Tigapuluh Delapan
Nicholas's POV
Keesokan harinya, Angeline memasuki ruanganku dengan membawa Map yang kemudian ia sodorkan kepadaku.
"Sir, Ms.Hayley memintaku menyerahkan ini untuk anda."
Aku yang sedang mencoba menyibukan diri dengan apapun yang ada di layar komputerku, mencoba untuk menjernihkan pikiranku, mendongak begitu mendengar nama Manager Keira disebut oleh Angeline.
"Apa ini?" Tanyaku datar, namun tegas. Apapun yang berada di map itu, sepertinya tidak akan membuatku merasa tenang, mengingat bagaimana aku dan Keira bertengkar kemarin.
Angeline terlihat ragu, ia nampak tengah menggigit bibir dalamnya.
Tanpa menunggu jawabannya, aku meraih map itu dan membukanya.
Aku terpaku dan mengepalkan tanganku begitu selesai membaca isi map itu.
"Apa Hayley menyerahkannya sendiri?" Tanyaku pelan, berusaha mengontrol segala emosiku yang masih tersisa.
"I-iya..." jawab Angeline takut.
Aku mempelototi isi map itu cukup lama, banyak pemikiran bercokol di kepalaku.
Kalau memang ini maunya, akan kuturuti. Aku meraih pulpen di dekatku, lalu membubuhkan tanda tangan persetujuanku disana.
Angeline nampak terkejut, dan dia hanya bergumam, "S-Sir..."
Aku menyerahkan map itu setelah menutupnya, "Lakukan saja apapun yang dia inginkan. Kamu bisa kembali."
"T-tapi Sir..."
"Lakukan saja, Angeline!!!" Tegasku sedikit lebih keras. Segala emosi bergejolak di kepalaku, tanpa keinginanku, aku malah melampiaskannya pada sekretarisku.
"B-baik, Sir." Jawabnya tergagap. "Saya permisi." Ia segera berlalu keluar dari ruanganku.
Aku membalik kursi kebanggaanku, menatap lemari yang berada di belakangku dan menggeram kencang, "AAAAAAAARGHHHH!!!" Berkali-kali aku menghentakkan kepalaku ke kursi, berharap denyut kesakitan itu menghilang, tapi tidak sedetikpun.
"Kenapa kamu begini, Kei? Kenapa? Kamu gak benar-benar serius dengan ucapan kamu, kan?" Seakan ada Keira di hadapanku, aku berbisik, bertanya, dan mendesah karena tidak ada jawaban apapun yang kudapatkan.
Aku mendengar pintu ruanganku terbuka, aku mendesah pelan, "Angeline, batalkan semua meeting dan jadwalku hari ini. Dan tolong alihkan seluruh tamu yang ingin menemuiku. Aku sedang tidak ingin diganggu." Pintaku tanpa membalikkan tubuhku.
"You sound so desperate, Nic."
Aku terkejut mendengar suara lembut itu, aku berbalik dengan cepat, lalu melihat perempuan itu tersenyum kepadaku.
"Hai..." Sapanya sambil tersenyum,"You look like a shit, Nic."
Aku menyunggingkan senyumku dan berdecak pelan, "Am i?"
Perempuan itu mengangguk dan berjalan mendekati mejaku, lalu duduk di hadapanku. "Bukan hanya kamu, Keira juga."
Mendengar nama wanita yang kucintai disebut, tubuhku menegang. "Apa terjadi sesuatu dengan Keira?" Tanyaku setengah mendesak.
Perempuan itu menggeleng, kemudian mengangguk. "Aku tidak tahu harus mendefinisikan Keira dalam Kategori apa, yang jelas kondisinya tidak berbeda jauh dengan kamu."
Aku terdiam, tanganku terkepal, aku mencoba mengingat bagaimana Keira kemarin, bagaimana ia mengatakan kalau ia tidak pernah mencintaiku, mengatakan kalau hubungan kami hanya pekerjaan, matanya yang memang datar, tapi suaranya tajam, menusukku, dan mengingat surat yang baru saja ku tanda tangani tadi.
"She cried after you left her." Ujar perempuan di hadapanku sambil tersenyum, tidak ada kebohongan yang bisa kutemukan di matanya, "Aku tahu dia nangis meskipun dia langsung masuk kedalam Apartemen dan mengunci dirinya seharian. Kenneth merasakan sesak di dadanya, dan kami mendengar isakkan pilunya."
Tubuhku menegang, aku menatap mata indah perempuan yang tak lain adalah Tunangan dari Kenneth, Alleira. namun lagi-lagi aku tidak menemukan kebohongan itu.
"She skipped her Therapy Session." Sambung Alleira.
"Tapi apa yang dia katakan..."
"Aku percaya kalau dia memiliki alasan. Dia tidak akan menangis kalau dia benar-benar serius mengatakan itu. Dan Joshua, ia benar-benar tidak mengerti apapun. Keira yang memintanya datang." Alleira menatapku dalam, meyakinkanku.
"But she Kissed him." Geramku.
"But he didn't." Bela Alleira langsung. "Aku percaya, kak Keira mencintai kamu, namun keadaan yang membuatnya mengatakan hal itu. Dia memerlukan kamu, Nic. Kamu sudah berjanji tidak akan meninggalkan Keira, kan?" Tanya Alleira lembut.
"Aku tahu, aku sudah berjanji. Tapi Keira yang memilih meninggalkan aku." Ucapku putus asa. "Hayley baru menyerahkan surat permintaan pemberhentian kontrak Kerja Keira. Dan aku sudah menandatanganinya."
Alleira tidak terkejut, namun dia menatapku dengan sorot menilai dan sedikit kekecewaan tersirat disana. "Jadi kamu mau membiarkannya pergi sebelum tahu apa alasan Keira melakukan ini semua? Alasan Keira yang sebenarnya? Apa hanya sedangkal itu perasaan kamu pada Keira?!" Tudingnya.
Seakan tersengat oleh lebah raksasa, otakku baru mulai bekerja. Mungkin perasaanku terluka, mungkin apa yang Keira katakan menyinggungku, apa yang Keira lakukan menyulut api cemburuku. Ya, Aku dibutakan oleh rasa cemburu tanpa memperdulikan logika tentang apa alasan Keira tiba-tiba berubah sikap seperti itu.
Apa jangan-jangan...
"Kalau memang kamu membiarkannya pergi tanpa berjuang, aku akan sangat kecewa sama kamu, Nicholas." Ucap Alleira menyadarkanku.
Aku mengusap wajahku kasar, bagaimana bisa aku sebodoh dan sebuta ini hanya karena ucapan Keira dan melihat Keira mencium Joshua? Jelas-jelas Keira mengatakan ia mencintaiku sebelum kami tahu kalau kami akan menjadi orang tua. Dan aku dibutakan oleh rasa cemburu itu dan juga kemarahanku.
Aku secepat kilat menekan tombol interkom, "Angeline! Batalkan surat permohonan Keira. Robek, kalau perlu bakar surat itu hingga tidak bersisa!" Seruku.
Alleira menyunggingkan senyumnya, "Dalam sebuah hubungan, akan selalu ada tarik ulur. Selama masih ada yang mau mempertahankan, maka itu artinya, hubungan itu masih memiliki alasan yang layak untuk tetap diperjuangkan." Ucapnya sambil tersenyum.
"Keira mungkin masih belum bisa meninggalkan masa sulitnya. Kehilangan anak tentu saja akan sangat berat, apa lagi untuk seorang ibu. Tapi bukan berarti Saat Keira mengusirmu pergi, kamu juga harus berlari sebelum tahu alasan Keira yang memintamu pergi."
Aku tersenyum, dan merasa bodoh hingga harus digurui oleh Alleira. Tapi apa yang Alleira katakan memang benar. Dan memang benar aku bodoh, terlalu bodoh untuk mendengarkan logikaku.
"Terima kasih, Alleira. Terima kasih sudah menyadarkan aku yang terlalu cemburu dan emosi. Terima kasih masih mempercayai aku yang bahkan tidak percaya apa aku masih pantas mendampingi Keira disaat aku tidak bisa percaya dan memaklumi Keira. Aku..."
"Tidak perlu berterima kasih. Pada dasarnya, masalah kalian itu sama seperti aku dan Kenneth, hanya ini lebih rumit. Tapi aku yakin, masih ada yang bisa dipertahankan dalam hubungan Kalian, ya itu Cinta." Alleira tersenyum menenangkanku.
Tidak salah kalau dulu aku pernah mengagumi perempuan ini. Dia dewasa dibalik penampilannya yang terlihat lemah.
Aku mengangguk dan segera bangkit dari kursiku. Alleira terkejut melihat reaksiku yang tiba-tiba, "Kamu mau kemana?" Tanyanya.
"Aku antarin kamu pulang. Atau kamu mau ke kantor Kenneth? Aku harus mempersiapkan sesuatu." Ujarku bersemangat.
"Mempersiapkan apa?" Tanyanya bingung.
Aku tersenyum dan meraih kunci mobilku, "Kamu pasti ingat kalau aku akan melamar Keira selepas dia keluar dari rumah sakit, kan? Ini sudah terlambat dua bulan. Tapi aku akan melamar dia malam ini."
Senyum Alleira mengembang, memamerkan deretan giginya yang rapih.
"Tapi aku butuh bantuan kamu dan Kenneth." Tambahku merasa sedikit tidak enak.
"Tidak masalah, kita bicarakan di kantor Kenneth." Ajak Alleira yang juga sudah berdiri di hadapanku, bersemangat.
Aku mengangguk dan berjalan menuju ke pintu ruang kerjaku, mempersilahkan Alleira untuk keluar terlebih dahulu, lalu meminta Angelin untuk membatalkan seluruh jadwalku hari ini.
*
Author's POV ✌
Keira menghela nafasnya yang terasa berat seraya menatap pemandangan diluat jendela kamarnya yang sudah dua bulan belakangan ini ditempatinya lagi.
Ia baru saja mengkonfirmasi dengan Managernya kalau surat pembatalan kontrak sudah dilayangkan ke perusahaan Nicholas sejak pagi tadi. Tapi sampai terakhir kali Keira menelepon Hayley, Hayley masih belum mendapat salinan pembatalan kontrak yang sudah si tanda tangani Nicholas, ataupun mendengar kabar persetujuan itu dari pihak Nicholas.
Tok tok tok
"Masuk." Seru Keira tanpa menoleh kearah pintu kamarnya.
"Di depan ada apaan, Kei? Seru banget ngeliatnya." Suara Kenneth berhasil membuat Keira menoleh dan hanya tersenyum samar sambil membetulkan posisi duduknya di samping jendela.
"Tumben Kakak jam segini udah dirumah?" Tanya Keira sambil mempersilahkan Kenneth untuk duduk di sebelahnya, dan saat Kenneth berjalan, ia baru menyadari kalau Kakaknya tidak datang dengan tangan kosong. Matanya memicing melihat kotak besar yang berada di balik tubuh Kenneth. "Kakak bawa apa?"
Kenneth menyunggingkan senyumnya, lalu mengeluarkan Kotak yang memang ia tidak berusaha untuk sembunyikan.
"Melihat Adik gue yang lagi sedih, gue mau ngajakin lo dinner." Ujarnya sambil menyodorkan kotak itu kearah Keira.
Keira menerima sambil mengernyit menatap Kenneth aneh. "Dinner? Maksud lo, makan keluarga?" Tanya Keira. Ia membuka kotak di pangkuannya dan tertegun melihat gaun malam yang indah terlipat disana. Ia bahkan bisa membayangkan dirinya akan sangat cantik kalau memakai gaun itu. "Is this for Alleira?" Tanyanya penasaran.
"Buat lo." Jawab Kenneth. "Wear it tonight. And... there will be a driver that pick you up at 7." Kenneth tersenyum kaku.
Keira mengernyit, "I'm not going with you? Gue bisa bawa mobil sendiri." Tawar Keira. Mendengar kalau ia akan dijemput supir pukul tujuh, dan melihat Gaun yang sudah disediakan untuk ia kenakan malam ini, Keira tidak dapat berhenti untuk berpikir kalau ini seperti ajakan kencan, tapi bedanya, ajakan kencan ini di keluarkan oleh kembarannya sendiri. "Is Alleira come along with us?"
Kenneth menggeleng. "Dia gak datang. Hanya lo dan gue. Kita dinner sebagai Kakak adik yang udah lama gak menghabiskan waktu berdua. Dan lo gak boleh ngendarain mobil lo, kita ketemuan disana." Ujarnya panjang lebar.
"Lo tahu? It sounds like you are asking me out for a Date. Dan orang-orang akan salah paham. You sure Alleira tahu rencana ini, kan? Karena gue gak mau dituduh merusak hubungan saudara kembar gue sendiri." Keira tertawa geli diikuti oleh Kenneth.
"Of course she knew. Dia yang mempunyai ide ini." Kenneth sedikit meringis. "So, i'll see you at 7.30? Gak apa-apa kan?"
"Gak ajak Kelly?" Tanya Keira sebelum Kenneth beranjak.
"Ah! Gue bosen makan malam sama dia mulu. Kan kalau sama lo jarang-jarang. Udah ya? Gue sibuk. Ketemu nanti malam. Jam 7 harus siap! Supir ada dibawah!" Seru Kenneth tanpa menerima bantahan lagi. ia berdiri dan mengacak rambut Keira sambil tersenyum. "I wish you to be Happy, Kei." Gumamnya pelan sebelum beranjak keluar, meninggalkan Keira dengan tanda tanya mengenai sikap Kenneth yang tidak biasanya.
*
Keira's POV
Jam 7.01, aku sudah berada di dalam mobil yang terlihat asing bagiku. Dan supir itu hanya tersenyum mempersilahkan aku untuk masuk.
Saat aku masuk, satu buket besar mawar menyambutku di sisi lain kursi penumpang.
Aku sedikit tersanjung dan juga meringis melihatnya. Tersanjung dengan mawar indah ini, dan meringis, mengingat kalau pemberi bunga ini adalah kak Kenneth, kembaranku sendiri.
"Siap, Nona?" Tanya Supir yang melihatku masih terpesona dengan buket bunga di sampingku.
Aku mengangguk, kemudian supir itu melajukan mobilnya tanpa berkata apapun lagi.
Hingga mobil sampai disebuah hotel berbintang, yang aku tahu memiliki restoran yang baru-baru ini menerima penghargaan 3 star Michelin. Dan aku sadar kalau membuat reservasi di restoran ini sangat sulit, kecuali memiliki koneksi atau memang orang tersebut adalah orang penting, dan Kenneth bukan termasuk dalam dua golongan itu. Dan kalau sampai bisa mereservasi seluruh satu restoran ini, orang itu pasti sangat-sangat kaya dan berpengaruh which is, kak Kenneth tidak akan melakukan hal itu hanya untuk makan malam denganku.
Tapi aku mulai sedikit takut saat melangkahkan kakiku masuk kedalam restoran yang biasanya penuh dan sibuk, mendadak kosong dan hanya ada beberapa pelayan yang berlalu lalang.
"Ms.Keira?" Tanya salah seorang pelayan. Aku tidak perlu bertanya darimana pelayan itu tau namaku, karena aku adalah model dan Artis, jadi merupakan hal lumrah kalau mereka tahu namaku.
Aku mengangguk.
Gaun malam merah yang panjang, serta buket bunga besar yang kubawa dari mobil, cukup membuatku kewalahan dalam berjalan. Dan hal pertama yang akan kulakukan ketika melihat Kenneth nanti, adalah melemparinya dengan buket bunga yang membuatku menjadi susah berjalan ini.
Apa melemparnya dengan stilleto-ku saja? Bunga ini terlalu indah untuk kulempar. Aku terkikik saat memikirkan wajah Kenneth saat menerima stilleto melayangku dengan wajah terkejutnya yang manis.
"Anda bisa duduk disebelah sini, Miss." Pinta Pelayan itu sambil menunjuk salah satu kursi yang berada di sebelah jendela yang menunjukan pemandangan kota LA pada ketinggian 53 lantai.
Aku mengangguk dan duduk setelah pelayan itu membantuku, lalu meletakkan buket bunga di meja kecil yang sepertinya memang sudah sengaja di sediakan di dekatku.
Aku melihat jam yang sudah menunjukan pukul 7.34, dan menghembuskan nafas sambil menopang daguku, menatap pemandangan kota LA, dan kembali sibuk dengan pemikiranku. Hal yang selama dua bulan membuatku seperti ingin mengakhiri hidupku yang sudah terdengar sia-sia ini. Hal yang membuatku melukai laki-laki yang aku cintai.
Setangkai mawar merah melayang di depan mataku. Aku mengerjap, mengembalikan lamunanku ke dunia nyata, dan tersenyum melihat mawar merah itu.
Aku meraihnya dan tersenyum sebelum menyemprotnya, "Kak, lo pasti tahu kan, kalau orang lain akan benar-benar mengira kita pacar...." senyumku memudar saat aku membalikkan tubuhku. Ini tidak mungkin...
"Hai..." Sapanya sambil tersenyum salah tingkah, matanya menatapku lembut.
Otakku bekerja terlebih dahulu dibandingkan hatiku. Aku berdiri dari dudukku, meraih tas tanganku dan hendak meninggalkan restoran ini yang baru kusadari, hanya ada aku dan dirinya.
Dan aku baru menyadari kalau Nicholas mampu untuk melakukan reservasi satu restoran ini.
Nicholas menahan lenganku, menatapku dengan tatapan yang mampu membunuhku dan menghancurkan pertahananku, membuatku ingin berlari dan membenamkan wajahku di dadanya, menangis dan meluapkan seluruh kegelisahanku kalau saja aku tidak berpikir untuk tidak egois.
"Don't go, Please." Pintanya berbisik. "Aku mau ngomong sama kamu. Kita harus bicara. Aku udah gak tahan dengan keadaan kita yang seperti ini. Aku mohon sama kamu." Otakku seakan lumpuh, dan saat ini hatiku yang mengambil alih seluruh tubuhku.
Aku kembali duduk tanpa berkata apapun, dan Nicholas berjalan, mengambil tempat duduk di hadapanku sambil tersenyum miring.
He's right. We need to talk. Kalau cara kemarin tidak mampu membuatnya pergi, maka aku akan melakukan dengan caraku sendiri. Batinku.
Aku meremas jemariku erat. Gugup, sedih, rindu, penyesalan dan kecewa siap meledak kalau saja aku tidak menahan seluruh perasaan itu di dalam.
Tidak ada dari kami yang berbicara selama makanan dihidangkan di hadapan kami. Mulai dari Appetizer, Salad, hingga Main Course.
Saat kami tengah menunggu makanan penutup yang serasa lebih lama dari hidangan lainnya, Nicholas memutuskan untuk bersuara.
"I'm Sorry." Ucapnya penuh penyesalan. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi denganmu, dan anak kita."
Here it is. Setelah dua bulan, akhirnya Nicholas memutuskan untuk membicarakan mengenai Anak kami.
"It's not your fault. Gue yang lalai dan menyebabkan anak gue celaka." Ucapku tanpa memandang matanya.
"Anak Kita, Keira." Koreksi Nicholas dengan nada tajam. "Dan itu bukan salah kamu, tapi aku yang membuat kamu terlibat dengan Bruce." Sesalnya.
Aku terdiam, tidak berani menanggapi.
"I know, aku jarang membicarakan tentang hal ini semenjak dirumah sakit. Karena aku gak mau kamu terus kepikiran dan menyalahkan diri kamu sendiri atas kepergian anak kita. Tapi itu malah membuatku seakan tidak peduli dengan keadaan. Tapi aku mau kamu percaya, kalau aku hancur, Keira. Aku hancur saat tahu kalau anak kita tidak selamat. Aku hancur membiarkan anak dan tunanganku dalam bahaya karena aku." Ucapnya pilu. Aku menggigit bibirku agar tidak menangis. Aku masih mengalihkan pandanganku dari matanya.
"Hei, Look at me, Please." Pintanya yang tidak kuhiraukan. "Aku tahu kamu tidak bermaksud dengan kata-kata kamu kemarin, dan maaf karena aku kebawa emosi dan cemburu melihat kamu mencium Joshua. Aku mencintai kamu, Keira. I really do."
Aku menahan nafasku, menulikan telingaku.
"Aku mau kamu jujur sama diri kamu sendiri, berhenti bohong dan nyakitin diri kamu. Aku disini. Kita laluin ini semua bersama-sama, ya?" Pintanya. Tangannya menggenggam tanganku yang terkepal, menahannya ketika aku hendak menarik tanganku dari genggamannya.
"Keira, Please." Pintanya pilu. Ia berdiri dan menghampiri kursiki. Ia berlutut di sampingku sambil terus menggenggam tanganku yang masih terus terkepal, tidak mau menyambut genggaman tangannya.
Bersamaan dengan Nicholas yang berlutut di hadapanku, seorang pelayan datang, membawa makanan penutup. Namun perkiraanku salah ketika pelayan itu meletakkan sebuah piring di hadapanku.
"Will you Marry me?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Nicholas, membuatku menoleh kearahnya yang tengah menatapku penuh kehangatan, dan aku tahu dia gugup.
Seketika aku teringat dengan candaanku ketika ia pernah melamarku saat ia babak belur di hajar kak Kenneth dulu, dengan mengatakan kalau lamarannya yang tanpa kneeling, Ring dan Romantic dinner sangat tidak romantis.
Kalau ini terjadi tiga bulan yang lalu, aku pasti akan kegirangan, berteriak, melompat ke pelukan Nicholas, dan berteriak 'Yes, i Will' dengan lantang.
Tapi bukan sekarang.
Bukan hari ini.
Dan bukan nanti.
Aku menarik paksa tanganku dan menatap mata Nicholas. Matanya sedikit kecewa saat aku menarik paksa tanganku, tapi ia tetap berlutut, setia menunggu jawabanku.
"Gue mau tanya satu hal sama lo. Setelah itu, gue baru akan menjawab pertanyaan lo." Ucapku datar. Aku melihat Nicholas tersenyum dan mengangguk. Ia terdiam menunggu pertanyaanku.
Aku menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan sebelum bertanya, "Aku baik-baik saja, kan?"
Sebenarnya, dengan atau tanpa jawaban jujur Nicholas, hal itu tidak akan mengubah keputusanku. Tapi aku hanya ingin Nicholas jujur padaku.
Nicholas mengernyit. Ia terlihat ragu sebelum kemudian tersenyum, "of course you are. And you will be fine, Keira. I've Promised you, right?" Ucapnya dengan tatapan hangat.
Aku menyunggingkan senyumku yang terasa aneh, dan menggeleng. "I'm not." Ujarku mengkoreksi jawaban Nicholas. "And i will not be fine, Now or later." Ucapku tajam
"A-are you..."
"Terapi apa yang selama ini aku jalani? Apa itu untuk mentalku yang terguncang akibat kehilangan anakku?" Tanyaku lagi, tapi aku benar-benar tidak membutuhkan jawaban bohong lagi dari bibir Nicholas yang hanya akan semakin menghancurkanku.
"Sampai kapan gue akan dibohongi seperti ini?"
Wajah Nicholas berubah muram, ia sudah berdiri dan kembali duduk di hadapanku. "Siapa yang memberitahu kamu?" Tanyanya.
Aku mendengus, "Dokter David." Jawabku.
"Sejak kapan..."
"Sejak gue sadar di hari pertama gue." Potongku sebelum Nicholas menyelesaikan pertanyaannya. "David mengira kalau lo sudah memberitahu gue tentang keadaan gue yang memerlukan Terapi atau Operasi. Selama ini, gue menunggu lo untuk jujur, tapi sampai detik ini, hanya kebohongan yang gue dapatkan." Ucapku tidak bermaksud menuduh.
"Bukan aku tidak mau jujur, tapi aku sadar kalau pilihan itu dan keadaan itu sangat berat untuk bisa diterima. Aku tidak mau kamu semakin terpukul apa lagi kamu masih berkabung dengan anak kita. Aku tidak mau kamu mengurung diri kamu dan menyimpan beban itu sendirian, tapi ternyata aku salah..." ucapnya menyesal. "Aku tidak peduli dengan keadaan kamu, Keira. Aku akan tetap menikah dengan kamu. Kita akan melalui hal ini bersama-sama."
Aku mendengus mendengar jawaban Nicholas. Apa ia tidak tahu kalau keadaanku yang sekarang akan berartikan apa pada keluarga Tyler yang hanya memiliki Nicholas sebagai penerus? Dan ambisi orang tua, terutama Mrs.Tyler yang menginginkan kehadiran cucu.
Aku tidak dapat menolak kalau aku berpikir, Nicholas mau menikahiku hanya berdasarkan kasihan dan tanggung jawab.
"Dengan, atau tanpa jawaban lo, gue tidak akan mengubah keputusan gue." Ucapku, Nicholas mengernyit. "Gue gak bisa menikah sama lo."
Bahu Nicholas merosot lesu, "Keira..."
"Lo sadar apa yang lagi lo lakukan?!" Tanyaku menaikan nada suaraku. "Gue gak bisa hamil lagi, Nicholas! Gue gak bisa kasih lo keturunan lagi! Gue gak bisa memenuhi permintaan Mrs.Tyler untuk memberikan cucu. Dan gue gak perlu rasa kasihan dari lo untuk menikahi gue!!!"
"Kamu gak ngerti, Keira! Aku sama sekali gak kasihan atau merasa perlu bertanggung jawab atas kondisi kamu! Aku serius mencintai kamu dan aku gak peduli apa kamu akan memberi aku keturunan atau gak. Aku hanya gak bisa hidup tanpa kamu, dan Mommy bukan orang yang ada dipemikiran kamu. Dia menyukai kamu, dan dia ingin aku bahagia, dan kebahagiaanku hanya sama kamu, Keira!!" Ia berkata setengah berteriak membalas ucapanku. Ia terlihat putus asa, tapi hatiku seakan terdapat benteng tak kasat mata yang entah sejak kapan kembali terbangun disana. "Aku mencintai kamu dan aku butuh kamu, Keira."
Airmataku lolos tanpa bisa kucegah. Aku menggeleng, "Lo yang tidak mengerti, Nicholas! Lo bisa ngomong kalau lo gak peduli, tapi semakin lo menua, lo akan merasa kesepian tanpa ada suara anak kecil atau anak-anak lo yang memperhatikan dan menjaga lo! Lo akan menghabiskan masa tua sendiri tanpa kehadiran anak yang bisa lo banggakan atau anak yang mau lo lindungi dari cowok-cowok seusianya. Saat lo sakit atau waktu lo sudah tiba, gak akan ada yang mengurus lo. Karena gue gak bisa memberikan mereka untuk lo. Dan Mrs.Tyler, gue tahu seberapa Mrs.Tyler menginginkan lo segera menikah demi mendapatkan cucu. Bukannya itu alasan utama lo meminta gue untuk pura-pura bertunangan sama lo? Agar lo gak di jodohin sama orang yang tidak lo kenal, dan dipaksa menikah demi memberikan orang tua lo cucu?" Aku menarik nafasku yang terasa tersengal setelah meluapkan segala uneg-uneg di dadaku. "Lo gak akan mengerti seberapa gue sebagai wanita, hancur, saat tahu kalau gue tidak mampu untuk hamil lagi. Dan gue gak mau egois dengan mengorbankan kehidupan lo yang sempurna."
Nicholas menggeleng. Ia hanya terdiam tanpa membalas ucapanku. Aku sama sekali tidak berharap Nicholas membalasnya.
"Lo bisa mendapatkan perempuan mana saja yang lo mau. Dan mereka mampu untuk memberi lo keturunan. Bukan gue." Aku terisak. "Gue harap lo mengerti. Gue gak butuh rasa kasihan dari kalian. Gue akan menjalani hidup gue sendiri, dan gue berharap lo melakukan hal yang sama."
"Hanya kamu yang aku mau, Keira. Hanya kamu." Gumamnya pelan.
Aku menggeleng dan menutup kedua telingaku, aku tidak mau mendengar suara memilikan itu dan pada akhirnya keputusanku goyah.
Nicholas menatapku nanar, "Apa kamu benar-benar bermaksud dengan seluruh ucapan kamu? Kamu akan baik-baik saja melihat aku bersanding dengan perempuan lain? Kamu akan bahagia melihat aku bersama perempuan lain?" Tanyanya datar. Matanya penuh akan sorot kesedihan dan kekecewaan.
Of course i won't. "Yes, I Will." Jawabku parau, tercekat dengan kebohonganku sendiri.
"Satu pertanyaan terakhir." Ucapnya putus asa. Matanya menatap mataku dalam. Dan tanganku yang menutup telingaku, sudah kuturunkan. "Apa kamu masih mencintaiku?"
Pertanyaan itu akan dengan mudah kujawab dulu. Tapi sekarang? Apa ini karma karena aku pernah merebutnya dari Kelly dulu?
"Kei..." ia memanggilku lembut. Matanya seakan memancarkan sinar harapan yang kemudian redup ketika aku menggelengkan kepalaku, lalu aku berdiri dan berjalan meninggalkan Nicholas.
Selesai sudah perjalanan kami. Tidak ada lagi kami. Yang ada hanya aku, dan Nicholas.
Sebelum benar-benar jauh, aku berhenti, tanpa berbalik, aku berkata pada Nicholas, "Tolong tandatangani surat pembatalan kontrak itu dan kirimkan salinannya ke kantor agensi. Saya akan membayar berapapun denda atas pembatalan kontrak itu." Ucapku berusaha terdengar tegas. Aku menghapus jejak airmataku dari pipi dan berbalik. Menatap Nicholas yang sudah berdiri, menatapku. "Senang bisa bekerja sama dengan anda, Mr.Tyler." ucapku sebelum benar-benar berbalik dan berjalan meninggalkannya.
Lalu di dalam Lift, tangisku pecah.
"Maafkan aku, Nicholas... Maafkan aku..." bisikku sambil membekap mulutku agar tidak mengeluarkan isakkan lagi.
Semua berakhir, dan aku yang mengakhirinya.
***
Tbc
Instagram : Anindana_Official
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro