Tigapuluh Empat
Keira's POV
Setelah Nicholas memulihkan dirinya yang habis di pukuli dengan tidak ada hati oleh kembaran laknat ku, aku dan Nicholas berjalan ke ruang keluarga.
Bisik-bisik suara yang sebelumnya terdengar, mendadak hening saat kami berdua masuk ke sana, dimana dua anggota keluarga sudah duduk menunggu kami, menunggu penjelasanku, lebih tepatnya.
Tante Rere dan Alleira yang duduk di sebelah Om Alvero dan Alexis tersenyum menatapku. Lalu Alleira berdiri dan menghampiri Kenneth yang memutuskan untuk duduk lebih jauh dari keluarga.
Mommy, dan Daddy menatapku dengan tatapan yang membuat hatiku sakit. Aku sudah mengecewakan mereka, lagi dan lagi, dan akan kembali mengecewakan mereka. Kelly hanya tersenyum samar menatap kami.
"Duduk." Ucap Daddy datar sambil menatap sebuah sofa kosong dihadapannya yang sepertinya memang diperuntukkan untuk menyidang kami.
Nicholas yang bereaksi terlebih dahulu, ia merangkul bahuku, memberi pijatan pelan, dan saat aku menoleh, dia sedang tersenyum.
Aku menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Aku mengangguk dan berjalan beriringan dengan Nicholas untuk duduk di hadapan keluargaku. Tangan Nicholas menggenggam tanganku, erat.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah berita itu hanya pura-pura?" Tanya Daddy, hanya Daddy yang sepertinya bisa bersuara.
"Dad, sebelum itu, aku mau mengatakan sesuatu. Sesuatu yang ku tutupi dari kalian. Setelah itu... aku akan menjawab semua pertanyaan kalian." Ucapku. Tanganku gemetaran di dalam genggaman tangan Nicholas.
"Ken..." aku mendengar Alleira berbisik, Alleira menatap kak Kenneth yang memucat, tangannya memegang dadanya, matanya menatapku tajam.
Apa kak Kenneth bisa merasakan sakit yang kurasa? Kegelisahan yang tercipta? Perasaan sedih untuk mengecewakan kedua orangtuaku?
Aku beralih menatap kedua orangtuaku, menunduk, tidak sanggup menatap kedua mata mereka.
"Keira... bukan anak baik seperti yang kalian kira selama ini." Setetes airmataku lolos, jatuh ke punggung tangan Nicholas. "Aku... Aku..." mengapa mengatakan kebenaran sangat sulit sekali, sedangkan kalau berbohong itu sangat mudah?
"Saat aku SMA dulu, saat aku tidak pulang seharian... aku diperkosa." Genggaman tangan Nicholas semakin erat. Dan aku mendengar nada terkesiap dari mulut semua orang. "Keira gak bisa bilang karena Keira jijik sama diri Keira sendiri, Keira mabuk, dan Keira gak tahu siapa yang melakukan itu sama Keira. Karena saat Keira bangun, hanya ada seragam basket milik Nicholas yang Keira kenakan."
"Brengsek!!!!!"
"Kenneth!!!" Seru Alleira, saat aku mendongak, Alleira sedang menahan dada Kenneth yang wajahnya sudah merah menahan amarah, dan aku yakin juga sesak didada yang juga dia rasakan. "Kamu dengerin dulu apa yang kak Keira akan katakan!"
Aku mengangguk, menatap mata kecewa orangtuaku, om Alvero, tante Rere, dan Kelly dan Alexis yang menatapku iba. "Selama tujuh tahun, aku juga membenci Nicholas untuk alasan yang sama. Karena dia sudah menghancurkan hidup Keira. Keira terperosok jauh ke kehidupan malam. Alkohol, club, dan juga... One Night Stand."
Mommy menangis di pelukan Daddy. Daddy menatapku kecewa dan geleng-geleng tidak percaya. Alleira masih berusaha menahan Kak Kenneth yang masih diliputi amarah. Sedangkan Tante Rere dan om Alvero memilih untuk menjadi pendengar netral meski aku yakin mereka kecewa.
"Keira takut rusaknya hidup Keira akan membuat kalian kecewa seperti ini, Keira gak mau membuat kalian kecewa." Aku terisak, Nicholas memelukku.
"Lalu apa yang kamu lakukan sekarang, Keira? Daddy lebih dari sekedar kecewa padamu!" Desis Daddy tajam. Dan hal itu, perkataan itu, adalah hal yang tidak aku harapkan keluar dari mulut Daddy. "Dan sekarang kamu mau bilang kalau Nicholas juga pria yang memanfaatkan tubuhmu? Hingga membuatmu hamil? Begitu? Kamu meminta restu kami? Apa menurutmu Daddy akan memberimu pada bajingan ini?!" Seru Daddy mulai tidak tertahan, nada suara Daddy sudah naik satu oktaf lebih tinggi, dan itu sama sekali bukan hal yang baik.
Aku menggeleng, "Dad, Dad salah paham. Nicholas sama sekali tidak bersalah disini, tapi Keira." Seruku. "Tujuh tahun, Keira juga salah paham dan membenci Nicholas dengan alasan itu. Tapi penjahat yang sebenarnya bukan Nicholas, Dad, Mom, Kak." Aku mencoba meyakinkan mereka, menatap mata kecewa mereka satu persatu.
"Mr--"
"Nic, biar aku yang menjelaskan semua ini." Ujarku memotong apapun yang tadi ingin Nicholas ucapkan.
"Aku akan membiarkan kami untuk bicara kalau kamu bisa mengontrol emosimu. Ingat anak kita, Kei!" Pinta Nicholas.
Aku lupa, aku melupakan keberadaan anakku. Aku menarik nafas dan berusaha mengontrol emosiku.
"Jadi kamu benar-benar hamil?" Tanya Mommy serak. Aku mengangguk. "Aku gak tahu, aku harus senang atau sedih denger berita ini, Pete." Ujar Mommy pelan.
"Beberapa bulan yang lalu, aku baru tahu, kalau orang yang menghancurkan hidupku dulu, bukanlah Nicholas." Ucapku pelan.
"Yeah? Bisa aja si bajingan ini membayar orang untuk membersihkan nama baik dia?" Ujar kak Kenneth menatap tajam Nicholas yang sama sekali tidak berusaha memasang sifat defensif. Seakan ia siap di hakimi sekali lagi untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah, bukan membela diri.
"Kak, Aku yakin kakak bisa merasakan sesak yang aku rasakan, kan?" Tanyaku pada kak Kenneth, tapi tidak ia jawab. "Aku yakin kakak tahu, apa aku sedang berbohong, atau tidak."
"Oh? Tapi gue merasa gue gak mengenal lo lagi, Kei. Setelah seluruh rahasia yang lo simpan dari kami, dari gue! Apa lo benar-benar Keira yang dulu pernah berbagi rahim sama gue?" Desisnya, "Dan gue gak tahu, apa sesak yang gue rasakan, adalah sesak yang lo rasakan, atau sesak karena lo udah membohongi gue selama ini."
Ucapan kak Kenneth menohokku.
"Apa yang dikatakan Keira adalah kenyataan, Kenneth!" Seru Nicholas.
"Lo cuman kedengeran seperti maling yang lagi membela diri!!" Kak Kenneth berdiri.
"Gue gak membela diri! Lo boleh mukul gue sesuka hati lo, tapi gue mohon, stop menyerang Keira, terutama perasaan dia! Dia lagi hamil, for god sake!" Nicholas ikut berdiri, membentengiku dengan tubuhnya.
"Bajingan!!!" Kak Kenneth maju, tanpa bisa dicegah Alleira. Tangannya sudah mengepal, hendak meninju Nicholas lagi, dan entah apa yang merasukiku, aku berdiri dan memposisikan diriku berdiri di depan Nicholas sambil memejamkan mata, menunggu datangnya tinju kak Kenneth. "Keira minggir!!!!"
Aku membuka mataku dan tinju kak Kenneth tepat ada di depan mataku. "Gak, Kak. Kakak harus dengerin aku dulu. Aku mohon sama Kakak, simpan kemarahan kakak, karena Nicholas bukan orang yang harus kakak habisi. Kakak harus ingat kalau aku lagi hamil, dan orang yang akan kakak tinju tadi adalah ayah dari anak yang aku kandung, Kak." Mataku memohon menatap Kak Kenneth. Apa yang kak Kenneth ucapkan, mungkin memang sakit, tapi aku harus bertahan.
"Kenneth, duduk! Tenangkan diri kamu!" Tegur Daddy.
"Ken... kalau kamu sekali lagi Lost Control, aku bersumpah akan membenci kamu." Ucap Alleira di samping Kenneth yang mendadak memucat. "Kamu harus dengerin cerita kak Keira. Aku mohon sama kamu." Pinta Alleira yang mau tidak mau dituruti oleh Kak Kenneth.
"Kamu gak apa-apa?" Aku berbalik dan melihat Nicholas yang menatapku tajam.
"Kamu tuh mikir apa sih?! Gimana kalau Kenneth gak bisa ngontrol tenaganya dan tinju itu melukai kamu?!" Nicholas memarahiku.
"Aku gak peduli." Isakku, "Aku cuma gak mau kamu terluka lagi untuk hal yang gak semestinya."
Nicholas memelukku, membiarkan ku menangis di dadanya. Melepaskan seluruh beban dan ketakutanku atas ancaman Bruce.
Setelah cukup tenang, Nicholas menarikku untuk duduk, meski ia masih merangkulku.
"Kalau kalian tidak mau percaya, Keira tidak memaksa." Ucapku lelah. "Kehamilan Keira adalah nyata, meski awalnya pura-pura. Kami memang melakukannya, sekali, dan itu tanpa paksaan siapapun."
Aku tidak terlalu peduli pada pendengar di bawah, -Kelly dan Alexis-, karena aku memang harus mengatakan ini.
"Usianya baru menginjak 5 minggu." Ucapku sambil membelai perutku. "Dia tidak bersalah, dan Keira mau membawanya kedunia ini."
"Kita. Kita akan membawanya bersama kedunia ini, Kei." Ucap Nicholas sambil mengecup keningku.
Aku tersenyum, lalu menangkup kedua pipi Nicholas.
"Kali ini, dan seterusnya, aku mau kamu mendengarkan aku baik-baik. Jangan menyela ucapanku, sampai aku selesai bicara. Paham?" Tanyaku menatap kedua matanya, lalu menatap ke seluruh mata yang ada diruangan ini. Nicholas meskipun aku yakin dia bingung, ia tetap mengangguk, menyanggupi permintaanku.
"Pagi ini... saat Nicholas pergi kerja meninggalkan aku di Apartemen, ada seseorang datang mendatangiku." Aku tersenyum getir, "Dia memintaku untuk membantunya, meninggalkan Nicholas, dan menghancurkan perusahaan Nicholas dengan memfitnahnya, mengatakan kalau Nicholas memaksaku untuk menjalani pertunangan palsu serta kehamilan palsu yang kami katakan di konferensi pers minggu lalu."
Aku mengangkat tanganku, menutupi bibir Nicholas yang hendak bersuara, aku lalu menggeleng pelan.
"Dia mengancamku, mengancam akan menyebarkan kehidupan malamku kepada keluargaku, menghancurkan karirku, dan juga... membunuh Nicholas kalau aku tidak membantunya." Aku kembali terisak. "Dan kalau aku... mengatakan hal ini pada orang lain, terutama Nicholas, orang itu bukan hanya akan membunuh Nicholas, tapi juga aku, dan anakku."
Tangan Nicholas terkepal, menahan seluruh emosinya, dan tetap mendengarkanku.
"Aku ingin melarikan diri, aku tidak ingin Nicholas mati, dan tidak ingin kehilangan anak ini. Kehilangan mereka, lebih baik aku mati." Bibirku bergetar, "Lalu aku pergi menemui Alleira tadi, dan menceritakan semuanya. Alleira memintaku untuk mengatakan ini pada kalian, dan Nicholas, karena Alleira mengatakan kalau kalian adalah keluargaku. Dan kalian berhak tahu yang sebenarnya."
Tidak ada yang bersuara, hanya ada suara isak tangis yang terdengar.
"Orang yang mengancamku, dan orang yang menghancurkan hidupku tujuh tahun yang lalu, adalah orang yang sama." Aku terdiam sebentar sebelum menatap mata kak Kenneth yang sudah berkaca-kaca. "Orang itu adalah Bruce Wiggin."
"Brengsek!!!!" Seru Nicholas dan kak Kenneth berdiri bersamaan.
"Yang kamu bilang, bener, kan?" Tanya Daddy tidak percaya.
Aku menghela nafas lelah, "Kalau Daddy gak percaya, Keira pasrah, Dad. Keira capek kalau harus jelasin dari awal lagi." Ucapku.
"Lalu apa yang mau kamu lakukan?" Tanya Daddy. "Gak mungkin kan kamu mengorbankan cucu Daddy?"
Aku tersenyum mendengar ucapan Daddy, aku lalu menggeleng. "Aku akan melindungi dia, dengan seluruh kekuatan yang aku miliki." Kataku sungguh-sungguh.
"Aku gak akan membiarkan Bruce menyentuh kamu, atau anak kita! Aku akan membunuhnya." Seru Nicholas.
"Gue ikut!" Aku menoleh menatap kak Kenneth yang sudah berjalan mendekati kami. "Gue akan membunuh bajingan itu dengan tangan gue sendiri karena sudah berani mengancam kembaran dan juga keponakan gue."
Aku menangis. Aku berdiri dan memeluk kedua laki-laki itu, "Keira gak mau kalian jadi pembunuh. Kalian bukan Bruce, dan Keira gak mau kalian kenapa-kenapa."
"Tapi dia harus diberi pelajaran, Kei! Ini bukan mainan, dan dia udah mengancam keselamatan kalian. Itu udah kelewatan!" Seru Nicholas. "Aku lebih gak mau kalian kenapa-kenapa." Suaranya pelan, dan terdengar pilu.
"Kakak minta maaf, Kei. Maaf karena kakak tidak bisa melindungi kamu dulu, dan sekarang." Suara kak Kenneth terdengar sama pilunya dengan Nicholas.
"Dengan Kakak percaya sama gue, itu cukup, kak." Jawabku.
Kak Kenneth melepas pelukanku, lalu menatap Nicholas, "Maaf, atas segala tinju yang udaj mampir ke muka lo. Tapi lo memang pantas mendapatkan itu karena sudah memainkan hati adik-adik gue."
Nicholas meringis dan tersenyum mendengar permintaan maaf yang tidak ikhlas dari kak Kenneth.
"Kak!!!" Tegurku.
"Apa? Memang benar kan, dia sudah membuat dua bidadari kakak menderita? Bahkan dia nyaris merebut Alle dulu! Itu masih belum bisa kakak maafin!" Bela kak Kenneth.
"Jadi Mommy benar-benar akan jadi nenek muda?" Tanya Mommy, kami bertiga menoleh.
Aku mengulas senyum tipis dan mengangguk.
"Terus lo akan nikah mendahului gue?" Tanya kak Kenneth.
Aku hanya melirik Nicholas dan menggidikkan bahu. "Tidak, sebelum masalah benar-benar selesai."
"Kalau gitu, gue masih ada waktu." Ucap kak Kenneth seperti bicara pada diri sendiri.
"Waktu buat apa?" Tanyaku bingung.
"Waktu buat nyicil bikin anak dulu sama Alle." Jawab kak Kenneth sambil tertawa.
"Lewatin om dulu!!!" Gerutu om Alvero yang sedari tadi diam memperhatikan kami. "Enak aja main bikin anak!"
"Masa aku kalah sama adik aku, om?" Protes kak Kenneth.
"Yang kamu mau hamilin itu anak om! Lawan om catur dulu baru kamu ngomong!" Tantang om Alvero sambil berkacak pinggang.
"Aku kan udah menang, om!" Protes kak Kenneth lagi."
"Tujuh tahun yang lalu, atas bantuan Alle! Kamu kira om bego?" Om Alvero mendengus.
Tidak ada yang bersuara selain mereka, dan dalam sekejab, suasana pengakuanku berubah menjadi peperangan internal om Alvero dan Kenneth.
"Si Om buka kartu aja sih. Bikin malu." Gerutu kak Kenneth pelan. Aku tertawa kecil.
Daddy berbeda, dia hanya terdiam dan terus melihatku. Rahangnya mengeras, dan aku tahu kalau pembicaraan kami belum selesai.
"Dad?" Panggilku.
Kedua orang yang berseteru langsung menoleh menatap Daddy.
Aku berjalan menghampiri Daddy, dan berlutut di depan kaki Daddy, mengadahkan kepalaku menatap mata Daddy. "Maafin Keira sudah mengecewakan kalian. Keira siap kalau kalian mau mencoret Keira dari daftar keluarga, atau daddy tampar Keira. Tapi Keira gak siap untuk kehilangan Nicholas, apa lagi anak Keira, cucu Daddy. Daddy mau Keira mencium kaki Daddy berribu kalipun, Keira akan lakukan, tapi Keira mohon, maafin masa lalu Keira. Maafin Keira." Aku menangis, mengistirahatkan kepalaku di pangkuan Daddy.
"Bangun, Kei." Ucap Daddy pelan. Aku menggeleng. "Daddy memang kecewa, tapi Daddy lebih kecewa sama diri Daddy yang tidak bisa melindungi kamu, membiarkan kamu menyimpan hal itu seorang diri. Tapi kamu tetap, dan selalu akan menjadi anak Daddy, putri Daddy, anggota dari keluarga McKenzie, kebanggaan Daddy dan Mommy. Bangun ya, Kei?" Daddy menarikku berdiri pelan, membawaku duduk diantara Mommy dan Daddy. Mommy langsung memelukku dan menangis.
Durhaka sekali aku telah membuat kedua orangtuaku menangis seperti ini.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan, hm?" Tanya Daddy.
Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab, mengatakan keputusanku, "Aku akan keluar dari dunia keartisan."
"Kei?!" Pekik Nicholas.
"Kak!" Alleira yang juga baru pertama kali mendengar keputusanku, terkejut.
"Kamu yakin? Bukannya ini impian kamu?" Tanya Daddy juga terkejut.
"Kalau memang cinta harus ada yang dikorbankan, maka aku akan mengorbankan karir aku, Dad. Bruce tidak akan bisa mengancam untuk menghancurkan karirku, atau mengecewakan kalian lagi kalau aku tidak lagi bergelut disana." Yakinku, "Ini keputusanku. Lagipula... aku jadi bisa fokus pada kehamilanku, kan?" Tidak yakin, sepertinya aku memberi semangat pada diriku sendiri saat ini.
"Keira..." lirih Nicholas.
"Aku udah pikirin ini baik-baik, Nic. Ini semua demi kamu, aku, dan anak ini." Aku mencoba meyakinkan Nicholas yang mulai menatapku penuh rasa bersalah. "Aku mantap untuk keluar dari dunia keartisan, Nic. Mohon kamu ngerti, ya?"
"Kamu serius?" Tanyanya ragu.
Aku mengangguk.
"Kalau gitu, kamu bisa disini setiap hari, kan? Temenin Mommy dirumah?" Tanya Mommy masih memelukku seperti anak kecil yang memeluk ibunya, manja.
"Iya, Mom. Itupun kalau kalian masih membukakan pintu untukku." Candaku.
"Siapapun yang berani menutup pintu untuk kamu, harus berhadapan sama Mommy!" Mommy melotot menatap seluruh anggota keluargaku yang mendadak seperti penjahat yang sedang menyerahkan diri, mengangkat kedua tangannya. "Lihat, kan? Tidak ada yang berani menentangnya."
Aku tertawa dan mengangguk, lalu membalas pelukan Mommy, "Maaf sudah mengecewakan Mommy, ya?" Ucapku, setetes airmata kembali mengaliri pipiku.
"Yang penting jangan ada rahasia lagi. Dan lagi, satu hal yang membuat mommy sedih..." ucapan Mommy menggantung, ia melepas pelukannya dan menatapku, "kenapa kamu bikin Mommy jadi nenek semuda ini? Padahal Mommy kira paling gak 2 tahun lagi baru akan dapat cucu dari Kenneth, eh kamu malah pulang bawa-bawa cucu yang udah 5 minggu di perut kamu. Mommy kan belum siap jadi nenek umur segini!!!"
Aku tergelak dan mengusap airmataku yang ternyata tumpah sia-sia tadi. "Mom, maaf ngecewain,tapi Mommy udah mau kepala 5 loh." Aku mengingatkan, dan Mommy mengerucutkan bibirnya.
"Pete!!!!" Gerutu Mommy mencari bantuan.
"Mau kamu udah jadi nenek-nenek, atau buyut, kamu tetap cantik dan aku tetap cinta kamu kok, sayang." Rayu Daddy yang langsung mendapat cibiran dari Mommy.
"Onta gombal!" Seru Mommy pelan.
Aku berdiri dan menghampiri Nicholas yang masih terlihat bersalah, aku duduk di sampingnya, dan memeluk lengannya, menatap kedua matanya.
"Aku akan baik-baik aja, kalau kamu berjanji, kamu juga akan baik-baik aja." Ucapku padanya.
Ia tersenyum dan mengecup keningku. "I won't let anybody hurt you. Kita laluin ini bersama."
"EHEM!" Dehaman keras yang berasal dari Daddy membuat kami membubarkan diri. "Kalian tidak melupakan kami, kan?"
Aku dan Nicholas tertawa malu, Daddy hanya bisa geleng-geleng.
"Kami akan membantu kalian, apapun yang kalian perlukan. Termasuk untuk menghadapi bajingan yang sudah berani menghancurkan dan mengancam Keira." Ujar Daddy sudah lebih tenang. "Kenneth juga akan siap menghabisi laki-laki itu kapan saja kalau sampai dia berani melukai kalian." Tambahnya.
"Itu sih urusan gampang, Dad. Yang penting kalau Kenneth masuk penjara, Daddy yang keluarin, kan?" Tanya Kenneth mencari penjamin.
"Ya itu urusan kamu. Kamu yang habisin dia, masa Daddy yang jaminin?" Daddy tertawa melihat wajah cemberut Kenneth.
"Kalau gitu gak jadi. Nanti yang ada, aku nikah sama Alle makin lama." Gerutunya sebal.
"Kamu tega sama adik kamu?" Tanya Daddy sambil menaikkan salah satu alisnya.
"Kan ada Nicholas." Ujar Kak Kenneth cuek.
"Dia aja kamu gebukin udah bonyok. Gimana mau bonyokin orang? Tipenya Nicholas tuh ya buat ngalahin caturnya om Alvero."
Mendengar perkataan Daddy, kak Kenneth melotot.
"Maaf, Om. Tapi saya masih ada disini, loh." Ujar Nicholas sambil tersenyum getir. "Bukan saya gak bisa berkelahi. Hanya saja saya menghargai Keira untuk tidak melukai kakak kembarnya. Kalau sampai itu kejadian, Keira pasti akan membenciku."
Aku bangga dengan apa yang dikatakan Nicholas. Setidaknya itu membuktikan kalau setiap tindakan Nicholas, ia selalu memikirkanku terlebih dahulu.
Aku gemas! Tanpa berpikir panjang, aku langsung mencium bibir Nicholas yang diiringi oleh nada terkesiap dari semua orang.
"Heh! Nih anak main nyosor aja!!" Tegur Peter.
"Gile, anak lo frontal, pete." Komentar om Alvero.
"Alver!!" Tegur tante Rere.
"Anjir... gue berasa deja vu." Guman Mommy.
Aku hanya tertawa sambil melihat mata Nicholas yang terkejut mendapat serangan tiba-tiba dariku.
Kalau berpikir masalah sudah selesai sampai disini, aku rasa tidak. Karena ini hanya permulaan. Dan masih ada masalah lagi yang harus kami hadapi.
Bersama, tentu saja.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro