Abstrak
"Jangan mendekat!" Ogiwara meluap marah dan berlari dengan kecepatan tinggi menuju sosok pemuda yang berdiri dihadapan Kuroko. Sedangkan Kuroko tidak sadarkan diri, adanya luka di perut dan kedua lengan luka cukup dalam berbentuk garis-garis seperti cakaran simetris membuat darah keluar seperti sungai kecil mengalir ke bawah sampai menyerap serat seragam yang dipakai.
"Untuk apa aku menuruti perintahmu, Shigehiro." Pemuda yang ditunjuk Ogiwara menunjukkan dingin tak berperasaan. Melirik Ogiwara merendahkan.
"Sudah ku-" Perkataan Ogiwara terpotong ketika pemuda merah sudah di hadapan Ogiwara, segera memegang lehernya erat, mengangkatnya perlahan enggan mendengarkan rintihan korbannya.
"Le-lepa-lepas!" Suara Ogiwara terputus-putus. Udara di sekitarnya serasa berhenti tidak membuat Ogiwara tenang. Ogiwara memegang tangan yang mencekiknya dan memukul tangan pelaku tersebut berkali-kali sampai tangannya melemas.
"Jangan memberiku perintah, hunter rendahan." Cengkraman di leher Ogiwara dilepas kasar. Ogiwara tersungkur di tanah. Ekpresi Ogiwara mengeras mendengar 'hunter rendahan' terucap mulus oleh pemuda di atasnya. Ingin membalas perbuatannya tapi Ogiwara takut Kuroko berimbas akibat perbuatan cerobohnya sendiri.
"U-huk-uhuk, bere-ngsek." Ogiwara mencoba menormalkan kembali penapasannya tertunda---dipaksa berhenti akibat cekikan kuat dari pemuda itu. Pemuda merah crimson berdiri angkuh melihat lawannya tidak berdaya dibawahnya.
"Lebih baik kamu pergi dari sini dan bawa teman kecilmu tak berguna," ujar pemuda mengarahkan ibu jari ke Kuroko pingsan, "Daiki. Ryouta. Kembali. Sekarang." Penekanan kata diucapkan tegas diiringi tatapan tajam ke arah Kise dan Aomine diam tidak bergerak.
Pemuda dikenal baik oleh ketiga orang disekitarnya tidak ada yang menyebut namanya. Seakan membisu membiarkan keheningan terjadi.
Aomine dan Kise langsung pergi secepat mungkin. Perintah pemuda tadi tidak bisa ditolak---tidak bisa menawar untuk menunggu sebentar lagi. Bukan hanya aura pemuda itu kuat dan absolut, terselip perintah 'tidak-perlu-ikut-campur' urusan Ogiwara dan Kuroko. Sebenarnya Aomine dan Kise ingin menolong Kuroko tapi tidak bisa dilakukan. Aomine membuang muka tanpa ekspresi, dan Kise menunduk sedih. Ekspresi sendu dikeluarkan sebelum mereka berdua pergi menjauh dari tempat kejadian.
Dirasa mereka berdua pergi, pemuda bernama Akashi melanjutkan, "aku sudah memberikan mantera penghapus ingatan terhadap temanmu. Hanya sementara. Jika dia melihat kejadian serupa, tanggung resiko sendiri," ujar Akashi pergi melangkah cepat ke mobil terparkir di ujung gang dan pergi meninggalkan angin berdesir cepat di sekitarnya.
Ogiwara melihat kepergian pemuda dingin dengan amarah tergolak dalam dirinya. Tidak disangka akan bertemu sosok yang dibencinya di sini. Tangan mengepal sampai memutih dan membenturkan di tanah. Dipukulnya berkali-kali, tidak memperdulikan guratan luka kasar di daerah ruas jari-jari.
Melihat keadaan Kuroko, emosi meludak terhapus, khawatir akan keadaannya. Ogiwara mendekati Kuroko dan menghapuskan aliran darah mengering di bagian rahang bawah.
"Maafkan aku, Kuroko. Seharusnya aku mencegahmu untuk tidak melihat apa yang tidak boleh dilihat," ujar Ogiwara sedih dan mengacak rambut Kuroko pelan, "aku akan melindungimu dari orang jahat tadi. Tidak akan kubiarkan kamu mendekati mereka. Aku sahabatmu. Jadi tidak apa-apa kan?" Ogiwara memantapkan keputusan dibuat, tidak mendapatkan persetujuan dari Kuroko yang masih belum bangun.
Berbalik membelakangi Kuroko, Ogiwara meletakkan kedua tangan Kuroko di sepanjang lehernya sendiri ke depan dan mengangkat kedua kaki Kuroko sebagai penyangga kedua lengannya. Ogiwara menggendong Kuroko di belakang tubuhnya. Mencoba berdiri perlahan sampai bisa berdiri tegak dengan kedua kaki. Kepala Kuroko terkulai di bahu kanan Ogiwara.
"Kamu ringan sekali. Apa sih yang kamu makan?" Ogiwara menghela napas gusar dan berjalan menuju rumah, meninggalkan saksi bisu kejadian yang telah terjadi.
(***___***)
Keheningan melanda di suatu rumah megah. Enam orang berkumpul di ruang tengah. Terdapat sofa hitam bergaris merah gelap diletakkan di tengah ruangan. Lukisan abstrak mengantung indah di seberang sofa. Televisi LCD modern terpampang jelas di hadapannya. Tembok berwarna cokelat muda menghiasi seluruh temboknya.
"Ada apa, nanodayo?" Midorima bertanya. Berdiam diri selama belasan menit. Tidak ada yang membuka suara diantara mereka. Midorima tidak tahu, tiba-tiba dirinya dipanggil dan disuruh berkumpul ke ruang tengah.
"Apa-kraus-yang-kraus-terjadi?" Kunyahan snack dari pemuda tinggi bersurai ungu sepanjang dagu. Midorima mendelik tidak suka ke arah Murasakibara.
"Jangan makan sambil bicara," ujar Midorima menahan emosi, "bukan berarti aku peduli denganmu." Melipat kedua tangan di dada dan menoleh cuek. Murasakibara hanya diam dan tetap melanjutkan makanan tanpa mengikuti ucapan Midorima.
Momoi, satu-satunya perempuan, di ruangan menatap cemas Aomine dan Kise di hadapannya. Sedangkan Akashi sendiri berdiri dengan tatapan menyelidik ke Aomine dan Kise. Tadi, Momoi melihat Aomine dan Kise pulang dengan tampang kusut dan muram. Tidak seperti biasanya, setiap pulang setelah berburu mereka akan langsung ceria dan menceritakan apa yang didapatkannya. Sekarang, hanya diam tidak berbicara.
Akashi mulai membuka pembicaraan, "kenapa kalian tidak tahu ada warga sipil melihat kalian?"
"Aku ... minta maaf, Akashicchi. Kita terlalu senang." Kise menuduk, menyesal teramat dalam.
Aomine diam membisu dengan pandangan ke bawah karpet merah. Lebih baik memandangi bulu-bulu karpet lembut, daripada menatap Akashi dengan pandangan menyelidik seperti penjahat. Tidak mengucapkan sesuatu membela dirinya. Aomine tahu dirinya salah kali ini.
"Sudah aku beritahu dari awal, bahkan sering kuberi peringatan untuk selalu waspada dengan sekitar. Lihat, perbuatan yang kalian lakukan. Membuat korban lain, apalagi ada hunter tadi. Jangan lengah apapun terjadi. Apa kalian mengerti?" Sepasang mata crimson menunggu jawaban mereka berdua dengan sabar.
"Kami mengerti-ssu." Kise bernapas lega. Kise berpikir akan diberi pertanyaan mengenai teman barunya, dan interogasi panjang lebar tanpa henti.
"Karena kalian melanggar aturan, kalian tidak boleh berburu selama seminggu. Tidak ada penolakan." Akashi beranjak pergi sebelum Aomine berteriak tidak setuju.
"Aku tidak mau, Akashi! Kita tidak bisa bertahan selama itu!" Aomine berdiri dari duduknya. Akashi berbalik dan menatap tajam Aomine.
"Bukankah kita sudah sepakat akan menerapkan hukuman ini dari awal? Benar bukan, Midorima-kun?" Akashi melirik ke arah Midorima.
Memperbaiki kacamata melorot, Midorima mengangguk. "Itu benar Akashi."
"Cih." Aomine mendecih kesal. Kise mengangguk pasrah. Memang dulu sebelum tinggal di rumah ini, mereka semua sepakat atas perjanjian ini. Melanggar janji, akan mengakibatkan resiko lebih besar daripada hukuman 'tidak boleh berburu'.
"Aku tidak akan menanyakan pemuda berambut biru muda tadi sebelum waktunya." Akashi pergi dari ruang tengah menuju kamar.
"Ki-chan, Dai-chan. Apa maksud Akashi-kun 'pemuda berambut biru'? Dan kenapa ada korban?" Momoi bertanya hati-hati. Midorima cuek tidak peduli namun dalam hatinya penasaran. 'Pemuda biru muda? Rasanya aku pernah bertemu dengannya. Semoga saja bukan dia,' batin Midorima cemas, menepis spekulasi negatif melayang di pikirannya. Sedangkan Murasakibara sudah pergi menuju dapur untuk mengambil cemilan lain.
"Bukan apa-apa. Ayo kita ke kamar, Kise." Aomine bangkit dan berjalan ke kamar. Kise sendiri bingung harus mengatakan apa.
"Maaf-ssu. Aku tidak bisa memberitahu ini." Kise menyusul pergi.
"Mou~ mereka tidak asik." Momoi cemberut menyilangkan kedua tangan di dada.
"Aku ke perpustakaan." Midorima berlalu pergi meninggalkan Momoi sendirian.
"Ha~ ini tidak menyenangkan," ujar Momoi lirih dan bersandar di sofa empuk, memikirkan beberapa kemungkinan penyebab perilaku aneh kedua temannya.
.
.
.
.
.
Dingin. Kuroko merasakan angin menusuk tulang sekitar tubuhnya. Menggeliat tidak nyaman, Kuroko membuka mata. Sinar cahaya menerobos masuk menghalangi pandangan gelap, menutup kembali kelopak mata yang sempat terbuka. Mengerjap pelan menyesuaikan aliran cahaya masuk retina mata, Kuroko akhirnya bisa melihat jelas. Bangun dari tidurnya, duduk bersilang kaki dengan Kuroko menatap takjub apa yang dilihatnya sekarang.
Di depannya, terdapat lapangan luas tak berujung seperti padang melebar ruah diselimuti rumput hijau segar di bawahnya. Serbuk bunga lily berterbangan mengikuti angin berdesir di sekelilingnya. Adanya bunga lily putih bersambung pada rumput tersebut tersebar seluruh lapangan. Langit putih bersih tanpa awan menggantung di atasnya.
Kuroko tersenyum tipis menyambut pemandangan disajikan nan indah. Seketika, bunga lily putih berubah merah darah pekat. Kuroko yang melihatnya, kaget dengan kejadian aneh terjadi. Bau anyir dan amis tercium menjijikkan. Kuroko menutup jalur pernapasan dengan ruas kelima jari tangan, berdiri tergesa, untuk melarikan diri dari tempat ini.
Tap ... Tap ... Tap ...
Terdengar suara tapak kaki bergema di telinga Kuroko. Perasaan tenang yang tadi dirasakannya menjadi takut entah mengapa. Juga, aura di belakang Kuroko menjadi berat dan menyesakkan. Kuroko ingin tahu siapa yang berada di sini selain dirinya. Memutar balik, Kuroko mematung, tubuhnya seakan dipaku tidak bisa bergerak. Badannya menjadi lemas tidak bertenaga, terhuyung ke depan jatuh dalam dekapan bunga lily merah. Tiba-tiba pandangan Kuroko menggelap.
.
.
.
.
.
Kuroko terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin menyapu tubuhnya penuh pelu. Mata Kuroko bergerak liar melihat keadaan di sekitarnya. Perasaan takut serta cemas menjadi satu seperti campur aduk tidak beraturan. Kuroko bernapas lega ketika tahu dirinya ada di kamarnya sendiri, kamar sederhana dan hangat.
'Aku bermimpi apa tadi? Aku tidak bisa mengingatnya,' batin Kuroko bingung. Memutuskan untuk tidak memikirkannya, menganggap bahwa mimpi hanyalah sebagai bunga tidur. Mengelap keringat turun menuruni kelopak mata, merasakan perih akibat asam terkandung pada keringat. Menggosok mata dengan hati-hati, menggunakan dua ruas jari tangan. Dirasa telah hilang, fokus matanya sudah kembali. Gerakan Kuroko terhenti ketika melihat perban putih bersih melekat pada kedua tangannya---tepatnya di lengan sampai siku tangan. Memegang lilitan perban, rasa nyeri berkedut membuat Kuroko meringis pelan. Saat menunduk, rasa sakit seperti diremuk benda tajam di perut tiba-tiba menyerang. Menormalkan kembali menghirup oksigen, Kuroko tidak jadi terkena serangan panik.
KLEK
Pintu kamar terbuka dan Ogiwara masuk ke dalam. Raut muka Ogiwara terkejut melihat Kuroko sudah bangun.
"Kamu sudah sadar, Kuroko?" Ogiwara duduk di tepi kasur dan memegang semangkuk bubur hangat---dilihat dari uap mengempul serta segelas air putih di kedua tangan.
"Memangnya aku kenapa, Ogiwara-kun?" Kuroko duduk bersandar pada kepala kasur, memandang Ogiwara bingung, melupakan rasa sakitnya agar sahabatnya tidak khawatir. "Dan luka apa ini?" Lanjut Kuroko memperlihatkan kedua tangan, mengangkat sebatas dada. Kuroko tidak menanyakan asal luka lainnya.
Glup. Ogiwara menelan ludah gugup, memikirkan alasan logis menutupi kejadian sebenarnya. Ogiwara sudah berjanji untuk tidak melibatkan Kuroko dengan 'orang-jahat' kemarin malam. "Ah- ke-kemarin ki-kita pulang setelah berbelanja, kamu tiba-tiba pingsan. Naas, kamu jatuh di dekat banyak kawat-kawat berduri," Ogiwara mengamit tangan gugup pada benda dipegangnya, "ka-karena itu lenganmu tergores dan berdarah cukup banyak. Jadi aku bawa kamu pulang."
Kuroko menatap Ogiwara intens untuk mengetahui apakah sahabatnya berbohong atau tidak. Sedangkan Ogiwara sendiri yang ditatap, mencoba membuat ekspresi yang meyakinkan. Dalam hati, Ogiwara berdoa agar Kuroko mempercayai perkataannya.
"Tapi, kenapa aku pingsan? Baru kali ini yang pertama." Kuroko memasang muka datar.
Ogiwara segera menjawab, "mungkin kamu kurang makan."
"Kurang makan? Aku sudah makan kok kemarin. Tidak mungkin, Ogiwara-kun." Kuroko mengelak tegas. Sebagian kebenaran yang dikatakan Ogiwara cukup menjawab 'mengapa-perut-juga-mengalami-sakit-sekali', walau masih ada keraguan didalamnya.
"Kalau kamu makan selalu dengan porsi sedikit dari porsi standar. Maka dari itu seharusnya kamu makan banyak. Nih makan." Ogiwara menyuap bubur ke Kuroko, tak lupa menaruh segelas air di meja nakas samping tempat tidur.
Kuroko menggeleng tidak setuju dengan alasan absurd yang diberikan sahabatnya. Kali ini Kuroko mempercayai perkataan Ogiwara walau masih ada yang janggal.
"Biarkan aku makan sendiri." Menolak sambil menggeleng sebagai jawaban, mengulurkan tangan untuk mengambil mangkok di tangan Ogiwara.
"Tapi tanganmu masih sakit, Kuroko." Ogiwara menatap sahabatnya cemas. Melihat tatapan Kuroko tajam bagai belati, Ogiwara menyerah berdebat dan meletakkan mangkok berisi bubur putih dengan pucuk daun sop di pangkuan Kuroko.
Satu suapan. Dua suapan. Tiga suapan, dan seterusnya Kuroko memakan bubur (bagi Kuroko tidak enak dan tidak ada rasanya) sampai habis tidak tersisa. Meminum air putih---menghilangkan bekas lelehan bubur yang masih tersangkut di dalam mulut dan kerongkongan. Menyerahkan peralatan kotor kepada Ogiwara dan langsung pergi keluar, Kuroko melirik jam di samping ranjang.
06.00 A.M
Tinggal satu jam lagi sebelum masuk sekolah, Kuroko bergegas turun dari ranjang. Mencuci muka dan menggosok gigi di wastafel kamar mandi. Selesai acara mandi dengan waktu singkat, Kuroko segera memakai seragam sekolah biru muda berlengan pendek, celana panjang putih, juga sweater warna senada lengan panjang untuk menutupi perban di lengannya. Selesai bersiap-siap, Kuroko keluar kamar dan menuju ruang tamu.
"Lho, kamu mau kemana?" Ogiwara muncul dari dapur, selesai mencuci peralatan kotor.
"Tentu saja pergi ke sekolah, Ogiwara-kun." Kuroko menatap Ogiwara datar seperti triplek.
"Tapi kan kamu masih belum sehat. Besok saja ya?" Ogiwara meminta Kuroko mengerti keadaannya sendiri.
"Aku sudah baik-baik saja kok. Ayo berangkat. Nanti kita terlambat." Kuroko berjalan ke pintu utama, tidak ingin dicegah untuk pergi ke sekolah. Rasa bosan akan terus mencabik waktu jika dirinya sendirian di rumah.
Ogiwara menghela napas lelah melihat sifat keras kepala sahabatnya, tidak berubah. Menggeleng kepala pasrah, Ogiwara mengambil tas di sofa putih, menyusul Kuroko di luar.
Perjalanan mereka berdua begitu singkat, tidak berbicara membuka topik, menikmati udara pagi hangat, sampai ke sekolah dengan selamat. Kuroko dan Ogiwara berdampingan menuju kelas sebelum dihadang seorang pemuda berdiri tegap berambut kuning cerah tersenyum cerah.
"Kise-kun, Ohayou." Kuroko menatap ramah terhadap Kise, disambut cengiran kecil. Lain dengan Ogiwara, yang menatap tajam kepada sosok dibencinya.
"Ohayou, Kurokocchi!" Kise memeluk Kuroko erat.
"Ki-se-kun, tolong lepaskan." Stok udara Kuroko terhenti mendadak.
Melihat sahabatnya dipeluk oleh orang yang tidak ingin ditemui---terlalu erat, Ogiwara tergerak menolong (serta menjauhinya) Kuroko sebelum didahului oleh pemuda berambut navy blue menyeret kerah putih milik Kise ke belakang menghindarkan Kuroko pingsan kembali.
"Yah, Aominecchi! Aku kan mau peluk Kurokocchi." Kise cemberut menatap Aomine galak.
"Tetsu bisa mati karena pelukanmu, tahu!" Aomine menatap balik Kise tajam sengit.
Menormalkan tubuh menegang, Kuroko mencoba rileks. Mengatur napas perlahan, masuk lalu keluar kembali. "Ohayou, Aomine-kun. Aku sudah tidak apa-apa." Sahut Kuroko mencegah duo kuning-navy blue bertengkar ketika masih pagi, tidak ingin menjadi pusat perhatian siswa lainnya.
"Ohayou Tetsu. Kita pergi ya. Jaa~" Aomine menatap Kuroko sendu, 'Benar. Tetsu melupakan kejadian semalam.' Berbalik pergi, Aomine menarik Kise tanpa peduli rengekan ribut dari orang yang ditariknya pergi dari hadapan Kuroko dan Ogiwara.
"Kuroko, kamu mengetahui mereka?" Ogiwara mulai berjalan ke kelas disusul Kuroko di sampingnya.
"Ya, dia Kise-kun dan Aomine-kun. Ogiwara-kun mengenal mereka?" Kuroko sambil berpikir kemungkinan Kise dan Aomine---teman barunya terakhir kali, terlihat akrab.
"Hump. Ya, aku satu klub dengan mereka. Basket." Ogiwara menjawab malas tidak mau mengungkit pembicaraan kembali. Kuroko mendapatkan kesimpulan bahwa sahabatnya tidak suka dengan mereka ketika melihat tatapan kebencian didalamnya. Kuroko penasaran akan hubungan mereka, namun kali ini disimpan dulu.
Sesampainya di kelas, Kuroko duduk di bangku, mulai membaca light novel edisi baru. Ogiwara yang berada di samping kiri bangku Kuroko, mengajak Kagami keluar kelas. Kuroko mengabaikan kedua sahabatnya karena dirinya tahu mereka ingin membicarakan sesuatu serius.
PLUK
Kuroko menutup novel mengingat dirinya mau mengembalikan buku pinjaman ke perpustakaan sekolah. Menghitung sisa waktu sebelum bel masuk, Kuroko beranjak pergi keluar. Menembus lorong-lorong bagaikan labirin kotak lurus. Berbelok kanan, Kuroko mendengarkan suara cukup mengganggu.
Mengalihkan perhatian ke mesin minuman yang berada di ujung lorong. Sesosok pemuda tinggi sekitar dua meter---atau lebih memakai seragam yang sama berdiri berhadapan mesin minuman. Naluri saling membantu muncul, Kuroko melangkah menuju pemuda tersebut.
"Ada yang bisa aku bantu?" Kuroko menyapa pemuda berambut ungu terang sepanjang dagu. Pemuda kaget, melihat orang yang mengajak dirinya bicara. Tidak menemui orang yang dimaksud---
"Halo. Aku di sini," ujar Kuroko datar. Kuroko kembali merasakan deja vu.
"Ah~ Aku mau ambil minuman tapi uangnya tidak cukup." Pemuda itu menunduk ke bawah, ada seseorang ternyata.
"Kurang berapa? Biar aku tambahkan." Kuroko merogoh beberapa keping uang receh di saku celana.
"Lima yen~" Pemuda itu berbinar senang saat ada yang mau membantu.
"Aku masukkan ya," Kuroko memasukkan uang receh lempengan kuning ke lubang garis lurus khusus.
Kaleng minuman keluar dari slot mesin di bawah. Pemuda bernama Murasakibara Atsushi antusias mengambil minuman yang diinginkannya.
"Teri- kok tidak ada? Ya sudahlah." Murasakibara kembali ke kelas tanpa mencari Kuroko hilang tidak berbekas.
(***___***)
Kuroko kembali ke kelas setelah mengembalikan buku sekolah. Kuroko sadar dirinya telah meninggalkan pemuda tidak-tahu-nama bersama mesin minuman tanpa pamit. Tidak sopan memang, tapi Kuroko akan meminta maaf jika ada kesempatan bertemu--- jika bertemu lagi.
Kuroko kembali ke bangku, tempat belajar, bersamaan bel masuk berbunyi nyaring. Semua siswa masuk ke kelas masing-masing termasuk Ogiwara dan Kagami. Guru mata pelajaran matematika masuk dan memulai pelajaran yang tidak disukai oleh Kuroko sendiri.
Empat jam belajar matematika tentu tidak ada yang menyukainya. Termasuk Kuroko. Rumus-rumus diajarkan dari bilangan berpangkat, logaritma, dan transformasi membuat asap putih imajiner keluar dari pucuk kepala Kuroko. Tubuh menegang lelah, otak dipaksa dimasuki seliweran ini dan itu, pandangannya menjadi kosong, Kuroko bergumam tidak jelas seakan memberitahu kondisi tubuhnya tidak baik-baik saja. Tidak menginginkan sahabatnya tambah khawatir, Kuroko beranjak keluar kelas dengan hawa keberadaan tipis, cara ampuh untuk menghindar diri.
Kakinya terasa berat saat melangkah, Kuroko meyakinkan diri sendiri untuk bisa ke tempat tujuan. Tinggal berjalan lurus beberapa meter, Kuroko berada di depan ruangan dituju. Tertanda 'UKS' di kaca pintu bening sebagai ruangan unit kesehatan sekolah.
Menggeser pintu ke kiri, Kuroko menemukan sesuatu yang dikenalnya.
"Kamu...?"
@ To be Continue @
A/N:
Halo semuanya ^^ Apa ada yang masih ingat dengan fanfic ini yang sangat abal? /pundung/
Saya minta maaf kepada kalian sebagai reader karena update terlalu lama u,u /dibuang/
Saya harap chapter ini bisa mudah didapat feeling dan dapat dipahami
/selakuauthoryangsusahmendapatkanfeelingsendiri/
Saya sangat senang atas dukungan kalian semua ^^ Saya berterima kasih telah Read, Vote, dan Comment terhadap fanfic abal ini :'')
Terakhir, saya menerima semua kritikan, saran, maupun flame yang membangun. Ditunggu ya ^^ Maafkan saya jika banyak kekurangan seperti typo dan lainnya di chapter ini serta sebelumnya.
R n R
Sampai jumpa di chapter selanjutnya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro