ch 2 :: clueless
AIRYS
"Gue nggak expect kalau lo bakal daftar jadi asisten dosen, bahkan sekelas Pak Ryshaka." Pandangan Gige terarah pada Pak Rey yang berada tidak begitu jauh dari tempat kami berdiri. Parkir mobil bagian basement mahasiswa paling pojok yang bersisian dengan tempat parkir mobil dosen.
Ia masih saja membahas perihal obrolan kami di lorong ketika aku mengungkapkan perolehan nilai dan mengikuti perbaikan nilai dengan mendaftar sebagai asisten Pak Rey.
Tadi waktu aku meninggalkan Pak Rey untuk menerima telepon dari Daffa yang mengabari bahwa hari ini ia harus mengejar dosen pembimbingnya yang dinas di kampus lain Gige melihatku yang sempat duduk bersama Pak Rey. Dia bertanya alasanku duduk bersama Pak Rey dan aku menceritakan ketidaksengajaan yang terjadi agar dia tidak salah paham.
"Dari akun lambe turah kampus katanya yang daftar untuk jadi asistennya Pak Rey nggak sedikit. Lo yakin bakalan bisa kepilih?" Gige menerawang ke atas.
Tidak mengejutkan jika berita itu benar adanya. Selain menjadi dosen yang populer karena parasnya, Pak Ryshaka juga terkenal dalam metode pembelajaran yang baik, dia juga termasuk fast respon dalam menanggapi pertanyaan jika itu tentang materi meski di luar jam mengajar. Semester lalu mahasiswa yang dibimbingnya pada saat skripsi sangat terbantu dengan bantuannya yang mudah ditemui kapan saja meski tidak menampik bahwa itu seharusnya menjadi hal wajar.
"Jadi seberapa gede persiapan lo untuk keterima jadi asistennya Pak Ryshaka?" tanya Gige saat kami masuk ke dalam mobilnya, menatapku sebelum menekan tombol starter hingga mobil menyala.
"Haa? Gue malah belum nyiapin apa-apa sama sekali. Tadi waktu dia minta kita scan QR gue cuma scan aja, nggak seratus persen berharap kepilih juga, sih."
"Kebiasaan," tukasnya lalu menoyor kepalaku hingga membentur kaca jendela dan mengaduh.
"Tapi gue masih penasaran, sih, kalau memang banyak yang sudah daftar untuk jadi asisten penelitiannya, kenapa juga Pak Ryshaka kasih kesempatan untuk mahasiswa yang jelas nilainya kurang pas mata kuliah dia sendiri? Apa itu nggak akan ngerepotin nanti kalau sampai salah satu dari kalian yang kepilih?" Gige memundurkan mobil dan keluar dari parkiran gedung fakultas pertanian dan menuju parkiran gedung fakultas teknik.
"Maksudnya ngerepotin?" Keningku berkerut menatapnya.
Gige menggumam tidak jelas sembari menatap ke depan. "Kita berandai aja, sih. Kalau misal lo yang kepilih jadi asistennya Pak Ryshaka, apa enggak akan ngerepotin dia karena punya asisten yang enggak kompeten kayak lo?"
"Sialan. Gini-gini gue pinter! IPK gue semester kemarin 3,67 yaa."
"IPK bisa diubah, kesempatan nyontek bisa dicari, tapi yang beneran murni 3,67 nggak mungkin ada di diri lo."
"Jadi maksud lo nilai gue nggak murni?" Aku menoyor kepala Gige. Bisa-bisanya dia menganggap temannya melakukan kecurangan untuk mendapatkan IPK tinggi.
Namun, bukannya marah, Gige justru terbahak lalu memukul keras kemudinya sebelum menginjak rem saat berada di depan gedung fakultas teknik. Esha yang sejak tadi menunggu langsung masuk ke kursi penumpang di belakang lalu merebahkan diri.
"Kenapa lo?" tanyaku. Aku yang duduk di depan memutar badan menatap Esha yang mengipasi wajah meski AC di mobil Gige sudah mencapai dua puluh dua derajat.
"Biasalah! Esha kalo nggak ngopi emang suka gitu, ya. Paling juga soal tugas lagi." Gige mengingatkan. "By the way, Rys. Kita mau ke mana ini? AEON?"
"Boleh deh," sahutku.
"Lo emang yang paling ngerti gue, Ge," jawab Esha.
"Untung, kan, lo berdua punya temen kayak gue? Ngurusin dua kecambah kayak kalian gue ikhlas banget lo."
Aku dan Esha kompak menoyor kepala Gige yang membuatnya mengaduh kesakitan.
"Oke. Back to topic, jadi kapan lo tes jadi asisten Pak Ryshaka?" tanya Gige yang masih penasaran dengan ceritaku perihal Pak Ryshaka.
"Wait. Gue ketinggalan apa nih?" Esha mencondongkan badannya ke depan dan menatap kami bergantian.
"Tuh temen lo mau jadi asisten dosen dan dosen yang dimaksud adalah Pak Ryshaka Adhinata, the salvation of skripsi." Gige menunjukku dengan dagunya.
Sepertinya perjalanan dari kampus ke mall menjadi lebih lama karena tatapan tidak percaya yang Esha berikan padaku, sama persis dengan pandangan Gige sebelum aku menceritakan kelas tadi.
"Serius?" tanya Esha.
"Buat nyelametin nilai gue, sih. Soalnya UTS kemarin nilai gue di mata kuliah dia jelek banget." Aku kembali memutar badan menghadap ke belakang.
"Terus gimana?"
"Gimana ... gimana?" tanyaku.
"Kalo lo jadi asisten Pak Ryshaka lo bakal sibuk dong? Lo tahu nggak sih penelitiannya meliputi dua pihak luar juga?"
"Pihak luar gimana maksudnya?" tanyaku lagi.
"Soal kerjasama sama CEO perusahaan CoffeTalks sama petani kopi, lo bakal ikut Pak Ryshaka buat survey ke mereka juga?"
Sejujurnya aku benar-benar clueless dengan penelitian yang akan dijalani Pak Rey. Sejak awal dia menawarkan mahasiswa di kelas untuk menjadi asistennya, aku sama sekali tidak tertarik dengan hal seperti itu. Namun, kenapa Esha tahu banyak soal penelitian itu? Apa Pak Rey juga membeberkan serinci itu?
"Pak Rey ngajar di Fakultas Teknik juga, Sha?" tanya Gige saat mobilnya berhenti di lampu merah.
"Ha? Nggaklah. Dia kan dosen pertanian, ngapain ngajar di fakultas teknik?"
"Lo ikut daftar jadi asistennya Pak Ryshaka?" tanya Gige lagi.
"Enggak juga."
"Terus kok lo bisa tahu serinci itu soal penelitian Pak Rey? Bahkan sampai perusahaan mana yang dia bakal ajak kerjasama. Tahu dari mana?" tanya Gige yang menyuarakan kebingunganku juga.
"Ohh itu, pernah lihat Pak Rey ketemu sama CEO CoffeTalks aja, jadi gue nebak." Esha nyengir tidak jelas ke arahku yang masih menatapnya.
"Kirain lo beneran tahu," kataku. "Kalo lo tahu, kali aja yang lain tahu juga nggak sih? Berarti kesempatan gue buat kepilih atau jadi kandidat baik walau nggak kepilih makin kecil dong."
"Emang rules-nya gimana?" tanya Esha lagi.
"Pak Rey bilang sih kalau nggak lolos tes tapi dia bisa lihat kemampuan gue, dia tetap bakal terima perbaikan nilai gue. Jadi yang penting nggak jelek-jelek banget aja hasilnya." Aku kembali menghadap depan dan bersandar pada kursi.
"Kalau gitu yang penting lo tahu dulu visi-misi penelitiannya Pak Rey. Jadi nanti pas tes nggak clueless-clueless amat, sih." Gige menyarankan sebelum memarkirkan mobil di basement AEON mall dan mematikan mesin mobil.
"Ya masalahnya tahu dari mana, Anjir? Nggak mungkin gue search pake aplikasi Gemini, kan?" sungutku saat membuka pintu mobil diikuti Esha dan Gige lalu berjalan melewati walktrough metal detector.
"Itu Esha bisa tahu, kalau lo mau niat tahu mah bisa aja kali, Rys." Gige santai menanggapi. "Iya nggak, Sha?" tukas Gige, Esha hanya manggut-manggut sambil membuang muka.
"Atau nggak lo ikutin aja Pak Rey pas dia ketemuan sama CEO CoffeTalks." Gige mengusulkan. Dia berjalan paling depan dan memutar badan sembari mengacungkan jari telunjuk. "Esha, kan, tahu siapa orangnya! BTW lo tahu dari mana dia CEO CoffeTalks?"
"Pernah ikut seminarnya terus lihat Pak Ryshaka ketemu dia di sana juga."
Aku dan Gige lagi-lagi mengangguk pelan mendengar jawaban Esha. Ternyata, selama ini tanpa sepengetahuanku dan Gige Esha sering ikut seminar pengusaha seperti itu.
"Nih! Sudah gue searching siapa nama CEO CoffeTalks dan dapat akun Instagramnya. Anjirlah aesthetic banget, mas-mas idaman gue nih, masih jomblo nggak ya? Gue follow ahh." Gige menyodorkan handphone-nya padaku dan Esha setelah menekan tombol follow.
Handphone Gige menampilkan foto seorang laki-laki berkacamata half frame dengan kaos putih dengan kemeja putih yang dia kenakan sebagai outer serta celana putih menggenggam cup kopi bermerk CoffeTalks.
"Pak Ryshaka kenal orang begini dari mana, ya? Jangan-jangan aslinya Pak Ryshaka CEO perusahaan gede juga yang lagi gabut jadi dosen." Gige asik bermonolog sendiri hasil dari menonton drama China yang sering lewat di beranda TikTok-nya.
"Ngaco!" Esha menoyor kepala Gige lagi. Sepertinya, love language kami bertiga memang sama-sama physical attack.
Saat sedang bercanda sembari mengobrol, kami melewati satu buah toko parfum. Aku teringat wangi Pak Rey mengajak Gige dan Esha masuk untuk melihat siapa tahu ada sesuatu yang bisa kubeli untuk Daffa.
"Duluan deh, gue ke toilet dulu," kata Esha sembari mengelus perutnya yang rata.
Aku dan Gige sudah tidak heran dengan kelakuannya yang satu itu. Kemanapun kami pergi, Esha akan sibuk mencari toilet dan membiarkan aku dan Gige menunggunya di salah satu toko atau titik agar dia tidak repot mencari kami.
Aku dan Gige masuk setelah seorang pramuniaga menyodorkan kertas wangi berisi contoh parfum yang mereka jual. Aku menanyakan parfum dengan bau kayu manis seperti yang sering digunakan Pak Rey.
Namun, karena clue yang aku berikan kurang signifikan, hingga beberapa botol pun aku masih belum menemukan aroma yang cocok hingga seseorang masuk ke dalam outlet parfum tersebut dengan aroma yang sama seperti Pak Rey.
"Mas, wanginya kayak mas-mas itu," bisikku sembari menunjuk pria di samping Gige.
Gige menoleh ke arahnya dan membuat pria berkemeja oversize warna biru muda menoleh, membalas tatapannya dengan kening mengerut. "Ada yang bisa saya bantu?"
Astaga Gige begooo ... bisa-bisa ketawan saat memperhatikan orang yang tak dikenal.
"Ohh enggak, Mas." Gige menggeleng. "Ehh? Masnya, Arion Pradipta, ya?"
"Kamu kenal saya?" tanyanya.
"Ge!" Aku mencoba menarik Gige menjauh. "Maaf, ya, Mas. Teman saya memang gila."
"Ihh itu sumber respondennya Pak Ryshaka. Coba aja lo tanya dia." Gige mengusulkan.
Yang benar saja! Masa dia menyuruhku terang-terangan bertanya perihal penelitian Pak Rey yang masih dirahasiakan itu pada orang yang tidak aku kenal?
"Kalian mahasiswanya Ryshaka? Mau beli parfum untuk Ryshaka?" tanyanya yang membuat kami menoleh ke arahnya.
"Iya," jawab Gige.
"Enggak," jawabku yang berbarengan dengan suara Gige.
"Udah iyain aja dulu, sih!" bisik Gige dengan nada menuntut.
"Mas, ehh bapak mau bantuin saya nggak?" Gige menampilkan cengiran bodohnya di depan pria itu.
"Bantu apa?" tanya Pak Arion.
"Bantu cariin parfum yang cocok untuk Pak Ryshaka." Gige tetap ngotot bertanya meski aku sudah menghalanginya. "Kayaknya kalian punya selera yang sama."
"Menurut kamu begitu?"
Gige mengangguk.
"For your information, Ryshaka tidak pernah suka dengan sogokan."
"Saya enggak niat nyogok, kok," Gige menyangkal.
"Lalu?"
"Saya ini mahasiswa akhirnya, saya sudah lulus dan mau ucapin terima kasih saja ke Pak Ryshaka."
"Masa?"
"Kok masnya ngeselin, sih?" Gige hilang kesabaran.
Namun, pria itu justru tertawa dan menggelengkan kepala. "Setahu saya mahasiswa tingkat akhir yang dibimbing Ryshaka baru dua dan itu bukan kalian."
"Kok tahu?"
"Ge, udah apa balik aja yuk." Aku mencoba menarik Gige menjauh dari pria itu.
"Karena Ryshaka sendiri yang kenalkan mereka ke saya." Pria itu bergeser dan menunjuk seseorang yang sedang menelpon di luar outlet. Pak Ryshaka berdiri memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana, kepalanya menunduk pelan sebelum menoleh ke arah lain.
"Yakin kalian nggak mau nyogok?"
Pria itu menunduk saat kami berjongkok, bersembunyi di balik etalase agar Pak Ryshaka tidak melihat kami.
"Yakin, Pak," jawab Gige sambil menghunuskan tatapan tajam pada lelaki yang sekarang menggelengkan kepala. "Lo sih, gara-gara mau beli parfum buat Dapuy yang mirip sama Pak Ryshaka kita jadi disangka mau nyogok."
"Kok lo jadi nyalahin gue?" Aku menunjuk diriku sendiri. "Lo yang bohong nggak jelas anjir."
Pria bernama Arion itu tidak menjawab ucapan kami, ia meminta satu botol parfum pada pramuniaga dan memberikannya pada kami. "Ini parfum yang biasa Ryshaka pakai. Tenang saja, saya tidak akan mengadukan kalian. Kalian bisa berdiri."
Aku dan Gige lantas berdiri saat Pak Rey masuk ke dalam toko tersebut dan menatap kami berdua. "Kalian?"
Mampus!
Sekarang bagaimana menjelaskan jika Pak Rey bertanya kenapa aku menggenggam parfum yang biasa dia pakai? Apa dia akan menganggapku terobsesi dengannya?
Nanya dong, kalian kalo baca nama Ryshaka itu pengucapannya gimana?
Seharusnya Ryshaka itu dibaca "Rayshaka" jadi harusnya Airys panggilnya "Pak Ray" bukan "Pak Rey" aku salah nulis, tapi terlalu males buat revisi bab 1 nya kemarin 😭😭
Jadi kuterusin aja panggil Pak Rey
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro