Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sepuluh

Keira's POV

Sebenarnya aku sendiri bingung, apa yang membawaku menjejalkan kaki di kantor ini.

Alasan kerjaan? Ingin mendiskusikan sesuatu? Atau ingin bertemu Nicholas?

Oh, betapa aku ingin meracuni otakku saat otakku dengan lancangnya memikirkan alasan terakhir itu.

Tapi aku memang harus bertemu dengan Nicholas untuk mendiskusikan perihal pekerjaan.
Tunangan palsu, termasuk pekerjaan bukan? Bela hatiku.

Mau tidak mau, hatiku kembali terlonjak ketika kepalaku memikirkan ucapan Nanny tadi. Kalau memang apa yang Nanny ucapkan benar, dan Aku telah salah paham pada Nicholas, maka aku berhutang maaf atas tamparanku kemarin, tapi bukan maaf atas perlakuannya dulu.

Dan lagi... Nicholas melihatku menelanjangkan diri???? Oh Tuhan... aku ingin menyembunyikan wajahku di dasar sungai nil!!

Tapi apa benar? Maksudku... oh ayolah! Aku juga memiliki tubuh yang mampu membuat banyak laki-laki mengeluarkan air liurnya meski hanya dengan berbalut pakaian yang seksi. Apa lagi dengan aku secara 'sukarela' menelanjangkan diriku?
Nicholas benar-benar tidak melakukan sesuatu? Aku mulai curiga dia memiliki kelainan seksual.

Pemikiran panjangku, tanpa kusadari berakhir saat kakiku yang entah bagaimana berhasil membawa tubuhku sampai di lantai atau tepatnya depan pintu kerja Nicholas.

Sekarang aku sudah berdiri di depan meja sekertaris Nicholas yang tampaknya belum menyadari kehadiran tidak terdugaku.

Aku berdeham, membuat sekertarisnya mengadahkan kepala menatapku sedikit terkejut.

"Miss.... Keira... ada yang bisa ku bantu?" Tanyanya, mencoba menyembunyikan keterkejutannya namun bisa kukatakan kalau usaha itu, gagal!

"Saya ingin bertemu Ni... Mr.Tyler. dia di dalam?" Tanyaku mengabaikan ekspresi wajah bertanya Sekertaris Nicholas.

"Y-ya. Tapi saat ini Mr.Tyler sedang ada tamu di dalam. Apa sebelumnya anda sudah ada janji dengan beliau?"

Cih... janji? Males juga bikin janji sama Nicholas. Penting banget kali?

Aku menggeleng. "Katakan saja aku ingin bicara dengannya." Ujarku.

Sekertaris Nicholas mengernyit menatapku sebelum mengangkat gagang telepon dan memencet satu tombol yang kuyakini menghubungkannya dengan laki-laki di dalam sana.

Bagaimana kalau ternyata yang dia hubungi malah sekuriti karena dia merasa bosnya terancam dengan kehadiranku yang mungkin tidak segan-segan membunuh bosnya saat mengingat kejadian terakhir aku menjejakkan kaki disini?

Tidak mungkin...

"Miss Keira ada di depan, Sir. Beliau ingin berbicara dengan anda.... baiklah, akan saya sampaikan."

Sekertaris Nicholas meletakkan kembali gagang teleponnya lalu menatapku.

"Mr. Nicholas menyampaikan agar anda menunggu di ruang Meeting. Beliau akan segera menemui anda." Ucapnya terdengar lancar.

Aku mengernyit. "Siapa yang Ni... Mr.Tyler sedang temui? Kenapa harus saya yang menunggu di ruang meeting?" Tanyaku mulai tidak sabar.

Kalau memang pembicaraan yang Nicholas sedang lakukan itu penting, kenapa dia tidak membicarakannya di ruang meeting yang notabene memiliki fasilitas kedap suara dan fasilitas presentasi lainnya?

Dan yang membuatku sedikit meringis adalah kemungkinan kalau Nicholas sedang menemui pacarnya, membicarakan perihal masa depan yang pastinya tidak akan melibatkan diriku.

"Tidak lama sebelum anda, Ada seorang laki-laki yang katanya adalah teman sekolah SMA Mr.Tyler." jawab Sekertaris Nicholas yang membuatku benar-benar meringis.

Lah memangnya aku ini apa? Memang aku lebih baik puasa minum alkohol dari pada mengakui, tapi aku ini kan juga teman SMA yang satu angkatan dengan Nicholas?! Siapapun teman SMA Nicholas, pastilah aku kenal.

Apalagi kalau menyangkut teman laki-lakinya di SMA. Pasti tidak jauh-jauh dari teman homoannya di klub basket.

Aku terkekeh dalam hati.

"Saya juga teman SMAnya." Ujarku kemudian sebelum memutuskan dengan keras kepala untuk menderapkan langkahku kedalam ruang kerja Nicholas yang kemudian dengan cepat dikejar oleh sekertarisnya.

"Miss, Anda tidak boleh masuk kesana..." serunya tidak menggoyahkanku untuk masuk dan menemui Nicholas di dalam.

"Miss... miss Anda Tidak boleh..."

"Keira??"

"Kei?!"

"Lo....?"

*

Nicholas's POV

Aku tidak merasa kalau aku mempersilahkan Keira untuk masuk kedalam sini dan bertemu dengan Brian adalah pilihan tepat.

Dan aku berharap Keira dapat menerima keputusanku yang memintanya untuk menungguku di ruang Meeting.

"Miss... anda tidak boleh..."

Brakk

Aku dan Brian menoleh kearah yang sama, yaitu ambang pintu dimana Keira baru saja menerobos masuk, diikuti oleh Angeline yang sepertinya sedang berusaha menahan Keira untuk melakukan itu.

"Keira??" Panggil Brian spontan.

"Kei?!" Pekikku kaget. Aku seharusnya mencatatkan hal ini di kepalaku untuk ku ingat, 'Keira tidak akan semudah itu menuruti perintah dan menahan rasa keras kepalanya itu.'.

"Lo....?" Ucap Keira terputus begitu melihat Brian.

"Maaf, Sir. Saya akan membawa Miss Keira ke Ruang..."

"Tidak apa. Biarkan Keira disini." Ucapku begitu melihat tatapan tidak suka dari Keira yang sedang bergantian menatapku dan Angeline.

"Baik, Sir." Ucap Angeline sebelum berjalan ke belakang untuk menutup pintu yang tadi di buka paksa oleh Keira.

"Lo...." Keira masih terpaku menatap Brian yang sedikit membuatku meringis.

Keira masih mengenakan dress yang dikenakannya kemarin, yang tentu saja terbuka. Entah mengapa aku merasa tidak ingin Orang lain melihat tubuh Keira yang sedikit terbuka ini, terlebih Brian.

"Keira? Itu beneran lo?" Aku bisa melihat perubahan mimik wajah dari kaget, serba salah, hingga takjub dan mesum pada wajah Brian.

Tidak dapat dipungkiri kalau Keira yang dulu dan Keira yang sekarang terlihat berbeda. Berbeda dalam artian yang Lebih tentu saja. Lebih cantik, lebih seksi, lebih menawan, dan lebih.... ohhhh berehenti menatap Keira, you IDIOT!!! Gerutu hatiku ketika aku menyadari kalau aku terlihat seperti om-om mesum yang melihat setiap lekuk tubuhnya dari atas hingga kebawah.

"Lo...." Keira masih menggumamkan kata yang sama sejak melihat Brian tadi. "Lo.... Siapa ya?"

Aku membelalakan mata sebelum akhirnya meledak dalam tawa yang kencang.

"Lo ngapain ketawa sih?!" Gerutu Keira yang sadar kalau aku sedang menertawai keluguan, dan kebodohan dirinya.

"Hahaha... aduh.... aduh perut gue...." aku tertawa sambil meremas perutku yang mulai terasa keram karena kebanyakan tertawa.

Kapan terakhir kali aku tertawa lepas seperti ini? Entah, aku tidak mengingatnya.

"Nicholas! Berhenti ketawa!!!" Tukas Keira yang wajahnya mulai memerah.

Brian hanya mendelik menatapku sebelum kembali menatap Keira yang saat ini terlihat sangat manis dengan wajahnya yang merona merah itu.

Aku berhedam untuk menetralkan tawaku dan juga upaya mengembalikan wibawaku yang ku tahu tidak akan pernah kembali lagi di mata Keira sekarang. "Maaf." Ucapku berusaha tenang.

Awalnya aku takut kalau Keira yang terlihat kaget dan berusaha mengingat sesuatu dari memorinya begitu melihat Brian, akan teringat akan bagian Puzzle yang hilang atau luput dari ingatannya. Tapi entah kenapa aku merasa lega kalau Keira tidak terlihat mengingat siapa Brian meskipun kesalah pahamannya padaku akan terus berlanjut.

Aku takut kalau Keira sudah mengetahui kebenarannya, aku akan kehilangan kesempatan untuk berdekatan dengannya lagi. Dan lagi, aku tidak mau melihat kekecewaannya lagi dan lagi begitu bersinggungan dengan masalalunya yang aku tahu seberapa besar dia mencoba untuk melaluinya.

Lagipula, sebagian besar alasan Keira mengalami itu semua adalah karenaku. Maka sudah jelas porsiku disini untuk bertanggung jawab atas masalalu Keira.

"Gue Brian. Anggota tim basket Nicholas dulu. Lo lupa?" Tanya Brian sambil meringis.

"Brian?" Ulang Keira. Keningnya berkerut, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu lancipnya, seakan mencoba mengingat nama Brian di dalam isi kepalanya. "Brian as in TripleB?!" Tanya Keira, matanya melebar.

Aku sedikit melihat Brian ragu menjawabnya, tapi begitu melihat wajah antusias Keira, keraguan itu seakan menghilang dan berganti dengan tawa yang lebar. Tapi percayalah kalau aku mengatakan itu bukan tawa yang ditujukan untuk seorang teman lama. Melainkan tawa yang biasa aku jumpai saat melihat langgananku di klub malam, saat wanita penghibur mendekati mereka.

Alarm tanda waspada sudah menyala di kepalaku saat ini.

*

"Lo jadi diem kalau gue perhatiin?" Ujar Keira menatapku begitu Brian meninggalkan ruanganku 10 menit yang lalu.

"Perasaan lo doang." Ucapku.

"Lo masih kontekan sama anak-anak SMA?" Tanya Keira menunggu jawabanku.

Aku menghela nafas lalu menggeleng. "Gue terlalu banyak kerjaan. Gue juga gak nyangka kalau Brian akan nyamperin gue... setelah 6 tahun."

"6 tahun?? Hello... lo tinggal di planet apa? Apa gunanya sosial media, smartphone, dan aplikasi online lainnya kalau lo gak bisa pergunain untuk ngehubungin temen-temen lama lo??" Seru Keira yang menurutku berlebihan. Tapi dia terlihat manis.

"Gue mempergunakannya dengan baik." Aku menutup berkas di hadapanku dan menatap Keira. "Gue hanya malas berhubungan dengan mereka karena gue udah cukup sibuk dengan pekerjaan gue sekarang. Gak ada waktu buat hang out seperti lo." Ucapku tidak bermaksud menyindir.

"Then, apa yang lo lakuin di Klub malam kemarin?" Tanyanya yang membuatku terdiam. "Lo mau bilang kalau bukan lo yang bawa gue pulang semalem?"

Oh... aku jadi ingat tujuan Keira kesini pagi ini. Pasti dia kembali salah paham padaku, mendapati dirinya yang naked di ranjang tidurku.

"Gue gak menyangkal." Jawabku berusaha tenang. "Gue memang membawa lo pulang kemarin." Ucapku mempertegas.

"Terus lo tau dong apa yang akan gue lakuin ke lo setelahnya?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Aku berjalan meninggalkan kursi kebesaranku dan menghampiri Keira yang duduk di hadapanku tadi lalu duduk di bangku sebelahnya, memutar tubuhku menghadap Keira, lalu menyodorkan pipi Kananku kepadanya.

"Yang kanan aja ya? Yang kiri masih nyut-nyutan sama tamparan lo tempo hari." Ujarku sedikit geli, memikirkan orang bodoh mana selain aku yang denga suka rela senang hati menyerahkan pipinya untuk di tampar.

Keira tidak menjawab, membuatku melirik kearahnya yang seperti menahan tawa geli lalu merunduk.

"Gue mau pipi Kiri." Ucap Keira.

Aku berpura-pura mendesah, lalu memalingkan wajahku lagi, menyerahkan pipi kiriku untuk kembali di tampar. Pasti rasanya akan sangat pedas sekali.

"Tutup mata lo." Ucap Keira setelahnya.

"Wait, lo mau nampar gue kan? Bukan di silet? Kalo disilet, gue jujur aja sama lo kalau gue gak siap. Gue belom kawin. Bisa-bisa kalau muka ganteng gue ada bekas luka, gak laku dipasaran lagi." Aku memprotes, wajahku langsung berpaling menatapnya yang masih menunduk.

Wajahnya juga ikutan mendongak mendengar protesanku, lalu mengerjap.

"Bawel lo, nyet! Sok-sokan takut gak laku. Kalau emang cinta, ya cinta aja. Emang dengan tampang ok, itu bisa menjamin kebahagiaan nanti? Pas tua juga muka lo bakalan keriput. Ketampanan itu gak abadi." Ujar Keira yang surprisingly cukup bijak untuk keluar dari mulut Keira.

"Terus, kalau gue udah keriput, lo bakal masih tetap cinta dong sama gue?" Tanyaku iseng.

Dia terdiam seakan menyadari pertanyaan jebakanku.

"Buruan ah! Gue tampar bolak juga nih nanti." Ujarnya mengalihkan pembicaraanku.

Aku tertawa geli sebelum kembali menyodorkan pipi kiriku.

"Tutup matanya!" Pintanya lagi, aku mengikutinya dan memejamkan mata. "Jangan ngintip!" Tukasnya lagi.

"Iyaaa! Bawel!" Seruku gemas terhadap tingkah Keira.

Begitu aku mencoba mempersiapkan hatiku menerima tamparan pedas Keira, tiba-tiba aku merasa sesuatu yang lembut dan basah menempel pada pipi kiriku.

Aku tidak ingat kalau Tangan Keira sekecil, selembut dan sebasah ini. Secara refleks, aku langsung membuka mataku dan bersamaan dengan itu, Keira bergerak mundur dan langsung menunduk. Tanganku terangkat menyentuh pipi kiriku.

Barusan itu....?

"Sorry, atas tamparan gue waktu itu." Ucapnya setengah berbisik. "Kalau apa yang Nanny bilang tentang hobby aneh gue itu benar, maka gue udah salah paham sama lo."

Nanny menceritakannya pada Keira?

"Tapi itu hanya permintaan maaf atas kejadian belakangan ini. Sisanya gue masih membenci lo atas apa yang ada di masa lalu." Koreksinya secepat mungkin sebelum aku sempat berbicara.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Gak masalah." Ucapku lembut. Toh memang Keira berhak menyalahkanku. "Itu alasannya lo menemui gue disini?"

Keira yang masih menunduk hanya mengangguk kecil. "Dan ada lagi." Ujarnya.

Aku menunggu sampai Keira berani mengadahkan kepalanya menatapku dan melanjutkan kata-katanya.

"Setelah gue pikir-pikir, gue setuju membantu lo jadi tunangan palsu lo, itu cukup merugikan gue." Ucapnya yang entah kenapa membuat hatiku sedikit nyeri.

"Lalu, lo mau berhenti membantu gue?" Tebakku.

"Gue bukan tipe orang yang mengingkari janjinya." Ujar Keira. Kami kembali terdiam. "Gue punya syarat."

"Syarat?" Ulangku sambil mengernyit.

Keira kembali mengangguk. "Iya. Kalau masalah pertunangan palsu kita terkuak ke media, gue akan ada di pihak yang paling dirugikan nantinya." Terang Keira. "Gue akan menerima pertunangan palsu ini, asalkan tidak ada orang ketiga yang beresiko menguak kasus ini kemedia. Dan dalam kasus ini, pacar lo adalah orang ketiga itu."

Aku mengernyit, masih tidak terlalu mengerti arah pembicaraan Keira.

Keira menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghela nafasnya. "Gue... minta lo putusin pacar lo. Gue gak mau mengambil resiko karir gue hancur kalau sampai pacar lo muncul di publik nantinya."

Kernyitan di dahiku semakin banyak.

Aku harus memutuskan Kaylie? Well, hubungan kami memang baru seumur tunas jagung, dan juga aku memang tidak pernah berpikir kalau hubungan kami yang berawal dari sebuah kebohongan, tidak akan berakhir dengan baik.

"Baiklah." Jawabku yang langsung membuat Keira membelalakan matanya.

"Beneran? Ehmm... maksud gue bukannya jahat, tapi itu... karena... gue..." ujarnya gelagapan yang membuatku tertawa geli.

Segera kurain ponselku, dan mencari nama seseorang disana, meneleponnya meski aku tahu, aku akan menjadi lelaki terhahat di dunia, menelepon Kaylie di saat jam sekolahnya sedang berlangsung lalu memutuskannya.

"Lo nelepon siapa?" Tanya Keira.

Aku hanya memberi isyarat agar dia diam sejenak.

Membutuhkan waktu lumayan lama sebelum panggilan itu dijawab oleh Kaylie.

"Halo, Nic?" Panggilnya.

"Halo... Kay? Kamu boleh membenciku, dan aku tidak akan menyalahkanmu, tapi aku rasa kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan kita." Ujarku, mata Keira terbelalak.

"Ap-Apa?!" Tanya Kaylie tergagap diseberang sana.

"Maaf, tapi aku..." otakku mencoba mencari alasan, dan mataku terkunci pada Keira yang menatapku dengan tatapan tidak teganya dan seakan merasa bersalah. "Aku mencintai perempuan lain, dan aku akan segera menikahinya." Sambungku. Entah kenapa aku bisa melihat semburat kemerahan di wajah Keira sekarang.

"Tap-tapi..."

"Maafkan aku, Kay." Ucapku sebelum mematikan sambungan, lalu mematikan ponselku, membuka simcardku, lalu membelahnya menjadi dua.

"Sudah?" Tanyaku membangunkan lamunan Keira yang masih terlihat terkejut.

"Lo gila....?" Tanyanya.

"Tunggu, beberapa menit yang lalu, siapa yang meminta gue untuk mutusin pacar gue?" Tanyaku menatap Keira dengan sebelah alisku terangkat.

"Tapi gak secepet itu juga,maksud gue... kasian kan....?"

"Oh? Jadi gue harus telepon dia dan minta balikan? Gak masalah." Aku mengangkat gagang telepon di mejaku lalu menekan nomor Kaylie yang baru saja aku mencoba untuk mengingatnya sebulan belakangan ini. dengan cepat tangan Keira menghentikan gerak tanganku. "Kenapa?" Tanyaku.

Keira hanya terdiam dan menunduk. Aku tersenyum. Entah kenapa aku merasa nyaman dengan adanya Keira di dekatku. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Atau karena aku sudah mengenal keira lama? Dan Keira juga sudah tahu baik buruknya diriku? Aku jadi tidak perlu menjadi orang lain lagi?

"Gue sudah memenuhi syarat lo." Ucapku, membuatnya menatapku sekarang. "Gue juga mau mengajukan syarat. Tujuannya agar lo tidak menjadi ancaman penghancuran nama baik perusahaan."

Keira mengernyit. Aku sudah tahu Keira akan memprotes, tapi segera aku meletakkan telunjukku di bibirnya. Bibir yang tadi mencium pipiku lembut.

"Gue mau lo gak ke klub malam dan mabuk-mabukan sendirian lagi, tanpa gue." Tawarku. Aku tahu, melarang Keira untuk ke klub malam itu sama saja seperti melarang Keira untuk bernafas. Jadi aku melakukan penawaran terbaik saat ini.

"Tapi..."

"Dengan kebiasaan aneh lo, gue gak mau pagi-pagi melihat wajah lo di koran atau majalah." Ujarku yang membuat wajah Keira bersemu malu.

Aku tersenyum, "Gimana?"

Keira terdiam lama, cukup lama untuk mematangkan telur rebus di panci sampai akhirnya Keira kembali bersuara.

"Oke, gue terima persyaratan lo."

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro