Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Duapuluh Tiga

On media:

Left to Right --

Kelly Agnesia McKenzie

Nicholas Tyler

Keira Alexandria McKenzie

***********************

Keira's POV

Kulangkahkan kakiku di kantor Nicholas pagi-pagi sekali.

Seharusnya aku menemui Nicholas kemarin, si Apartemennya, dimana hanya ada kita berdua. Bukan di kantornya, meski aku yakin kalau ruangannya itu kedap suara.

Aku terlalu syok dan sibuk menyalahkan diriku atas keterpukuran Kelly, meski dia sudah kembali ceria dan aku tahu, itu pasti karena Nicholas dan barang pemberian terkutuknya itu!

Dan sebagian besar, alasan kenapa aku tidak tidur semalaman hingga aku terlihat seperti zombie pagi ini adalah, karena aku kecewa. Kecewa pada diriku, dan Nicholas. Dan juga perasaan sakit di dadaku yang terus menyerangku seakan ada ribuan belati yang menyayat bahkan menggores dan menusuk jantungku berkali-kali tidak puas-puas, tanpa bisa ku ungkapkan, bahkan dengan airmata setetespun.

"Selamat Pag--"

Tidak kuhiraukan sapaan Sekretaris Nicholas pagi itu. Aku segera berlalu melewati mejanya, dan mendobrak pintu kerja Nicholas, seakan itu adalah sebagian kecil caraku untuk meluapkan rasa amarahku.

Aku melihat Nicholas terkejut melihat kehadiranku pagi itu, terlebih melihat keadaanku yang jauhhhhh dari kata baik.

Aku tidak memperdulikannya, dan segera berderap mendekati tempat duduknya.

"Hai Kei... Apa..."

PLAKKK

Aku mendengar nada terkesiap yang sepertinya berasal dari sekretaris Nicholas yang mengikutiku menerobos masuk kedalam ruangan bosnya.

"Miss, apa yang anda..."

Ucapan Sekretaris menggantung ketika Nicholas,yang masih syok setelah kutampar tiba-tiba, memberikan tanda agar Sekretarisnya meninggalkan kami.

Beberapa saat kemudian, aku bisa mendengar pintu tertutup dan ruangan kembali hening, hanya deru nafas kemarahanku yang terdengar.

"Apa yang lo lakuin disini?" Tanya Nicholas berusaha tidak menghiraukan tamparanku barusan. Dia memasang ekspresi seakan dirinya tidak mempunyai salah sama sekali, atau bahkan dia memang sering melakukan kesalahan yang sama, jadi dia bisa mengontrol mimik mukanya. Memanipulasi topeng malaikat yang terus melekat di wajah iblisnya.

Tidak menjawab pertanyaan Nicholas, aku kembali hendak melayangkan tamparanku namun dengan cepat Nicholas berdiri dan menahan gerak tanganku.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyanya dalam.

"Lepas!!! Gue benci sama lo! Gue benci!!!!" Geramku berusaha melepaskan cengkraman tangan Nicholas, namun gagal.

Aku menaikkan sebelah tanganku lagi yang kembali ditahan oleh Nicholas.

"Gue tahu lo selalu membenci gue." Gumamnya pelan. "Tapi apa gue boleh tahu apa alasannya?"

Aku mendongak dan menatap mata Nicholas yang tidak tahu sejak kapan sudah menatapku lembut, seolah mengatakan kalau 'everything will be fine, i'll be right here with you'.

Aku mengeram dan menarik kedua lenganku yang kemudian di lepas oleh Nicholas. Aku mundur selangkah menjauhinya.

"Mantan pacar lo, yang lo putusin lewat telepon karena persyaratan Gue, dan juga perempuan yang lo bicarakan di Hawaii kemarin... itu Kelly, kan? Kelly Adik gue, kan?" Tanyaku menatap kedua mata Nicholas tajam.

Dia tampak tidak terkejut, dan masih menatapku lembut. Aku mengutuk hatiku yang masih berharap kalau Nicholas akan menggeleng dan mengatakan, 'Bukan, bukan adik lo.', tapi harapan itu sirna ketika aku melihat Nicholas mengangguk sambil menatapku penuh penyesalan.

Hilang sudah.

Sakit rasanya. Pertahananku sejak semalam seakan roboh begitu saja.

Aku tidak mau terlihat lemah, apa lagi di hadapan Nicholas, laki-laki yang ku benci, dan semakin ku benci saat ini. Tapi airmataku mengkhianatiku dengan mengalir bebas jatuh dari pelupuk mataku.

Nicholas terkejut melihatku menangis dan dirinya hendak mendekatiku, tapi aku lebih dulu meninju dadanya dengan kedua tanganku, melampiaskan kekesalan, emosi, dan kekecewaan yang tertahan di dadaku.

Meninju dadanya pelan dan semakin kencang, bersamaan dengan isakkanku yang semakin deras.

Nicholas tidak terlihat berniat menghentikan aksiku, dia hanya membiarkanku meluapkan emosiku.

"Lo jahat Nic, lo jahat!!! Gue benci sama lo! Lo brengsek! Gue benci, gue benci, gue benciii!!!!" Ucapku melemah bersamaan dengan pukulan di dadanya yang melambat.

Kepalaku terasa berat, sedikit kelegaan di hatiku karena sudah meluapkan uneg-unegku, namun rasa sakit di sana, seakan tidak berkurang, malah bertambah.

Kusandarkan keningku di dada bidang Nicholas. Terlalu berat beban di kepalaku saat ini, tidak ada tempat untukku bersandar, karena kebohongan ini.

"Gue benci sama lo..." ucapku pelan dan kembali terisak.

Aku mengira kalau Nicholas akan mendorongku untuk menjauh, atau paling tidak, dia membiarkanku menangis dulu baru mendorongku. Tapi tidak, Nicholas malah memelukku. Erat, sangat erat hingga aku merasa kalau seluruh beban di pundak dan kepalaku lepas seluruhnya.

"Maafin gue." Hanya itu, dan aku kembali terisak dalam pelukannya.

Entah sudah berapa lama aku menangis dalam pelukannya, sampai aku melihat kemeja Nicholas sudah basah di bagian dadanya.

"Feels Better?" Tanyanya sambil memberiku segelas air putih hangat.

Aku mengangguk dan menerima gelas itu, meneguknya habis dalam sekali teguk.

Nicholas menghela nafas dan tersenyum. Saat ini kami duduk berhadap-hadapan di sofa kecil di dalam ruangannya. Namun aku lebih memilih menatap gelas kosong di pangkuan tanganku dari pada menatap matanya.

"Maaf. Bukan maksud gue untuk merahasiakan ini sama lo. Tapi... kenyataan kalau gue baru tahu kalau mantan pacar gue adalah adik lo beberapa minggu yang lalu, juga cukup mengejutkan gue." Ucapnya memulai penjelasan yang tidak kuminta, tapi seakan memang harus dia jelaskan.

"Hubungan gue sama Kelly bermula dari aplikasi online Dating, dan gue memang merahasiakan umu gue yang sebenarnya, dan mengatakan kalau gue tinggal di New York." Terangnya. Aku masih tidak mau menatap matanya.

"Gue gak menyangka kalau hubungan kita berdua bisa melaju sampai tahap pacaran ketika Kelly menyatakan perasaannya dan meminta gue untuk mencobanya terlebih dahulu. Dan gue bahkan gak tahu kalau ternyata gue udah membuat hidup Kelly berantakan dengan memutuskannya waktu itu."

"Itu salah gue." Potongku, masih tidak mau menatap Nicholas.

"Kalau aja gue gak mengajukan syarat itu, mungkin Kelly gak akan patah hati... gak! Bukan hanya itu kesalahan gue." Ucapku, memberanikan diri menatap mata teduh milik Nicholas. "Memang seharusnya dari awal, gue gak setuju untuk membantu lo melakukan pertunangan bohongan ini di hadapan keluarga lo." Kataku akhirnya yang membuat Nicholas sedikit terkejut dan mengernyit.

"Are you serious?" Gumamnya pelan.

"Udahin permainan ini, Nic." Ucapku mantap, setengah mati menahan airmata yang sudah mau kembali menerobos keluar. "Kembali sama Kelly. Dia menyayangi lo, berbeda sama gue yang membenci lo. Dan jangan permainkan Kelly lagi. Gue akan menganggap kalau permainan kita belakangan ini tidak nyata, dan gue..." aku tercekat oleh kata-kata yang barusan keluar dari mulutku sendiri. Mengabaikan beratus-ratus pisau yang sudah menancap di perut dan hatiku, dan melanjutkan ucapanku. "Gue akan keluar dari perusahaan lo. Anggap kesepakatan kita tidak pernah terjadi sebelumnya."

Aku mengatakannya... aku mengatakannya. Aku sudah berhasil mengatakannya.

"M-maksud lo apa sih, Kei?" Tanya Nicholas.

"Gue rasa, maksud gue sudah sangat jelas tersampaikan. Gue permisi. Gue akan meminta Hayley untuk mengurus kontrak kerja gue." Ujarku, tidak mau lagi menatap mata Nicholas demi kebaikan jantung, hati, dan diriku yang sudah kembali ingin menangis.

Baru saja aku berdiri dan meraih tas selempangku, Nicholas sudah berdiri di hadapanku dan menahan lenganku, aku terkejut dan langsung mendongak menatapnya.

"Oh, gue lupa satu hal." Lanjutku sambil memaksakan senyum dibibirku. Seakan baru teringat kalau ada satu hal lagi yang belum di selesaikan. "Gue akan keluar dari Apartemen lo. Lo gak usah khawatir tentang Apartemen gue yang udah dijual Mommy lo. Gue bisa mencari gantinya sendiri." Aku mencoba melepaskan cengkraman tangan Nicholas di lenganku, namun bukan lepas, cengkraman itu malah bertambah kencang, membuatku sedikit meringis.

"Apa lo berpikir semua ini hanya candaan?" Tanyanya dalam. Aku memalingkan mataku, tidak mau menatap matanya. "Tatap mata gue, Keira!!!" Bentaknya yang membuatku terkejut. Kenapa Nicholas harus seemosi ini? Bukankah seharusnya aku yang emosi dan menguliti atau mengkebirinya?!

"It always been a joke, Nicholas. From the beginning." Kataku putus asa.

"Gue gak pernah menganggap semua ini hanya candaan!" Geramnya. "Lo sendiri yang bilang, tidak ada yang baik dari membaca buku yang sama, bukan?" Tanyanya membalikkan kata-kataku di Hawaii.

Ya, tentu. Tapi itu sebelum aku tahu kalau buku yang dimaksud Nicholas adalah adikku sendiri, Kelly.

"Dan sekarang lo minta gue untuk kembali sama Kelly, gue gak bisa!!" Ucapnya dengan nada sedikit meninggi.

"Tapi lo belum selesai membaca buku itu, Nicholas! Lo belum tahu Ending dari kisah itu sendiri!!" Seruku. Airmataku sudah kembali mengalir, mengkhianatiku lagi.

"Ending dari buku kehidupan itu adalah kematian, Keira! Sebanyak apapun perempuan di hidup gue, Kematian akan selalu menjadi ujung dari semuanya! Dan gue gak mau menyesal dengan mengisi buku kehidupan gue dengan sesuatu yang tidak gue mau!!" Serunya yang membuatku naik darah.

"THEN STOP WITH WHATEVER YOU'RE DOING WITH ME AND MY SISTER RIGHT NOW!!! Kita bukan mainan lo!!!" Aku mendorong tubuh Nicholas dan menatapnya marah.

Kalau memang Kelly bukan sesuatu yang dia mau, dan merupakan sebuah penyesalan nantinya, kenapa Nicholas harus memberi harapan pada Kelly? Menyakiti Kelly lagi? Menyakitiku lagi?

Aku mendengar Nicholas mengeram. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Bagus. Lalu apa? Dia akan memukulku disini? Menghilangkan penyesalan lainnya yang dia tidak mau?

"Fuck!" Geramnya yang langsung menarik tubuhku dengan cepat, menahan tengkuk dan pipiku, sebelah tangannya lagi melingkar di pinggangku, dan bibirnya sudah mencium bibirku dengan kasar.

"Ehmmp...!" Aku melotot dan berusaha mendorong bahu Nicholas, tapi gagal. Aku tidak pernah tahu kalau Nicholas seagresif ini. Aku terbuai dalam ciumannya, namun kesadaranku terus menerus menamparku untuk tidak terlena. Kalau ini semua hanya permainannya agar aku terus setuju membantunya untuk menjadi tunangan pura-puranya, hingga dia tidak perlu dijodohkan oleh orang tuanya. Ini semua hanya permainan.

Sekuat tenaga aku mendorong tubuh Nicholas dan ketika berhasil, aku segera melayangkan tamparan lagi di pipinya, namun Nicholas tidak bergeming. Matanya menatapku lurus seakan aku tidak menamparnya tadi.

"Slap me as much as you wanted, Keira. Tapi stop mengatakan kalau ini semua adalah permainan. Dan lo bukan mainan gue!!!" Ucapnya. Tangannya mencengkram lenganku.

"Lalu, apa ini bagi lo?" Tanyaku pelan. Benar-benar sudah tidak bertenaga lagi untuk berdebat dengannya.

Nicholas mengeram, cengkraman tangannya mengerat, "For God sake!!!! I love you, Keira!! I love you!!!!"

Aku tercengang.

Bisa-bisanya Nicholas mengatakan kalimat itu hanya demi aku terus menjadi tunangan pura-puranya? Dia memang selalu menganggap ini semua permainan. Tidak lebih dari permainan. Permainan egoisnya.

"Gue gak ngerti bagaimana, tapi gue rasa gue mencintai ---"

"OK, STOP STOP STOP!!!!" Seruku menarik lenganku dari cengkramannya. Aku berjalan mundur, dan menatap mata sendu milik Nicholas.

Aku memang seharusnya tidak pernah mempercayai mata itu. Dan aku tidak akan mempercayai mata itu lagi sekarang.

"Kei..." panggilnya. Dia hendak maju, tapi aku melangkah mundur dan menaikkan tanganku untuk memintanya berhenti dan tidak mendekatiku lagi.

Aku menarik nafasku, dan meyakinkan diriku sendiri kalau memang ini yang seharusnya sudah kulakukan sejak awal.

Mata Nicholas masih menungguku. Matanya sendu, tapi aku tidak akan lagi termakan tatapan mata itu.

Permainan ini harus diakhiri, dan aku yang harus mengakhirinya.

"Sorry, tapi gue gak bisa membantu lo lagi menjalani kebohongan ini. Gue harap pertunangan Palsu kita berakhir sekarang juga, dan..."

Aku menelan ludahku berat. Memejamkan mataku dan menarik nafas sebelum melanjutkan kata-kataku lagi. "Saya harap anda Tidak akan muncul lagi di hadapan saya maupun Adik saya, Kelly. Saya tidak akan membiarkan anda menyakiti Kelly lagi dan lagi. Saya permisi."

Aku segera berbalik, berharap Nicholas tidak lagi menahan langkahku yang ternyata dikabulkan.

Aku kecewa, hatiku sakit, dan aku kembali menangis sesampainya aku di dalam Mobil.

Tidak peduli seberapa keras aku memukul dadaku yang sesak itu, tapi rasa sakit di dalam sana sangat mendominasi.

Aku tidak boleh...

Aku tidak boleh memiliki rasa ini...

Aku tidak boleh jatuh cinta pada Nicholas!!

Aku harus membencinya. Membencinya sepenuh hatiku.

Aku meraih ponsel dan mencari beberapa nama dan menempelkan ponsel itu di telingaku.

Aku terisak, dan ini semua tidak benar. Seharusnya aku lega karena sudah tidak lagi terikat dengan kebodohan ini, tapi kenapa aku merasa tidak rela?

"Halo, Kak?"

Panggilan itu terjawab, dan suara lembut di seberang sana menyapaku. Aku seharusnya tidak menghubungi perempuan ini, karena perempuan ini juga pasti sedang sibuk memikirkan pernikahannya yang akan segera tiba. Tapi aku merasa harus menumpahkan ini semua pada seseorang yang bisa kupercaya.

"H-halo... Leira?" Panggilku terisak.

"K-kak Keira menangis?? Kak Keira kenapa? Kakak dimana?" Tanyanya khawatir.

"Leira... hati gue... hati gue sakit Lei..." isakku sambil menyentuh dadaku.

"Kakak dimana sekarang? Aku samperin kakak, ya? Mau aku ajak Kenneth juga??"

Aku menggeleng. "Jangan... jangan ajak Kenneth." Pintaku. "Temuin gue di..."

Aku teringat kalau aku tidak lagi memiliki Apartemen. Dan aku tidak mungkin kembali ke Apartemen keluargaku dengan keadaan seperti ini.

"Di Hotel Peninsula Beverly Hills." Ucapku menyebutkan hotel tempat aku bermalam beberapa hari ini semenjak kepulanganku dari Hawaii.

Alleira menyetujuinya, dan memintaku untuk bersabar sebelum memutuskan panggilan telepon.

Aku menyeka airmataku dan melajukan mobilku menuju ke Apartemen Nicholas untuk mengambil barang-barangku disana.

Setidaknya aku harus mengosongkan barang-barangku dari apartemen Nicholas sebelum mencari Apartemen baru untuk ku tinggali.

Kenapa semua harus serumit ini?

***

Tbc

*Tisu di Obral*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro