Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌙 Chapter 3: Kesialan Lagi?

Setelah pertemuan yang mengharukan itu, kami memutuskan untuk pergi ke kelas dan kebetulan aku sama Mentari juga sekelas.

"Sa, kamu sudah punya pacar belum?" tanya Mentari berjalan sambil menghadap ke arahku.

Uhuukk! Uhuk!

Seketika aku tersedak air liurku, yang membuat Normal ngakak dengan suara yang sangat keras. Hal tersebut membuat Mentari menatapku dengan wajah bingung.

"Sa, dia kenapa?" tanya Mentari sambil memiringkan tangan di keningnya sebagai tanda isyarat bahwa Normal sudah gila.

"Sudah, abaikan saja dia," jawabku kesal sambil menginjak kaki Normal dengan sekuat tenaga, sehingga yang punya kaki mengaduh ke kesakitan sambil mengangkat kakinya.

"Adow, sakit! Sa, apa salah dan dosaku?" tanya Normal masih memegangi kakinya. Aku memilih bungkam tidak menghiraukan apa yang ditanyakan oleh teman sengklekku itu.

"Ini bukan ya? Kelas IPA 2?" tanya teman Mentari sambil menunjuk ke arah pintu.

"Sepertinya begitu," ucapku sambil melangkah ke dalam kelas. Tanpa aku sadari kakiku tersandung lantai kelas, yang sedikit lebih tinggi dari lantai koridor.

Kalian pasti sudah menebak gimana akhirnya. Ya, aku kembali terjatuh untuk yang kedua kali dengan gaya yang estetik di depan Mentari dan anak-anak yang ada di kelas. Duh, rasa sakitnya agak lumayan tapi malunya itu yang bikin gak nahan, rasanya aku pengen sembunyi di rawa-rawa karena saking malunya.

'Oh, Tuhan! Tolong, lenyapkan saja aku!' teriaku dalam hati.

Belum sembuh luka yang satu, malah bertambah satu luka yang baru. Kali ini kesialanku bertambah kakiku terkilir, terus lututku tergores dan mengeluarkan banyak darah.

"Sa, kamu gak papa?" tanya Mentari dengan wajah cemas.

"Aku gak papa, kok!" jawabku sambil memaksakan senyum  meskipun lutut dan kakiku berdenyut sakit.

Bukannya nangis, aku malah memilih untuk tersenyum sambil cengegesan berusaha agar tetap tenang dan tegar. Di tambah anak-anak yang lain juga ikut berkumpul di sekitar kami karena ingin tahu apa yang sedang terjadi.

"Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya seorang guru berkumis tebal dan sedikit gemukan.

Mendengar pertanyaan tersebut semua siswa dan siswi yang berada di sekelilingku langsung lenyap tak bersisa. Hanya menyisakan aku, Normal, Mentari dan satu orang temannya.

Dari ciri-cirinya saja aku sudah tahu beliau siapa, bapak yang berkumis tebal dan sedikit gemukan tersebut bernama Pak Sabar. Normal pernah bilang kepadaku bahwa guru yang paling galak dan punya kesabaran setipis tisu di SMA Bina Bangsa ya, Pak Sabar ini.

"Kalian kenapa masih berada di sini? Sana duduk ke bangku masing-masing!" ucap Pak Sabar sambil memelototi kami berempat.

"Duh, Pak! Kaki teman saya tergores dan mengeluarkan darah saya mau bawa dia ke UKS. Boleh, Pak!" tanya Mentari sambil tersenyum secerah matahari.

"Ya, sudah sana pergi obati!" perintah Pak Sabar dengan tegas.

Mentari dan Normal pun bergegas membopong tubuhku menuju ke UKS.

"Lain kali, Sa, kalau kamu jalan harus hati-hati," ucap Mentari menasehatiku.

"Satu lagi, kalau jalan itu pake mata, Sa, bukan pake dengkul! Untung, kakimu cuma terkilir dan luka. Coba kalau kena kening lagi, pasti bakalan banyak tuh plaster yang nempel di keningmu," timpal Normal mengomeliku seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya.

Mendengar hal itu, rasanya aku ingin sekali melayangkan sebuah bogeman mentah, untuk menutup rapat mulutnya Normal yang bawel tersebut.

Sesampainya di UKS, dokter yang bertugas di sana segera mengobati lukaku dan memeriksa kakiku yang terkilir. Setelah membalut lututku dengan kain kasa, dokter lalu membolehkan kami untuk kembali ke kelas.

"Kakimu yang terkilir cukup diolesi minyak urut untuk beberapa hari ke depan ya," ucap Dokter sambil memberikan sebuah botol yang didalamnya terdapat minyak urut.

"Baik, Bu!" jawabku sambil mengambil botol tersebut.

Setelah itu, kami bertiga pamit undur diri untuk pergi ke kelas. Dengan tertatih-tatih aku melangkah dengan pelan, walaupun sedikit ngilu tapi sudah mendingan dari yang pertama tersandung tadi.

"Sa, maaf ya! Tadi, aku mau menangkap tubuhmu tapi kehalang sama pintu," ucap Mentari dengan wajah cemberut dan sedikit rasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Tar! Ini sudah biasa kok," ucapku sambil tersenyum manis.

"Tau gak, Tar! Anak-anak pada ngejauh sama Angkasa gegara tidak mau ikutan terkena cipratan kesialanya dia. Bagaimana pun Angkasa sudah terkena karena kesialanya ini, semenjak duduk di bangku SD," curhat Normal dengan wajah sedih.

Semua yang dikatakan oleh Normal adalah benar apa adanya, tidak ada yang dibuat-buat atau direkayasa agar aku terlihat sangat menyedihkan. Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup dijauhi oleh teman-teman sebaya karena takut akan ikut sial sepertiku. Hanya Mentari dan Normal yang betah berteman dengan orang yang selalu tertipa kesialan sepertiku ini.

Awalnya aku sedih kenapa teman-teman yang lain menjauhi diriku, tapi semakin dewasa aku semakin tahu bahwa orang-orang hanya mementingkan keuntungan dan tidak ingin mengalami kerugian. Dikarenakan dekat denganku bisa mendatangkan kerugian, mereka lebih memilih untuk menjauh agar aman.

"Gak papa, Sa! Aku tahu kamu kuat," ucap Mentari sambil menepuk punggungku dengan mata yang sudah berkaca-kaca seperti ingin menangis.

"Iya, Tar!" jawabku sambil menghapus air yang mengenang di kelopak matanya.

"Duhh! Kalau sudah seperti ini serasa dunia milik berdua, yang lainnya cuma numpang doang," celetuk Normal sambil cengegesan gak jelas.

Sesampainya di kelas. Aku, Normal dan Mentari langsung diminta untuk memperkenalkan diri. Di mulai dari menyebutkan nama, asal sekolah, alamat dan cita-cita. Bahkan ada siswi yang iseng bertanya tentang berapa umurku dan apakah aku sudah memiliki pacar? Tentu saja aku jawab dengan sejujur-jujurnya.

Setelah kelas berakhir, aku dan Normal memutuskan untuk pergi ke kantin sekolah, mengisi perut yang sedari tadi meronta-ronta minta diisi. Kakiku masih terasa sedikit sakit, tapi berkat tongkat yang dipinjamkan Bu Tuti, dokter di UKS, aku bisa berjalan lebih mudah tanpa merepotkan temanku.

Di kantin, aku dan Normal memilih duduk dipojokan karena dekat dengan kipas angin. Suasana kantin ramai dan riuh dengan canda tawa sekaligus percakapan para siswa. Aku dan Normal memesan beberapa makanan dan minuman, lalu kami pun mulai mengobrol dan bercerita tentang berbagai hal.

"Sa, boleh aku dan Aila duduk di sini?" tanya Mentari sambil meletakkan pesanannya di atas meja, yang aku dan Normal tempati.

"Boleh, kok!" jawabku sambil mengeser piring bekas makananku tadi.

"Okeh, terima kasih, Sa," ucap Mentari sambil tersenyum manis dan meminta temannya yang bernama Aila untuk ikut duduk juga. Setelah itu, kami berbincang-bincang tentang cita-cita.

Aku merasa lega dan bahagia. Hari pertama di SMA Bina Bangsa penuh dengan pengalaman baru, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Aku tidak sabar untuk menjalani hari-hari berikutnya dan belajar banyak hal baru bersama teman-teman dan guru baru.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro