth sudah jauh dari jangkauan, barulah ia tertawa.

"Keira punya rencana, dan Keira harap semuanya bisa bantu. Berhubung Om Alvero udah kalah catur, Om Alvero dilarang protes atas apapun rencana aku. Sesuai janji om Alvero, Kenneth berhasil ngalahin om Catur, Om Akan merelakan Alleira untuk Kenneth." Ujar jiplakan Silvia Amadea Clavinsky itu sambil tersenyum penuh kemenangan.

Merasa tidak ada yang memprotes dan tidak berhak protes, Keira mulai menyuarakan rencananya sambil berbisik.

*

Kenneth's POV

Aku kembali dari kantor Om Alvero yang menurutku sia-sia. Kembaran bodohku itu menipuku.

Padahal aku sepenuhnya berharap dapat memperbaiki keadaan dengan bantuan Keira. Apapun rencananya.

Sepertinya aku harus mulai belajar untuk tidak terlalu percaya pada perkataan orang-orang selama ingatanku belum kembali.

Seharusnya aku mengikuti kata hatiku saja meski kadang aku bingung, mana yang kata hati, mana yang kata setan.

Aku berhenti di depan pintu Lift setelah menekan tombol di sampingnya.

Saat ini jam makan siang, dan aku sama sekali tidak bernafsu untuk memakan apapun. Stress di kepalaku sepertinya pemicu nafsu makanku yang menghilang.

Begitu pintu lift terbuka, pemandangan pepes manusia terlihat di dalam lift itu. Satu persatu manusia keluar, mengosongkan Lift hingga hanya menyisakan satu orang yang tengah mencoba menarik nafas sebanyak-banyaknya di bagian terdalam Lift.

Sepertinya ia terhimpit dan tidak bisa keluar dari lautan pepes manusia tersebut. Tapi melihatnya, cukup membuatku tersenyum.

Ia menyadari kehadiranku di depan lift, matanya terbelalak.

Aku menunggu ia keluar, tapi sepertinya ia tidak bermaksud untuk keluar, jadi aku melangkah masuk dan menekan lantai teratas, tempat dimana kantorku berada.

Hanya tersisa kami berdua di lift ini. Aku berdiri membelakanginya, tidak ada dari kami yang bersuara, hanya deru nafas kami dan suara degup jantungku saja yang terdengar.

Apa yang gadis ini lakukan di jam makan siang? Kenapa ia baru muncul sekarang? Padahal aku kira gadis ini tidak akan muncul hari ini.

Oh ayolah! Kalau lo mau memperbaiki keadaan, lo harus mulai memecah suasana canggung ini. Gerutu batinku.

Baru aku ingin bersuara, lift tiba-tiba berguncang kencang lalu semua lampu di dalam lift redup. Gelap gulita.

Aku bergerak, menekan tombol panggilan yang sepertinya tidak berfungsi. Untuk apa ada tombol panggilan kalau tidak ada fungsi apapun! Gerutuku lagi.

Lift benar-benar gelap saat ini. Aku bahkan tidak tahu sudah sampai lantai berapa ini.

Gelap... gelap... gelap...

Aku berbalik dan mencoba melihat ditengah kegelapan, gadis yang bersamaku tadi. Aku berjalan kearah tempat terakhir gadis itu sambil meraba. Dalam hati aku berdoa agar tidak salah meraba. Kalau salah ya rejeki.

Aku merasa kakiku menabrak sesuatu, tapi aku tidak meraba apapun. Instingku gadis itu pasti tengah berjongkok di tempatnya.

Maka aku berjongkok, dan berhasil meraba bahunya. Tubuhnya bergetar, dan kepalanya tertunduk. Ia memeluk lututnya.

Aku lalu ikut duduk di dekatnya, menarik tubuh gadis itu mendekat kearahku. Membawanya kepelukanku.

Kegelapan ini cukup membantuku untuk menyembunyikan kegugupanku. Jantungku berdebar 2x lebih kencang dari tadi.

Alleira tidak menolak, ia malah membalas pelukanku dan menyembunyikan wajahnya di dadaku. Semoga saja Alleira tidak mendengar jantungku yang menggebu seperti kesetanan itu.

"Kamu takut gelap." Ucapku tiba-tiba. Bahkan kalimat itu keluar tanpa di saring otakku terlebih dahulu. "Kamu pernah diculik dulu. Apa benar?" Tanyaku yang lagi-lagi entah mendapat perintah dari mana.

Setelah mengatakan itu, bayangan hutan lebat dan tangisan anak kecil masuk ke kepalaku. Teriakan frustasi Daddy, dan teriakan Om Alvero serta bentakkan seorang wanita.

Alleira tidak menjawab, sepertinya memang ketakutannya pada gelap, terlalu membuatnya menjadi lumpuh.

"Tenang aja. Aku disini, aku gak akan meninggalkan kamu." Ucapku sambil mengecup puncak kepalanya.

Rasanya kehangatan ini begitu familiar dan nyaman.

"Katakan sesuatu, Al. Kamu akan membuat aku takut dan berpikiran macam-macam kalau kamu terus menerus diam." Ucapku jujur.

Pemikiran kalau yang kupeluk sebenarnya adalah hantu, entah kenapa bisa masuk ke kepalaku.

Namun pemikiran itu langsung ditepis saat aku mendengar suara Alleira di dadaku.

"Maaf, tapi biarkan saya seperti ini sebentar."

Lama juga gak apa-apa. Batinku menjawab. Aku mengeratkan pelukanku di bahunya. Tubuhnya sudah tidak bergetar lagi, nafasnya juga sudah tidak se-memburu tadi.

"Kenapa kamu gak turun makan siang?" Tanyaku berusaha mengalihkan ketakutan Alleira.

"Saya tidak lapar." Jawabnya irit.

"Kenapa tadi pagi kamu tidak ada dimejamu? Kamu baru sampai?" Tanyaku lagi.

Alleira tidak menjawab, "Al?" Panggilku pelan sambil mencoba melihatnya dalam gelap.

"Saya bekerja dibawah. Tadi saya ingin mengambil berkas di meja saya, tapi saya tidak bisa keluar." Jawabnya datar.

Aku mengernyit. "Kamu bukan mau menghindari aku kan, Al?" Tanyaku ragu. "Kamu sengaja mengambil waktu jam makan siang supaya gak bisa ketemu aku, gitu?"

"Saya rasa itu bukan hak anda untuk bertanya. Yang penting saya sudah menjalankan tugas saya. Saya sudah meng-email seluruh jadwal anda. Anda bisa cek." Ucapnya. Ia melepas pelukannya dan mendorong dadaku agar pelukanku lepas, tapi aku semakin mengeratkan pelukanku padanya. "Sir, anda bisa melepas pelukan anda. Saya sudah tidak apa-apa."

"Kamu bohong." Ucapku. "Kamu takut gelap dan selama lampu lift belum nyala, aku gak akan melepas pelukan aku."

Aku bisa merasakan tubuh menegang Alleira sedikit demi sedikit mengendur. Meski gadis itu tidak lagi balas memelukku, tapi dengan ia membiarkanku memeluknya saja terasa cukup.

"Aku dan Alyssa tidak ada hubungan apapun." Ucapku. Aku selalu merasa perlu menjelaskannya pada Alleira semenjak di pesta waktu itu. Tapi saat Sean mengatakan Alleira adalah kekasihnya, ia tidak jadi.

"Ada atau tidak, itu sama sekali bukan urusan saya." Ucap Alleira dingin.

Alleira masih marah padaku. Atau lebih tepatnya ia kecewa.

"Urusan kamu, Al." Ucapku pelan. "Kamu tunangan aku."

"Menurut keluarga kita. Tapi menurut saya, anda tidak lebih dari atasan saya."

Aku kecewa mendengar kalimat itu keluar dari bibir Alleira.

"Tapi aku percaya sama ucapan mereka." Ucapku pelan. Merasakan rasa nyeri di dadaku yang perlahan terasa bersamaan dengan sikap dingin Alleira. "Malam ini ada acara? Aku ingin mengajak kamu makan malam." Sekalian mencoba mengingat kenangan dulu. Tanyaku.

Alleira terdiam beberapa saat, "Saya rasa yang seharusnya anda ajak makan malam bukanlah saya."

"Malam ini jam 7, aku tunggu kamu di depan pintu Penthouse." Ucapku mengabaikan perkataannya.

"Saya ada janji dengan Sean."

Rahangku mengeras. Tubuhku menegang, bahkan aku merasa pelukanku pada Alleira semakin mengencang.

"Aku tidak ijinin kamu pergi sama dia." Ucapku tegas.

"Saya tidak butuh ijin dari anda. Anda bukan orang tua saya atau siapapun yang memiliki hak untuk mengatur hidup saya." Tegasnya. Tubuh Alleira kembali menegang.

Apa sesulit ini untuk memperbaiki semuanya?

"Aku tunangan kam-"

"Dilihat dari segi manapun, saya tidak terlihay seperti tunangan Anda, Washabi. Saya hanya sekretaris rendahan yang-"

Ku tarik wajahnya dan kubungkam seluruh omongkosong Alleira dengan ciumanku.

Alleira memberontak. Ia berusaha mendorongku menjauh, tapi kekuatannya tidak berarti apa-apa padaku. Aku semakin menciuminya hingga semakin dalam. Berharap gadis itu membalas ciumanku, membuka mulutnya menerima sentuhan lidahku tanpa perlu aku menggigit bibir bawahnya yang bisa melukainya.

Aku merasakan cairan basah yang menyentuh pipiku, dan bibirku. Terasa asin. Alleira menangis? Apa aku terlalu memaksanya? Apa sedalam itu kerusakan dan kekecewaan yang aku berikan?

Tiba-tiba aku merasakan sinar yang menyeruak masuk menerangi gelapnya lift yang menjebak kami.

Perlahan aku melepas ciumanku dari Alleira dan aku bisa melihat mata tajamnya yang mengeluarkan air mata, tepat menusuk mataku dan hatiku. Mengoyak hancur lapisan hatiku hingga tak berbentuk.

"Maafkan kami, Sir." Ucap petugas yang membuka pintu lift itu.

Tapi aku tidak terlalu peduli, karena peduliku hanya pada Alleira saat ini. Ia menangis dan 99% kemungkinan, akulah yang menyebabkan airmata itu terjatuh.

Alleira berdiri, aku juga. Tanganku masih merangkul di bahunya, enggan melepasnya.

Alleira kemudian mendorongku dengan sisa kekuatannya hingga rangkulanku terlepas.

"Al-"

Plakkkk

Aku tercengang begitu tangan Alleira melayang ke pipiku.

Aku bisa mendengar nada terkejut dari petugas dan staff yang berkumpul di sekitar lift.

Tanpa mengatakan satu katapun, Alleira berjalan meninggalkanku.

"Alleira!!" Teriakku hendak mengejar Alleira yang membelah kerumunan manusia. Tangannya terangkat menutupi bibirnya. Namun sepertinya teriakanku tidak cukup membuatnya berhenti dan menatapku.

Aku berhenti di depan petugas yang tadi membuka pintu, menatap kedua orang itu tajam. Aku tahu aku salah melampiaskan kemarahanku pada orang lain, tapi aku tidak tahu harus kemana melampiaskan emosi ini.

"Kalian saya pecat!!!" Seruku sebelum berjalan melewati staff yang langsung membubarkan diri bergitu aku melempar ultimatum keras ke pekerja yang menolongku tadi.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro