Empatpuluh Empat
Nicholas's POV
Aku masih mengingat seberapa panik menghantam ketenanganku saat melihat Keira pucat di dapur 3 minggu yang lalu. Terlebih saat Keira pingsan di gendonganku.
Aku sangat takut, dan tidak mau apapun terjadi pada Keira. Aku tidak ingin kehilangan Keira, tepatnya.
Aku mengingat bagaimana aku menendang pintu kerja David sampai terbuka hanya agar David bisa segera memeriksakan keadaan Keira.
Dan aku ingat, setiap kata yang David ucapkan, kata-kata yang mengubah hidupku hingga sekarang.
"Ada sesuatu yang aneh." Ucap David sambil melepas stetoskopnya.
Ia baru saja memeriksakan Keira, mulai dari denyut jantungnya, hingga entah apa itu. Tapi David mengatakan 'sesuatu yang aneh' saat ia memeriksa perut Keira.
Apa cacing Keira sedang melakukan aksi demo? Entahlah. Atau rahim Keira terjadi masalah? Tapi mana mungkin bisa diketahui dengan stetoskop?
"Keanehan apa?" Tanyaku mendesak.
"Kita harus membawa Keira ke ruangan lain." David segera menghampiri telepon yang berada di mejanya dan menghubungi entah siapa sebelum kembali menatapku yang kebingungan.
"Apa anda gak bisa memeriksanya disini, Dave?" Tanyaku.
"Saya hanya ingin memastikan keanehan itu dengan melakukan USG. Diruangan saya tidak ada alatnya." Jawab David.
"USG?" Ulangku.
Tidak salah lagi, pasti sesuatu terjadi dengan rahim Keira.
Tanganku mengerat hingga buku-buku jariku memutih.
Apa selama ini tidak cukup penderitaan yang Keira alami? Kenapa harus ada masalah lagi?
Tidak berapa lama, seorang suster sudah membawa ranjang dorong dan aku dengan sigap langsung memindahkan tubuh Keira dan mengikuti kemanapun kasur dorong itu pergi.
Aku melewati keluargaku dan Keira yang juga terlihat khawatir. Bahkan Mike sudah menangis di pelukan Angeline, karena Mike sendiri yang menyaksikan Keira merintih kesakitan.
Tapi sekarang bukan saatnya aku memperhatikan hal itu, karena duniaku, Keira, sedang kesakitan sekarang.
Keira masuk kesalah satu ruangan yang sudah lebih dulu dimasuki David, dan aku dengan sigap langsung kembali memindahkan Keira ke kasur rawat di ruangan tersebut.
David tengah mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan, kemudian ia mulai melakukan prosedur untuk melakukan USG yang tidak kuperhatikan, karena aku hanya menatap wajah pucat Keira di kasur.
Betapa aku sangat berharap kalau aku bisa membuat wajah itu tersenyum seperti saat kami bertemu lagi setelah 6 tahun lamanya dulu.
Keira yang bersemangat, Keira yang ceria, Keira yang selalu membuatku tertawa.
"Ini mustahil." Ucap David, mengalihkan pandanganku dari Keira.
Mustahil? "Apa yang terjadi?" Tanyaku sambil berkacak pinggang. Menanti jawaban David yang menggantungkan kata-katanya.
"Apa Keira makan dan istirahat dengan teratur belakangan ini?" Tanya David.
Aku terdiam. Kalau untuk makan, jujur aku tidak terlalu tahu, karena aku berada di kantor, aku hanya memastikan Keira makan teratur kalau aku cuti untuk menemaninya melakukan terapi. Dan kalau istirahat... aku malu untuk mengakui kalau Keira selalu tidur larut karena aku terus meminta ronde tambahan setiap kali bercinta.
Ah aku baru menyadari kalau aku sangat tidak memberikan perhatian pada istriku sendiri. Aku bahkan tidak tahu apa istriku istirahat dengan cukup, atau makan dengan teratur atau tidak.
Melihat keterdiamanku, David berdeham, "Mulai sekarang, perhatikan istrimu lebih sering lagi." Ujar David menasehatiku.
Tanpa disuruh, aku juga akan melakukan itu!
Setidaknya aku akan mengurangi ronde bercintaku, sehingga Keira bisa beristirahat lebih awal. Dan aku akan menyewa satu asisten rumah tangga untuk memenuhi gizi makan Keira.
"Lalu, Keanehan apa yang anda maksud? Apa sesuatu terjadi dengan rahim Keira?" Tanyaku mendesak.
Dan aku berani bersumpah kalau aku tidak bernafas beberapa detik saat David mengangguk.
David berbalik, namun dengan senyum di wajahnya yang membuatku nyaris mencekiknya. Namun melihat senyum David yang pasti tidak bermaksud 'tersenyum saat mengabarkan berita buruk', seketika memunculkan harapanku.
"Keira, secara ajaib, tengah mengandung."
Aku tidak bergeming beberapa saat. Mencerna perkataan David dan melebarkan mataku menatapnya yang masih tersenyum, "KEIRA HAMIL?!" Pekikku.
"Iya." Jawab David ikut senang saat aku mulai tertawa, meski mataku sudah berair akibat terharu akan hal ini. "Saya tidak menyangka kalau kehamilan Keira, luput dari pemeriksaan saya selama Keira melakukan terapi. Kehamilan Keira ini seakan keajaiban karena mereka bisa bertahan di dalam sana selama 6 minggu disaat kondisi dinding rahim Keira yang sempat terluka dulu. Mungkin ini jawaban dari doa kalian."
Aku belum sempat mencerna ucapan David, namun satu pertanyaan mencuat di kepalaku. "Mereka?" Ulangku.
David kembali mengangguk.
"Saya sempat terkejut saat mendengar detak jantung di perut Keira tadi. Makanya saya menyarankan untuk melakukan USG dan ternyata asumsi saya tentang keanehan yang ajaib ini benar." David masih menjelaskan, "Ini..." David menyerahkan lembar hitam putih yang menyerupai lembaran di dalam dompetku, yang selalu kubawa kemana-mana. Tapi lembaran yang ini terlihat berbeda. Meski aku tidak mengerti.
Melihat aku yang masih kebingungan, David menjelaskan secara lisan tentang foto tersebut, "Keira mengandung kembar tiga, atau sering disebut triplets."
Aku menganga, jantungku berdebar kencang. Bahagia tentu saja! Aku akan segera menjadi seorang Daddy, bukan hanya pada satu anak, tapi 3.
"Kondisi rahim Keira beserta anak-anaknya juga sehat. Meskipun begitu, kejadian lalu tidak bisa di anggap remeh. Keira harus benar-benar berhati-hati, jangan kelelahan, makan dengan teratur, dan jangan stress." David berdiri dan menjulurkan tangannya ke hadapanku. "Selamat, Nicholas."
Aku menjabat tangan itu dengan cepat dan mengucapkan kata terima kasih berkali-kali.
Dan aku bertekat untuk benar-benar memperhatikan istri dan anak-anakku mulai saat ini. Benar-benar memperhatikan! Bukan hanya janji.
Aku akan melindungi mereka, istri dan juga anak-anakku. Memastikan tidak ada lagi kesedihan di wajah istriku, dan memastikan kalau anak-anakku akan lahir kedunia dengan selamat. Membayar penyesalanku yang tidak bisa menjaga kakak mereka kedunia.
Hingga saat ini, aku masih tidak bisa percaya kalau Kehamilan Keira sudah memasuki minggu ke-9.
Meskipun dengan kehamilan Keira, aku terpaksa harus lebih sering berteman dengan kamar mandi untuk menekan nafsuku, tapi aku tidak peduli.
Aku hanya tidak sabar menanti ketiga Little Keira atau Little Nicholas lahir ke dunia. Meramaikan Mansion mewah yang kubeli untuk disebut rumah nantinya. Melihat pertumbuhan mereka hingga bisa menjadi sosok yang kelak akan kubanggakan atau kulindungi.
Aku hanya tidak sabar menanti saat itu datang.
"Om Nic... Om Nic!!!"
Aku mengerjap saat sebuah tangan kecil mengguncang lenganku pelan.
"Om Nic kok melamun sih? Mike kan lagi cerita!" Gerutunya sambil menggembungkan pipinya.
Aku melamun? Sudah berapa lama?
Aku menoleh melihat Keira yang menatapku bingung.
"Maaf, tadi kamu cerita apa?" Tanyaku, Mike kembali menggerutu, sedangkan Keira menatapku dengan tatapan khawatirnya.
"Kamu capek? Kamu istirahat aja dulu." Pinta Keira sambil membelai lembut pipiku dengan tangannya.
Uhhh! That feel... ingin rasanya menggendong Keira menuju ke kasur sekarang juga!
"Gak kok, aku gak capek. Hanya tiba-tiba teringat kejadian 3 minggu yang lalu." Jawabku sambil tersenyum. "Aku melamun berapa lama?"
"Cukup lama sampai membuat Mike kesal memanggil kamu." Keira terkekeh sambil melihat kearah Mike yang masih cemberut.
"Hei, jagoan. Maafin om ya." Ucapku sambil menarik tangannya yang berdiri di hadapan kami.
Mike memang sudah aku dan Keira anggap seperti anak kami sendiri. Jauh sebelum kami tahu kalau kami akan menjadi orang tua sebenarnya. Mike juga belakangan suka sekali menginap di Mansion kami kalau akhir pekan.
Sebagian juga karena permintaan Keira yang ingin menghabiskan waktu dengan Mike.
Angeline hanya bisa pasrah dengan membiarkan Mike mengingap ditempat kami.
Biasanya ia akan bercerita tentang kesehariannya dari senin sampai jumat setiap sabtu tiba, seperti hari ini.
"Anak lelaki, gak boleh ngambek." Ujarku mencoba membujuk Mike.
"Mike tidak ngambek. Mike sebal!" Sahutnya membuatku terkekeh.
"Gimana kalau Om belikan Es Krim?" Mata Mike berbinar mendengar sogokanku. "Aw!" Aku menoleh saat sebuah cubitan pedas mampir ke pinggangku.
"Anak kecil kamu sogok! Mau jadi apa gedenya nanti?" Gerutu Keira. "Sini, Mike. Kita ke kamar saja, Tante akan dengerin semua cerita kamu."
Satu hal lagi yang berubah setelah berita kehamilan Keira diketahui. Istriku berubah menjadi manusia tersensitif di jagad bumi. Emosinya mudah sekali berubah meskipun kadang aku berpikir kalau aku sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun. Seperti sekarang ini.
"Disini saja. Om juga akan dengerin kamu kok. Janji deh!" Aku mengangkat dua jariku, kemudian Mike tertawa.
Aku bernafas lega.
*
Aku merasakan tubuhku tergoncang hebat.
Gempa?!
Aku membuka mataku dan menghela nafas lega ketika melihat wanita cantik disampingku yang sedari tadi asik mengguncang tubuhku.
Aku mengulas senyum dan kembali memejamkan mataku, menarik Keira lebih dekat dan memeluknya erat.
"Nic... bangun!!" Gerutunya sebal.
"Masih malem..." gumamku mencova kembali ke alam mimpi.
"Nic, aku serius!" Serunya membuatku kembali membuka mata.
Aku memutar tubuhku untuk melihat jam di nakas, kemudian kembali menoleh menatap Keira yang masih terjaga. "Kei, baru jam 2. Kenapa?"
"Aku gak bisa tidur." Jawabnya.
"Merem aja ya? Nanti juga kamu ketiduran kok." Saranku, tapi Keira menggeleng. "Terus gimana kamu mau tidur kalau kamu gak merem, sayang?"
"Aku mau pulang ke Apartemen Mommy."
Aku yang sudah nyaris terpejam lagi, mendadak membelalakan mataku lebar begitu mendengar jawaban Keira. "Kenapa? Aku ngelakuin salah apa? Kenapa kamu mau pulang kesana? Kalau aku ada salah, aku minta maaf, Kei. Kita bisa omongin baik-baik. Oke, aku temenin kamu begadang, tapi jangan pulang kesana, ya?"
Keira menggeleng, wajahnya memerah, matanya menghindar dari mataku.
Salah apa lagi? Pikirku keras.
"Aku kangen sama Mommy Daddy. Aku mau tidur sama mereka." Ucap Keira sejenak membuatku lega.
"Bukan karena kamu marah sama aku?" Tanyaku berhati-hati. Keira menggeleng, dan aku benar-benar lega. "Besok aja ya? Ini sudah terlalu larut. Mereka juga pasti sudah tidur. Besok aku janji akan bawa kamu kesana." Pintaku sambil membelai halus rambutnya.
"Aku maunya sekarang." Rengek Keira.
"Sayang..." erangku pelan, "Mike kan ada di sini. Besok saja, ya?" Bujukku lagi.
"Sekarang, Nic. Kalau kamu gak mau, ya udah aku akan kesana sendiri."
Kali ini aku mengacak rambutku sendiri dan menghela nafas.
Apa ini bawaan anak-anak kami?
"Aku pakai baju dulu." Putusku akhirnya, lalu beranjak dari kasur menghampiri lemari berjalanku.
"Aku gendong Mike ke mobil, ya?"
Aku menoleh dan langsung mempelototi Keira yang baru mencetuskan ide gilanya. "Biar aku saja. Kamu duduk manis saja disana!" Perintahku.
Apa Keira lupa akan resiko mengangkut 'barang' berat terhadap kehamilannya?
Setelah berganti baju dan menggendong Mike yang masih terlelah ke mobil, menuntun langkah Keira ke mobil, dan aku segera meluncurkan mobilku melalui jalanan yang sudah lenggang menuju ke Apartemen keluarga Keira.
Tidak membutuhkan waktu lama, kami sudah sampai di parkiran gedung tingkat tinggi itu. Aku menggendong tubuh Mike yang masih terlelap, sambil menggandeng tangan Keira menuju ke lift yang akan membawa kami ke lantai teratas.
Begitu sampai, bukannya membunyikan bel, layaknya tamu-tamu pada umumnya yang tidak mungkin bertamu jam segini, Keira malah langsung memasukkan Passcode yang memang ia ketahui dan membuka pintu Apartemen- Penthouse- keluarganya lebar-lebar.
Senyum merekah di bibir Keira seraya ia mencium wangi lavender yang menyambut kedatangan kami.
"Kamu taro Mike di kamarku aja." Pintanya.
Aku mengernyit mendengar permintaan Keira, namun menurut saja, dan langsung melangkah meletakkan tubuh kecil Mike di kasur Keira.
Setelah menyelimuti Mike, aku segera berlalu menghampiri Keira yang ternyata sedang sibuk mengetuk pintu kamar orang tuanya.
Bagaimana aku tahu? Karena kamar Kenneth bersebelahan dengan kamar Keira, sedangkan kamar Kelly, berada di ujung lorong yang berlainan dengan pintu kamar yang sedang Keira ketuk.
"Mom, Dad! Ih tumben banget sih pintu pake di kunci segala!" Gerutu Keira kesal.
"Wajar lah, sayang. Ini tuh udah larut malam menjelang pagi. Mereka pasti sudah tidur!" Ucapku. "Kita balik ke kamar kamu,yuk?"
"Gak mauuu!" Gerutunya. Ia kembali mengetuk pintu kamar di hadapannya dengan keras kepala.
Aku hanya berharap Ayah mertuaku tidak akan menggantungku karena sudah membawa Keira tengah malam kesini dan mengganggu ketenangan tidurnya.
Pintu terbuka 5 menit kemudian, dan sepertinya aku harus meralat harapanku tadi menjadi 'Aku harap ayah mertuaku tidak membakarku hidup-hidup karena sudah membawa Keira tengah malam dan mengganggu aktivitas malamnya dengan ibu mertuaku.'
Aku tahu sekali wajah-wajah kelelahan, setengah puas setengah kesal yang sedang ditunjukan oleh laki-laki tampan di hadapan kami, dan juga wajah terkejut dengan rambut awut-awutan wanita cantik di sebelahnya.
Aku ingin tertawa, tapi aku masih sayang dengan nyawaku yang belum melihat anak-anakku lahir kedunia.
"Kamu ngapain disini?" Tanya Daddy, nada kesal sangat ketara disana.
Gimana gak kesal? Sepertinya tadi belum selesai. Ucapku dalam hati.
Keira nyengir lebar, "Aku mau tidur sama Mommy dan Daddy. Boleh ya?"
Kalau begini ceritanya, urusan yang tersela tadi, gak akan tersalurkan deh, Dad. Aku menahan tawaku dan mencoba sekeras mungkin untuk memasang wajah datar saat Daddy menatapku tajam.
"E-eh? Tidur sama kami?" Ucap Mommy terkejut.
Keira mengangguk mantap, "Boleh kan? Keira kepengen tidur kayak dulu lagi, ditengah-tengah Mommy sama Daddy. Boleh, ya???" Pintanya sambil mengatupkan kedua tangannya, memohon menatap kedua orangtuanya.
Mommy menatap Daddy kemudian menatapku baru menatap Keira lagi. "M-mommy beresin kamarnya dulu,ya?"
"Gak apa-apa, Mom! Kan aku hanya tidur satu malam. Tidak perlu dirapihkan."
"Kamu tunggu aja di ruang tamu." Kekeuh Daddy.
Aku bisa menjamin, kamarnya sekarang terlihat seperti kapal perang yang berantakan. Meskipun sudah tua, tapi stamina Ayah Mertuaku masih bisa kuacungi jempol. Dan melihat seberapa awut-awutan ibu Mertuaku, bahkan beberapa kissmark yang terlihat di lehernya, pasti pertempurannya sangat dahsyat sekali tadi.
"Memangnya seberanya seberantakan apa, sih? Kan aku hanya tidur di kasur, bukan di meja atau dilantai!" Seru Keira kesal.
Masalahnya, kasurnya yang berantakan, sayang. Namun itu tidak bisa kuucapkan selain menarik Keira menuju ke ruang tamu.
"Ah!!!" Seru Keira, "Mommy sama Daddy lagi gak berusaha ngasih aku adik lagi, Kan?!" Tembak Keira membuatku menepuk jidat.
"K-kamu ngomong apa sih?!" Tegur Mommy dengan wajah memerah.
"Oh... Mommy merasa tersaingi sama aku yang langsung punya anak 3 ya?" Goda Keira membuat wajah Mommynya semakin memerah.
Ini anak, makin gede makin sengklek!
"Keira, kita keruang tamu sekarang, Ya!" Aku menarik paksa Keira sebelum ibu mertuaku meledak akibat malu.
"Mom, Dad! Lanjutin dulu aja, Keira tunggu di ruang tamu. Tapi jangan tanbahin adik buat Keira, ya!" Teriak Keira.
Menurut kamu aja sih, mereka akan lanjut apa gak. Kalau aku jadi Daddy kamu, aku milih terjun payung kelantai dasar deh. Batinku. Aku tertawa kecil.
Semoga anak kami nanti, tidak ada yang seiseng Keira. Apa lagi sampai mengganggu aktivitasku dengan Keira nanti sampai ke tahap nanggung seperti apa yang Ayah Mertuaku alami.
Pasti akan stress banget sih.
Untungnya teriakan Keira tidak sampai membangunkan Mike, Kenneth dan Kelly. Kalau tidak, aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya pada mereka, terutaa Kelly dan Mike yang masih dibawah umur.
5 menit kemudian, Mertuaku datang dengan keadaan yang lebih rapih. Ia juga mempersilahkan Keira untuk masuk kekamar tidur mereka, sedangkan aku, kembali ke kamar tidur Keira dan tidur bersama Mike.
Biarlah hari ini saja aku pisah ranjang dengan istriku demi memenuhi keinginan anak-anakku.
Yang penting mereka tidak ngences nantinya.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro