Empat puluh Tujuh
Keira's POV
Aku tidak pernah menyangka, kalau hubungan yang sedari awalnya merupakan sebuah kebohongan, akan berakhir menjadi sesuatu yang nyata, bahkan lebih nyata dari sebuah kebohongan itu sendiri.
Aku bahkan tidak menyangka kalau aku akan segera menjadi seorang Mommy dalam waktu dekat ini.
Rasanya, baru kemarin Mommy memintaku membawa pulang seorang pria, mengatakan kalau umurku sudah terlampau cukup kalau dibandingkan dengan Mommy yang sudah memiliki aku dan kak Kenneth saat seumuranku dulu.
Rasanya baru kemarin aku membenci Nicholas, dan entah sejak kapan rasa benci itu menguap begitu saja.
Rasanya baru kemarin aku ugal-ugalan, keluar masuk club, dan menegak berpuluh-puluh gelas alkohol sampai tidak sadarkan diri.
Rasanya baru kemarin aku mengirim foto diriku untuk melamar menjadi model dalam satu majalah.
Dan sekarang? Aku akan segera menjadi seorang Mommy dari 3 kurcaci kecil dalam hitungan minggu.
Kehamilan yang awalnya sangat negatif kupikir akan terjadi padaku, kehamilan yang akan sangat rapuh dan butuh perhatian ekstra dibanding ibu hamil lainnya. Namun anak-anak kami ternyata kuat, saling menjaga satu sama lain di dalam, agar tidak ada 1 dari mereka yang gugur sebelum melihat dunia.
Ada rasa bangga tersendiri yang menyelubungi hatiku saat melihat pertumbuhan mereka hari semi hari sampai usia 34 minggu ini.
David menyarankan untuk melakukan operasi pada minggu ke 36, hal itu katanya agar memperkecil resiko kematian pada bayi kami, karena plasenta pada bayi akan sulit untuk bekerja. Terlebih ada 3 bayi di tubuh gentongku ini.
Aku dan Nicholas hanya menyetujuinya, karena kami yakin, David tahu yang terbaik untuk anak-anak kami.
Di usia kandunganku yang 34 minggu ini, aku sudah sangat sulit untuk berjalan. Bahkan aku menghabiskan 80% waktuku di kasur. 10% ke kamar mandi, 10% ke ruang makan kalau mendadak lapar.
Aku tidak pernah tahu kalau hamil, terutama kembar, akan sesulit ini. Dari kehamilanku ini, aku baru tahu seberapa besar pengorbanan Mommy dulu saat tengah mengandung aku dan kak Kenneth.
Mengenai jenis kelamin, anak-anak kami sangat kompak untuk saling menyembunyikan kelamin mereka setiap kali kami melakukan USG. Mereka seakan ingin agar kehadiran mereka menjadi kejutan untuk kami nantinya. Tapi, apapun jenis kelaminnya, aku akan sangat senang, karena pada akhirnya, kehamilan yang memiliki resiko dan juga sulit, mengingat keadaanku dulu, dapat memberiku 3 kurcaci kecil, buah cintaku dan Nicholas.
"Bengong lagi, hm?"
Aku menoleh dan melihat wajah baru bangun tidur Nicholas yang selalu menjadi pemandangan favoritku selama ini.
Ia bergerak mendekat, memeluk dadaku-karena percayalah, perutku sudah tidak dapat dipeluk dengan normal lagi.- dan aku bisa merasakan nafas teraturnya di leherku.
"Kamu gak bisa tidur lagi?" Tanyanya dengan suara serak.
Satu lagi, aku jadi sulit tertidur dengan kehamilan besarku ini. Posisi apapun selalu salah. Pinggangku pegal dibuatnya.
"Aku cuman gak sabar ketemu sama mereka." Jawabku sambil tersenyum.
"Aku juga."
Aku menoleh, dan mendapati wajah tersenyum Nicholas.
"I love you, Keira." Bisiknya sambil mengecup keningku. "I always do."
Aku tersenyum. Aku tahu. Aku sangat tahu dengan perasaan Nicholas. Karena aku juga merasakan itu.
"Kamu mau makan?" Tanyanya membuatku menoleh. "Aku mendadak laper."
Aku terkikik melihat wajah lucu Nicholas. Aku melihat kearah nakas dan mendapati jam yang menunjukan pukul 3 pagi, lalu melihat kearah Nicholas lagi. "Ada makanan apa jam segini?" Tanyaku.
"Aku juga tidak tahu makanan lain selain fast food yang jual jam segini." Gumam Nicholas, "dan kamu sangat jelas tidak boleh makan Fast food lagi!"
Aku mengerucutkan bibirku, "Sebenarnya aku tahu salah satu restoran jepang yang buka 24 jam. Tapi..."
"Tapi...?"
"Tapi..."
Nicholas mengernyit menatapku yang hanya menyengir, menampakkan cengiran bodohku.
"Jauh?" Tanya Nicholas, mencoba menebak.
Aku mengangguk.
"Bukan di jepang, kan?" Tanyanya terlihat ngeri. "Kamu udah mau melahirkan, Kei. Naik pesawat itu resikonya besar. Dan kalau kamu minta aku sendiri yang kesana, aku gak akan mau. Aku gak mau ninggalin kamu disini yang bisa aja pagi nanti mau melahirkan!"
Aku terkekeh dan mengecup bibir Nicholas yang belum-belum, sudah mengatakan hal buruk.
"Bukan di Jepang, kok! Ih kamu mah doa aja sih aku melahirkan pagi ini!" Aku berusaha terlihat ngambek, tapi tidak berhasil saat aku merasakan tendangan di perutku. "Auhhh..."
"Kenapa?? Kamu kenapa? Omongan aku jadi nyata ya?" Nicholas duduk di kasur kami dengan wajah panik, tangannya mengelus permukaan perutku yang sedang terjadi demo kecil-kecilan, tapi mendadak damai setelah tangan Nicholas mengelusnya.
Aku mempunyai firasat buruk kalau ketiga anakku nanti akan sangat menyayangi Daddynya saat besar nanti. Terbukti dari nyaris Nihil keinginanku untuk mengerjai Laki-laki satu ini, selain bermanja-manja, bahkan mencium bau ketiak Nicholas sebelum tidur. Dan saat aku sedang ingin mengambek dengan Nicholas, pasti si kembar 3 ini selalu menendang perutku, seperti sekarang ini.
"Mereka nendang perut aku." Jawabku sedikit meringis. "Kekuatan mereka besar banget. Aku takut plasentanya bisa rusak sewaktu-waktu kalau mereka sebrutal itu." Gumamku membuat Nicholas terkekeh.
"Mulut kamu itu! Mereka anak-anak kita, masa di omongin begitu,"
Nicholas mengelus perutku, dan mendaratkan ciuman di permukaannya, kemudian kembali aku merasakan tendangan, namun kali ini tidak sebrutal tadi. Sepertinya, mereka senang dicium oleh Daddynya.
Bahkan Nicholas terkejut saat merasakan tendangan di permukaan perutku, ia tersenyum menatapku.
"Iya, sayang-sayangnya Daddy... Daddy juga tidak sabar ingin bertemu kalian. Kalian yang sehat di dalam sana, jangan bikin Mommy kesakitan lagi." Ucapnya begitu lembut, bahkan aku terharu mendengar ucapannya.
"Udah gak sakit, kan?" Tanyanya menatapku. Aku segera menyeka airmata yang mencuri keluar dari sudut mataku, lalu menggeleng.
Ia tersenyum sambil terus mengelua perutku.
"Oke, sekarang kembali ke topik makanan Jepang, dimana restaurantnya? Aku akan coba kesana untuk beli." Nicholas mengecup keningku. Tangannya masih setia mengelus perutku.
"Ada di dekat Apartemen Mommy. Dulu aku, kak Kenneth, Kelly, Alleira sama Lexy suka kesana tengah malam kalau lagi lapar." Jawabku mengingat waktu disaat aku masih menduduki bangku SMP.
Nicholas mengangguk-angguk, lalu tersenyum. "Aku kesana, deh, ya?" Ucapnya.
Belum aku mengangguk, dan belum Nicholas menginjakkan kaki di lantai, anak-anakku sudah memprotes dan kembali menendangi perutku saat tangan Daddynya lepas dari perutku.
"Ahhh..." ringisku. "Aduh sayang..."
"Kenapa lagi?" Tanya Nicholas terlihat panik.
"Mereka nendang lagi. Kayaknya mereka gak mau kamu pergi deh. Mau kamu elus perutnya." Jawabku sedikit malu. Ini keinginan anak-anak atau keinginanku? Tanya batinku.
"Sayang..." Nicholas kembali mengelus permukaan perutku dan mengajak anak-anakku untuk berkompromi, "Daddy pergi sebentar untuk beli makanan. Kalian jangan nakal, ya?" Pintanya.
Sebagai bentuk percobaan, Nicholas kembali menghentikan aktivitas mengelus perutku, dan berbalik, namun anak-anak kami kembali memprotes.
Keras kepala! Sungutku.
"Terus gimana beli makannya?" Tanya Nicholas, meminta pendapatku.
"Terpaksa..." aku menghela nafas, tidak melanjutkan ucapanku.
*
"Gue berani menjamin kalau anak-anak lo PASTI ngefans sama gue." Sungut kak Kenneth begitu aku mendengarnya masuk dari pintu yang dibuka oleh Nicholas.
"Keponakan lo juga, kali!" Balas Nicholas sambil terkekeh.
Saat kak Kenneth masuk dengan wajah tampan yang habis bangun tidur, lengkap dengan kaos putih yang membungkus tubuh kekarnya, dan celana tidur yang sepertinya kak Kenneth tidak menyadari kalau ia menggunakan celana kesukaannya, yang hanya ia kenakan di dalam Apartemen, karena motifnya itu. Celana panjang bermotif beruang.
"Hai kak." Sapaku geli melihatnya.
Kak Kenneth menghampiriku dan mencium keningku sesaat sebelum beralih mencium perutku, sebuah kebiasaan semenjak aku mengandung.
"Hai, preman-preman kecil." Sapa kak Kenneth.
"Kakak sendirian?" Tanyaku sambil celingak celinguk mencari keberadaan orang lain yang mungkin kak Kenneth culik untuk menemaninya.
"Menurut lo?" Tanyanya sedikit ketus sebelum kemudian ia menguap.
"Makasih ya, Kak. Kakak emang kakak yang terbaik deh!" Aku memamerkan deretan gigiku sambil mengacungkan kedua jempolku.
"Emangnya, lo punya kakak yang mana lagi selain gue?" Aku terkekeh mendengar pertanyaannya.
"Ada lagi? Kalau gak ada, gue balik deh. Ngantuk parah gue." Kak Kenneth berbalik dan menoleh menatap Nicholas yang baru kembali dengan sepiring penuh Sushi beserta sausnya, kemudian diletakkan di meja kecil di hadapanku.
"Makan dulu, Kak. Habis itu tidur aja disini. Besok baru balik lagi." Saranku sambil menyomot salah satu Sushi di piring.
Nicholas sudah duduk di samping kananku, diikuti oleh kak Kenneth yang duduk di samping kiriku.
"Besok gue masih ada kerjaan pagi-pagi. Dari sini ke kantor gue itu jauh. Belom lagi masa gue pake baju tid--- FUCK!!!"
Aku tertawa terbahak-bahak saat melihat kak Kenneth yang baru menyadari kostumnya.
"Anjir! Pantesan gue diliatin pelayan sana. Gue kira muka bangun tidur gue terlalu ganteng, ternyata..."
"Gue kira lo punya sisi feminim." Sindir Nicholas, membuatku tertawa lebih kencang hingga perutku keram dibuatnya akibat tertawa.
"Sialan! Hancur deh pamor gue." Rutuk kak Kenneth membuatku tertawa geli, membayangkan bagaimana wanita-wanita pramusaji di restoran jepang itu melihat laki-laki yang maskulin di atas, namun imut-imut di bawah.
"Gak akan lagi gue mau balik kesana. Sumpah demi apapun! Terakhir kalinya!!" Seru kak Kenneth. "Lo ketawa biasa aja dong! Sampe ngompol gitu."
"Lo bener-bener lucu, Kak. Gue gak bisa bayangin gimana ekspresi nahan ketawanya mereka pas ngeliat lo." Aku kembali tertawa, "Kepala lo! Gak sampe ngompol juga, kali!!"
"Lah itu apa?" Kak Kenneth menunjuk kebawah kakiku, aku masih tertawa geli saat mengikuti perintah kak Kenneth.
Air? Tapi masa gue ngompol gak merasa?
"HOLY SHIT!!! YOUR WATER'S BROKE, KEIRA!!!"
"Hah?" Aku masih mencoba mengontrol tawaku saat Nicholas sudah panik di tempatnya.
Sedetik kemudian senyumku menghilang saat benar-benar menyadari situasiku.
Dan keram yang kurasakan diperutku, bukan karena kebanyakan tertawa, melainkan air ketubanku pecah!
"Oh my god! Oh my god!" Nicholas panik ditempat sambil menjambak rambutnya. Sedangkan kak Kenneth menatapku dan Nicholas bingung. "Kita kerumah sakit sekarang, Keira!" Seru Nicholas sambil mencoba menggendongku secara bridal.
"Mike gimana?" Aku menyadari anak kami yang masih tertidur pulas di kamarnya.
"Ken, gue titip Mike. Lo telepon keluarga lo, bilang Keira akan melahirkan SEKARANG JUGA!!!" Seru Nicholas.
"Lo mau melahirkan? Kok bisa?" Tanya kak Kenneth dengan wajah datarnya, membuatku ingin tertawa lagi.
"Sekarang, Kenneth! Sekarang! Telepon sekarang juga!" Seru Nicholas sudah membopong tubuhku yang seudah sangat amat berat, tapi Nicholas masih sanggup membopongnya.
Nicholas dengan panik mengendarai mobilnya keluar dari Mansion kami menuju kerumah sakit yang hanya berjarak 5 menit.
"Bertahan ya, sayang." Ia menggenggam tanganku erat.
"Kenapa gak titip Mike ke Frida atau Cenna saja?" Tanyaku saat mengingat keberadaan pembantu rumah tanggaku.
"Aku lupa. Udah, biar Kenneth jaga rumah aja, biar lebih aman." Ucap Nicholas datar sambil terus menatap jalanan.
Aku sendiri mengelus perutku yang masih terasa keram dan mulai terasa nyeri sambil meminta anak-anakku untuk bertahan.
Begitu sampai, Nicholas segera membopongku. Disana, sudah tersedia suster dan David yang menunggu kedatanganku setelah Nicholas meneleponnya beberapa waktu yang lalu.
Mereka langsung mendorong kasur rawatku menuju ke ruang pemeriksaan terlebih dahulu. Setelah memastikan kalau air yang keluar bukan air kencingku, melainkan air ketubanku, David segera menganjurkan untuk melakukan operasi secepatnya yang langsung disetujui oleh Nicholas tanpa berpikir dua kali.
Nicholas menemaniku di ruang operasi. Dia juga sempat memberi tahu orangtuanya kalau aku akan segera melahirkan sebelum masuk ke ruang operasi tadi.
Dan jaga-jaga kalau Kak Kenneth lupa memberitahu, Nicholas juga menelepon keluargaku.
"Kamu pasti bisa, sayang. Mereka akan baik-baik saja." Bisiknya sambil menggenggam tanganku.
Saat ini, yang bisa kulihat hanya kain penghalang berwarna hijau. Dibalik kain itu, David dan beberapa dokter lainnya sedang berusaha mengeluarkan anak-anak kami.
"Ini gara-gara kamu nih yang bilang aku bakal lahiran pagi ini." Rutukku sambil tertawa.
"Kamu masih bisa bercanda lagi!" Omel Nicholas, "aku kan gak benar-benar bermaksud bilang begitu!"
"Biar gak tegang, Nic. Aku juga khawatir." Ucapku pelan. "Tapi mereka akan baik-baik aja, kan? Aku yakin sama mereka. Mereka kuat."
Aku menggenggam tangan Nicholas. Nicholas juga setia di sampingku, mencium keningku, menunggh tangisan anak kami, dan berdoa dalam hati.
Hingga saat kami mendengar suara tangis bayi pertama kalinya, hatiku mencelos lega.
Itu anak pertamaku!
Nicholas juga tersenyum, bisa kurasakan kelegaan di sorot matanya.
"Anak yang pertama, Sir. Si Kakak yang tangguh, yang sudah tidak sabar bertemu dengan kedua orang tuanya." Ucap seorang suster yang tengah menggendong anak bayi berukuran kecil, "Anak laki-laki." Sambungnya membuatku tersenyum.
Suara tangis anak pertama kami masih mendominasi sampai Nicholas mengambil alihnya, menggendongnya mendekat kearahku yang sudah menangis melihat keajaiban kecil di tangan Nicholas.
"Jagoan yang membuat ketuban Mommy pecah." Gumam Nicholas sambil mencium kening putra kami. "Daddy sama Mommy juga tidak sabar bertemu denganmu."
Aku tersenyum. Tangis putra kami sudah berhenti. Seperti sentuhan ajaib Nicholas saat menghentikan tendangan mereka di perutku.
Dengan arahan suster, Nicholas membaringkan putra kami di dadaku. Aku mengecup puncak kepalanya, takjub dengan keajaiban ini.
Tidak berapa lama kemudian, suara tangis bayi lainnya terdengar, tidak meraung seperti yang pertama, terdengar lebih kalem. Begitu mendengar suara tangis adiknya, putraku juga ikut menangis lagi meski tidak sekeras tadi.
"Shhht sayang... Mommy disini." Ucapku pelan sambil membelai lembut kulit putra kami yang masih sangat lembek.
"Laki-laki." Bisik Nicholas sambil tersenyum saat melirik kearah bayi kami di balik tirai hijau.
Dua jagoan Tyler? Aku kalah jumlah.
Seorang suster membawa putra kedua kami dengan senyum di wajahnya. Nicholas menggendongnya sejenak, mencium keningnya sebelum kembali di baringkan di dadaku, bersisian dengan putra pertama kami.
Bagaimana mungkin perutku yang hanya diisi oleh makanan, dapat menghasilkan anak manusia sekecil ini? Bukan hanya satu, melainkan 3.
"Hai, Nicholas - Nicholas Junior." Sapaku.
Nicholas tertawa, wajahnya terlihat sangat bahagia. Ia mencium keningku sangat lembut dan lama.
"Terima kasih." Bisiknya pelan.
Sedikit lebih lama dari kakak-kakaknya, anak ketiga kami tidak kunjung bersuara, membuatku sedikit takut.
"Apa terjadi sesuatu?" Tanya Nicholas.
"Kami sedang berusaha." Jawab David membuatku cemas. "Si bungsu sedikit terlilit oleh tali pusarnya." Sambungnya.
"Nic..." panggilku cemas.
Nicholas menoleh, kemudian kembali mencium keningku, "Si bungsu akan baik-baik saja, Keira." Bisik Nicholas.
Aku kalut. Aku takut. Aku tidak ingin sesuatu terjadi dengan si bungsu.
Saat mendengar suara bisik-bisik di balik tirai itu, terlebih saat David bergumam kecil mengucapkan kata akhirnya, aku sedikit lega.
Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama. Aku tidak mendengar suara tangis anak ketigaku.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku. "Nic, apa yang terjadi?"
"Keira, kita tunggu dulu, ya." Bujuknya.
"Kenapa si bungsu tidak menangis?" Tanyaku. "Seseorang jawab aku!!!" Seruku. Bayi di dekapanku terkejut dan menangis.
Dua orang suster menghampiriku dan mengambil tubuh putra-putraku untuk ditenangkan, namun tidak kunjung tenang. Malah mereka menangis semakin keras sehingga terpaksa suster tersebut membawa mereka menuju ke ruangan sebelahnya untuk di bersihkan terlebih dahulu.
Kali ini David yang menghampiri. Ia menggendong seorang bayi yang dilapisi kain berwarna Pink. Wajah David terlihat lelah.
"Si bungsu, perempuan. Tetapi..."
Aku menangis, aku tidak mau mendengar kelanjutan ucapan David, "Dia masih hidup!" Seruku. "Berikan dia padaku!!!"
David menghela nafas sambil meletakkan putriku di dadaku.
Tidak ada tangisan, tidak ada tarikan nafas, tidak ada sorotan mata kecilnya.
"Baby... ini Mommy, sayang." Aku mendekap pelan tubuh putriku. "Kamu gak mau melihat Mommy dan Daddy? Gak mau bertemu bermain dengan kakak-kakakmu? Jangan begini ya, sayang?" Pintaku terisak.
Nicholas menunduk, keningnya menempel di keningku. Aku bisa merasakan tetesan-tetesan airmata yang mengalir di keningku.
"Baby..." panggilku lirih.
"Sayang, kamu harus kuat." Bisik Nicholas meski aku tahu, dia sama sedihnya denganku.
"Maaf." Sesal David.
Dan aku kembali menangis.
"Sir, Maaf, tapi si kembar...?" Nicholas menoleh, menatap kedua suster yang membawa 2 putra kami yang sudah lebih bersih.
Nicholas mengambil alih 2 tubuh kecil itu, mendekatkannya padaku yang masih menangis.
"Kei, mereka butuh menyusu." Bisik Nicholas lirih.
Entah mengapa, putra-putra kami yang tadinya sudah tenang, apa lagi kalau berada di dekapan Nicholas, mendadak menangis, meraung, membuat Nicholas gelagapan dibuatnya.
Aku merasakan pergerakan, pergerakan di dadaku. Sebuah harapan muncul saat aku melihat jemari kecil putri kami bergerak.
"N-nic..." panggilku meski suaraku tenggelam dalam tangisan dua jagoanku.
Kemudian, putri kecil di dadaku mulai menggerakkan bibirnya, sedetik kemudian, suara tangis terindah yang pernah kudengar, beradu dengan suara tangis jagoanku.
"No way!" Bisik-bisik suster dan David tidak percaya dengan pengelihatannya, saat putriku menangis.
"Kei..." Nicholas juga terkejut. Matanya membulat menatapku.
Aku mengangguk, airmataku kembali mengalir. Aku mencium kening Putriku yang masih menangis, "Welcome back, baby... welcome back." Bisikku.
Mungkin suara tangis kakak-kakaknya yang membuat sibungsu kembali bersama kami. Hatiku menghangat, memikirkan bagaimana ketiga anakku akan tumbuh bersama dan saling menjaga nantinya.
"Kami bersihkan dulu adiknya, ya." Salah satu suster membawa putriku yang masih menangis.
Nicholas kemudian menyerahkan dua putra kami yang langsung menyusu pada sumber susunya.
Tanganku masih gemetaran, melihat keajaiban yang terjadi. Bahkan aku masih tidak percaya kalau putri kami kembali.
Nicholas mengecup keningku. Aku melihat matanya yang berair, terharu. Sama sepertiku.
*
Aku dipindahkan keruang rawat setelah anak-anakku dibersihkan dan jaitan di perutku selesai.
Meskipun lahir sebelum waktunya, tapi David menyatakan anak-anakku dalam kondisi sehat. Terutama si bungsu yang sempat membuatku dan Nicholas jantungan.
Meski mereka masih harus di inkubator selama 1 minggu kedepan, tapi aku senang karena mereka sudah sehat.
"Gimana rasanya?" Tanya Mommy di tempat duduknya.
"Luar biasa." Jawabku sambil tersenyum. "Mom, makasih dan maaf kalau Keira selalu bandel dan susah diomongin selama ini. Dan makasih sudah membawa Keira dan membesarkan Keira. Keira gak tahu kalau menjadi seorang Mommy itu pengorbanannya sebesar ini." Ucapku sambil berkaca-kaca.
Mata Mommy juga berkaca-kaca. Namun Mommy segera mengalihkan pandangannya ke Daddy yang sedang tersenyum. "Kamu apaan sih? Ngomongnya geli banget!" Seru Mommy.
Aku tertawa. Memang keadaan 'romantis' dan 'Kekeluargaan' dimana banyak kata maaf dan terima kasih di keluargaku nyaris jarang terjadi. Apalagi Mommyku yang masih merasa muda itu.
"Kalian sudah kepikiran nama?" Tanya Ibu mertuaku yang tersenyum, menatapku.
Seluruh keluargaku lengkap, beserta keluarga Nicholas, juga kak Kenneth dan Mike yang baru menyusul saat pagi tiba.
"Kami belum menyiapkan nama, karena kami tidak tahu jenis kelamin mereka." Jawab Nicholas.
"Tapi aku mau menyelipkan keajaiban di nama mereka." Ujarku. "Karena mereka memang keajaiba. Terutama si bungsu." Sambungku sambil tersenyum.
Nicholas tersenyum dan mengangguk.
"Mike sudah punya adik?" Tanya Mike bingung melihat perutku yang bulat, mendadak hilang. "Lalu apa Mike akan tetap disayang?" Tanyanya lagi.
"Tentu, sayang. Tentu." Jawabku pasti sambil menggerakkan tanganku, memintanya mendekatiku dan memeluknya. "Kamu akan tetap menjadi anak Mommy, sayang." Jawabku sambil mengecup keningnya.
"Dan juga anak daddy, Mike." Timpal Nicholas sambil tersenyum.
Seluruh keluargaku dan Nicholas tersenyum, seakan menyetujui. Karena biar bagaimanapun, Mike hadir saat kami membutuhkan sosok anak, dan Kami hadir bagi Mike saat ia membutuhkan orang tua dan kasih sayang. Kami tidak akan membuangnya begitu saja saat kami sudah memiliki anak kami sendiri.
"Alceo, Austin, Auryn." Gumam Nicholas sambil memeluk Mike. "Ya! Itu dia!!" Serunya bersemangat sambil melepas pelukannya dari Mike, lalu menatap kami semua, terutama aku.
"Alceo, jagoan yang tangguh. Nama putra pertama kita." Ucap Nicholas bersemangat. "Austin, orang yang mulia." Sambung Nicholas, "lalu Auryn, wanita emas kita."
Aku tersenyum, setuju dengan nama yang dipilih Nicholas mengingat seberapa tangguh Alceo hingga membuat ketubanku pecah, dan juga tangisnya yang kuat. Austin yang lebih kalem dibanding Kakaknya, bahkan tangisnyapun tidak sekuat Alceo. Dan Auryn. Wanita emas yang berharga bagi kami.
"Alceo Marvello Tyler, Austin Marvello Tyler, Auryn Marvella Tyler. Bagaimana?" Tanyaku meminta pendapat.
"Mike suka!" Seru Mike yang berpendapat paling pertama.
"Mommy setuju." Sambung Mommy sambil tersenyum.
"Kami juga setuju." Timpal mertuaku.
Nicholas hanya tersenyum, ia mendekat dan mencium bibirku sekilas. "Kamu tahu kan, kalau aku selalu setuju sama kamu."
Aku mengangguk dan tersenyum.
Kebahagiaanku sudah komplit sekarang.
***
END
.
.
.
.
.
Bercanda dehhhh, Masih TBC! 😛
Tapi episode depan END ya gaes. Author rehat dulu sebelum berlanjut ke 30 Days.
Untuk yang menagih cerita Kenneth dan Alle, itu di judul lain yang sedang author pikirkan. Mungkin setelah 30 Days.
Yang minta melanjutkan is it love, Author tegaskan sekali lagi, TIDAK BISA. Karena sudah beda genre :D Is it Love tidak akan menceritakan Kenneth sampai menikah. Tapi mungkin kalau author ada ide, author akan memulai judul lainnya untuk masa depan Kenneth.
Dan yang belum baca 30 Days, yuk monggo silahkan dibaca. Gak maksa kok, beneran deh... *asah golok*
Ciaaaaaaao Readers kesayangankuuu!
Maaf kalau gaje, ya! Tapi ini adalah CHAPTER TERPANJANGKU dibanding 3 judul sebelumnya! Jadi aku mau mengakhiri sebelum jadi sinetron penuh drama :')
Terima kasih sebelumnya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro