Nana : Just Smile
Sinar temaram dari lampu hias indah di sudut restoran mewah bergaya Eropa ini menciptakan suasana yang begitu romantis. Bibirku tak bisa berhenti tersenyum, merasakan kebahagiaan yang bergejolak di dadaku. "Ibu, Ayah, akhirnya aku mendapatkan cinta sejatiku."
Semua, terasa begitu sempurna, sampai tiba-tiba...
"Nana..." Pria bersuara lembut itu menarik daguku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Sa..sawamura..." tenggorokanku tercekat.
Sawamura Kojiro, Pria yang baru kukenal satu bulan yang lalu, di acara perjodohan yang kuikuti.
Dari sekian banyak pria yang kutemui di acara perjodohan, Sawamura adalah pria yang paling lama berkencan denganku. Pria lain biasanya langsung menghilang setelah pertemuan pertama kami.
Sawamura adalah pria yang sangat lembut, ah, bukan lembut dalam artian yang feminin tentunya.
Dua minggu ini aku diperlakukan seperti seorang putri, bahkan Sawamura berhasil membujukku merubah penampilanku.
Tidak ada lagi Nana dengan rambut lurus yang terikat kaku dan kacamata besar.
Nana yang kulihat di cermin setiap pagi adalah Nana yang baru. Nana dengan rambut cokelat bergelombang dan iris berwarna cokelat keemasan. Ya Sawamura lah yang memilihkan gaya ini di salon kecantikan saat kencan kedua kami.
"Sa...sawamura" aku memalingkan wajahku menjauh darinya. Kurasakan tatapan kecewa dan marah dari Sawamura.
"Ada apa lagi, Nana?" Tanyanya, nada kecewa samar terasa dari suaranya yang masih tetap lembut.
"A..aku tidak bisa" aku menundukan kepalaku, menghindari tatapannya yang kurasa semakin tajam.
Untuk kesekian kalinya aku menolak saat Sawamura berusaha menciumku.
"Apa maksudmu tidak bisa?" nada suara pria lembut itu mulai berubah. Kuberanikan diri mengangkat wajahku dan menatapnya.
"I...itu..." ah, kenapa aku tergagap begini.
"Nana, bukankah kita saling mencintai?" Sawamura menggenggam tanganku, aku mengangguk perlahan, mengiyakan pertanyaannya.
Bulu kudukku merinding kurasakan sedikit ancaman di suara lembut Sawamura.
"Tapi aku belum siap, Sawamu..."
"Tsk.. Dimana rasa terimakasihmu!?" Sawamura memotong kalimatku dengan sengit.
"A..apa?" aku tercicit.
"Akulah yang telah merubahmu dari itik buruk rupa menjadi dirimu yang sekarang" nada suara Sawamura mulai terasa menyakitkan.
"Asal kau tahu saja... Perubahan itu tidak membuatmu jauh lebih cantik, cih!... hanya agar aku tidak terlalu muak jika melihatmu, jadi tidak perlu sok jual mahal!" lanjutnya lagi.
Hatiku terasa sakit, seakan ada ratusan serangga bergerombol diperutku dan mulai naik kedadaku hingga aku sulit bernafas. Mataku mulai terasa panas dan basah.
"Kukira kau... tulus mencintaiku" isakku.
"Khkhkh...Apa kau bodoh?, Pria mana yang rela berkorban dan mengeluarkan banyak biaya dengan cuma cuma." Sawamura terkekeh.
"Ada, Ayah dan Kakekku contohnya." pikirku, tapi mulutku terdiam.
"Kau pikir aku akan ada di sisimu hingga tua nanti dan sampai mati bersama? hahahahhaa, kau terlalu banyak menonton film drama, Nana." katanya mengejek. "Tidak itu bukan hanya drama, Ayah dan Ibuku, mereka hidup bersama hingga..." jeritku dalam hati.
"Sawamura...?" Aku masih terpaku tak percaya.
"Ikut aku!" Sawamura menarik tanganku dengan kasar.
"Tidak!" pekikku kulepaskan genggamannya di pergelangan tanganku dengan sekali kibas.
Mata Sawamura membelalak dia tidak menyangka aku bisa melepaskan diri.
plak!
Tangan yang biasanya menggenggam hangat tanganku itu, kini menampar wajahku. Beberapa orang di meja sekitar mulai melirik sambil bertanya tanya.
"Apa yang kau lakukan?" aku mulai histeris.
"Berikan itu!" Sawamura menarik kalung berliontinkan mutiara berwarna salem yang baru saja diberikannya dua hari yang lalu.
"Argh...!" leherku terasa sakit akibat perbuatannya itu. Aku benar benar terluka, apalagi saat kulihat tangannya siap mengayun menamparku lagi.
"Hen...hentikan!" akhirnya aku sanggup berteriak. Semua mata di restoran mewah itu kini memandang ke arah kami berdua.
"Cukup Sawamura, cukup!" kurasakan suaraku bergetar. "Aku mengerti, akan kuganti semua kerugianmu, Tuan Sawamura." Aku mencoba tersenyum padanya. Lalu tersenyum pada semua orang dan menunduk dalam sebagai permohonan maaf karena telah menggangu makan malam semua orang di restoran ini.
Kutinggalkan Sawamura yang masih terlihat marah dan kesal. Aku berlalu pergi, berjalan lurus menuju pintu keluar, namun masih sempat terdengar Sawamura melanjutkan makiannya "Dasar wanita sialan!" Ya mungkin itulah aku... Si pembawa sial.
Disinilah aku kini duduk sendiri di halte bus.
"Jangan menangis Nana... Jangan menangis." Kukuatkan hatiku yang telah hancur lebur. "Ibu, Ayah, kenapa semua jadi begini..."
Kubuka tas tangan kecil pemberian Sawamura, kukeluarkan isinya yang tidak banyak. Ponsel, lipstick, beberapa lembar uang, dan... selembar foto. Kupandangi foto langsung jadi yang diambil tukang foto keliling di taman sore tadi. Kulihat senyum sawamura difoto itu. "cih, mengerikan!" baru kusadari senyum Sawamura sangat mengerikan. Lalu kubuang tas tangan mahal dan foto itu ke tempat sampah di dekat halte bus.
Aku membalik tubuhku bermaksud kembali duduk menunggu bus. Namun kakiku membeku, lututku lemas, dadaku tak mampu lagi menahan sesak. Tubuhku rubuh, aku berjongkok memeluk lututku dan menangis sejadijadinya.
"Nona, anda tidak apa apa?" sebuah suara menyapaku. Aku terus menangis mengabaikannya.
"Nona, kalau kau terus begini semua orang yang lewat akan mengerubungimu, bahkan mungkin polisi akan datang." katanya dengan nada bergurau. Aku memelankan suara tangisku tapi masih terus terisak.
"Pe..pe..pergi... tinggalkan aku!" usirku, pria itu tidak pergi, dia malah menarik tubuhku hingga berdiri.
"Busnya sudah datang, ayo!" katanya ramah. Perlahan aku mengangkat kepalaku, ah, wajahku pasti sangat berantakan. Mata kami bertemu, mata coklat tua serupa warna mata asliku, dibalik kacamata berbingkai besar persis milikku dulu, rambut hitam ikal menutupi keningnya. Senyum ramah itu menghipnotisku.
"Ayo cepat naik!" dia menarik tanganku dan aku menurut. "Ah, Nana kenapa kau begitu lemah pada senyuman..." rutukku pada diriku sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro