Chapter 4 - Aku Bertemu Dengannya Lagi
2 minggu kemudian....
"Lelahnya...." Pintu terbuka dengan bantuan Ji In yang menenteng kresek putih berisi bahan masak. Kaki beralaskan kaos kaki pula yang menerjang papan itu kembali menuju asalnya. Ia berjalan terseok-seok menaruh belanjaan di meja tamu, sedang Ji In sendiri ambruk lepaskan penat. Pikirannya penuh dengan podcast idol untuk lusa malam, tapi badan enggan bekerja sama.
"Pengen makan...." Tiada guna Ji In meraih angin. Ia paksakan diri yang lemas ini pergi ke dapur, mengambil beberapa bahan untuk saji makanan yang cepat cara masaknya dan sedikit menahan lapar selama beristirahat. Yang mampu Ji In buat dalam setuasi genting macam sekarang hanya beberapa potong stroberi dan apel yang dilumuri susu kental manis. Ji In kembali duduk di pangkuan sofa, memakan salad buah sambil tonton film. Yah, masih dengan film yang tak larat perbaiki moodnya.
"Sebaiknya aku cepat-cepat langganan neflix dan beli proyektor." Ji In tetap menonton acara itu dengan tatapan tiada minat, mungkin TV lah yang menonton gadis ini. Salad buah bermigrasi ke perut tanpa sepengetahuan Ji In, mendadak ingin makan lagi. Semangatnya bertambah sedikit-sedikit meski kantuk masih berkuasa.
Di sela memotong buah, sayup-sayup terdengar jeritan kaum perempuan. Sepertinya berasal dari luar sana. Ia tak peduli. Toh, Ji In dan Na Byul belum debut. Malahan Ji In baru terjun ke dunia hiburan sebagai penyiar podcast yang diberi nama 'See You, Jinn'. Namanya akan menyamai sebutan makhluk yang mampu kabulkan tiga permintaan jika dibaca secara cepat nan singkat, yang mana itulah alasan dia merundung Ji In.
"Tolong!" Mata Ji In langsung terjaga. Bukan akibat gedoran pintu, melainkan sensasi sengat karena jarinya tergores pisau. Refleks Ji In bergegas cari laci dinding P3K.
"Harusnya aku lebih hati-hati...." Ia menangkap suara benda jatuh saat melapisi luka dengan plester. Ji In suka keadaan remang-remang, tapi yang ini ia perlu selidiki. Tangan kecilnya meraba-raba dinding, segera tekan tombol untuk nyalakan lampu. Perempuan berperawakan kurus ini tersentak mendapatkan efek amarah dalam hati.
"Jangan nyalakan lampunya!" Seorang pria berambut pirang sebahu tiba-tiba bangkit menerkam Ji In. Lampu kembali redup, menyisakan cahaya dari TV yang menayangkan iklan soju. Jeritan histeris gadis-gadis mengerubungi sekitar rumah Ji In.
Ji In terpejam kuat, menahan napas, enggan mengetahui yang terjadi. Ia hanya ingat ada orang menjemputnya, lalu pandangan menjadi gelap. Kesadaran Ji In masih terjaga, masih mendengar sorak-sorai cewek yang keras seperti keadaan di konser. Namun ia merasa....
Dia sangat dekat, nyaris bersentuhan meski sebatas lapis pakaian. Ia mampu mendengar detak jantung seseorang, mungkin orang yang berniat memangsanya. Pergerakan Ji In seolah terkunci. Hawa panas keluar perlahan membatasi jarak Ji In dengan dia.
"Diam di sini bersamaku untuk sebentar saja...." Ji In langsung mendelik kaget. Semua hawa yang ia rasakan telah hilang secepat mata berkedip. Injak kaki adalah serangan umpan tiada ampun bagi dia yang mempersempit jalannya. Ia kombinasikan dengan terjangan pada perutnya.
"Apanya yang diam, kau sendiri yang seenaknya masuk rumah orang!" Cara Ji In nyalakan lampu mirip gebrakan meja. Dia tak ambil pusing, datang meminta semua orang pulang dengan lantang.
"Pulang sana! Kalian salah rumah!" Meski mereka memberontak dengan sejuta hinaan, Ji In siap bertempur menggunakan sapi saja, menyabet tembok dengan gagangnya hingga sedikit jebol. Sorot mata berubah horor bin kosong timbulkan aura hitam. "Pulang sebelum pantat kalian dapat bekas sabetan paling menyakitkan."
Menyadari akibat menentang ujaran Ji In, mereka pulang sambil bisik-bisik yang dapat ia dengar dari kejauhan. Dalam benak, Ji In sudah berusaha agar menghadapinya dengan kepala dingin, tapi sampai sekarang rasanya susah sangat. Ia mendesah berat bukan karena selesai urusi perkara kecil, melainkan perasaan bersalah terhadap diri sendiri.
"Mereka sudah tiada." Sapu yang mana bulunya mulai menipis ia taruh di sisi luar pintu, balik tangani masalah selanjutnya: pria yang masuk macam maling. Namun, iris hitam Ji In ciut seketika. Tubuh berdesir dingin hingga telapak tangannya pucat pasi ikuti warna kusam di wajah.
"Ti-tidak mungkin...." Ji In nyaris limbung kala melangkah mundur ambil senjata pamungkas selama di rumah. Mumpung pelaku kesusahan bangkit dari celah antara meja dan sofa, Ji In ambil waspada dengan sapu tergenggam amat gemetaran menuju laci.
"Heh, bantu aku----" Ji In kira hanya dirinya yang terkejut, tetapi pria itu juga melongo dalam arti demikian. "J-ji In? Han ... Ji In?"
"Diam kau!" Kali ini, tangan Ji In meraba-raba brutal cari senjata api yang biasa ia bawa untuk misi----terletak di laci yang menyatu dengan rak sepatu. "Kenapa kau malah di sini? Pergi...."
"Ji In-ah," dia coba beringsut bangkit, tetap berakhir jatuh, "kumohon dengarkan aku----"
"Jangan pernah bicara di hadapanku, dasar anjing!" Sapu telah ia hempaskan dengan kasar. Dalam genggaman Ji In tinggal sebuah pistol yang ia bidik ke arah lelaki itu. "Aku sudah bersyukur kau hilang dalam pandanganku dan sekarang kau muncul dengan embel-embel minta tolong, hah? Woo Ji!"
"Ji In, plis! Kali ini saja kau harus bantu aku." Dia hendak melangkah dekati wanita berjaket hitam ini, tapi Ji In bersikukuh main bentak dan maki memintanya diam di tempat. "Aku akan jelaskan soal masa lalu kita----"
"Gak usah kau jelasin, aku sudah ingin mati!" Samar-samar Ji In menekan pelatuknya. "Kau tak pernah tau bagaimana aku menderita karena kau! Karena semua perbuatan kejimu, aku tak bisa berbuat apa-apa sampai harus menunda kuliahku! Dan sekarang kau datang begitu polosnya." Air mata yang tertampung dalam pelupuk akhirnya buncah basahi pipi. "Pergi dalam hidupku sekarang juga...."
"T-tapi, Ji In----"
"Sekarang!" Satu peluru berhasil melesat lewati target, justru mengenai layar TV. Ji In terengah-engah, ambruk tersedan-sedan lepaskan senjatanya.
"Aku akan pergi, Ji In, tepat setelah kau mendengar penjelasanku." Ji In tak buka suara selain isak yang menyertai derasnya air mata. Tanpa Ji In ketahui, Woo Ji menatap sendu. "Izinkan aku tinggal sementara di rumahmu. Aku berani bersumpah, aku takkan menyakitimu atau apapun itu yang bernilai negatif untukmu. Terserah kau mau memperlakukanku seperti apa, yang jelas aku butuh konfirmasi darimu: izinkan aku tinggal di rumahmu atau tidak."
Ji In tak segera menjawab, tak segera letakkan barang-barang ke tempat semula. Hanya berjalan melewati Woo Ji, mengambil sisa makanan diet sebelum hilang masuk kamar. Telinga Ji In sengaja meniru tunarungu, tapi setiap kata yang dia lontarkan otomatis tersimpan di otak. Buat Ji In tidur dalam keadaan meringkuk.
****
Pagi ini, Woo Ji mendapat sepucuk surat, langsung dari pemiliknya: Ji In. Gadis itu enggan mendongak----bertatap muka pun Ji In malah teringin meludah----, hanya mengutip beberapa sarapan pagi buatannya.
"Harus aku baca, Ji In-ah?" Dia justru melengos tak menggubris pertanyaan Woo Ji. Sorot matanya masih membara akan dendam kesumat yang salurkan kekuatan pada kepalan tangan di saku jaket putih.
"Dasar penghalang!" Kalimat dari masa lampau kembali silaturahmi di memori Ji In. Ia ingat betul usai bercakap demikian, sosok lelaki berseragam awut-awutan menendang muka dan dadanya tiada ampun.
Karena itu, tiada tempat bagi dia untuk hidup bahagia bersama Ji In. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro