Tujuhbelas
*Bruce on media, guys!
***
Keira's POV
Ini gila.
Ini benar-benar gila!
Kenapa aku bisa dengan tidak sadar menyetujui rencana gila Mrs.Tyler?! Apa yang harus ku katakan pada Mommy dan Daddy kalau anak perempuannya kini tinggal 1 atap 1 gedung dengan laki-laki yang bukan suaminya?!
Oh astaga, aku harus mulai menuliskan surat wasiatku mulai malam ini.
Apa tidak ada manusia yang bisa menghentikan kiamat kecil ini?
Setelah dari perjamuan makan malam semalam, aku dan Nicholas sama-sama tidak bersuara. Bahkan aku tidak jadi pergi keacara reunian itu karena terlalu Syok mendengar kabar itu.
Aku yang tadinya berencana kembali ke Apartemen Mommy, mendadak tidak jadi mengingat aku tidak akan bisa berpikir dengan tenang mengenai apa yang terjadi hari itu dan memutuskan kembali ke Apartemenku.
Kenapa aku melamun dan dengan tidak sadar mengiyakan keputusan Mrs.Tyler?! Ini semua karena aku terlalu memikirkan sifat Nicholas dan juga debaran jantungku! Mendengar jawaban Nicholas yang terlihat tanpa ragu mengatakan dia mencintaiku di hadapan kedua orangtuanya membuatku merasa sedikit, well... banyak tersanjung.
Terkutuk lah kau Nicholas Tyler! Lihat saja, aku tidak akan kalah dengan aktingmu itu!!
Aku mengaduk gelas berisikan Cappucinno di hadapanku dengan gemas sambil membayangkan wajah Nicholas tercetak di atas permukaan Latteku.
"Wow, gue gak tahu kalau segelas Cappuccino bisa membuat seseorang marah."
Aku mendongak dari Cappuccinoku dan mendapati wajah laki-laki itu sedang tersenyum.
Aku sedang berada di Cafe dekat kantor Agensi dan juga Apartemenku untuk mengusir rasa kantukku akibat insomnia yang mendera sejak makan malam.
Aku bukan keluar tanpa penyamaran, aku mengenakan topi baseball dan juga kacamata hitam. Tapi kenapa laki-laki ini dapat mengenaliku?
"Boleh gue duduk sini?" Tanyanya.
Aku seharusnya menggeleng, aku seharusnya menolak, dan aku seharusnya menjauhinya atas perintah Nicholas. Tapi siapa Nicholas? Kenapa aku harus menuruti perintahnya?
Aku mengangguk dan laki-laki itu mengambil tempat duduk di hadapanku.
"Lo gak dateng semalem?" Tanyanya yang aku tahu hanya sekedar basa basi.
"Ada urusan." Jawabku menyunggingkan senyum singkat. "Lo ngapain disini?" Tanyaku kemudian.
"Kebetulan lewat dan gue ngeliat lo disini. Jadi gue putusin buat masuk dan nyapa lo." Ujarnya masih sambil tersenyum. "Lo lagi mikirin apa? Serius banget?"
"Kerjaan." Jawabku cuek.
"Berat banget kerjaan lo sampai Cappuccino juga jadi korban?" Tanyanya sambil tersenyum.
"Lebih berat dari menyangga bulan." Jawabku asal lalu menghela nafas panjang. "Arggggh sial! Kenapa sih gue harus berurusan sama manusia nyebelin itu?!" Gerutuku sambil mengusap topi baseball di kepalaku.
"Siapa?" Tanyanya dengan alisnya yang terangkat sebelah menatapku ingin tahu.
"Manusia ternyebelin di muka bumi! Nicholas Tyler." Ujarku, bahkan menyebutkan namanya saja terasa berat dilidahku.
"Nicholas?"
Aku mengangguk, laki-laki itu mengangguk-anggukan kepalanya seakan mengerti kekesalan hatiku.
Lalu matanya terpaku pada kemilau benda yang sejak kemarin melingkar dijari manisku.
"Cincinnya bagus." Pujinya.
Kuakui, memang cincin ini indah sekali. Sangat indah untuk pertunangan bohongan yang kami jalani.
"Iya..." jawabku sambil tersenyum mengingat bagaimana cincin ini bisa tiba-tiba bersarang di jari manisku setelah aku bangun tidur kemarin.
"Berharga banget ya cincin itu sampai lo tersenyum gitu? Cincin dari pacar lo? Atau tunangan lo?" Tanyanya menopang dagu menatapku.
"Hah?" Pekikku kaget. "Si-siapa? Apa? Ini?"
"Cincin itu... seingat gue, Kemarin cincin itu masih belum melekat di jari lo." Ujarnya yang pasti membuatku pucat. Untung saja aku memakai kacamata hitam, pasti keterkagetanku tidak terlalu kentara terbaca.
"I-iya, pemberian nyokap gue. Bukan apa-apa." Jawabku berbohong. Apa jadinya kalau aku bilang cincin ini kudapat dari Nicholas?
"Oh... bagus ya? Tapi orang bisa salah menduga kalau itu cincin pertunangan kalau lo pasang cincin itu disana, kan?" Tanyanya terlihat tenang.
Aku diam, tidak tahu harus menjawab apa. Kuharap dengan aksi diamku, Laki-laki itu segera mengurungkan niatnya untuk semakin menanyaiku banyak hal dan membuatku semakin berdosa dengan menyuarakan banyak kebohongan.
Harapanku terkabul! Ponsel laki-laki itu berbunyi dan segera mengalihkan perhatiannya dariku.
"Aku harus menjawab telepon ini sebentar." Ujarnya sebelum bangkit dan berjalan meniggalkanku.
Lama juga gak apa-apa. Batinku lega.
Iya juga sih, wartawan bisa salah mengira kalau ini adalah cincin pertunangan dengan hanya melihat letaknya, kan?
Baru saja aku ingin melepas cincin itu, ponselku berdering dan nomor tidak dikenal tertera di layar ponselku.
Siapa?
Entahlah, biasa aku tidak akan mau mengangkat panggilan dari nomor tidak dikenal karena itu pasti adalah Fans yang tidak tahu dari mana, bisa mendapat nomor teleponku dengan mudahnya.
Sepertinya aku harus mulai curiga kalau Hayley menjual nomorku diluaran sana.
"Halo?" Sapaku pelan.
"Keira, hai sayang..."
Glek! Aku tertegun mendengar suara yang nyaring dari seberang sana. Bagaimana dia bisa mendapat nomor teleponku?!
"Ha-halo... Mom." Ujarku terbata-bata.
Bisa-bisanya Mrs.Tyler meneleponku tepat disaat aku mau melepas cincin pertunangan dungu ini.
"Selamat pagi, sayang." Sapanya lagi.
"P-pagi, Mom." Aku mengurut tengkukku yang tidak pegal. Aku melihat dari sudut mataku, Laki-laki itu sudah kembali ke hadapanku.
"Kamu sudah bangun, sayang?"
"Su-sudah, Mom." Jawabku terbata-bata.
"Baguslah kalau begitu, Mom ada di bawah gedung apartemenmu sekarang. Berapa nomor unit kamarmu?"
Mataku melebar dibalik kacamata hitamku. Kepalaku yang sedikit tertunduk tadi, mendadak menjadi tegap mendengar kalimat barusan.
"A-Apa?!"
"Mom ingin bantu kamu pindahan, sayang." Mrs.Tyler tertawa di ujung telepon sana. "Surprise..."
Ya, Fucking Surprise!
"A-aku sedang berada diluar, Mom. Ehm... A-Aku segera kesana!"
Aku segera mematikan teleponku.
"Maaf, Bruce. Ada sesuatu yang harus gue urus." Ujarku sambil meraih dompetku, mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana dan meletakkannya di meja, lalu merapuhkan barangku.
"Mommy lo?" Tanyanya sambil mengernyit.
Aku tidak bisa berkonsentrasi karena aku sedang mencari nama Nicholas dari daftar kontakku saat ini.
"Bukan, Mommynya Nicholas. Duluan ya, Bruce." Ucapku segera berlalu dengan cepat sambil menempelkan ponsel ke telingaku. Meninggalkan Bruce tanpa menghiraukannya lebih lagi.
"Hal-"
"Eh kadal darat!!! Kenapa lo gak bilang Mommy lo mau ke apartemen gue?! Lo juga kan yang kasih tau nomor gue ke Mommy lo?" Gerutuku sambil berjalan cepat menuju ke apartemenku yang tidak jauh dari sini.
"Mommy memang minta nomor lo, tapi gue gak tahu kalau Mom akan ke apartemen lo hari ini." Ujarnya, terdengar meyakinkan. "Terjadi sesuatu?" Tanyanya.
"Mom kerumah dan akan membantu gue pindahan. OH GOD, PINDAH KE APARTEMEN LO!!!" Seruku sebal.
"Lo lupa siapa yang bilang kalau itu ide yang bagus?" Sindirnya.
"Bagus sekali, Nicholas! Sangat tidak membantu." Gerutuku. Dia lalu tertawa.
"Sebenarnya gue bingung, bagian mana yang merupakan ide bagus? Tinggal bersama gue? Atau membuat anak terlebih dahulu?"
Blush!! Sial, wajahku sangat panas mendengar kalimat Nicholas. Perempuan gila mana yang menyetujui ide itu?! Ah aku pasti sudah sangat gila! Aku sama saja dengan wanita jalang yang dengan senang hati di satukan untuk tinggal bersama dengan laki-laki yang bukan suaminya!
"Shut up, you! Moron!!!" Umpatku sebelum mengakhiri panggilanku pada Nicholas.
Berbicara dengan manusia seperti Nicholas saat ini sama sekali tidak membantu. Aku harus menenangkan hatiku sendiri, tanpa bantuan Nicholas. Ya. Tanpa bantuannya. Karena Nicholas sama sekali tidak membantu, melainkan memperburuk debaran jantungku.
Aku sampai di Apartemen dengan nafas tersengal-sengal. Kulepas kacamata hitamku dan mengedarkan pandangan mencari sosok Mrs.Tyler yang tidak berada dimanapun.
Oh shit! Jangan bilang kalau Mrs.Tyler sudah mendobrak pintu Apartemenku?!
Baru aku hendak kembali melangkah menaiki anak tangga, sebuah tangan menahan lengan jaket yang ku kenakan.
"Keira..."
Aku menoleh dan mendapati Mrs.Tyler sedang tersenyum dengan sangat lebar namun menawan.
Belum sempat aku berkata, Mrs.Tyler sudah menarikku kedalam pelukannya.
"Ahhhh.... Mom sangat tidak sabar melihat cucu cucu kecil Mommy yang menyerupai kamu atau Nicholas sebentar lagi." Ujarnya. Aku mengernyit.
"M-Mom! Aku sedang tidak hamil!" Ujarku takut. Sangat takut.
"Soon, Darling... Soon."
Shit! Tidak mungkin kan aku benar-benar harus hamil atas pertunangan palsu ini? Semua ini tidak ada dalam catatan kontrak tidak tertulisku dan Nicholas.
"Kenapa Mom bisa tahu Apartemenku disini?" Tanya ku penasaran.
"Mom memaksa Angeline untuk memberitahu alamatmu." Ujar Mrs.Tyler sambil tersenyum, sangat menyeramkan!
Angeline? Angeline Sekretaris Nicholas?!
"Sekarang... Mom hanya beralasan untuk membantumu pindahan." Ujar Mrs.Tyler, aku sangat bingung sekarang ini. "Sebagian barang-barangmu sudah Mom perintahkan Asisten Daddy untuk di pindahkan. Jadi kamu tidak perlu repot-repot pindahan lagi. Kamu bisa langsung menempati Apartemen Nicholas mulai malam ini. Dan mungkin... segera membuat cucu untuk Mommy?"
Aku menatap Mrs.Tyler ngeri. Astaga, Ibu macam apa yang membenarkan ini semua?! Terkutuklah budaya barat! Kalau saja kami berada di Indonesia saat ini, aku rasa kami sudah akan disergap dengan tuduhan kumpul kebo dalam 1 jam pertama.
Betapa aku berharap aku berada di Indonesia saat ini, sedang menikmati ketoprakku di bawah terik matahari yang sangat sangat sangat terik di saat musim penghujan.
Bukan di LA dan dihadapkan pada pilihan yang pasti sangat bertentangan dengan pemikiran Mommy dan Daddy saat ini.
"Ayo, kita makan siang lalu ke kantor Nicholas." Ajak Mrs.Tyler setengah menarik lenganku.
"A...ah tunggu Mom. Aku... Masih ada pekerjaan."
"Pekerjaan apa? Hayley bilang kalau jadwal kamu kosong sampai minggu depan?" Selidik Mrs.Tyler.
Hayley?! Dia mengkhianatiku! Dan darimana juga Mrs.Tyler mendapat kontak Hayley?!
"Mom tidak terima penolakan, Keira." Ujar Mrs.Tyler tegas sambil kembali menarikku.
Astaga, berkati aku, Tuhan!
*
Author's POV
"Lo berhasil memotret semuanya?" Tanya laki-laki yang sedang sibuk memperhatikan dua orang wanita dari balik mobil yang berhenti tidak jauh dari posisi kedua wanita tersebut melalui sambungan telepon.
"Semuanya, secara detail dari sebelum dan sesudah kedatangan Keira." Ucap laki-laki bertubuh sedikit gemuk itu dari sambungan Wireless miliknya.
"Bil?" Panggil laki-laki yang itu sambil melajukan mobilnya, berencana mengikuti target incarannya.
"Semua kerekam. Lo gak akan percaya apa yang baru saja mereka bicarakan. Ini akan menjadi berita terpanas kalau sampai kita berhasil menguaknya." Ucap laki-laki yang di panggil bil tadi.
"Oke, semua balik ke kantor. Gue akan mengikuti Keira sebentar lagi." Perintahnya sebelum memutuskan sambungan.
Senyum di bibirnya terangkat. Matanya terus mengikuti laju mobil di hadapannya dengan jarak yang sedikit jauh agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Sebelah tangannya yang tadi memegang ponselnya, kini beralih meraih amplop coklat berisi beberapa lembar dokumen dan foto hasil jepretan kaki tangannya kemarin yang baru dia cuci.
Seoranh wanita dengan wajah bersemu merah dan pria tampan yang memiliki tubuh tegap dan gagah berjalan keluar dari toko perhiasan sambil bergandengan tangan.
Tidak salah lagi, perempuan itu adalah model sekaligus Brand Ambassador dari perusahaan yang dimiliki oleh sang Pria.
"Rahasia apa yang lagi kalian simpan? Apapun itu, akan gue bongkar dan gue akan menjamin kalau Bisnis Papa gue yang terancam bangkrut karena fitnah berita palsu dari majalah bisnis pesaing itu akan segera bangkit. Dan lo.... Nicholas, sebagai sahabat yang baik. Lo yang akan membantu Bisnis Papa gue itu untuk kembali berjaya dengan rahasia yang sedang kalian simpan ini."
Ucapnya sambil tersenyum miring.
"Sayang banget Kei, lo harus terlibat. Tapi dengan terlibatnya lo, itu akan semakin mempermudah gue untuk menghasilkan berita yang akan membuat tidak hanya dunia bisnis, tapi dunia lo berantakan."
Ujar laki-laki itu sinis.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro