//My Light//
A/N : // means flashback
"Mari kita sambut tamu spesial kita hari ini!!! ERrOR!!"
Penonton berseru dengan riang. Keramaian orang juga makin bertambah dan menciptakan sebuah cahaya yang indah. Seakan saat mendengar nama grup itu, membuat semua orang tertarik. Di balik panggung, grup band yang sudah mereka tunggu - tunggu menyiapkan alat musik mereka.
"Waktunya kita bersinar!" Ujar Hayato yang dibalas anggukan ketiga temannya.
"Mari kita tunjukkan kepada mereka kalau kita lebih bersinar dari kemarin!!" Seru Cerise sambil mengepalkan tangannya ke udara dengan semangat.
Sakata menghembuskan napas panjang dan menggenggam erat stick drum-nya. "Yosh! Hilangkan semua pikiran dan fokus pada pertunjukkan sekarang, kay?" Pertanyaan itu tertuju pada pemimpin mereka. Ketiga sahabatnya menatapnya khawatir.
"Kau buat lagu ini khusus untuknya, bukan? Akan kita pastikan suaramu tertuju padanya." Hibur Cerise sambil mengelus punggung (Name).
(Name) mengangguk mantap. " Saa..! Waktunya ERrOR untuk bernyanyi!" Ketiga sahabatnya tersenyum bangga saat melihat aura semangat yang dikeluarkan (Name).
"GLITCH... ERROR!!"
Mereka berempat muncul di depan panggung dengan alat musik masing - masing. Mereka terlihat sangat bersinar dengan pakaian idol mereka dan permata yang dipasang di tempat tertentu. Cerise di kalungnya, Hayato di telinga sebelah kanan, Yosuke di jari manisnya, sedangkan (Name) di telinga sebelah kiri.
Pertama mereka menolak saat mendengar ajukan manager mereka untuk memakai sebuah perhiasan, tapi karena selalu dibujuk mereka pasrah. Permata itu asli, mereka mendapatkannya dengan bantuan sang suami manager yang memiliki perusahaan perhiasan.
"Aku terasa seperti perempuan." Bisik Yosuke yang dibalas pukulan ringan dari Cerise.
"Satu hari ini saja. Lagipula, kalau kau tidak menyukainya.. jual saja." Tegur Cerise dan bersiap di posisinya.
-
Lagu terakhir.
Lagu yang spesial untuk seseorang yang spesial bagi (Name).
Gadis bersurai karamel itu menggenggam mikrofon dengan erat. Dia menghela napas panjang.
"Sampaikan padanya, pada mereka yang merasakannya." Bisik Hayato kepada (Name).
Rambut karamelnya yang pendek tersibak. Iris biru langitnya berkaca - kaca. Dia menciptakan senyuman simpul dan menutup kedua matanya dengan lembut.
Dia kembali membuka matanya dan menunjukkan iris biru langit yang berisinar.
"Minna-san!! Terima kasih sudah setia masih disini..! Ini lagu buatan seseorang dan... aku ingin membawanya ke acara ini. Lagu ini untuk seseorang dan untuk mereka yang merasakan perasaan ini." Ujar (Name).
"Bagi kalian yang merasa depresi, putus asa atau rasa yang sangat menyedihkan tertancap di hatimu. Aku mohon... KAU TIDAK BOLEH MATI!!!" Seru (Name) dengan suara yang lantang.
Lagu ini juga mencerminkan dirinya yang sudah rapuh dan hampir tenggelam di dalam sebuah kegelapan. Tiba - tiba ada yang menariknya keluar dari tempat itu, harapan hidupnya... belum redup.
Air matanya lolos keluar dan mulai memetik senar gitar listriknya dan juga bernyanyi.
Di tempat lain...
Seorang pemuda bersurai jingga menatap layar ponselnya. Matanya tidak menunjukkan harapan sama sekali, tapi dia tetap menatap layar ponselnya dengan seriua. Hanya cahaya itu yang menyinari kamarnya yang berantakan.
"IKIRO!!" Teriak gadis itu. Air matanya yang murni terus mengalir.
Lagunya berakhir.
Ada beberapa orang tenggelam dalam makna lagu tersebut dan ada juga yang bertepuk tangan sambil menghapus air mata mereka.
Dia meraih surat yang diberikan oleh seseorang dari bawah pintunya.
'I'm here for you'
Itulah isi surat itu dan ada tulisan dibawah kertas ujung kanan, nama pengirimnya.
'(Name)'
~☆~☆~☆~☆~☆~☆~
Setelah hari pementasannya, tidak ada tanda - tanda kalau Leo keluar dari kamarnya.
(Name) menatap kosong ke aspal sambil menggenggam kertas lagu. Dia berencana untuk membuat sebuah lagu, tapi inspirasinya hilang bagaikan debu tertiup angin.
Sampai di depan rumahnya, dia melihat sosok pemuda bersurai abu - abu. Wajahnya terlihat sangat kacau. Telinganya ditutupi oleh earphone yang tersambung ke ipad-nya.
Tatapan mereka bertemu. Dia melepaskan kedua earphone-nya dan berjalan menghampiri (Name).
"Kau (Name), bukan?" Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Leo-kun selalu bercerita tentangmu, kau lumayan dekat dengannya, bukan? Aku tau ini terdengar egois tapi... tolong dengarkan permintaanku." Pemuda tersebut menghela napas panjang.
"Aku mohon, bawa Ou-sama kami balik. Kau pasti menonton tampilan terakhirnya, 'kan? Sudah beberapa bulan dia tidak kembali ke sekolah. Orang - orang disana, musuhnya... Ini merepotkan sekali."
"Ou-sama.. adalah Leo-nii." Kata itu terlintas di pikiran (Name).
"Aku menontonnya." Akhirnya di bicara. Tangannya menggenggam tasnya lebih erat. "Aku menonton kalian, aku menonton Leo-nii. Aku juga menonton... penampilan sang musuh." Lanjutnya. Dia menggigit bibir bagian bawahnya, mencoba menahan air matanya untuk keluar.
Iris biru langit itu terlihat sangat jernih. Siapapun bisa melihat ke dalamnya. Sama dengan iris biru es tersebut, jernih bagaikan kaca. Mereka bisa melihat rasa kesedihan di kedua mata mereka masing - masing.
"Aku juga sudah tahu kalau Leo-nii sudah melakukan yang terbaik pada saa itu. Lagu yang kalian nyanyikan itu adalah lagu baru kalian benar? Lagu terbaik yang kalian punya, benar? Senjata kalian yang lebih tajam dari apapun? Lagunya sangat indah tapi lebih indah orang yang menyanyikannya, apalagi yang buat lagunya." Ungkap (Name).
"Maaf kalau aku mengatakan ini... tapi, semua orang yang mengatai Leo-nii sebuah sampah, adalah sampah sebenarnya! Aku benar - benar marah pada mereka." Suaranya berubah menjadi mengerikan.
Izumi terdiam sebelum menghembuskan nafas. "Orang itu, dia sampai menggigit tangannya sendiri hanya untuk membuat lagu." Mata (Name) membelak, seakan tidak percaya akan ucapan pemuda tersebut.
"Terima kasih atas infonya... Izumi-san. I owe you."
~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~
(Name) keluar dari kamar mandi setelah beberapa jam menangis. Dia meraih ponselnya yang ada diatas meja belajaranya dan menekan nomornya Cerise.
"Moshi moshi~ ada apa (Name)-chan?"
"Cera-chan." Sudah lama Etsuka tidak mendengar (Name) memanggil nama pertamanya dengan benar. Tapi nada suara gadis itu terdengar... menyakitkan.
"Nani?"
"...Boku wa totemo kanashii."
"Doushite?"
"Kare."
Isakannya mulai terdengar. Tangannya bergetar saat menggenggam ponselnya. Tangannya yang lain memeluk kakinya.
"Jadi.. aku harus bagaimana? Apa aku harus menghiburnya.. atau ikut menangis dengannya?" Di tengah kalimatnya, (Name) terisak.
"Dia belum keluar?"
(Name) menggeleng kecil. Tapi dia tahu kalau Etsuka tidak bisa melihatnya.
"Kalau kau meminta nasihat, jangan padaku."
"Nanda ?!"
Etsuka menghela napas panjang.
"Kau selalu bilang padaku kalau semua hal keputusan ada di dalam tanganku. Aku yang akan menentukan apa yang terbaik untukku. Sama denganmu, kau punya hak yang sama sepertiku. Kau yang menentukannya. Apa kau akan selalu ada disisinya atau menyerah seperti 'manusia sampah' yang kau benci itu?"
Perkataan Etsuka cukup menusuk hatinya. Mereka berdua diam beberapa detik. Etsuka berdeham untu memecah keheningan.
"Kalau aku jadi dirimu... aku sudah memeluk orang itu dan selalu berada disisinya."
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
(Name) PoV
Seorang guru menerangi pelajaran di depan kelas. Semuanya fokus ke penjelasannya, kecuali aku yang beduduk di paling belakang sambil menulis sebuah lirik lagu di buku 'legendaris' ku. Perkataannya Cerise kemarin malam selalu tergiang di kepalaku, aku jadi ingat percakapan anggota Knights saat 'Checkmate'. Aku dapat mendengarnya sangat jelas, mengingat adegannya saja membuat dadaku sesak apalagi mengingat percakapan mereka.
Bel pulang sekolah berbunyi, guru keluar dari kelas dan murid - murid sibuk membereskan barang - barangnya. Aku menolak ajakan Suzu untuk pulang bersamanya. Aku memerlukan ruangan sendiri
Aku berjalan lesu seperti orang yang tidak punya harapan untuk hidup. Aku bisa merasakan kalau mataku memerah untuk menahan tangisan. Lagi - lagi aku teringat kejadian kekalahan Knighst, rasanya aku tenggelam di dalam lautan yang dingin. Aku tidak bisa bernapas, mereka terus menarikku sampai ke dasar lautan. Mataku sudah ditutupi sepenuhnya oleh kegelapan. Cahayaku tidak ada untuk menerangi jalanku, entah kenapa mereka hilang. Tapi... salah satu dari mereka mulai kehilangan cahayanya seperti kunang - kunang yang akan mati.
Mikeji-kun adalah sumber informasiku. Dia adalah teman yang bisa diandalkan kalau aku perlu info tentang Leo-nii... Cerise benar. Aku terlalu posesif. Aku sampai meminta foto siapa yang sudah mencelakai Leo-nii, sebelum aku mencelakai mereka.. Mikeji-kun sudah menasihatiku. Aku tidak boleh emosian. Tapi tetap saja aku tidak bisa menahan amarahku pada mereka.
Leo-nii.... aku selalu ingin sepertinya. Mencintai orang - orang yang membencinya. Selalu merelai sebuah pertengkaran sambil tersenyum. Dia panutanku. Aku senang sudah jatuh cinta dengannya.
Ruka-chan juga sama seperti Leo-nii. Walaupun dia adalah gadis yang pemalu, dia menjadi penengah yang hebat.
Kedua saudara Tsukinaga itu sangat hebat.
Disaat tangannya patah, dia terlihat sangat bahagia dan aku gak tahu mengapa.
Tanpa aku sadari, aku sudah sampai di depan rumahnya. Aku memberanikan diri untuk menekan tombol bel. Selagi menunggu seseorang untuk membukanya, badanku sudah gemetaran karena rasa cemas dan jantungku sudah berdetak dengam cepat. Aku tidak boleh pergi, aku harus menetapkan prinsipku. Karena ini... adalah pilihan hidupku.
Seorang gadis kecil membukakan pintu. Wajahnya berseri saat melihat diriku, tiba - tiba raut wajahnya berubah menjadi murung.
"Onii-chan..." lirihnya.
"Aku tahu. Boleh aku masuk?" Ruka mengangguk kecil dan mepersilakan diriku untuk masuk. "Aku ingin menemuinya... bolehkah?" Gadis itu kembali mengangguk dan menuntunku ke kamar Leo-nii.
Aku berjalan ke pintu kamar pemuda tersebut. Aku tak tahu kalau pintu ini terkunci atau bukan. Aku selalu duduk di depan pintu dan bercerita kepadanya, aku tidak peduli kalau dia tidak mendengarnya sama sekali... aku hanya perlu teman untuk bercerita, menjadi tempatku untuk mengadu.
Aku menahan napasku dan membukakan pintunya.
Aku melihat keadaan kamar yang tidak terurus. Kertas dimana - mana, ada coretan di dinding. Mataku melebar saat melihat siapa sosok di tempat tidur. Dia memakai baju yang lusuh, rambutnya digerai dan sangat berantakan, badannya di tutupi dengan selimut, ada bekas gigitan di tangannya.
"Kau.... siapa?"
Suara yang sangat familiar di telingaku. Dia menatapku dengan mata yang kosong, tidak ada cahaya di dalamnya. Air mataku sudah membendung, aku langsung memeluk pemuda tersebut untuk meredakan semua rasa rinduku.
Leo PoV
Gadis yang ada di depanku langsung memelukku dengan erat. Aku bisa mendengar dia terisak di dadaku. Sudah lama aku tidak merasakan pelukan sehangat ini. Rasanya sangat familiar.
Namun sumber kehangatan itu harus terputus ketika dia melepaskan pelukan tersebut.
"Sungguh, kau hidup seperti ini? Kau tidak akan mendapatkan inspirasi dengan cara seperti ini," gumamnya sambil melihat sekitar. "Tsukinaga-san, ini bukan dirimu. Sejak kapan kau membosankan seperti ini?"
Aku mengingatnya. Suaranya yang merdu saat bernyanyi dan sangat lembut saat berbicara, dia bagaikan seorang bidadari. Iris biru langitnya yang selalu bersinar. Ya, gadis ini adalah... (Name).
"(Na...me)..?" Dia melepaskan pelukannya dan menatapku dengan penuh arti.
"Iya ini aku! Aku (Name)! Aku benar - benar merindukanmu. Maafkan aku karena hanya bicara dibalik pintu. Maaf bila aku datang di luar jadwal. Aku hanya... Aku hanya merindukanmu," balasnya dengan lembut.
"(Name) ..Kenapa kau ada disini..?"
Matanya membelak, dia terkejut mendengar pertanyaanku. Apa sebenarnya tujuannya datang kesini? Untuk bercerita? Atau untuk meminta hasil karya ku?
"Tentu saja untuk--"
"Kau meminta laguku 'kan?! Keinginanmu sama 'kan seperti mereka. Kaliam hanya menginginkan laguku!" Selaku sebelum mendengar lanjutan dari kalimatnya yang ku potong.
"Tidak, bukan se--"
"Tapi kau kecewa 'kan melihat keadaanku sekarang. Aku tidak bisa membuat lagu lagi! Semua inspirasiku hilang! Iyakan?" Dia langsung menggeleng cepat tapi aku tidak memedulikannya sama sekali.
"Tunggu disini! Aku akan membuatkannya untukmu secepat mungkin, agar kau tidak meninggalkanku seperti yang lain! Kau tidak akan meninggalkanku 'kan, (Name)? Akan aku buat lagu untukmu sebanyak mungkin!"
Tanganku mencoba meraih pulpen yang tidak jauh dariku. Tapi (Name) menahan pergerakkan tanganku dan menatapku dengan iba. Aku menghempaskan tangannya dari lenganku dan berhasil meraih pulpen, lagi-lagi pulpen itu jatuh dari tanganku. Mungkin karena kutukan mereka yang diberikan kepadaku... atau tanganku gemetaran?
Tidak boleh! Aku harus buat sebuah lagu untuk (Name) agar dia tidak meninggalkanku, agar dia tidak merasa kecewa terhadapku.
Tangan tidak berguna! Disaat - saat seperti ini kau tidak bisa menulis! Tidak ada cara lain lagi!
Aku menggigit tanganku, tidak ada darah yang keluar. Aku menggigitnya lagi, tetap saja aku tidak merasakan sakit. Aku menghentakkan gigiku beberapa kali. Aku memperdalam gigitannya tapi tidak ada rasa sakit sama sekali, aku mati rasa total.
Aku bisa merasakan sentuhan lembut di kepalaku. Sebuah tangan mengelus puncak kepalaku dengan lembut. Sentuhan ini... sudah lama aku tidak merasakannya. Aku selalu iri melihat Ruka yang selalu mendapat elusan hangat ini.
Aku mendengok keatas melihat iris biru langit yang berkaca - kaca. Matanya menyorotkan rasa sakit yang besar. Ada sebuah senyuman di wajahnya, senyuman yang sedang menahan rasa sakit.
Rasa sakit?
Aku bisa merasakan ada rasa darah di mulutku. Aku melihat kebawah, bukan tanganku lagi yang kugigit melainkan tangan (Name). Darahnya menetes sampai ke roknya. Tapi senyuman itu masih setia terlukis di wajahnya.
"Tenanglah, Tsukinaga-san. Aku tidak akan meninggalkanmu." Katanya dengan suara yang lembut.
Apa yang telah kulakukan? Aku sudah melukai (Name) sampai tangannya berdarah?
"Ini tidak sakit sama sekali, Tsukinaga-san. Lebin sakit melihatmu yang seperti ini. Rasanya sangat perih daripada luka lama ini dan tanganku sekarang." Dia mengelus rambutku.
"Kenapa... kau memanggilku seperti itu?"
Pergerakkan tangannya berhenti, tetapi itu tidak berlangsung lama setelah jari-jari kapalan itu kembali bertemu dengan kulit kepala. "Gomen ne, Leo-nii. Itu benar, kan?"
Air mataku sudah membendung di kelopak mataku. Aku ingin menangis, tapi aku tidak mau (Name) melihatku dan menganggapku lemah. Bila perasaan ini pecah, dia akan pergi dan menganggapku tidak berguna lagi.
"Kau boleh menangis, Leo-nii. Tidak akan ada yang melarangmu. Air mata itu bukan simbol kelemahan, itu menandakan kalau kau sudah kuat untuk sekian lama. Tuangkan saja semuanya. Jangan menahannya."
Air mataku mengalir dengan perlahan. Aku memeluk gadis itu dengan erat. Tidak peduli seragamnya akan kusut, aku takut kalau dia tiba - tiba dia akan pergi. Aku memeluk punggungnya dan terus menangis. Aku membenamkan kepalaku di pundaknya, sedangkan (Name) mengelus punggungku.
"Kenapa... kau melakukan semua ini..?" Tanyaku di sela tangisku.
"Karena Leo-nii begitu spesial bagiku. Leo-nii adalah cahayaku.. aku ingin lihat kamu tersenyum dan tertawa seperti dulu."
Aku tersenyum kecil mendengar jawabannya.
~○~○~○~○~○~○~○~
Hari sudah mulai sore dan (Name) melepas pelukannya. Hatiku sudah cukup membaik. Tapi isakanku belum berhenti, jadi (Name) menenangkanku. Kakinya pasti sudah pegal menahan pelukannya.
"Sebaiknya kau membersihkan dirimu dulu, Leo-nii. Setelah itu aku akan menyembuhkan lukamu." Kata (Name) dengan nada membujuk.
"Enggak! Aku tidak mau! Nanti kau akan meninggalkanku!"
"Tidak. Aku menunggumu, aku ada disini. Janji."
Dia berikan senyuman khasnya yang manis. Senyum itu menyakinkan diriku. Senyuman itu... aku sangat merindukannya.
Aku menurutinya dan pergi untuk membersihkan diriku.
Saat aku balik, kamarku berubah drastis. Tidak ada lagi kertas berserakkan dan coretan di dinding. Yang membuat hatiku lega adalah kalau (Name) masih ada disana menggenggam sehelai kertas yang baru dia kutip.
"Oh! Kau sudah selesai. Maaf kalau aku membacanya. Aku akan mengambil obat dulu. Leo-nii duduk dulu, aku akan kembali secepat mungkin."
Aku makin merasa bersalah. Aku menambahkan luka baru di tangannya. Apa dia akan marah karena aku menggigit tangannya?
Dia kembali dengan obat dan segulung perban. Tangannya juga sudah di perban.
"Leo-nii ulurkan tanganmu."
Aku menuruti perkataannya dan mengulurkan tanganku. Dia mengolesi obat ke luka basah dan luka lama. Setelah itu, dia membalut kedua lenganku dengan perban. Tangannya sangat terampil.
Dia pernah bercerita kalau dia menjadi pengurus UKS untuk membantu guru.
"Selesai." Katanya.
Aku melihat ke hasil tangannya yang sangat rapi. Apa aku boleh menanyakan pertanyaan itu kepadanya?
"(Name), diantara laguku atau aku. Kau akan pilih siapa?"
"Apa itu perlu dipertanyakan?" (Name) mencemooh. "Tentu saja kau, Leo-nii! Walaupun kau membuat jutaan lagu, itu tidak akan sebanding dengan dirimu. Kau lebih penting dibanding lagu itu!" Jawabnya tanpa ragu. "Jangan samakan aku dengan mereka yang tidak pernah berjuang."
(Name). Dia tahu hampir semua kejadian hal yang terjadi di sekolah. Dia juga punya pendengaran yang tajam, dia pasti dengar apa yang aku bicarakan di panggung saat itu.
"(Name).. kau menganggapku sebagai apa?" Tanyaku. Aku ingin tahu dia menjawab apa.
"Seperti yang sudah kubilang tadi, Leo-nii itu cahayaku, menuntunku di jalan yang gelap total. Leo-nii penerang hidupku. Kamu juga telah memberi warna pada hidupku yang berwarna hitam-putih. Aku selalu bilang aku tidak bisa hidup tanpamu... Disaat kau mulai menjauhiku dan mengurung diri menjadi hikikomori, aku tahu.. jauh di dalam diriku ada yang mati. Aku tidak mau kehilangan Leo-nii..!" Air matanya mulai mengalir. Dia menyeka air matanya dengan kasar.
Ini pertama kalinya aku mendengar sesuatu yang begitu menyentuh hatiku. Disaat aku bertanya seperti itu mereka menjawab "sebagai teman, satu tim" dan lainnya. Tapi jawaban (Name) begitu menusuk hatiku.
Aku sudah menyakitinya, menjauhinya tapi dia masih setia berada disampingku.
Aku menghempaskan badanku ke tempat tidur untuk mencoba tidur. Tapi cerita lama kembali menyambutku membuatku sedikit menangis.
~♥~♥~♥~♥~♥~♥~
Ini sudah jam berapa? Masih tengah malam? Atau sudah pagi? Aku membuka mataku perlahan - lahan. Aku langsung melihat langit - langit kamar yang ada cercah cahaya lampu. Aku mendengar suara kicauan burung, tapi aku lihat dari ventilasi masih gelap.
Aku mencoba menggerakkan salah satu tanganku yang mati rasa. Aku melihat ke samping. Seseorang meniduri lengan tanganku. Sebagian dari wajahnya ditutupi oleh helai rambut karamel miliknya. Aku menyapu helai rambut dari wajahnya. Dia tidur dengan damai bagaikam seorang bayi, sangat imut.
Kenapa kau berbuat baik padaku? Padahal aku mencoba menjauhimu, tidak memedulikanmu, dan tidak menghubungimu lagi. Kenapa kau masih setia memberikan pelukanmu yang hangat?
"Aku benar - benar menyayangi Leo-nii, aku tidak akan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Tidak akan aku biarkan kau padam."
Pada saat itu, aku mendengarnya dengan seksama. Aku juga bisa mendengar suara isakannya dari balik pintu.
Aku sudah membuatnya sedih dan tersakiti. Kenapa dia masih ingin mengelus rambutku dan berada disampingku sekarang?
"(Name)... tinggalkan saja aku," kataku dengan nada memohon.
"Kenapa kau kembali lagi ke fase itu?!"
Aku mengadah ke atas saat kedua tangan menangkup pipi, memaksaku untuk menatap lurus ke sepasang netra biru cerah.
"Tidak! Aku tidak ingin mendengarkan kata itu! Yang ku inginkan hanya, kata - katamu yang mengizinkanku untuk tetap disisimu..!" Iris biru langit itu menatapku dengan sorotan penuh kemohonan. Genggamannya beralih ke tanganku, bagaikan anak kecil yang tidak mau melepaskan pegangannya pada tali balon.
"Ingat! Disaat aku ada disini untuk memberikanmu sebuah pundak sebagai tempat menangis, memberikanmu pelukan disaat kau kesepian. Aku ada disini."
"Kau keras kepala sekali." Balasku. "Aku akan kembali... tunggu aku ya, (Name)?"
(Name) tertawa kecil. Dia kembali mengelus rambutku dengan lembut.
"Kau tahu aku akan selalu menunggumu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro