Nana : An Angel Face
Malam tadi akhirnya Shuji menginap di rumahku. Dia tidur di sofa ruang TV. Hari sudah pagi, tapi hari ini hari minggu. Jadi kuputuskan untuk tidak membangunkan Shuji. Lagipula aku senang melihat wajah malaikat yang tertidur ini, aku tak tega membangunkannya.
Shuji Tidur sangat pulas, aku bisa bebas menelepon Michan kalau seperti ini.
"Haaaah... Istri teman kantornyaa?" Michan berteriak di seberang telepon.
"ya ampun, Nana!" pekiknya. "Aku jadi merasa tidak enak pada Shuji. Huhuhu... aku sudah memaki-makinya bahkan berniat membunuhnya... Eh!" Suara Michan terhenti, berganti hening panjang. Aku pun sama sama terdiam.
"Sawamura... Kematiannya terlalu mengerikan untukku. Maksudku, aku tak pernah menyangka orang yang ku kenal akan mati karena dibunuh" aku membuka pembicaraan kembali.
"Iya Nana... Aku pun masih merinding membayangkannya. Ya, mungkin itu balasan atas segala perbuatannya." Michan menarik napas. "Ah, aku pribadi tak bisa menyalahkan Hiroko-san. Kalau jadi dia, aku pun pasti ingin membunuh Sawamura, walau dia suamiku sendiri." Lanjut Michan, suaranya terdengar berat.
"Hhh... Sudah yuk Michan, kita jangan membahas Sawamura lagi."
"Ya kau benar Nana, bulu kudukku terus berdiri kalau mendengar nama Sawamura."
"Ya aku juga, sudah ya Michan, aku takut membangunkan Shuji." ucapku pura pura berbisik.
"A...apa! Membangunkan siapa? Shuji? Shuji menginap disana?"
"Hihihi..." aku hanya membalas kepanikan Michan dengan tawa jahilku.
"Kaliaaaaaan...!, apa kalian tidak bisa bersabar sampai hari pernikahan kalian?" Michan kembali berteriak histeris.
"Michan... Michan sayang. Dengarkan aku, tidak terjadi apa apa sayang. Shuji tidur di sofa dan kamarku kukunci rapat. Untuk berjaga jaga hihi... Ok?" aku berusaha menenangkan Michan. Ya kamarku memang kukunci bukan untuk menjagaku dari Shuji, tapi sebenarnya lebih untuk menjaga Shuji dariku. "Duh... Nanaaa..." Aku menggeleng gelengkan kepalaku mengusir pikiran-pikiran aneh dari dalamnya.
"haaaa... Syukurlah. Awas ya jangan berbuat macam macam!" Michan kembali mengingatkan dengan gayanya yang khas.
"Siap okaasaaan." jawabku menggodanya.
"Baiklah aku benar benar harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik baik Nana, perasaanku benar benar sedang tidak enak saat ini. Begitu banyak hal yang terjadi, dan aku tak ingin kau juga terluka." suara Michan kali ini terdengar serius. Aku mengangguk walau aku tahu Michan tak dapat melihatnya
"Baiklah Michan, terimakasih banyak atas semuanya." jawabku tak kalah serius.
"ja..bye bye." tutupnya
"bye bye." dan akupun menutup teleponku
"Hhh..." Aku menghela nafas panjang. Aku berjalan menuju sofa tempat Shuji tidur, kulihat wajahnya begitu damai. Ah, benar benar seperti malaikat. Aku berjongkok di samping wajahnya, kuusap rambut di keningnya, dan malu malu kucium lembut pipinya. "Ah... Ibu, Ayah, aku sangat mencintai pria ini." ternyata seperti ini rasanya mencintai seseorang dengan sepenuh hati.
Air mataku pun mengalir membayangkan bagaimana perasaan Hiroko selama ini. Dikhianati oleh orang yang dicintainya sepenuh hati. Melihat Shuji berjalan bersama wanita lain saja, membuat dunia terasa runtuh bagiku. Walau aku mungkin tak akan sanggup membunuh Shuji, kalaupun seandainya dia... Ah! aku tak sanggup membayangkannya.
Mungkin memang rasa sakit yang dirasakan Hiroko sudah diluar batas toleransi, wanita sekuat apapun jika terus menerus disakiti mungkin akan berakhir seperti Hiroko.
dddrrrrt dddrrrrrrt
Ah suara getar ponsel menyadarku dari lamunan, kulirik ponselku, mati tidak bereaksi.
dddrrrt dddrrrrttttt
Ah sepertinya ponsel Shuji. Kutelusuri asal suara ponsel tersebut, ternyata benda itu ada di saku jaket shuji yang tergantung di dekat pintu.
Suara ponsel bergetar terus terdengar. Sepertinya ini panggilan yang kedua karena tadi sempat ada jeda terhenti. Apa ku angkat saja ya?, Shuji kan tidak pernah keberatan aku membuka dan menggunakan ponselnya.
Kurogoh saku jaket Shuji untuk mengeluarkan ponsel. Tiba tiba sesuatu terjatuh ke lantai, sepertinya benda itu terbawa oleh tanganku saat meraih ponsel di dalam saku. Ponsel sudah berhenti bergetar sekarang, belum sempat kulihat siapa yang menelepon Shuji. Pandanganku teralihkan oleh benda yang terjatuh tadi. "Apa ya itu?". Kuambil benda panjang yang tergeletak di lantai, i.. "Ini..." Aku seperti mengenal benda ini. Kalung emas putih dengan bandul mutiara berwarna salem. Ini kalung yang pernah diberikan Sawamura kepadaku!. Kuperhatikan kalung itu baik baik. Kulihat dibeberapa bagiannya seperti ada bagian yang berkarat. Ah, apa mungkin emas putih berkarat? Tunggu ini bukan karat!. ini... Da...darah!.
"Nana?"
Deg... Jantungku terasa berhenti berdetak seketika mendengar suara itu memanggil namaku. Aku hendak berbalik ke arah datangnya panggilan itu, namun pukulan keras lebih dahulu mendarat di tengkukku...
"aargh!" sa...sakit sekali. Pandanganku buram, tapi aku masih bisa melihat wajah malaikat itu tersenyum sebelum semuanya... Gelap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro