Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tigapuluh Lima

VOTE SEBELUM DIBACA

.
.
.
.

Nicholas's POV

Aku menatap ponselku gelisah. Meski baru lima menit aku tidak mendengar kabar dari Keira, aku sudah merasa gelisah.

"Mr.Tyler, anda kedatangan tamu." Sekretarisku, Angeline memanggil lewat interkom.

"Saya sibuk!" Balasku, lalu kembali menatap ponselku yang masih belum ada tanda kehidupan. "Kamu kemana sih, sayang??" Tanyaku, pada ponsel tentu saja.

"Ehem!" Suara dehaman mengalihkanku. "Ini namanya sibuk? Gila kali, ngomong sama benda mati, pake di panggil sayang, lagi." Tanyanya tersenyum mengejekku.

"Ck! Ngapain lo kesini?" Tanyaku.

"Gue punya feeling ada yang udah mau gila, makanya gue mampir. Tenang aja kenapa sih? Keira aman kali di Apartemen Mommy." Serunya santai sambil duduk di hadapanku. Ya, orang itu adalah Kenneth McKenzie.

"Gue gak bisa melihat dia, dan itu gak akan membuat gue tenang!" Desisku.

"Ya lo harus sabar. Biar bagaimana, ini udah kesepakatan bersama, kan?" Tanya Kenneth santai, tangannya mengambil sebuah bolpoin di mejaku dan memutarnya.

"Lo tahu kalau gue gak setuju, kan? Rencana ini tuh gila! Bahaya!" Gerutuku kesal, ingin menonjok orang rasanya. Tapi tentu bukan Kenneth yang bisa ku tonjok, yang ada aku di tonjok lagi sampai babak belur.

"Tapi lo setuju kalau apa yang Keira katakan, benar, kan? Kita gak punya bukti untuk menjatuhkan Bruce." Ujar Kenneth mengingatkan diskusi kami tiga hari yang lalu, three God damn Days yang membuatku tidak bsia bertemu dengan Keira sampai sekarang.

"Tapi bukan dengan cara ini, Ken! Lo tahu siapa yang kita hadapin? Gue gak mau mempertaruhkan nyawa Keira atau anak gue!" Seruku sambil menjambak rambut, frustasi. "Harusnya gue habisin aja tuh orang."

"Lo pikir gue gak mau ngehabisin tuh orang?" Gerutu Kenneth. Aku tahu jelas bagaimana Kenneth ingin membunuh Bruce saat tahu kenyataan yang dihadapi Keira.

Tapi seperti apa yang keluarga Keira katakan, kekerasan bukan jalan keluarnya. Kita harus cermat, dan mendapatkan bukti untuk menjatuhkan Bruce. Tapi aku tidak pernah setuju kalau Keira yang akan mendapatkan bukti itu.

"Lalu bagaimana sekarang?" Tanya Tante Via.

"Kita bicarakan sekarang?" Tanya Keira sambil menatap seluruh mata di ruang keluarganya. "Maksudku, apa kalian tidak harus kembali ke kantor?"

"Aku sudah mendapat ijin dari Daddy untuk menemani kamu." Jawabku padanya.

"Daddy? Om? Kak?" Keira beralih kepada ketiga laki-laki dewasa di hadapannya.

"Daddy Direktur, bebas." Ucap Om Peter santai.

"Om juga Direktur, kamu santai saja." Om Alvero tersenyum sambil merangkul bahu istrinya.

lalu kami semua menatap Kenneth, menunggu jawabannya.

Kenneth yang tadi sedang santai merangkul bahu Alleira, langsung menegakkan tubuhnya.

"Aku anaknya Direktur. Harusnya bebas juga." Jawabnya terdengar ragu.

"Memang kamu sudah ijin? Sudah Daddy ijinkan?" Tanya om Peter. "Balik kantor sana!" Usir om Peter.

"Dad!" Kenneth mencibir, "Serius kek sekali-sekali!"

"Ya ini Daddy serius. Balik kantor sana." Usir om Peter lagi.

"Sudah! Kalau begini terus, masalah tidak akan selesai." Tante Rere menengahi.

Om Peter dan Kenneth meringis bersamaan, dan sama-sama merangkul pasangannya, Tante Via dan Alleira yang hanya geleng-geleng melihat kedua orang itu.

"Mungkin kamu bisa melaporkan ancaman itu pada polisi, Keira?" Tanya om Alvero.

"Tidak ada bukti, Om." Ucap Keira.

"Kenapa gak kita samperin terus gebukin aja sih? Mayatnya kita buang ke laut biar dimakan hiu." Sambar Kenneth, 60% sepemikiran denganku.

"Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, Kenneth!" Tegur om Peter.

"Lalu?" Tanya Tante Via.

"Aku sebenarnya punya ide, bagaimana mendapat bukti. Tapi..." Keira melirikku, ucapannya tergantung.

"Apa? Kenapa melihatku?" Tanyaku, perasaanku mulai tidak enak.

"Apa rencana kamu?" Tanya om Peter mengabaikanku.

"Kita ikuti permainan Bruce." Ucap Keira membuatku mengernyit. Sepertinya semua orang disini juga tidak mengerti maksud ucapan Keira, maka Keira kembali menjabarkan rencananya, "Aku akan mengikuti permainan Bruce, pura-pura berpihak padanya, mendapatkan bukti, lalu kita serang balik Bruce dengan permainannya sendiri."

"Maksud kamu?" Tanyaku masih tidak mengerti.

Keira menghela nafas. "Aku akan mengumpankan diriku pada Bruce, mendapatkan bukti kejahatan dan rencana jahat Bruce, lalu kita bisa menyerangnya kembali. Aku akan..."

"Gak! Kamu gila? Itu sama aja kamu membahayakan diri kamu sendiri! Aku gak setuju!!!" Tolakku begitu mengerti apa yang Keira maksudkan dengan mengikuti permainan Bruce.

"Nic, hanya aku yang bisa mendapatkan bukti itu." Bujuk Keira.

"Pasti ada cara lain selain membahayakan diri kamu!" Potongku, aku sadar kalau suaraku sudah meninggi, tapi aku benar-benar tidak bisa menerima ide gila Keira.

"Aku akan berhati-hati, aku janji. Tapi hanya ini cara untuk mendapat bukti rencana kejahatan Bruce atas kamu." Keira kembali meyakinkanku.

"Aku lebih memilih membunuh Bruce dan mendekam di penjara, daripada melibatkan kamu dalam bahaya, Kei!"

"Dan aku gak mau anak kita punya Daddy seorang kriminal!" Sela Keira, menatapku memelas, "Nic, hanya ini cara kita. Hanya aku yang Bruce inginkan untuk menghancurkan kamu. Hanya aku yang bisa mendapat bukti dari Bruce." Pinta Keira. "Aku akan baik-baik saja, aku janji sama kamu."

"Keira benar, Nic." Ucap om Peter. "Masalah ini hanya melibatkan kamu dan Keira, kami tidak bisa membantu banyak selain melindungi kalian dari belakang. Dan hanya Keira yang mampu mendekati Bruce."

Aku menatap mata seluruh anggota keluarga Keira, termasuk keluarga Alleira, dan mereka sepertinya setuju dengan ide gila Keira.

"Kami akan melindungi Keira, Nicholas. Kami akan menjaga Keira bergantian." Ucap om Alvero.

Aku kembali menatap Keira, Keira mengangguk, memintaku untuk setuju.

Bagaimanapun, apapun jaminannya, aku tidak akan pernah menyetujui ide gila itu! Bruce sudah berani mengancam keselamatan mereka, dengan menyetujui ide gila itu, sama saja aku sendiri yang membahayakan keselamatan mereka!

Aku menggeleng.

"Nicholas... kasih aku waktu. Satu minggu. Aku janji akan kasih kamu kabar, aku akan berhati-hati. Kasih aku waktu satu minggu, dan kalau aku belum bisa mendapatkan bukti kejahatan Bruce dalam satu minggu, aku akan berhenti." Ucapnya, memohon dengan airmatanya.

Aku menangkup kedua pipi Keira, mengusap airmatanya dengan kedua ibu jariku.

"Satu minggu, gak lebih. Setelah satu minggu, aku mau kamu kembali ke sampingku dalam keadaan sehat, kamu mengerti?" Dengan berat hati, aku menyetujui ide gila Keira. Meski hati ku membenarkan perkataan Keira, kalau tidak ada cara lain selain menjelma menjadi sekutu lawan.

Keira mengangguk dan mengucapkan kata terima kasih. Dan rencana dimulai detik itu juga.

Aku keluar dari gedung Apartemen keluarga Keira seorang diri dengan keadaan yang memang sudah lebam, di tambah dengan efek Make-Up yang di tabuh oleh Keira dan Alleira, menambah kesan dramatis pada luka-lukaku, dan harus menahan diri bertemu dengan Keira selama seminggu, sampai waktu yang dijanjikan Keira berakhir.

"Apa menurut lo, dia akan baik-baik saja?" Tanyaku setelah terdiam cukup lama.

Kenneth menyunggingkan senyumnya, "Keira tidak akan pernah sendirian. Seperti yang om Alvero bilang, kita bergantian menjaga Keira. Meskipun dari jauh."

"Apa Bruce akan percaya dengan Keira yang tiba-tiba membelot membantunya?" Tanyaku ragu.

"Kalau dengan alasan Keira tidak ingin Bruce membunuh lo karena dia menolak, Bruce pasti percaya. Lo lupa kalau Keira itu Artis? Kemampuan akting dia, gue rasa gak perlu dipertanyakan lagi." Ujar Kenneth, tapi hatiku masih terasa berat.

"Gue kangen sama dia." Gumamku, menatap ponselku yang masih belum berbunyi.

"4 hari lagi, lo sabar aja." Ujar Kenneth sama sekali tidak membuatku tenang.

Ting!

Aku melihat pesan yang baru masuk ke dalam ponselku, lalu menarik senyumku.

From : Mi Amor ❤
I miss you too, Nic! 4 hari lagi, ya? Setelah itu, kita sama-sama ke dokter untuk ketemu dan melihat perkembangan anak kita!
Aku baru selesai makan masakan Mommy, dan tebak? Aku sudah gak mual lagi loh! Sepertinya anak kita mengerti keadaan kita. 😊

P.s : We miss you, Daddy!

Hanya pesan dari Keira yang dapat membuatku tersenyum.

"Empat hari lagi." Gumamku pelan.

*

Keira's POV

Sudah tiga hari semenjak aku menjalankan rencanaku, tapi tidak ada hasil.

Aku mengirimi Bruce pesan kalau aku menerima tawarannya untuk menghancurkan perusahaan Nicholas, tapi sudah tiga hari, pesan itu tidak dijawab dan tidak juga Bruce menghubungiku.

Apa Bruce mencurigainya?

Tidak! Aku bahkan tidak lagi keluar menemui Nicholas, meski masih bertukar pesan dan kabar dengannya. Bruce tidak mungkin mencurigai rencana kami.

Mengenai orangtua Nicholas, Nicholas bilang kalau dia sudah menceritakan garis besar permasalahan kami. Tentu dengan tidak mengatakan masa laluku yang memang seharusnya tidak mereka ketahui. Yang mereka tahu hanya ada seseorang yang ingin menghancurkan perusahaan, dan ia mengancam akan membunuhku, Nicholas atau anak kami kalau aku tidak menuruti permintaannya.

Mrs. Tyler memintaku untuk berhati-hati, dan seperti yang sudah-sudah, aku hanya dapat berjanji akan menyanggupi permintaan yang sama seperti Nicholas dan keluargaku.

Tapi sampai hari ke lima, Bruce tidak juga membalas pesanku.

Waktuku tidak banyak. Aku mulai putus asa akan mendapatkan bukti setelah hari berlalu tanpa ada hasil.

Namun pesan masuk ke ponselku pada hari ke-6 seakan membangun kembali harapanku.

From : B
Good Choice! Temuin gue di kafe Lyon besok siang. Kita bicarakan rencana kita.

Aku menarik nafas, antara takut dan ragu.

Dan saat aku memberitahu seluruh keluargaku termasuk Nicholas, mereka semua menegang.

"Jangan pergi sendiri, Kei." Pinta Nicholas yang terhubung melalui saluran telepon.

"Biar Alexis temenin kamu." Tante Rere menunjuk anak bungsunya. "Bruce tidak tahu Alexis, kan?"

Aku menggeleng, "Aku tetap harus kesana sendiri." Ujarku.

"Kamu sendiri menemui Bruce, lalu Alexis duduk berjauhan, mengamati keadaan." Terang tante Rere.

"Aku akan temenin..."

"Kamu gila!" Seruku pada Nicholas. "Sama aja kamu buat rencana ini berantakan kalau kamu muncul disana!" Cegahku.

"Kamu juga kan ga mungkin sendiri, Kei. Itu bahaya!"

"Daddy akan menyewa bodyguard untuk kamu, Kei." Potong Daddy.

"Gak perlu, Dad..."

"Kamu pilih aku yang temenin kamu kesana, atau aku sewa bodyguard untuk kamu?!" Tanya Nicholas final.

Aku menghela nafas lelah, "Oke, aku terima tawaran bodyguard kamu. Tapi dengan catatan, mereka harus duduk berjauhan dari aku, mengerti?"

"Anak pintar." Ujar Nicholas, "Aku terima persyaratan kamu, tapi Alexis juga tetap harus ikut. Aku akan lebih tenang kalau ada orang yang aku kenal berada di sana."

Aku mengigit bibirku, melihat Alexis yang tampak tidak keberatan dengan permintaan Nicholas, "Gue selalu Available." Sahutnya begitu tahu aku menatapnya.

Aku meringis mendengar bocah ingusan seperti Alexis yang entah sejak kapan menjelma menjadi pria tampan seperti ayahnya, menjawab pernyataan yang bukan pertanyaan itu sengan angkuh.

"Kalau begitu, semua sudah jelas. Kita tinggal menghadapi Bruce besok." Kata Daddy Final.

"Kamu hati-hati, Keira." Pinta Nicholas.

"Ya, Aku akan baik-baik saja." Ucapku meyakinkannya. Aku tersenyum, meski aku sadar kalau Nicholas tidak dapat melihat senyumku. Tapi setelah hari esok, aku akan terus tersenyum padanya. Pasti.

*

Semua berjalan sesuai rencana.

Alexis duduk di lima meja dariku, sedangkan Bodyguard sewaan Nicholas? Aku bahkan tidak bisa membedakan mereka dengan pengunjung kafe siang ini yang memang tidak terlalu ramai.

Aku masuk belakangan, menghampiri Bruce yang sudah menempati meja paling pojok ruangan, terisolasi dari pengunjung-pengunjung kafe, terutama Alexis.

Aku gugup, tapi aku harus terus maju. Aku tidak bisa mundur sekarang sebelum mendapatkan apa yang kucari.

Sebisa mungkin aku menghindari bertatap muka dengan Alexis untuk mempercekil kecurigaan Bruce. Maka aku memilih untuk menatap jalanan melalui jendela besar di sampingku.

Perlahan, aku meletakkan ponselku di meja.

"Pilihan lo tepat, Keira." Ucapnya sambil menatapku licik.

"Gak usah basa-basi. Gue udah mengikuti semua kemauan lo, jadi lo harus penuhin ucapan lo untuk tidak mencelakakan Nicholas!" Ancamku.

Bruce mengangguk, "Sebelum gue menjelaskan rencana gue, gue yakin lo mau tahu, kenapa gue bersikeras ingin menjatuhkan Nicholas?"

Aku diam, memang sejujurnya aku ingin tahu, kenapa Bruce hanya menargetkan Nicholas. CEO muda yang tampan, bukan hanya Nicholas, tapi banyak. Tapi aku merasa kalau apa yang Bruce lakukan, semua itu bersifat pribadi.

"Sebelum gue mulai cerita, lo mau pesan minum dulu? Gue juga perlu minum sebelum cerita panjang lebar." Tawar Bruce, seperti mengulur waktu.

"Air putih saja." Jawabku singkat.

Bruce mengangguk, kemudian ia memanggil salah seorang pelayan, lalu menyebutkan pesanan kami.

Ketika pelayan tersebut berlalu, Bruce berdiri, "Gue buang air sebentar. Biar ceritanya gak kepotong." Tanpa menunggu persetujuanku, Bruce sudah berlalu.

Aku melihat Alexis bergumam sesuatu melalui headsetnya, aku yakin ia sedang menghubungi Nicholas.

Laki-laki itu, memang terlalu khawatir. Aku tersenyum.

Pesanan kami datang, tapi memang niatan awalku hanya untuk memancing Bruce, bukan untuk bersantai, maka aku tidak menyentuh minumanku.

Bruce kembali tidak lama kemudian, masih dengan senyum liciknya, lalu langsung menyambar kopi miliknya.

"Oke, kita mulai dongengnya sekarang." Ujarnya terlihat bersemangat.

Aku hanya terdiam dan menunggu. "Apa lo pernah mendengar kantor surat kabar Wiggin Enterprise?" Tanyanya.

Aku mengernyit. Wiggin? Bukannya itu nama belakang Bruce?

"Ya, itu memang nama belakang gue. Nama keluarga gue lebih tepatnya." Seakan bisa membaca pikiranku, Bruce membenarkan. "Dan sekarang kantor surat kabar itu sudah berubah nama menjadi W Business Enterprise, Kantor gue. Lo tahu karena siapa?" Tanyanya, namun tidak kujawab.

"Dulu... Kantor surat kabar bokap gue sangat maju, karena selalu mengabarkan berita yang selalu dipercaya. Dan partner utama kantor bokap gue adalah perusahaan terbesar se-Amerika serikat. Ya, mereka adalah Tyler Enterprise." Ini adalah hal baru untukku, jujur, aku tisak mengerti mengenai dunia bisnis dan persaingan di dalamnya.

"Perusahaan kami cukup berjaya, sampai perusahaan Tyler memutuskan untuk tidak lagi menanamkan sahamnya dikantor kami, karena menurut sang dirut, penanaman Modal di kantor kami hanyalah hal yang sia-sia, karena tidak dapat mendatangkan untung memuaskan bagi mereka. Mulai detik itu, kantor kami berantakkan. Mulai dari media yang mengatakan kalau surat kabar kami tidak kompeten hingga Perusahaan terbesar tidak lagi mau menanamkan modal di kantor kami, hingga kepercayaan kami dari para pembaca hilang. Tidak ada lagi yang bersedia melakukan wawancara, bahkan muncul di majalah kami. Perusahaan kami hancur dalam sekejab mata."

Aku menggigit bibir bawahku. Kalau ini masalah dendam, dan ini adalah cerita dulu, bukankah itu berarti dirut yang dimaksud Bruce adalah Mr.Tyler? Daddynya Nicholas? Lalu, kenapa Bruce harus menyerang Nicholas?

"Bukan sampai situ saja." Ujar Bruce, senyumnya getir menatapku. "Wiggin kecil yang baru berumur 11 tahun, harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana Ibunya meninggal, meregang nyawa dengan menegak obat serangga, akibat tidak sanggup menanggung hutang yang semakin membengkak, terutama melihat sang suami yang perlahan namun pasti, menjadi hilang akal sehat. Wiggin Kecil menyaksikan kehancuran keluarganya sendiri."

Aku tercekat. Lalu karena itu, Bruce membalaskan ini pada Nicholas? Yang bahkan aku yakin, ia tidak menahu tentang ini semua.

"Disaat Wiggin Kecil kehilangan segalanya, Tyler kecil mendapatkan segalanya. Keluarga, kasih sayang, kekayaan, kebahagiaan, cinta, seluruhnya yang Wiggin Kecil tidak rasakan, dan Wiggin kecil tumbuh semakin dewasa, membawa dendam keluarganya, dendam ayahnya yang mendekam di rumah sakit jiwa, yang bahkan tidak mengenali anaknya sendiri, untuk mendapatkan apa yang seharusnya Wiggin kecil dapatkan dulu." Tatapan Bruce tajam menusukku.

"Beruntung buat gue, karena Om gue bersedia membantu gue mendirikan perusahaan baru, kemiripannya sama bokap gue, membuat om gue dikira sebagai Ayah gue yang bahkan udah gak mengenal gue. Ya, Bokap dan om gue kembar identik. Mungkin Nicholas pernah bilang kalau bokap gue adalah kepala Redaksi, tapi bokap gue yang sebenarnya, ada di rumah sakit jiwa sampai detik ini. Dan itu semua berkat bokapnya Nicholas."

Ya, aku ingat Nicholas sempat bilang kalau ayah Bruce adalah kepala Redaksi saat Nicholas memintaku menjauh dari Bruce.

Kejutan apa lagi ini?

"The End." Ucapnya sambil tersenyum. Terlihat menyeramkan.

Tanganku sudah bergetar. Tenggorokanku kering, padahal bukan aku yang berbicara, tapi tatapan Bruce seakan menyudutkanku. Aku sedang berhadapan dengan Psikopat saat ini. Ini gila!

"Bagaimana dongengnya? Menyedihkan? Miris? Atau menghibur?" Tanyanya.

Aku tidak menjawab, aku segera meminum air putih di hadapanku, melicinkan kerongkonganku agar bisa melawannya, aku meletakkan gelas kosongku dengan kasar.

Bruce tersenyum, ia lalu meregangkan tubuhnya, kemudian membungkuk kearahku.

"Sekarang rencananya..." ia setengah berbisik, "Gue mau lo memfitnah Nicholas, mengatakan kalau lo dipaksa bertunangan dengan Nicholas, sampai berita tentang kehamilan palsu lo, bilang kalau dia mengancam lo, akan membunuh lo, atau apapun, karena lo tahu kalau Nicholas, itu penggila wanita jalang, penikmat kehidupan malam, tipe CEO yang akan dibenci dan tidak di percaya seluruh rekan kerjanya, bahkan para pemegang saham juga enggan menanamkan sahamnya pada CEO seperti itu."

"Nicholas bukan orang seperti itu! Dan lagi, gimana gue bisa bilang kehamilan gue palsu? Memalsukan kehamilan gue?" Desisku. Luapan emosi membuat sekujur tubuhku seperti dibakar Api. Seperti gunung api yang siap meledak.

Bruce kembali tersenyum licik, "Tentang itu... gue juga udah pikirin. Dan gue udah dapet jalan keluarnya."

Aku menegang. Apa maksudnya?

Aku menggigit bibir bawahku, entah kenapa aku merasakan keram pada bagian bawah perutku.

"Gimana bisa mengatakan kehamilan lo itu palsu, kalau lo lagi benar-benar hamil?" Gumamnya tampak berpikir, lalu ia tersenyum, kemudian tertawa kecil, "Tapi akan beda cerita kalau lo gak hamil lagi, kan?"

Keram diperutku yang kurasakan, semakin terasa menusuk. Aku mengepalkan tanganku yang berada persis di samping ponselku, sedangkan tanganku yang satu lagi sudah mengelus perutku. Apa yang dia lakukan?

"Ah... lo kira gue sebego itu?" Tanyanya begitu pandangannya tertuju ke ponselku. Tanpa bisa kucegah, ia meraih ponselku yang menampilkan Voice Recorder yang memang sedari tadi kunyalakan untuk merekam semua ucapan Bruce. "Keira... Keira... lo gak akan bisa menjebak gue. Gue udah lebih Prepare daripada lo." Ujarnya sambil menghapus file suaraku, kemudian mencemplungkan ponselku kedalam kopi panasnya.

Aku tidak yakin apa Alexis dapat melihat apa yang sedang terjadi, semuanya tertutup oleh bandan besar Bruce.

Bruce tertawa licik, ia lalu berbisik, "Gue baru melakukan langkah pertama. Mengambil kebahagiaan Nicholas dengan memasukkan obat kedalam minuman lo tadi. Dan sepertinya obat itu sudah bekerja untuk membersihkan hama pengganggu didalam sana. Selebihnya, gue hanya perlu melihat Nicholas menderita, kalau perlu.... Mati."

"Ahhh..." aku mengaduh, keram yang kurasakan sekarang semakin terasa. "Ale..." Bisikku, menatap Alexis, memohon pertolongan. Wajah Alexis pucat dan terkejut melihatku yang kesakitan. Tanpa pikir panjang, Alexis segera menghampiriku, Bruce terkejut, namun dia kembali tertawa.

"Ternyata lo lebih Prepare dari pada gue, ya?"

"Lexy, tolong... anak kakak..." bisikku tanpa memperdulikan ucapan Bruce.

"Lo Breng..."

Belum sempat Alexis memaki, kawanan Bodyguard yang menyamar menjadi pengunjung langsung meringkus Bruce. Bruce melakukan perlawanan, dan terjadi baku hantam disana.

"Lex..." bisikku lemah, mataku samar, aku akan segera kehilangan kesadaran.

"Kak! Kakak bertahan!!!" Seru Alexis.

Aku bisa merasakan sesuatu mengalir di kakiku, airmataku mengalir, bersamaan dengan sakit yang kurasakan.

"Lex... di... Tas... Kakak... Ada... Voice... Record....er"

"KEIRA!!!!!!!!"

Sebelum segalanya menjadi gelap, aku malah mendengar suara Nicholas yang memanggil namaku begitu kencang, tapi aku tidak sanggup untuk tetap membuka mataku.

Semuanya gelap, dan sunyi.

***

Tbc

HAIII!
Aku baru bikin akun instagram loh!!!
Difollow ya : Anindana_Official

Hug and kiss untuk kalian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro