Empatpuluh Tiga
Keira's POV
Lagi, bau obat-obatan yang paling kubenci tercium bersamaan dengan serangan cahaya dikedua kelopak mataku saat berusaha untuk terbuka.
Aku tidak pernah membenci rumah sakit sampai terakhir kali aku sadar disana, dan aku kehilangan seluruh semangat hidupku.
Bahkan seminggu sekali aku ke rumah sakit untuk melakukan terapi saja, sudah sangat amat menyiksaku karena terus menerus membuatku teringat akan kehilanganku.
Tapi aku malah terbangun di sini lagi. Dosa apa aku harus terus berurusan dengan rumah sakit?
Aku merasakan pergerakan di jemari kananku, dan berganti menjadi genggaman erat. Saat aku menoleh, wajah serius Nicholas lah yang kulihat pertama kali. Apa terjadi sesuatu padaku? Kenapa Nicholas terlihat serius sekali? Seakan aku melakukan kesalahan besar dan ia sedang siap menghakimiku.
"H-hai." Sapaku pelan sambil tersenyum.
Nicholas tidak menjawab. Wajah seriusnya masih terpasang jelas. Bahkan iapun tidak membalas senyumanku, dan aku tahu kalau ini bukan saatnya untuk melakukan candaan.
"Apa terjadi sesuatu padaku?" Tanyaku takut. Dan begitu Nicholas mengangguk, airmataku mengalir begitu saja.
"Kapan kamu terakhir makan hari ini?" Tanyanya serak. Genggaman tangannya menguat.
"Pagi... sebelum menjemput Mike." Jawabku pelan. Apa ini ada hubungannya dengan aku yang telat makan?
"Berapa lama kamu tidur beberapa minggu belakangan ini?" Tanyanya lagi.
"L-lima jam, kadang enam sampai tujuh jam. Tergantung kamu minta sampai berapa ronde." Jawabku jujur.
Nicholas meringis pelan mendengar jawabanku. Ia menghela nafas panjang, lalu menatapku.
"Ada keanehan disini." Ucapnya. Tangannya terangkat menyentuh perutku.
Apa rahimku bermasalah lagi?
"David menyarankan untuk melakukan operasi." Ia menghela nafas sambil menunduk.
"Kamu gak setuju, kan, Nic?" Tanyaku menggoyang tangannya.
"Aku sudah menyetujuinya, Kei. Ini semua demi kebaikan kamu." Lirihnya.
"Gak, Nic! Aku gak mau! Kamu sendiri yang bilang kalau masih ada harapan, kan? Kalau aku operasi, harapan apa lagi yang aku punya?! Aku gak mau Nic!!!" Teriakku, kutarik tanganku,tapi Nicholas masih menggenggamnya erat.
"Kei, dengarkan aku!" Pintanya,tapi aku tidak mau.
Aku masih berusaha menarik tanganku, sampai pintu kamar rawatku terbuka, dan keluargaku serta keluarga Nicholas menyerbu masuk kedalam.
"Lo apain Keira?" Tanya kak Kenneth menatap Nicholas bingung.
"Nicholas!" Tegur Mommy mertuaku.
"Eh, anak manusia! Pinteran dikit, lo mau jadi sate?!" Gerutu Daddy.
Nicholas kemudian meledak dalam tawa, dan aku menatap Nicholas tajam. Mataku masih sembab, dan aku masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Maaf, aku hanya mau mengerjai istriku sedikit." Nicholas berbalik dan menatap semua mata yang sudah menatapnya seakan siap membunuhnya disana.
Nicholas lalu berbalik lagi menatapku, "Kamu belum selesai mendengarkan ucapanku. Tapi kamu udah histeris duluan." Ucapnya menuduhku. "Memang ada keanehan disini..." tangannya kembali menyentuh perutku, "dan dokter memang menyarankan untuk operasi. Tapi bukan sekarang. Tapi 7 bulan lagi."
Aku berkedip-kedip menatap Nicholas, "Maksud kamu?" Tanyaku ketus, tidak mengerti.
"Gini nih anak kamu, Vi. Lemotnya 11 12 sama emaknya." Sindir Daddy yang langsung mendapat cubitan dari Mommy.
Nicholas tertawa, lalu berdeham, "Kamu hamil, sayang."
"Nic, kalau kamu bercanda, ini sangat tidak lucu." Tandasku sinis menatapnya.
Nicholas tergelak, dan ia mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya, lalu meletakkannya di pangkuanku.
Aku meraih secarik kertas yang berlatar hitam tersebut dan mengernyit.
Foto USG yang pernah kulihat, tapi aku tahu ini adalah foto yang berbeda.
Airmataku kembali mengalir.
"I-ini...?"
Nichola mengangguk, "Iya, sayang. Aku gak bohong atau bercanda. Ini anak-anak kita."
Entah kenapa aku tidak percaya, sulit percaya. Aku menatap seluruh keluargaku yang sudah menahan haru dibelakang Nicholas.
"Mereka sudah 6 minggu di dalam sini. Dan mereka sehat-sehat saja." Nicholas kembali mengelus perutku dengan sangat perlahan. Matanya yang sudah berkaca-kaca, tidak terlepas dari mataku yang sudah lebih dulu menangis.
"Mereka?" Ulangku.
Nicholas mengangguk lagi, "Tuhan mendengar doa kamu, doa aku, doa kita semua, dan ucapan anak kita, sayang. Bahkan aku tidak percaya kalau harapanku saat aku meniup lilin tadi akan terkabul secepat ini." Setitik airmata Nicholas terjatuh saat Nicholas mengerjapkan matanya. "Tuhan memberi kita 3 malaikat yang sedang tumbuh disini. Menggantikan malaikat kecil kita yang sudah meninggalkan kita dulu." Tambahnya.
Aku benar-benar tidak percaya kalau ini bukan mimpi. Dengan keadaanku yang sulit hamil, Tuhan memberiku 3 malaikat kecil sekaligus.
Aku kembali menangis, dan Nicholas beranjak untuk memelukku.
"Terima kasih." Bisiknya pelan. "Terima kasih atas kado terindah yang pernah aku terima selama ini. Terima kasih." Bisiknya terisak, kepalanya terbenam di leherku dan aku bisa merasakan air yang sedikit membasahi pipiku. Yang pasti, bukan berasal dari airmataku.
"Kamu jahat!!" Omelku. "Aku kira rahim aku benar-benar harus di angkat!"
Nicholas tertawa, wajahnya diangkat, dan aku dapat melihat dengan jelas airmata yang masih mengalir di wajah bahagia Nicholas.
"Aku hanya mau ngerjain kamu yang udah ngerjain aku tadi." Jawabnya sambil tertawa ditengah isakkannya. "Maaf kalau aku bikin kamu takut." Tambahnya.
Mau marah juga tidak sampai hati, aku terlalu bahagia dengan berita ini. Yang ada, aku memeluk Nicholas erat.
*
Setelah serangkaian test dan aku kembali melihat anak-anakku di layar saat melakukan USG, aku bernafas lega mendengar kalau mereka baik-baik saja.
Namun kejadian lalu, harus kembali di waspadai. David menyarankan agar aku rutin memeriksakan kandunganku, dan jangan kelelahan, apa lagi sampai kurang tidur dan makan tidak teratur seperti kemarin yang menyebabkan aku pingsan.
David mengatakan kalau dinding rahimku harus terus di kontrol, karena ia takut kalau infeksi lalu bisa saja membahayakan kandunganku yang sekarang.
Bahkan David sendiri juga takjub dan mengatakan kalau kehamilanku yang kembar 3 ini adalah sebuah keajaiban.
Ini adalah buah dari hasil kerja keras Nicholas yang tidak berhenti berusaha setiap malam, dan juga kesabaranku meladeni setiap usahanya. Oh aku mau tertawa mengingat itu semua!
Nicholas yang mengetahui keadaanku, berubah menjadi tambah protektif. Ia bahkan langsung membeli sebuah mansion mewah yang hanya berjarak 5 menit dari rumah sakit agar aku selalu mendapat penanganan utama kalau terjadi sesuatu. Bahkan David selalu datang kesana setiap pagi siang dan malam untuk mengontrol kehamilanku.
Berlebihan? Sangat!
Aku yakin kalau aku masih sanggup untuk naik tangga ke lantai dua, tapi Nicholas ngotot untuk menempatkan kamar tidur kami di lantai bawah agar aku tidak kelelahan.
Ia juga memperkerjakan 4 pembantu rumah tangga yang bertugas mengatur seluruh giziku pagi siang sore dan malam, dan 1 supir pribadi yang akan mengantarku kemana saja. Ya, aku tidak lagi diperbolehkan menyetir dan mengerjakan apapun seorang diri.
Bahkan termasuk........
"Nic!!!" Aku mengetuk pintu di hadapanku dengan kesal.
Sudah 5 kali aku mengetuk pintu itu dengan jeda 3 menit di setiap ketukan, tapi tidak ada jawaban apapun yang kuterima selain erangan dari dalam sana.
"Nicholas, buka!!!" Seruku mulai tidak sabar. "Buka atau aku dobrak pintunya?!" Ancamku.
"Kei, jangan ganggu!!!!" Seruny dari dalam.
"Nicholas!!!!!" Seruku kesal.
"Arrrrrghhhhhh..."
"Aku memang hamil, tapi aku masih bisa melakukan itu!" Gerutuku.
"Gak, Kei! Kamu gak dengar apa kata David?!" Serunya disela-sela helaan nafas beratnya yang sangat terdengar.
Aku manyun mendengar perkataan calon Daddy dari 3 anak-anakku itu. "Tapi kalau aku pengen gimana?" Tanyaku.
"Keira jangan mancing!" Suaranya memperingatkanku.
"Aku ngidam!" Seruku.
"Gak ada ngidam begitu!" Balasnya kemudian kembali menggeram.
"Nic, please. Kamu ngelarang aku untuk ngapa-ngapain. Seenggaknya biarin aku melakukan hal itu." Kalau seruan dan ancaman tidak berarti, aku mencoba cara lembut dan meminta.
Satu menit... tidak ada jawaban. Yang ada hanya geraman.
Aku mulai kembali kesal.
"Nicholas Tyler!!!!" Aku menghentakkan kakiku sebal.
"Aaa... aaaah... aaaaarghhh Keiraaaaa!!!"
Aku menghela nafas kesal saat tahu kalau ia tetap keras kepala di dalam sana untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya.
Ya, Ia menahan dirinya untuk tidak "meniduriku" dengan menghabiskan waktu 30 menit lebih lama di kamar mandi dan menggeram hingga kepuasannya tersalurkan.
Ini semua akibat David yang mewanti untuk melakukan hubungan intim yang "sehat dan pelan" agar tidak melukai dinding rahimku.
Tapi bukan berarti aku tidak bisa melakukannya,kan?
Bahkan aku yang tersiksa sendiri mendengar geraman-geraman seksi Nicholas di dalam kamar mandi hingga membuatku terangsang setengah mati.
Menyebalkan!
Aku memukul pintu kamar mandi dengan lumayan kencang, "Jangan teriakin nama gue kalau yang membuat lo puas itu tangan lo sendiri, Bego!!!"
Aku segera berlalu dan meninggalkan pintu kamar mandi.
Aku sepertinya harus berendam di air dingin untuk meredam nafsuku yang tidak akan tersalurkan ini.
*
"Kamu mau kemana, hm?" Tanyanya lembut. Aku bisa melihat dia melirikku sekilas sebelum kembali melihat jalanan di depan.
Aku masih diam, tidak mau berbicara dengannya. Aku kesal, benar-benar kesal.
Meskipun Nicholas sudah sengaja mengambil cuti hari ini untuk menemaniku,tapi tetap saja! Apa yang terjadi pagi tadi di dalam kamar mandi, tidak bisa kumaafkan karena hal itu sudah terulang berkali-kali semenjak kehamilanku diketahui 2 minggu yang lalu.
"Keira... jangan marah lagi. Kita sudah bicarakan ini, kan? Aku gak mau melukai kamu sama anak-anak kita. Mereka itu penantian kita yang sudah lama." Suaranya semakin lembut mencoba merayuku.
Tapi aku tetap diam.
"Kamu tahu kan, seberapa aku kasar kalau di kasur? Aku gak mau mengambil resiko yang membahayakan nyawa anak-anak kita, Kei." Bujuknya.
Kali ini aku melunak. Aku menoleh menatapnya yang sesekali mencuri pandang kearahku.
"Tapi aku sanggup, Nicholas." Ucapku pelan.
"Aku tahu. tapi itu beresiko, sayang."
Aku menghela nafas dan kembali menatap jendela di sebelahku.
"Aku lebih baik membuat tanganku patah, dari pada mengancam nyawa anak-anak didalam, Kei. Aku gak mau melihat kamu sedih lagi."
"Tapi aku pengen, Nic." Selaku, kembali berbalik menatapnya. "Aku mau..."
"Aduh... jangan tatap aku begitu." Pintanya yang terang-terangan menghindari tatapanku. Tapi aku masih tetap menatapnya dengan tatapan 'puppy eyes' milikku. "Kei aku serius! Kamu membangunkan adikku dengan tatapan kamu!"
"Bagus! Kita puter balik, atau cari hotel. Aku akan membantu kamu!" Seruku bersemangat. "Oh, atau mau disini? Bisa kok!"
Aku terdengar sangat murahan sekarang.
"Keira..."
"Turutin, atau aku pulang kerumah orangtuaku?!" Ancamku menyela ucapannya.
Nicholas menghela nafas, namun bibirnya melengkungkan sebuah senyuman.
"Keras kepala!" Sindirnya, namun senyumnya semakin melebar. Ia kemudian memutar balik haluan mobilnya, dan memanuver mobilnya kembali ke arah mansion kami.
Aku juga tidak bisa menyembunyikan senyumku karena keinginanku akan terpenuhi. Aku yakin, anak-anakku akan kuat di dalam. Mereka akan baik-baik saja.
*
Aku bergelayut manja di lengan Nicholas selagi ia menyetir, membawaku ke Apartemen Mommy setelah memeriksakan kandunganku selepas 'olahraga' kami tadi.
Dan mereka baik-baik saja.
Hanya Daddynya saja yang terlalu khawatir kalau kebringasannya di kasur tadi akan melukai mereka.
"Berhenti senyum-senyum!" Ujar Nicholas. Padahal dirinya juga tidak berhenti tersenyum semenjak tahu anak kami baik-baik saja.
Aku tidak mengindahkan perkataan Nicholas. Aku memeluk lengannya semakin erat.
Itu yang namanya ngidam? Ngidam bukan sih? Entahlah, tapi aku senang keinginan mesumku terpenuhi.
Sesampainya di Apartemen Mommy, Nicholas merangkul pinggangku dengan erat. Bahkan rangkulannya tidak terlepas sampai kami berada di depan pintu apartemen dan ketika aku mencoba untuk memasukkan kode pengaman di gagang pintu.
"Mommm!!" Teriakku begitu pintu terbuka.
Kepala Mommy melongo keluar dari celah yang terdapat antara ruang tamu dan dapur, dan senyumnya mengembang saat mendapatiku diruang tamunya.
"Cie... si gendut dateng."
Sapaan pertama yang keluar dari bibir Mommy setelah 2 minggu tidak bertemu semenjak aku keluar dari rumah sakit.
"Mom!" Gerutuku, namun Nicholas malah tertawa mendengar panggilan baru Mommy untukku.
Ya wajar sajalah kalau tubuhku semakin berisi! Aku membawa 3 nyawa di dalam perutku yang akan semakin membesar. Aku juga harus memenuhi kebutuhan gizi mereka. Apalagi, keempat pembantuku memasak makanan yang lezat setiap hari.
Untung saja aku sudah berhenti total dari dunia model. Jadi aku tidak terlalu mengkhawatirkan berat badanku.
"Kalian sudah makan?" Tanya Mommy sambil membawa sepiring buah apel yang sudah dipotong abstrak.
Mommy memang tidak pandai di dapur, sama sepertiku.
Bukannya tidak pandai, masakannya masih bisa dimakan, enak malah terkadang, tapi presentasi dari makanan itu kadang membuat kalian mempertanyakan rasanya. Sama seperti buah-buahan yang dipotong. Kalau tidak benyek ya... abstrak. Berbeda dengan tante Rere.
"Sudah sebelum kesini." Jawab Nicholas sambil memasukkan sepotong buah apel abstrak itu kedalam mulutnya.
Untungnya juga, Nicholas sudah terbiasa dengan potongan buahku yang tidak kalah abstrak, jadi ia tidak akan mengernyit geli melihat potongan buah Mommy, sebagaimana ia mengernyit geli melihat potongan buahku pertama kali saat kami baru menikah.
"Kalian ngapain kemari?" Tanya Mommy.
"Emang aneh ya kalau aku ke rumah Mommy aku sendiri?" Tanyaku sambil mengangkat salah satu alisku.
"Ya ampun, ibu hamil sensian banget." Sindir Mommy. Nicholas kemudian tertawa seakan membenarkan pernyataan Mommy.
Aku menatap tajam Nicholas yang langsung berhenti tertawa.
"Gimana keadaan cucu-cucu Mommy?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan, atau lebih tepatnya mengalihkan perhatianku sebelum mencubit paha Nicholas yang masih menahan tawanya.
"Baik. Tadi baru kita periksa lagi." Jawabku sambil sesekali melirik kearah Nicholas. Aku lalu menatap manik mata Mommy dan mencoba menggodanya, "Jadi ceritanya, ada yang udah menerima nih jadi nenek muda?" Sindirku mengingat dulu Mommy syok saat mengetahui kehamilan pertamaku.
"Mencoba mengikhlaskan." Jawab Mommy sok bijak, "Dari pada kamu sedih mikirin gak dapet anak melulu. Ujung-ujungnya Mommy sama Daddy yang ikutan stress." Ucapan Mommy malah menyindirku.
Ini aku yang terlalu sensi atau memang Mommy berniat menyindirku sih? Kenapa dikit-dikit aku emosian melulu?
"Jadi... kamu udah ngidam apa aja selama ini?" Tanya Mommy disaat aku sedang sibuk mengutuk. Namun pertanyaan Mommy malah membuat wajahku memanas mengingat kejadian pagi tadi saat aku memaksa Nicholas untuk berhubungan badan.
"Gak ada." Jawabku cepat.
Itu tidak terhitung ngidam! Iya, itu pasti bukan ngidam!
"Payah!" Seru Mommy sambil bersandar di sofa. "Gak seru kamu! Percuma jadi anak Mommy!"
Aku mengernyit bingung. Apa hubungannya deh, ngidam sama jadi anak Mommy?
"Nih Mommy kasih tahu ya pas Mommy hamil kamu sama Kenneth dulu gimana..."
Cerita mengenai Kehamilan Mommy dulu memgalir begitu saja dari mulut Mommy yang menatap ke salah satu sudut rumah, seakan disana terdapat pintu dimensi yang sedang memperlihatkan kejadian dimasa dulu.
Cerita yang baru sekali ini kudengar dan baru kali ini juga aku tahu kalau Daddy dan om Alvero pernah setidak-Cool- sekarang dengan tidak berani turun dari pohon mangga.
Sementara aku tertawa, Nicholas malah menatap ngeri Mommyku dan melirikku dengan tatapan was-was.
"Kamu mau tahu satu rahasia gak, Kei?" Tanya Mommy setelah menceritakan pengalamannya.
"Apa?" Aku benar-benar penasaran. Dan bisa kurasakan kalau orang yang duduk di sebelahku sedikit menegang.
"Tidak semua yang Mommy ceritakan itu benar-benar pure karena ngidam. Kebanyakan memang Mommy kepingin isengin Daddy kamu yang memang dulu itu resenya bukan main. Sekalian, mau melihat seberapa tangguh perjuangan Daddy kamu untuk mendapat hati Mommy lagi." Ucap Mommy bangga, aku tergelak mendengarnya, terlebih saat Mommy menambahkan perkataannya, "Ngerjain suami sendiri mengatas namakan bayi kamu gak masalah kok, Kei. Anak-anak kamu gak akan protes, inget juga gak. Buktinya ya kamu ini nih. Memangnya kamu inget kalau kamu kepengen cium wangi martabak pagi-pagi?"
Kursi di sebelahku bergetar, dan aku bisa melihat Nicholas sudah menatap takjub Mommyku yang memang ajaib ini.
"Mom, ceritainnya kenapa pas gak ada Nicholas aja sih? Kalau kayak gini, bisa-bisa ngidam aku gak dipenuhin sama dia!" Umpatku menahan tawa saat melihat wajah nelangsa milik Nicholas yang sepertinya memilih menghilang daripada berada disana.
"Eh Mommy lupa!!" Seru Mommy sambil menepuk jidatnya. "Biar gimana juga, kamu harus penuhin, loh, Nic. Kamu gak mau kan anak kamu ngences-ngences dan baju-baju kamu yang di pakai untuk kain lap?" Tanya Mommy sedikit mengancam.
"Aku gak masalah, Mom." Jawab Nicholas serak. "Aku bisa beli baju lagi."
"Nih mantu!" Mommy mengerucutkan bibirnya dan membuang muka, "Gak seru ah kalian!"
"Gitu? Jadi kalau aku beneran ngidam, kamu gak mau penuhin?" Tanyaku sambil melipat kedua tanganku di depan dada.
"Bukan begitu... tapi..."
"Ya udah, aku tinggal di rumah Mommy aja. Daddy pasti mau memenuhi ngidam aku nanti. Tapi jangan harap anak-anak kamu bakal mengenal kamu sebagai Daddynya."
"Kamu mah ngancem!" Protesnya. "Kalau gak ada aku, mereka juga gak akan ada! Mereka anak-anakku, dan hanya aku yang berhak dipanggil Daddy oleh mereka!"
"Terus kalau aku bilang aku mau kimchi asli yang langsung dari korea selatan, yang udah di fermentasi selama 1 bulan 3 hari?" Tanyaku.
"Sedetail itu?" Dia mengernyit menatapku.
"Ya udah, aku tinggal sama Mommy." Ancamku lagi.
"Keira!!!" Geramnya.
Aku sendiri tidak bisa menahan tawaku, karena sebenarnya aku hanya ingin mengetes seberapa bertanggung jawab dirinya sebagai calon ayah.
Ia menghela nafasnya dan mengeluarkan ponselnya, menggerakkan jemarinya kemudian menempelkan ponselnya di telinga.
"Angeline? Carikan saya tiket ke korea selatan malam ini. Iya malam ini. Batalakan seluruh meeting dan janji saya seminggu kedepan... kamu kenapa ketawa?"
Ia beralih menatapku yang sudaj meledak dalam tawa. Setitik airmataku mengalir akibat terharu dengan tindakannya.
"Aku hanya bercanda, sayang. Aku hanya ngetes kamu." Ucapku mengambil alih ponsel Nicholas. "Angeline? Lupakan apa yang Nicholas katakan tadi. Kamu tidak perlu mencarinya tiket atau membatalkan janji meetingnya untuk seminggu kedepan."
"Baiklah." Jawab Angeline sambil terkekeh sebelum aku mematikan panggilan.
"Aku akan beritahu kamu, kalau aku benar-benar ngidam." Ujarku sambil tersenyum.
Alis Nicholas bertautan dan menghela nafas lega kemudian tersenyum.
"Jangan sesadis Mommy kamu,ya?" Pintanya. "Aku gak bisa manjat pohon, dan aku tentu gak cocok memakai baju perempuan. Kamu sudah melihatnya sendiri dulu, kan? Aku bisa masak, tapi hanya yang benar-benar simple."
Aku terkekeh mendengar permintaannya yang tergolong memelas.
"Eh mantu! Mertua lo masih disini!" Protes Mommy.
Kekehanku berubah menjadi tawa melihat cengiran khas Nicholas yang ditegur Mommy.
Aku memang anak Mommy, tapi apa aku tega mengerjai laki-laki tampan nan menggemaskan ini sebagaimana Mommy mengerjai Daddy dulu?
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro