Chapter 5 - Aku dan Misi Abadi
"Suaramu bagus sekali, Ji In!" Ini adalah kali pertama Ji In dapat pujian dari teman-teman, tepat saat mengenakan seragam formal. Mendapat kalian pemuas hati seakan memecut semangat Ji In dalam mengasah kemampuan bernyanyi, sekaligus belajar menjadi pahlawan kesiangan. Terkadang Na Byul mengajak belajar dance lagu kpop kegemarannya.
"Kita pasti bisa menjadi idol, Ji In-ah!" Melihat Na Byul menggebu tatap langit biru, timbul senyum lebar di bibir merah Ji In. "Kita akan berjuang sama-sama!" Namun, senyum itu tak bertahan lama.
"Tapi...." Ji In memandang tangannya yang bertumpuk salurkan kehangatan di dada. "Aku tak yakin, Na Byul."
"Ji In-ah!" Sesosok bayangan halau cahaya pamerkan tangan yang saling menggenggam erat. Gadis itu menatapnya lekat-lekat. "Kau selalu semangati aku untuk gapai cita-cita, tapi kenapa kamu mau nyerah gitu aja?" Jauh dari dalam iris Na Byul, kobaran api seakan memercik semangat Ji In. Karena dia pula persahabatannya makin kuat. Setiap hari mereka korbankan waktu 2 jam sehari untuk latihan dance dan bernyanyi. Mereka abadikan dalam bentuk video hingga suatu hari....
"Jangan sok mahir!" Ji In terlempar menghantam banyak loker, munculkan nyeri di punggung dan perutnya. Seseorang lempari Ji In dengan benda tumpul, menendang tubuh ini dengan membabibuta torehkan memar dan luka lecet. Ji In juga mendengar umpatan dia yang buat telinga berdenging. Meski pandangannya kabur, ia tahu mereka hanya berperan sebagai kerumunan di belakang eksekutor. Ji In enggan momen itu abadi sampai mati.
"Ji In!" Ia merasa jatuh. Dengung itu masih bersarang di balik suara mereka.
"Baik kamu istirahat aja, Ji In-ah!" Otaknya mulai memproses kenali pemilik suara mirip anak kecil. Samar-samar ia lihat seseorang celingak-celinguk. "Teman-teman, tolong bantu Ji In!"
Satu per satu tangannya melingkar di leher sosok berstatus 'teman', berjalan terseok-seok dalam keadaan setengah sadar. Angin menerpa wajah Ji In yang banjir peluh.
"Apa kita bawa Ji In pulang aja, ya?" Namun, Ji In menggeleng sambil bersandar luruskan kedua kaki mengandalkan kekuatan tangan.
"Aku tak apa, Na Byul-ah...," sela Ji In nyaris tiada suara. "Aku hanya lelah saja."
"Benaran cuma penat?" tanya Na Byul menatap gelisah. "Kami gak mau kamu----"
"Sudah kubilang aku baik-baik aja, Na Byul!"
****
Matahari nampak terik saja seiring berjalannya waktu, menyinari Ji In dan Na Byul yang duduk selunjur sembari minum air mineral. Sisa anggota satu trainee lebih memilih cari hiburan di sini; meragakan gerakan aneh depan cermin misalnya.
"Jadi karena Woo Ji, kau jadi hilang fokus?" tanya Na Byul tanpa bertatap muka.
"Iya...." Dada Ji In masih kembang-kempis secara teratur. "Kemarin dia datang, hanya menginap untuk satu atau dua hari mungkin. Padahal aku ingin dia hilang dalam kehidupanku."
"Namanya juga manusia, Ji In-ah." Na Byul beringsut bangkit regangkan otot lengan. "Sewaktu-waktu, masa lalu yang tidak terlalu penting malah terlupakan. Toh, masa lalu yang kita kira abadi belum tentu sama dengan masa lalu menurut dia."
Ia pikir Na Byul benar. Mungkin sepanjang waktu hanya berpusat pada masalahnya, tidak memikirkan bagaimana cara mereka memandang Ji In saat lakukan hal keji. Namun, tak mungkin ia harus lakukan hal sama seperti mereka perlakukan Ji In di waktu SMA.
"Meski begitu, apa yang menurutmu tak wajar, kau punya hak untuk buka suara," kata Na Byul mulai memutar badan di tempat. "Dari pada kamu tertekan terus, sampai gak fokus kerja sampingan."
Hati Ji In tak lagi mencelos kala Na Byul sebut tentang pekerjaan. Sejak ia diterima sebagai anggota intelijen dibawah bimbingan Yong Moon, Ji In terang-terangan bekerja sebagai tukang kasir di supermarket.
Sebuah getaran dua kali bertubrukan dengan botol minum Ji In. Ia cek pesan yang muncul, seketika mendelik kaget. Tangannya sigap masukkan peralatan semacam tisu saku dan botol minum ke tas jinjing, bergegas pergi tinggalkan pesan: Aku ada urusan.
****
"Kita akan ke mana?" Ji In sudah siap dengan kaus lengan pendek dan celana jins. Rambutnya diikat cepol guna tak gerah saat jalani tugas. "Mendadak begini, sunbaenim."
"Tadi pagi, polisi yang memegang alih informatika menemukan banyak sekali keluhan," jawab Yong Moon menyerahkan sebotol air mineral pada Ji In yang pucat pasi. "Kebanyakan pelapor adalah remaja sampai dewasa, mengungkit masalah saluran TV yang lakukan trik kotor dengan satu grup di acara kompetisi antar grup idol."
"Laporan hari ini makin gak jelas rasanya," keluh Ji In mulai habiskan air mineral hingga titik penghabisan.
"Beginilah zaman sekarang, Ji In-ah." Wanita dengan potongan rambut bob berjongkok di hadapan komputer. Di tengah satu tangan yang menari di atas tuts papan ketik, ia memijit keningnya. "Kalau kita adakan sesi saling tukar rahasia, aku pun sudah lelah dengan misi seperti ini. Harus menyamar, pintar cari situasi, hanya untuk selesaikan masalah publik yang seharusnya masih bisa diatasi oleh sesama CEO dari agensi yang terlibat dengan saluran TV itu."
"Kalian jangan banyak cakap." Mobil perlahan berhenti seiring tibanya kepala kepolisian ke ruang operasi. "Kau bilang ada kenalan di lokasi target kita."
"Iya," jawab Yong Moon selesai mengetik sesuatu di ponsel. "Aku sudah beritau dia untuk izinkan Ji In untuk bekerja demi menguatkan penyamarannya. Barusan dia menyutujui karena butuh kru lain yang sukarela bekerja."
"Oke." Perhatian pria berkumis tebal itu beralih pada Ji In. "Kau siap? Jangan sampai gagal seperti misi sebelumnya."
"Dimengerti, Pak." Ia tinggalkan embusan mengandung keraguan dalam jalankan misi sebelum melangkah mantap keluar mobil. Topi telah melindungi wajah dan kepala dari terik matahari.
"Baiklah, Han Ji In. Kau pasti bisa." Ia ambil lari kecil sambil mengetik nomor ponsel yang barusan Yong Moon kirim dan ditempelkan di telinga kiri. "Ayo, angkat."
"Halo?" Napas Ji In tersendat sedikit sebelum bisa stabilkan dengan baik.
"Saya teman Yong Moon yang bekerja secara sukarela di tempat kerjamu," katanya di sela kurangi kecepatan berlari. "Ke mana saya harus pergi?"
****
"Tugasmu adalah urusi keperluan idol. Mengerti?" Dia langsung pergi tanpa dengar jawaban Ji In, yang mematung amati banyaknya kardus untuk diantar dari satu ruangan ke ruangan lain.
"Dimengerti, Nyonya...." Ia turunkan paruh topi guna wajahnya tak terekpos mata orang lain. Hanya tampak seringai lebar. Dengan cekatan, Ji In menaruh satu tumpukan kotal yang terikat tali rapia di depan pintu back stage, mengetuk cepat sebelum melengos cari jalan ventilasi udara.
"Sial, tak ada ventilasi udara." Ji In berdecak sebal, apalagi di depannya banyak sekali pegawai berkaos hitam yang lalu lalang bawa alat bervariasi. Warna kaos yang Ji In pakai amat efektif untuk membaur dengan mereka.
"Ji In-ah," suara gemeresak akan gangguan sinyal muncul di telinga kiri Ji In, "ruang CEO saluran TV berada di sebelah sistem monitor. Cepatlah ke sana. Dalam waktu cepat aku akan blokir listrik di sekitar gedung saluran TV."
"Baik, sunbaenim." Ia tambahkan kecepatannya, menghindari sentuhan orang-orang berjas. Target pertama untuk kelancaran misi adalah wanita dengan pakaian khas kantoran. Begitu terdeteksi oleh radar waspada Ji In, ia langsung nyalakan pil seukuran puntung rokok dan membuangnya sembarangan. Sengaja Ji In tutup sekitat mulut dan hidung, karena dalam sekejap orang-orang itu tergeletak bagai mayat korban serbuan zombie.
Ji In ambil salah seorang wanita muda guna dapatkan pakaian yang seharusnya beserta ID card. Mungkin hari ini dewi fortuna berpihak pada Ji In. Dengan mudahnya ia masuk menggunakan ID card milik seseorang----sarung tangan telah ia kenakan untuk samarkan sidik jari. Di sana tersisa seorang saja yang masih duduk mengisap asap rokok, lantas Ji In tutup sekitar mulutnya dengan pita, berlari acungkan pisau lipat ke depan.
"Aku sudah masuk ke lokasi utama, sunbaenim," kata Ji In berjalan perlahan mencari celah untuk lumpuhkan variabel pengganggu.
"Aku sudah blokir listriknya, kau bisa bebas lancarkan aksi," jawab Yong Moon. Dengan tiada hati, Ji In menarik kening pria itu dan menyabet leher dengan sekali pukul. Dia jatuh pingsan keluarkan ludah yang menetes ke celana.
"Menyebalkan." Aksi Ji In tak sampai di sini. Ia ambil laptop yang masih menyala, mengoperasikannya di kolong meja. Kabel data telah tersambung di laptop dan ponselnya. Tinggal ia otak-atik sedikit, mencari data mengenai topik....
"Apa maksud semua ini?" Ji In mendelik kaget, membekap mulutnya sendiri. Irisnya menciut dan berair berikan rona merah pada putih mata.
"Kenapa banyak sekali orang pingsan?" Kesadaran Ji In mulai bangkit. Suara orang itu menampar jantungnya. Dengan tangan gemetar, ia mulai menyalin semua data yang dilihat ke ponsel.
"Pak!" Mereka mendobrak-dobrak pintu, buat tangan Ji In mendingin. "Kenapa tak bisa dibuka pintunya?"
"Cepatlah sedikit, Ji In." Suara Yong Moon kembali hadir di indera pendengaran Ji In. "Aku perkirakan mereka sudah bisa hilangkan blokir yang kubuat."
"Sabar!" Ji In hanya mencicit. Sebentar lagi ... ia akan lancarkan serangan ampuhnya.
Penyalinan selesai. Bunyi konfirmasi ID card diterima pun muncul. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro