Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39 | Berbagi Kisah

Sejujurnya aku tidak tahan lagi berlama-lama duduk bersama Andre. Lebih tepatnya, tak tahan lebih lama lagi bersamanya, alasannya?

Malu!

Bisa-bisa aku nangis dipelukan Andre.
,
Jelas saja, insiden menangis tiba-tiba tadi membuat laki-laki keheranan, apalagi suasana pasar yang ramai, membuat semua mata memandang ke arah kami. Beberapa orang dengan jelas menatap penasaran, beberapa lainnya menuduh Andre yang membuat aku menangis, syukurlah ada beberapa yang mengabaikan kami.

Namun, begitu pun, Andre tetao pria yang gentleman, ia membiarkan aku puas menangis, kemudian membawa aku ke sebuah warung untuk membeli minum, sejauh ini ia tidak bertanya ataupun marah padaku. Sungguh semua tingkahnya justru membuat aku menjadi sangat bersalah.

Mungkin Andre menunggu aku yang terbuka duluan, dibandingkan bertanya apa sebenarnya masalahku. Tapi aku sedikit ragu, pantaskah cerita rumah tangga ini aku ceritakan padanya?

"Mbak Anna udah baik-baik saja?" pertanyaan itu adalah suara pertama sejak kebisuan sedari tadi.

Hanya tersisa mata sembab dan hidung memerah. Aku tidak lagi menangis, minuman dingin yang baru saja aku tegak cukup mampu membuat tubuhku dingin dan sedikit menenangkan.

"Sudah," jawabku pelan.

"Maaf jadi merepotkan dan membuat Mas malu."

Aku lebih suka jika Andre marah atau tersinggung, tapi ia tetap sebaik itu. Pria satu ini lebih memikirkan keadaan ku daripada dirinya sendiri, membuat aku sungguh berat dengan rasa bersalah. Kendati ia selalu berkata 'tidak apa-apa', rasa bersalah masih saja menghinggapi diriku.

"Mbak sedang ada masalah, ya?" tanya Andre tepat mengenai jiwaku.

Mungkin wajahku terlalu mudah dibaca, atau semua masalahku tercetak jelas di mukaku, entahlah.
Aku tidak langsung menjawab, masih menimang apakah kuceritakan saja?

Selama ini aku hanya memendamnya sendirian, tidak teman untuk bercerita, satu-satunya teman yang aku punya justru mengkhianati diriku. Bercerita pada ibu rasanya tidak enak menambah bebannya.

Aku tidak punya siapa-siapa.

Jelas tawaran Andre untuk mendengarkan ceritaku, rasanya sangat menggoda. Meskipun menceritakan aib rumah tangga itu tidak baik, Ya Allah izinkan hamba untuk sekali ini saja berbagi kisah ku pada seseorang, sebab aku tidak kuat menahan nya sendiri lebih lama lagi.

"Benar, Mas. Akhir-akhir ini hidup saya berat sekali, banyak masalah bertubi-tubi datang."

Lalu cerita itu mengalir, tentang punya mertua cerewet dan julid yang hobi menyalahkan aku di setiap situasi, suamiku yang akhir-akhir jarang di rumah, ayahku yang sakit, juga pengakuan kalau suamiku tidak mencintai aku.

Kurahasiakan satu hal; Mas Herman berselingkuh. Rasanya sulit untuk menceritakan yang satu itu, mungkin cukup itu saja.

Benar, cukup bercerita, menumpahkan segala nya, bahuku sedikit ringan. Andre mendengarkan aku dengan serius, seolah masalahku juga masalahnya, matanya lekat memandangi diriku.

Aku ingin menangis lagi, tapi aku tahan, tidak mau terlihat lebih memalukan lagi.

"Pasti rasanya sulit, ya, Mbak." Andre kini tidak lagi menatapku, kami sama-sama menatap ke depan, ke arah jalanan yang ramai oleh kendaraan.

"Saya juga tidak pandai berkata-kata untuk menyemangati Mbak, hanya saja yang pasti, Mbak pasti bisa melewati semua ini. Itu alasannya kenapa Mbak yang dipilih dapat ujian seperti ini, karena Allah tahu Mbak kuat dan sanggup menghadapinya."

"Saya tahu nasihat seperti ini pasti sudah sangat klise. Namun, percayalah, ada upah besar yang akan Mbak dapati di akhir setelah bertahan selama ini, Allah maha pengasih dan penyayang, ia tidak kan menyakiti hambanya di luar kemampuannya."

Aku mengangguk, begitu tenang dan halus suara Andre, ketenangan itu juga yang merambati hatiku yang mendadak sedikit demi sedikit pulih.

"Kalau Mbak butuh bantuan atau sesuatu, Insha Allah, Mbak bisa hubungi saya, atau sekedar cerita, saya siap mendengarkan."

Aku tertegun, Andre sangat baik, seandainya saja pria ini adalah suamiku maka aku adalah wanita yang paling beruntung. Semoga kelak Andre mendapatkan istri yang terbaik Sholehah dan Setia.

***

Waktu terus bergulir, siang ke sore terasa begitu cepat. Aku sudah berpakaian rapi dan berdandan ala kadarnya, tak mau ke tempat Bunda terlihat tidak niat, bisa-bisa dia nanti marah. Meskipun tahu beliau sedang sakit, tapi tidak menutup kemungkinan ia masih punya energi untuk memarahiku.

Sudah pukul empat sore, Mas Herman belum juga datang jadi aku inisiatif menelpon pria tersebut.

"Kamu duluan saja, Dek. Mas masih ada urusan penting di kantor."

Mataku terpejam menahan geram, setelah mengatakan, baik, aku langsung menutup panggilan. Aku harus sendirian ke tempat Bunda.

Kubawa motor matic kami menuju rumah sakit, jalanan sore yang aku pikir akan padat karena sebentar lagi jam pulang kantor ternyata masih lenggang, sehingga aku bisa dengan cepat sampai ke tempat Bunda.

"Assalamu'alaikum, Bunda, Ayah... sapaku memasuki ruangan Bunda, lalu menyalim kedua orang tua Herman."

Bunda sedang duduk, Ayah sedang membantu wanita itu makan, kebetulan sekali momennya aku segera meletakkan kresek berisi belimbing dan mengambil nya satu lalu hendak memotongnya sebelum suara Bunda menginterupsi.

"Herman mana?"

"Masih ada urusan di kantor, Bun. Nanti nyusul katanya," jawabku sekenanya, menyerahkan sepotong belimbing siap makan di atas piring kosong di hadapan Bunda.

"Anna beli tadi pagi, katanya bisa bantu menurunkan tensi, rasanya manis, masih seger juga," jelasku berharap Bunda memaafkan keterlambatan Herman dengan hal tersebut.

"Anak edan, baru semalam dikasih tahu sekarang udah ngeyel lagi," dumel Ayah sambil mengakhiri satu sendokan bubur terakhir ke mulut Bunda.

Dari wajahnya, aku bisa melihat pria itu kesal, jadi saat ayah membawa piring kotor keluar aku mengerti ia hanya ingin meluapkan emosi tanpa sepengetahuan ku.

Kini tinggal aku dan Bunda, wanita itu cukup suka dengan belimbing yang aku bawa.

"Kamu seharusnya nasihatin suami kamu kalau lebih penting Bunda daripada kerjaannya," kata Bunda.

Ternyata benar, Bunda sudah memiliki energi untuk merepet.

"Jangan buat anak aku mesin pencari uang doang, ingatin dia juga masih punya keluarga, kamu ini tidak pernah mengerti hal-hal kayak gini padahal sudah enam bulan jadi istri orang gak paham-paham juga tugas dan kewajiban kamu tuh apa ya?"

Aku masih diam tak mau terpancing lalu marah pada Bunda, tidak enak juga berdebat sama orang sakit.

"Mulailah peduli sama suami kamu, Anna. Jangan egois," katanya menyelekit diriku, menyentil perasaan ku, tapi masih santai memakan belimbing yang aku potong.

Ya Allah, bantu hamba untuk tetap sabar.

"Anna udah menelpon tadi, tapi Mas Herman sendiri yang bilang kalau urusan kantornya sangat penting sehingga tidak bisa ditinggal."

"Ya kamu bilangin lah Bunda lebih penting dari segala-galanya tugas kantornya itu."

"Maaf Bunda, besok-besok Anna bilangin, Bun," kataku mengalah tidak mau memperpanjang masalah.

"Bunda sudah capek dengan kamu, tuh, Anna. Masa nggak bisa juga memahami situasi, nggak bisa mengontrol suami kamu. Jangan selama ini kamu nggak perduli padanya cuma peduli sama uang Herman aja."

Astagfirullah....

"Begini acara ibumu mengajar putrinya?"

Sudah cukup, aku menatap Bunda berani. "Bagaimana bisa Anna mengontrol Mas Herman, sedangkan Bunda sendiri, ibunya, nggak cukup penting daripada tugas kantornya."

Mampuslah situ, persetan dengan Bunda yang sedang sakit, toh wanita itu cukup sehat untuk mengatai diriku.

"Mulut kamu ya! Berani sekali sekarang kamu!" Bunda melotot, lalu mencampakkan belimbing dan piring ke lantai sampai hancur.

"Begini kamu sebenarnya ya? Dasar jalang, nyesal aku merestui Herman sama perempuan binal kayak kamu, cuma mata duitan." Dada nya kembang kempis menahan emosi.

"Bunda selalu menyalahkan Anna, enggak pernah sadar anak Bunda sendiri yang brengsek! Lihat siapa yang lebih peduli sama Bunda? Anna atau Mas Herman yang sedang di kantor sekarang?!"

"Diam kamu, aku nggak mau dengar lagi, sana pergi saja, aku tidak butuh kau di sini!" Bentak Bunda sambil menunjuk keluar.

Sudah muak, aku benar-benar keluar meninggalkan Bunda. Capek aku dengan semua ini.

****

Olaaa

Aloooo

Sorry semalam gak update.

Semoga kalian suka chapter ini, tinggalkan vote dan komentar yaaa

Yang nanya kapan Herman-Lisa dapat karma. Sabar ya, atu-atu, nanti kalau langsung dapat cerita ini cepet tamat wkwkwk

Salam sayang untuk para pembaca aku

Cangtip1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro